You are on page 1of 64

Penasihat

Dekan FISIP USU


Ketua Departemen FISIP USU

Pemimpin Umum
Ketua Laboratorium Pengembangan Masyarakat
(LPM-ANTROP)

Pemimpin Redaksi
Zulkifli B. Lubis

Wakil Pemimpin Redaksi
Sri Alem Sembiring

Sekretaris Redaksi
Nurdiani Nasution

Dewan Redaksi
Agustrisno, Ermansyah, Fikarwin Zuska,
Lister Berutu, R. Hamdani Harahap, Rytha Tambunan, Sri
Emiyanti, Tjut Sahriani, Yance, Zulkifli.

Penelaah Ahli
Usman Pelly (Universitas Negeri Medan)
Chalida Fakhruddin (Universitas Sumatera Utara)
Iwan Tjitradjaja (Universitas Indonesia)
Irwan Abdullah (Universitas Gadjah Mada)
John McCarthy (Murdoch University, Australia)

Tata Usaha
Sabariah Bangun
Edi Saputra Siregar

Sirkulasi
Irfan Simatupang (Koordinator)

Keuangan
Mariana Makmur

Etnovisi Online
Nurman Ahmad

Penerbit
Laboratorium Pengembangan Masyarakat (LPM-ANTROP)
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
USU

Alamat Redaksi:
Jl. Dr. A. Sofyan No.1 Kampus USU, Padang Bulan,
Medan 20155
Telp./Fax.: (061) 8223605.
E-mail: lpm_antrop@telkom.net

Jurnal ETNOVISI didedikasikan
sebagai sebuah terbitan ilmiah
berkala yang diharapkan dapat
menjadi ajang pertukaran
gagasan dan pemikiran di
bidang antropologi khususnya
dan ilmu-ilmu sosial pada
umumnya. Ia hadir dengan misi
membangun tradisi dan iklim
akademis untuk kemajuan
peradaban dan harkat
kemanusiaan.
Selain itu, Jurnal ETNOVISI yang
secara sengaja mengambil kata
generik ethnos sebagai
namanya, juga mengemban misi
untuk mempromosikan dan
mengembangkan semangat
multikulturalisme dalam
kehidupan masyarakat Indonesia
yang majemuk, sebagai bagian
dari upaya membangun
masyarakat madani.

Redaksi menerima sumbangan
tulisan yang bersifat teoritik, hasil
penelitian maupun etnografi,
dan tulisan-tulisan yang memuat
gagasan konstruktif untuk
penyelesaian masalah-masalah
sosial budaya dalam arti luas
maupun masalah-masalah
pembangunan secara umum,
serta tinjauan buku-buku teks
antropologi dan ilmu sosial
lainnya. Isi artikel tidak harus
sejalan dengan pendapat
redaksi. Tulisan diketik dengan
program MS Word spasi
rangkap di atas kertas ukuran
A4, dan menyerahkan naskah
secara elektronik dan cetak
kepada redaksi. Panjang artikel
maksimal 5000 kata, ditulis
dengan mengikuti kaidah-kaidah
penulisan ilmiah dan akan
disunting redaksi. Mohon agar
disertakan abstrak maksimal
300 kata. Catatan kaki agar
dibuat di bagian bawah tulisan
dengan urutan nomor. Referensi
dibuat menurut abjad nama
penulis sesuai dengan contoh
tulisan yang ada di edisi ini.
Jurnal ETNOVISI terbit tiga kali
dalam setahun.

Jurnal Antropologi Sosial Budaya
Vol. 01 No. 2 Oktober 2005
ISSN: 0216-843x



ii
Daftar Isi


Pengukuran Intensitas Konflik dalam Masyarakat Majemuk
Usman Pelly


53-56
Strategi Dominasi dan Keutuhan Negara Bangsa yang Pluralistik
Bungaran Anton Simanjuntak


57-60
Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor Publik
Zulkifli B. Lubis


61-71
Pengarus-utamaan Jender sebagai Strategi Mutakhir Gerakan Perempuan
Sri Emiyanti


72-77
Corporate Social Responsibility:
Model Community Development oleh Korporat
Tantry Widiyanarti


78-84
Pengetahuan Petani dan Stabilitas Ekosistem Ladang:
Urgensinya dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan
Sri Alem Br.Sembiring


85-96
Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani:
Kasus Konservasi Rawa Menjadi Lahan Sawah di Desa Pulau Banyak
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
Agustrisno



97-105
Tradisi Bondang dan Tantangan Globalisasi:
Studi Kasus di Desa Silo Lama, Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan,
Propinsi Sumatera Utara
Edy Suhartono



106-110



















Keterangan gambar pada halaman muka:
Atas:
Satu sekuen dalam pelaksanaan ritus Ngumbai sebagai tanda syukur atas hasil panen yang baik. Ritus ini
merupakan bagian dari tradisi pengelolaan wanatani repong damar di Krui, Lampung Barat.

Tengah:
Komunitas Tamil di Kampung Durian Medan dalam sebuah upacara Mahapuja Kumbabhisegam Shri
Mariamman Kuli.

Bawah:
Lakon tugas domestik penyediaan air minum untuk keluarga yag dibebankan kepada anak-anak
perempuan. Desa Banuaji, Kecamatan Adian Koting, Tapanuli Utara.
Foto-foto: ZBL



iii
Kata Pengantar


Jurnal ETNOVISI kembali hadir di hadapan pembaca, untuk edisi yang kedua. Kali ini
kami menyajikan delapan tulisan dengan tema beragam. Secara berurutan, tiga tulisan
pertama membicarakan isu etnisitas dalam lingkup kehidupan masyarakat majemuk.
Tulisan keempat bicara mengenai isu gender yang waktu demi waktu dinilai semakin urgen
dalam penataan kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik. Berikutnya, sebuah tulisan
yang membahas hubungan dunia usaha (korporat) dengan masyarakat lokal. Sementara itu,
tiga tulisan pada urutan terakhir membicarakan aspek-aspek yang berhubungan dengan
pengelolaan pertanian. Meskipun beragam pokok bahasan, tetapi ada benang merah yang
mempertautkan semua tulisan tersebut, yaitu bagaimana entitas lokalsebagai kelompok
etnik, golongan sosial, komunitas petani, dan lainnya dapat disuarakan visinya ke publik
untuk menjadi perhatian semua pihak yang berkompeten dan berkepentingan dengan
penataan kehidupan sosial.

Pembahasan tentang kehidupan masyarakat majemuk tetap penting, mengingat semakin
menguatnya potensi konflik dan benturan peradaban dalam era kesejagadan sekarang ini.
Ruang dunia yang semakin sempit memaksa manusia dari beragam identitas dan latar
belakang untuk beinteraksi satu sama lain, yang tentu berpotensi menimbulkan gesekan-
gesekan dan konflik. Dalam kaitan itulah tiga tulisan pertama, masing-masing dari Usman
Pelly, B.A. Simanjuntak dan Zulkifli B. Lubis kami tampilkan. Tulisan Usman Pelly
tentang pengukuran intensitas konflik pada masyarakat majemuk, meskipun sudah
disajikan dalam sebuah diskusi lebih dari sepuluh tahun lalu, kami pandang masih relevan
untuk digunakan dan terus dikembangkan sebagai alat analisis dalam mengkaji fenomena
kehidupan yang heterogen. Demikian pula ulasan B.A. Simanjuntak tentang strategi
dominasi dalam lingkup negara bangsa yang pluralistik, patut menjadi perhatian bagi kita
yang peduli terhadap keutuhan bangsa dan negara yang bernama Indonesia. Hal itu
penting sebagai cermin bagi kita karena esensi dari fenomena yang diulasnya masih tetap
aktual, meskipun ia memotretnya sekitar tujuh tahun lalu. Sementara itu, pada edisi ini
Zulkifli B. Lubis mencoba menawarkan gagasan untuk didiskusikan, yakni bagaimana
ketegangan etnik dan kompetisi budaya dalam ruang publik sebaiknya dikanalisasi untuk
menghindari penguatan potensi konflik.

Cita-cita terbangunnya harmoni dalam ruang-ruang sosial yang majemuk adalah satu hal
yang terpatri dalam batin setiap ilmuwan sosial, tak terkecuali antropolog. Tetapi di luar
itu, sesungguhnya masih ada persoalan hubungan antarmanusia dalam ruang publik yang
memerlukan perhatian kita pula. Karena ternyata, tatanan sosial budaya, ekonomi, dan
politik yang berlaku selama ini di dunia masih melembagakan ketimpangan jender. Ulasan-
ulasan mengenai relasi jender memang sudah banyak bermunculan melalui beragam media.
Namun demikian, tetaplah berguna jika kita terus memperkaya wacana publik dengan
menampilkan fase-fase perkembangan analisis jender sebagaimana diuraikan dalam tulisan
Sri Emiyanti. Entitas korporat sebagai sebuah komunitas yang beroperasi di dalam
lingkungan komunitas lokal selama ini tak dilihat sebagai dua dunia yang seharusnya saling



iv
berinteraksi pula. Faktanya, belakangan ini beragam bentuk konflik juga muncul di antara
keduanya, sehingga muncul pemikiran untuk membangun suatu hubungan yang serasi di
antara dua entitas tersebut. Korporat tidak lagi dimaknai sebagai lembaga kapital yang
hanya mencari keuntungan, tetapi ia juga mengemban tanggung jawab sosial dalam rangka
pemberdayaan komunitas lokal di mana ia menjalankan usahanya. Itulah esensi tulisan
Tantry Widianarti yang disajikan pada edisi ini.

Pada tiga tulisan terakhir, pembaca kami ajak memasuki dunia pertanian yang diteropong
dari dimensi sosial budaya. Sri Alem Sembiring menguraikan bagaimana aspek
pengetahuan petani hortikultura di Tanah Karo memandu mereka dalam mengelola
ladang. Pengetahuan tentang tanaman, perawatannya, iklim, fluktuasi harga, misalnya,
menjadi peta kognitif yang memandu petani untuk mengatur strategi bercocok tanam agar
memberi hasil yang baik. Lebih dari itu, penguasaan terhadap peta kognitif tersebut adalah
sejenis properti yang dimiliki dan disebarkan dalam unit sosial kecil dan terbatas, sehingga
hal itu secara langsung melahirkan bentuk-bentuk pengelolaan tanaman yang sangat
beragam. Implikasi positifnya adalah dipertahankannya keragaman jenis tanaman, yang
mana hal ini selaras dengan tujuan pelestarian keanekaragaman hayati. Pada tulisan lain
Agustrisno juga menguraikan dimensi pengetahuan petani dalam mengelola lahan, dalam
kasus konversi lahan rawa menjadi lahan persawahan di sebuah desa di daerah pesisir pantai
timur Sumatera Utara. Masih di seputar dunia pertanian, Edy Suhartono menyajikan
uraian tentang tradisi lokal dalam pengelolaan lahan pertanian di Kabupaten Asahan. Kasus
yang disajikan memperlihatkan bagaimana sebuah komunitas desa mampu bertahan
dengan tradisi mereka di tengah arus modernisasi pertanian. Namun yang menjadi
pertanyaan, seberapa kuat mereka akan tetap bertahan dalam arus deras globalisasi yang
melanda hampir ke semua pelosok dunia?

Pembaca yang budiman, harapan kami tulisan-tulisan yang disajikan dalam edisi ini dapat
menjadi bahan untuk memperkaya wacana dan wawasan kita tentang dimensi sosial budaya
dari beragam rupa lapangan kehidupan. Kami juga mengundang pembaca, peneliti,
akademisi, atau aktivis untuk memberikan masukan, kritik dan gagasan-gagasan baru untuk
kita hadirkan dalam Jurnal ETNOVISI edisi berikutnya. ETNOVISI telah memilih jalan
untuk istiqomah menjadi bagian dari gerakan membangun budaya dan iklim akademik,
khususnya di Sumatera Utara.

Redaksi
Usman Pelly Pengukuran Intensitas Konflik dalam Masyarakat Majemuk


53
Pendahuluan
Ciri utama masyarakat majemuk
(plural society) menurut Furnivall (1940)
adalah orang yang hidup berdampingan secara
fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka
terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam
sebuah unit politik. Sebagai seorang sarjana
yang untuk pertama kali menemukan istilah
ini, Furnivall menunjuk masyarakat Indonesia
di zaman kolonial sebagai contoh yang klasik.
Masyarakat Hindia Belanda waktu itu
terpisah-pisah, tidak saja antara kelompok yang
memerintah dan yang diperintah dipisahkan
oleh ras yang berbeda, tetapi secara fungsional
masyarakatnya terbelah dalam unit-unit
ekonomi, antara pedagang Cina, Arab, dan
India (Foreign Asiatic) dengan kelompok petani
Bumi Putera. Menurut Furnivall masyarakat
dalam unit-unit ekonomi ini hidup
menyendiri (exclusive) pada lokasi-lokasi
pemukiman tertentu dengan sistem sosialnya
masing-masing.
Pemisahan kelompok-kelompok
masyarakat ini dapat juga disebabkan karena
perbedaan agama (seperti di Ireland), dan kasta
(di India). Sebab utama dari pemisahan ini,
ialah kepentingan untuk monopoli sumber-
sumber ekonomi (economic resources). Dengan
kata lain, kepentingan ekonomi dilanggengkan
oleh ras, agama, suku, bangsa, hukum, politik,
bahkan nasionalisme.
Kasus kajian Furnivall mengenai
masyarakat Indonesia 60 tahun yang lalu di
zaman kolonial yang melahirkan teori
masyarakat majemuk ini, tentu saja akan
berubah apabila ia kembali melihat bangsa
Indonesia dewasa ini.
Sementara itu, kajian mengenai
masyarakat majemuk mendapat perhatian yang
luas di kalangan ahli-ahli ilmu sosial, dengan
berbagai hasil penelitian yang menarik,
umpamanya, oleh Lewis (Urbanization
Without Breakdown, 1952), Glazer &
Moynihan (Beyond The Melting Pot, 1963),
Edward Bruner (The Symbolic of Urban
Migration, 1966), Barth (Ethnic Group and
Boundaries, 1969), Cohen (Custom and
Conflict in Urban Africa, 1971), Evers (Ethnic
and Social Conflict in Urban Southeast Asia,
1980).
Setidaknya, dewasa ini ada dua konsep
masyarakat majemuk yang muncul dari
berbagai hasil penelitian di atas: (1) konsep
kancah pembauran (melting pot), dan (2)
konsep pluralisme kebudayaan (cultural
pluralism). Teori kancah pembauran pada
dasarnya, mempunyai asumsi bahwa integrasi
(kesatuan) akan terjadi dengan sendirinya pada
suatu waktu apabila orang berkumpul pada
PENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM
MASYARAKAT MAJEMUK

Usman Pelly
Guru Besar Antropologi-Universitas Negeri Medan

Abstrak
Masyarakat majemuk seperti Indonesia memiliki potensi konflik, baik karena faktor-
faktor kemajemukan horizontal maupun faktor kemajemukan vertikal. Kondisi ke arah
terjadinya konflik, potensial terjadi apabila faktor kemajemukan horizontal bersatu
dengan faktor kemajemukan vertikal. Tulisan ini memberikan panduan bagaimana
mengukur intensitas konflik, yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam proses-
proses penciptaan keserasian sosial dalam lingkungan masyarakat majemuk.

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


54
suatu tempat yang berbaur, seperti di sebuah
kota atau pemukimanindustri. Sebaliknya
konsep pluralisme kebudayaan justru
menentang konsep kancah pembauran di atas.
Menurut Horace Kallen, salah seorang pelopor
konsep pluralisme kebudayaan tersebut,
menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnis
atau ras yang berbeda tersebut malah harus di
dorong untuk mengembangkan sistem mereka
sendiri dalam kebersamaan, memperkaya
kehidupan masyarakat majemuk mereka.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
konsep kancah pembauran hanyalah suatu
mitos. Mitos yang tidak pernah menjadi
kenyataan, sedang pluralisme kebudayaan
menurut berbagai ahli telah mengangkat
Amerika Serikat, Cina, Rusia, Kanada, dan
India menjadi negara yang kuat.
Urbanisasi dan industrialisasi
Indonesia, seperti dibuktikan dalam sejarah,
tidak dengan sendirinya mengikis unsur-unsur
kemajemukan masyarakatnya, malah dalam
berbagai studi menunjukkan kecenderungan
penguatan aspek-aspek primordialisme (suku,
agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam
kehidupan masyarakat kota. Ironisnya,
kemajemukan primordialisme ini berkembang
bersama proses transformasi masyarakat kota
itu sendiri dari masyarakat agraris ke
masyarakat industri, sehingga kemajemukan
dalam aspek kehidupan tersebut menjadi
berganda.
Masyarakat majemuk Indonesia lebih
sesuai didekati dari konsep pluralisme
kebudayaan, sebab integrasi nasional yang
hendak diciptakan tidak berkeinginan untuk
melebur identitas ratusan kelompok etnis
bangsa kita, bahkan di samping hal itu dijamin
oleh UUD 45, tetapi juga memerlukan
pluralisme itu dalam pembangunan nasional.
Masalahnya ialah bagaimana mengelola
pluralisme itu dan menjauhkan dampak
negatifnya dalam National Building.
Kemajemukan masyarakat Indonesia
dewasa ini, seperti juga pada masyarakat di
belahan bumi lainnya tampak terutama di
kota-kota besar sebagai wujud daripada proses
urbanisasi yang tidak dapat dibendung. Dalam
lima tahun terakhir ini penduduk kota di
Indonesia, menurut hasil Sensus Nasional
(1990) bertambah 20%. Kota-kota besar di
Indonesia merupakan contoh masyarakat
majemuk yang utama, sedang kota-kota kecil
yang mekar di sekitarnya seperti Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi, untuk Jakarta
juga memperlihatkan ciri kemajemukan yang
serupa.

Konflik dan Persesuaian
Apabila faktor-faktor kemajemukan
masyarakat kota dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kategori, horizontal dan vertikal,
maka faktor-faktor tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Faktor Horizontal
a. Etnis
b. Bahasa daerah
c. Adat-istiadat/perilaku
d. Agama, dan
e. Pakaian/makanan (budaya material)
2. Faktor Vertikal
a. Penghasilan (income)
b. Pendidikan
c. Pemukiman
d. Pekerjaan, dan
e. Kedudukan Politis
Faktor kemajemukan horizontal
merupakan faktor-faktor yang diterima
seseorang sebagai warisan (ascribed-factors),
sedang faktor-faktor kemajemukan vertikal
lebih banyak diperolehnya dari usahanya
sendiri (achievement-factors).
Kemajemukan akan menjurus ke arah
konflik yang sangat potensial apabila faktor
kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor
kemajemukan vertikal. Dengan kata lain,
apabila suatu kelompok etnis tertentu tidak
hanya dibedakan dengan kelompok etnis
lainnya karena faktor-faktor ascribed lainnya
seperti bahasa daerah, agama, dan lain-lain,
tetapi juga karena perbedaan faktor
achievement seperti ekonomi, pemukiman
dan kedudukan politis, maka intensitas konflik
akan dapat menjurus kepada suasana
permusuhan. Sebaliknya, apabila
kemajemukan faktor-faktor horizontal tidak
diperkuat oleh faktor-faktor vertikal, maka
intensitas konflik sangat kecil dan mudah
Usman Pelly Pengukuran Intensitas Konflik dalam Masyarakat Majemuk


55
untuk dijuruskan kepada persesuaian atau
harmoni.
Intensitas konflik antarkelompok
dapat digambarkan pada diagram berikut ini.
Lima faktor horizontal kemajemukan suatu
kelompok dapat ditempatkan secara
kumulatif pada sumbu y, sedangkan lima
faktor kemajemukan vertikal ditempatkan
secara kumulatif pada sumbu x.
Dengan cara ini kita dapat
mengukur tingkat intensitas potensi konflik,
umpamanya antara kelompok etnis A, B, dan
C.
Faktor-faktor horizontal
dan vertikal
Angka
Kumulatif
Kelompok A
dan B
= 5 x 5 = 25
Kelompok A
dan C
= 4 x 3 = 12
Kelompok B
dan C
= 2 x 2 = 4

Kelompok A dan B hampir berbeda dalam
kelima faktor, baik horizontal maupun vertikal
(5x5), A dan C berbeda 4 faktor horizontal dan
3 faktor vertikal (4x3), sedang B dan C
berbeda hanya dalam faktor horizontal 2 dan
faktor vertikal 2 (2x2). Dari perhitungan kasar
ini kita mendapat gambaran bahwa intensitas
potensi konflik yang lebih tinggi adalah antara
kelompok A dan B, sedang yang paling rendah
adalah antara B dan C. Perhitungan di atas
hanyalah merupakan langkah pertama untuk
memberikan kepada kita semacam
peringatan (warning) bahwa beberapa
kelompok etnis tertentu memiliki potensi
konflik yang lebih tinggi dari yang lain.
Apabila kita ingin mengelola keserasian sosial
antarkelompok-kelompok tersebut, maka
perhitungan kasar tersebut, dapat diperhalus
lagi sebagai berikut:
1. Apakah perbedaan setiap kategori
horizontal mencapai angka mutlak 1
(satu) atau 100% atau kurang dari
100% seperti antara kelompok suku
Madura dan Jawa dalam bahasa
daerah keduanya tidak berbeda benar
jika dibandingkan dengan antara
Ambon dan Aceh.
2. Apakah perbedaan setiap faktor
vertikal mencapai angka mutlak satu
(100%), seperti antara pemukiman elit
dan kumuh, atau pemukiman semi elit
dan elit.
3. Bobot perbedaan setiap faktor
horizontal dan vertikal akan
menghasilkan angka kumulatif
tertentu pada sumbu x dan y. Dengan
demikian perkalian setiap angka
tersebut akan menunjukkan intensitas
yang lebih ril antara individu
kelompok yang satu dengan yang lain.





















1 2 3 4
x 5 10 15 20 A-
5


4


3


2


1
25


20

15


10


5


y

A-C

4 B-C
1
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


56
Fungsi Pengukuran Intensitas Potensi Konflik
Pengukuran di atas diperlukan bagi
setiap pemimpin atau pengelola pembangunan
yang ingin mengembangkan partisipasi
masyarakat dalam menciptakan keserasian
sosial dalam sebuah komunitas majemuk. Oleh
karena itu suatu komunitas yang majemuk
diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang
sering disebut sebagai management of conflict
and disagreement.
Seperti diutarakan sebelumnya,
pengukuran ini akan memberikan gambaran
atau isyarat (warning) seberapa jauh perbedaan
kemajemukan horizontal dan vertikal
komunitas yang dihadapi mengandung potensi
konflik.
Secara praktis cara pengukuran ini
setidaknya akan memudahkan kita dalam: (1)
merekrut tokoh/kader lokal untuk memimpin
berbagai kelompok, dan (2) membuat program
dan perencanaan usaha-usaha pencegahan
konflik dan pembinaan ke arah keserasian
sosial.
Usaha ke arah perbaikan kehidupan
fisik dan nonfisik seperti: perbaikan
pemukiman, kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan, lapangan kerja, akan sangat
bermanfaat untuk mengurangi intensitas
konflik faktor-faktor vertikal. Dengan kata
lain, pemerataan pembangunan akan
memberikan kesempatan yang lebih luas untuk
saling meningkatkan interaksi sosial dalam
berbagai lembaga kehidupan ekonomi yang
pada gilirannya tidak hanya akan
menghilangkan sikap negatif/prasangka
prejudice, tetapi juga akan memberi peluang
yang lebih besar untuk saling memahami
sistem makna dan simbolik budaya masing-
masing kelompok dalam sebuah komunitas
majemuk.
Dengan demikian, pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya serta
peningkatan kualitas kehidupan demokratisasi
akan memperkecil intensitas potensi konflik
dan masyarakat majemuk. Dalam keadaan itu
pula usaha-usaha kerjasama akan lebih
berfungsi ke arah keserasian sosial.

Daftar Pustaka

Barth, Frederick. 1969. Ethnic Group and Boundaries: Social Organization of Cultural
Differences. Boston: Little Brown.

Bruner, Edwar M.1982. The Symbolics of Urban Migration. Dalam The Prospects for
Plural Societies.

David Maybury-Lewis (ed). Cohen, Abner. 1971. Customs and Politics in Urban Africa.
London: Routledge & Keegan.

Glazer, Nathaniel dan Daniel Patrick Mcynihan 1963. Beyond The Melting Pot: The Negroes,
Puerto Ricans, Jews, Italians, and Irish of New York City. Boston: MIT Press.


















Bungaran Anton Simanjuntak Strategi Dominasi dan Keutuhan Negara Bangsa yang Pluralistik


57

Dominasi
Dominasi adalah keadaan di mana
seorang atau sekelompok orang ingin
menguasai orang lain dalam pemikiran, ide,
bahkan proses kehidupan kelompok lain
sehingga mereka menerima gagasan kelompok
yang dominan. Kelompok dominan adalah
kelompok yang merasa kuat, merasa mampu
untuk mengatur dan menguasai orang lain
sesuai kehendaknya melalui dominant value
system yang diciptakannya
1
. Dominasi bisa saja
terjadi kalau terdapat perbedaan dalam
masyarakat akibat kemajemukan sosial. Secara
alamiah terdapat kecenderungan keinginan
dominasi antara satu kelompok terhadap
kelompok yang lain. Dominasi dapat
berdampak negatif, walaupun diakui ada juga
dampak yang positif secara internal. Namun

1
Aplikasi strategi dominasi yang menimbulkan ancaman
keamanan, persatuan bangsa, bahkan korban-korban
manusia, yang terjadi pada negara-negara Asia Tenggara,
termasuk Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno
mamupun Soeharto dapat dibaca pada buku karangan
D.R. SarDesai, berjudul South East Asia Past and Present,
terbitan Westview press, 1989, hlm 234-245. Untuk
memperdalam silakan baca artikel Frank Parkin dalam
buku Perspective in Sociology halaman 108-110, yang
diedit oleh E.C. Cuff dan G.C.F.Payne edisi ke-2;
George Allen & Unwin; 1984.



pada umumnya dirasakan sebagai suatu
keterpaksaan walaupun dari sudut pandang
luar tampaknya seperti positif. Pengakuan
demikian itu kelihatannya adalah pengakuan
yang semu dari kelompok terdominasi
2
.
Pengertian dominasi secara
operasional dapat dikatakan sebagai usaha
konsolidasi kekuasaan di tangan satu kelompok
sosial politik yang bisa berdampak luas dalam
satu masyarakat oleh karena dominasi itu
sendiri bisa terjadi antara satu golongan yang
berbeda dengan yang lain atau dalam satu
golongan yang sama
3
.
Ada beberapa kriteria tentang
pengertian kelompok dominasi ini. Bisa
terjadi dominasi dilihat dari sisi kelompok,
kalau terjadi perbedaan jumlah atau kuantitas
anggota. Secara umum ada kecenderungan
kelompok yang kuantitanya besar
mendominasi kelompok yang kuantitanya
kecil. Dengan kata lain dominasi dari golongan
mayoritas terhadap minoritas. Akan tetapi dari
sudut lain dominasi itu bisa terjadi juga
berdasarkan kualitas. Artinya walaupun

2
Untuk memperdalam silahkan baca artikel Frank Parkin
dalam buku Perspective in Sociology halaman 108-110,
yang diedit oleh E.C. Cuff dan G.C.F. Payne edisi ke-2;
Geroge Allen & Unwin, 1984.
3
Silahkan baca bab-9 buku Inequality and Heterogeinity
karangan Peter M. Blau; The Free Press, 1977.

STRATEGI DOMINASI DAN KEUTUHAN
NEGARA BANGSA YANG PLURALISTIK

Bungaran Anton Simanjuntak
Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Medan

Abstrak
Tulisan ini membahas masalah strategi dominasi yang berlaku dalam lapangan
kehidupan politik, ekonomi, dan agama dalam lingkup negara bangsa yang berciri
pluralistik seperti Indonesia. Adanya dominasi dari kelompok mayoritas secara
kuantitas maupun mayoritas secara kualitas cenderung membawa konflik yang bisa
mengancam keutuhan bangsa.

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


58
kelompok itu minoritas dalam jumlah tetapi
karena kelompok itu kualitas SDM-nya tinggi
bahkan lebih tinggi dari kelompok yang
mayoritas, maka bisa terjadi kelompok
minoritas itu dominan terhadap kelompok
mayoritas.
Pembahasan dalam tulisan ini hanya
difokuskan pada dominasi politik, ekonomi,
dan agama sebagai contoh. Masih ada jenis
dominasi yang lain misalnya dominasi
kebudayaan, kesuku-bangsaan, media
komunikasi, bahasa, kedaerahan, dsb.

Dominasi Politik
Istilah populer yang kira-kira
empat lima tahun lalu dikembangkan oleh
golongan partai politik (Golkar) di Indonesia
untuk melambangkan dominasinya yang
berdasarkan kuantita ialah semboyan
mayoritas tunggal
4
. Kelompok politik itu
merasa kelompoknya terbesar tunggal. Tidak
ada yang bisa menyaingi, tidak ada kelompok
mayoritas pendamping yang mendekati
kebesarannya. Akan tetapi semboyan single
mayority itu dapat juga dikumandangkan atau
menjadi ciri kelompok minoritas tapi dominan
secara kualitas. Sehingga mereka juga dapat
dikatakan sebagai kelompok single mayority.
Karena itu single mayority ini dapat terjadi
berdasarkan kuantita maupun kualita. Dapat
terjadi di dalam politik, dalam bidang
ekonomi, dalam bidang kebudayaan dan
bahasa, dalam bidang agama, dalam bidang
kesukubangsaan, dan sebagainya.
Dominasi Ekonomi
Dalam lapangan ekonomi dominasi
bisa terjadi oleh karena satu kelompok
minoritas menguasai lapangan ekonomi dan
perdagangan dalam arti seluas-luasnya. Ada
penguasaan di dalam proses kehidupan
perekonomian, mungkin mulai dari hulu
sampai ke hilir dari seluruh jenis komoditi
yang diperdagangkan atau diproduksi. Oleh
karena penguasaan ini maka single mayority
yang terjadi dalam bidang ekonomi adalah
oleh kelompok minoritas secara kuantitas,

4
Pemimpin partai tersebut sering menyebutkan single
mayority.
tetapi secara kualitas menjadi kelompok
mayoritas yang memegang seluruh roda
kehidupan ekonomi.
Mereka sangat berkuasa di bidang itu.
Karena itu mereka bisa mempengaruhi
kehidupan suatu negara dengan kekuatan
ekonomi. Bila mereka menginginkan
kemakmuran, mereka dengan sekuat tenaga
bisa menentukan tingkat kemakmuran itu.
Demikian juga sebaliknya bila mereka
menginginkan suatu kekacauan
5
, mereka bisa
menimbulkan stagnasi perekonomian nasional
dengan kekuatannya. Misalnya oleh karena
mereka adalah dominan dan hampir
seluruhnya menguasai dan memegang
kehidupan perekonomian itu, mereka dapat
unjuk rasa dengan tidak berproduksi dan
tidak menyalurkan bahan-bahan kebutuhan
hidup maka akan terjadi satu kekacauan yang
sangat luar biasa
6
. Demikian juga apabila
mereka menginginkan kekacauan dalam
bidang moneter mereka bisa juga melakukan
suatu kegiatan misalnya memborong seluruh
valuta asing sehingga harga menjadi
membubung. Atau tidak mempergunakan atau
menyimpan uangnya sehingga uang yang
beredar sedikit, maka akibatnya pembangunan
mengalami stagnasi bahkan negatif.

Unjuk rasa dominasi dalam bidang
ekonomi bisa berjalan tanpa kelihatan secara
mencolok, bahkan seperti tidak terjadi apa-apa.
Tidak terjadi tindak kekerasan. Tetapi selang
beberapa waktu rakyat mulai merasakan
goncangan ekonomi itu melalui kelangkaan
barang-barang kebutuhan hidup, terutama
sembilan bahan pokok, sehingga menimbulkan
kenaikan harga yang mendadak dan sangat

5
Terutama bila mereka merasa teralienasi secara sosial
politik. Seperti yang terjadi di Malaysia 13 Mei 1969.
Silahkan baca buku karangan Alvin Rabuska berjudul
Politics in Plural Societies, A Theory of Democratic
Instability terbitan Charies E. Merrill.
6
Telah terbukti kebenaran pandangan itu. Sejak 14 Mei
1998 hingga sekarang kelompok etnis Cina Indonesia
tidak bersedia mengaktifkan usahanya dengan alasan
trauma atas peristiwa penjarahan, pembakaran,
perusakan, dan pemerkosaan yang terjadi. Lihat tulisan
Christianto Wibisono tgl 15 Juni 1998 pada Suara
Pembaruan dan berita-berita surat kabar mulai bulan
Maret 1998 hingga sekarang.
Bungaran Anton Simanjuntak Strategi Dominasi dan Keutuhan Negara Bangsa yang Pluralistik


59
tinggi di luar jangkauan. Dominasi ekonomi
demikian akan semakin mulus bila penguasa
mengijinkan praktik monopoli dan oligopoli
yang didukung praktik nepotisme, kolusi dan
korupsi.

Dominasi Agama
Berbeda dengan dominasi dalam
bidang agama misalnya, dominasi dalam
bidang ini umumnya tidak terasa kalau tidak
terjadi sesuatu tindakan yang merugikan
kelompok agama minoritas. Misalnya seperti
yang terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, dan
Sulawesi Selatan, di mana penganut agama
yang terbesar anggotanya melakukan
pengrusakan, pembakaran, bahkan
pembunuhan kepada agama yang lebih kecil.
Dominasi agama tidak saja bisa terjadi secara
tidak terasa, tetapi bisa juga terjadi dengan
kekerasan. Artinya ada keinginan kelompok
dominan untuk memaksakan agamanya, paling
tidak ritus-ritus dan simbol, atau menolak
kehadiran agama lain. Soal ritus dan simbol
misalnya, bagi orang lain itu dipandang sebagai
satu jalur untuk membiasakan orang yang
bukan penganut agama itu mendengar dan
menyaksikan sehingga diharapkan dapat
terpengaruh. Penonjolan ritus-ritus itu di
depan umum dipandang sebenarnya malah
mengikuti anjuran agama, tetapi oleh
penganut agama kecil lain dipandang sebagai
ritus demonstratif yang bisa mempengaruhi
mereka
7
.
Dominasi agama yang memakai cara
kedua, yakni dengan memaksakan ajaran
agama supaya dipatuhi oleh orang lain, ini
terjadi di negara-negara Balkan misalnya bekas
negara Jugoslavia di mana peristiwa perang di
antara mereka yang berbeda etnis itu adalah
akibat adanya perasaan dominasi keagamaan.
Demikian juga di negara Irlandia Utara antara
penganut Katolik dengan Protestan
8
.

7
Pandangan ini tidak selamanya benar, karena cara yang
sama juga dilakukan oleh agama minoritas dalam rangka
pengembangan pengaruh.
8
Lihat buku Alvin Rabuskha hlm 9-10, Politics in Plural
Societies. Baca juga tulisan Koentjaraningrat dalam buku
Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, UIP,
1993.
Penerapan cara kedua ini mengakibatkan
pertumpahan darah, perang saudara,
penghapusan etnis seperti di Serbia dan
Kosovo yang akhirnya mengakibatkan
disintegrasi negara dan bangsa seperti terjadi
di Yugoslavia.

Dampak Aplikasi Teori Dominasi
Umumnya apabila strategi dominasi
dilaksanakan baik secara terbuka maupun
tertutup, baik secara paksaan fisik maupun
paksaan ideologi, dampaknya sangat negatif.
Terutama akan menganggu keharmonisan
kehidupan sosial masyarakat. Apabila
solidaritas tradisional yang dimiliki bangsa itu
terganggu oleh pikiran-pikiran yang sifatnya
dominatif yang didasarkan kepada ambisi
politik kepartaian, agama, ekonomi, maupun
kebudayaan atau kesuku-bangsaan akan
menimbulkan situasi yang amat berbahaya.
Dampak negatif itu misalnya terjadinya konflik
atau pertikaian antara kelompok dominan
dengan kelompok yang merasa terdominasi.
Apabila konflik itu terjadi dalam skala besar
dan berkelanjutan maka bisa mengakibatkan
terganggunya atau menjadi diragukannya
kehidupan bersama dalam suatu bentuk negara
bangsa seperti yang telah dialami oleh suku-
suku bangsa di Yugoslavia yang terpecah-pecah
menjadi beberapa negara akibat terjadinya
proses dominasi berdasarkan etnik dan agama
9
.


Salah satu manifestasi dari strategi
dominasi itu ialah timbulnya policy ketidak-
adilan. Artinya kelompok dominan tatkala
berhadapan dengan kelompok minoritas
maupun di dalam kelompok sendiri bisa
terjadi ketidak-adilan. Karena merasa lebih
istimewa lalu timbul keinginan perlakuan yang
lebih istimewa, pendapatan, jabatan yang lebih
banyak atau semua jabatan diborong habis.


Dalam suatu partai politik misalnya,
yang secara historis adalah gabungan dari
berbagai unsur ideologi yang walaupun
mempunyai persamaan tetapi lebih banyak
perbedaan, akan terjadi situasi internal

9
Contohnya ialah perang etnis dan agama di Kosovo
antara etnis Serbia dengan Albania, sehingga etnis
Albania mengungsi ke negara Albania, 1998.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


60
alienation antara satu kelompok terhadap
kelompok lain. Ketidak-adilan muncul kalau
satu kelompok merasa lebih besar kuantitanya
atau lebih besar pengabdiannya dari kelompok
lain. Hal demikian ini akan menimbulkan
persaingan bahkan konflik internal yang
menimbulkan perpecahan. Single mayority
political party akan terdisintegrasi juga bila
kondisi seperti itu terjadi di antara kino yang
membentuk partai itu.

Demikian juga pada
partai kecil yang secara historis juga sama
berupa penggabungan berbagai partai yang
ideologinya tadinya berbeda tetapi kemudian
disatukan berdasarkan persamaan-persamaan
kecil yang kadangkala tidak signifikan. Di
antara mereka bisa terjadi perpecahan kembali
karena memperebutkan dominasi kekuasaan,
jabatan dalam struktur organisasi, dan fasilitas
dari pemerintah.

Sebenarnya pembatasan
jumlah partai yang diberlakukan oleh
pemerintah hanya tiga, sudah tidak tepat guna
karena aspirasi rakyat tampaknya tidak
tersalurkan sepenuhnya. Diperlukan
perubahan policy kepartaian Indonesia dengan
segera agar gejolak sosial tidak terjadi.

Penutup
Apabila strategi dominasi seperti
disebutkan di atas secara sadar atau tidak
diterapkan oleh kelompok dominan dalam
kehidupan bernegara bangsa, maka sudah jelas
keutuhan negara bangsa itu pasti terancam.
Disintegrasi pasti terjadi. Bangsa Indonesia
yang pluralistik sebaiknya belajar dan
bercermin pada negara pluralistik lain yang
dewasa ini sedang mengalami perang saudara
dan perpecahan seperti Irlandia Utara, negara-
negara bekas Yugoslavia, Cyprus, Srilanka,
Korea, Cina, Kongo, Nigeria, Rodesia,
Kosovo, dan lain-lain.
Barangkali perlu direnungkan peranan
harmonisasi, keseimbangan, persamaan hak
dan kewajiban, persaudaraan, ketulusan,
kejujuran, kesetaraan, kebersamaan, dan
kemerdekaan memelihara keutuhan negara
bangsa Indonesia yang pluralistik menuju
negara dan masyarakat madani.





Zulkifli B. Lubis Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor Publik


61

Pendahuluan
Belakangan ini masalah etnisitas ramai
dibicarakan di forum ilmiah khususnya, setelah
kasus kerusuhan etnik semakin banyak
mewarnai perjalanan kehidupan bangsa kita.
Setelah sekian lama di masa Orba, persoalan
konflik etnik sengaja dipendam, bahkan tabu
dibicarakan; sekonyong-konyong kini kita
terus dihadapkan pada banyak peristiwa
konflik etnik di berbagai tempat, dari skala
kecil hingga besar, yang berlangsung sesaat dan
cepat padam hingga yang berkelanjutan,
semakin kompleks dan kronis. Kita
menyaksikan betapa vulgar, primitif, dan
biadabnya perlakuan antarmanusia yang
terlibat kerusuhan itu; dan terlebih lagi betapa
alot, sulit dan berlikunya jalan yang harus
ditempuh untuk memperbaiki kembali
hubungan-hubungan sosial yang terlanjur
putus. Peristiwa-peristiwa konflik etnik
menjelma menjadi teror baru yang menghantui
kehidupan sosial dalam masyarakat majemuk,
layaknya bom yang siap meledak sewaktu-
waktu entah di mana dan oleh siapa, kita tak
tahu.
Mengapa kerusuhan-kerusuhan etnik
terjadi di Indonesia? Jawabannya bisa beragam,
tergantung perspektif yang digunakan melihat
persoalan itu. Tapi setidaknya ada dua jawaban
yang mengemuka berdasarkan kajian para
antropolog terhadap peristiwa kerusuhan etnik
di Ambon, Sambas-Singkawang, Medan, dan
Jakarta (lihat Pelly, 1999; Suparlan, 1999;
Alqadrie, 1999). Usman Pelly (1999:34)
menjelaskan bahwa kerusuhan etnik berakar
dari kesenjangan sosial-ekonomi dan
merupakan protes budaya yang memberikan
petunjuk kuat bahwa tatanan sosial dalam
kehidupan majemuk telah dilanggar dan
dihancurkan. Kesenjangan itu adalah usaha
rekayasa class forming rezim pemerintah Orde
Baru yang menempatkan kelompok etnik
pendatang tertentu pada lapisan menengah
dalam proses pembentukan piramida sosial
masyarakat setempat. Di sisi lain Parsudi
Suparlan (1999:19), dengan menggunakan
analisis kebudayaan dominan dari Edward
Bruner (1974), secara implisit mengatakan
bahwa pola-pola penyesuaian diri kaum
migran di Ambon (yaitu orang BBM) dan
Sambas (orang Madura) telah melanggar
aturan main atau konvensi sosial yang
dibangun di atas landasan kebudayaan
dominan komunitas setempat. Alqadrie (1999)
melihat kedua faktor tersebut, struktural
KANALISASI KETEGANGAN ETNIK DAN
KOMPETISI BUDAYA DALAM SEKTOR PUBLIK

Zulkifli B. Lubis
Departemen Antropologi Fisip USU

Abstrak:
Konflik etnik potensial terjadi dalam masyarakat majemuk ketika ragam kelompok
etnik yang ada terlibat dalam suatu kompetisi penguasaan sumberdaya, termasuk
sumberdaya dalam sektor-sektor publik. Tulisan ini memberikan gagasan bagaimana
ketegangan etnik dan kompetisi budaya dalam sektor publik disalurkan untuk
menghindari menguatnya potensi konflik. Kanalisasi dimaksud dilakukan melalui
mekanisme kultural, mulai dengan reorientasi paham tentang identitas etnik,
ekspresi budaya, dan reduksi hegemoni simbol-simbol etnik dalam ruang publik.

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


62
maupun kultural, sama-sama menentukan
sebagai akar konflik.
Kita patut bersyukur bahwa daerah
Sumatera Utara belum menjadi arena konflik
etnik, dan semua kita tentu berharap tidak
akan pernah terjadi di sini. Namun kita perlu
berkaca dari pengalaman buruk yang terjadi di
daerah lain sebagai upaya antisipasi untuk
menghindari kejadian serupa di masa datang.
Meskipun kota Medan, misalnya, sebagai
sebuah kota berpenduduk plural yang
terpenting di Sumatera Utara sejauh ini
diyakini cukup kuat menahan ancaman konflik
etnikselain karena ketiadaan kebudayaan
dominan, juga struktur sosial-ekonomi
warganya tidak terlalu senjang, kita tetap patut
waspada mencermati kecenderungan-
kecenderungan yang berkembang, khususnya
yang terlihat dari menguatnya sentimen etnik
yang dikemas dalam istilah putra daerah
sebagai sesuatu yang seakan niscaya dalam
implementasi otonomi daerah. Saya
menangkap tumbuhnya gejala miopisme di
kalangan masyarakat yang cenderung melihat
bahwa keberadaan aktor dari suatu kelompok
etnik di dalam pengelolaan sumberdaya publik
(terutama sektor politik/birokrasi) seakan
identik dengan representasi dan hegemoni
kelompok etnik itu di dalam penguasaan
sumberdaya publik, yang kemudian disikapi
sebagai sebuah ancaman kolektif. Saya
menduga hal ini muncul karena sebagian besar
kita secara sadar atau tidak sadar masih
mengkonsepsikan identitas etnik, ekspresi
kebudayaan dan penguasaan sumberdaya
sebagai suatu hal yang menyatu-padu,
homogen, dan statis seperti halnya dalam
komunitas etnik tempo dulu. Konsepsi
demikian mempengaruhi kerangka fikir kita
dalam menyikapi persoalan-persoalan
kontemporer dalam setting sosial yang
sesungguhnya sudah berubah dan cenderung
semakin heterogen di era kesejagadan sekarang
ini.
Tulisan ini pada intinya mengulas
gagasan ke arah kanalisasi ketegangan etnik
dan kompetisi budaya dalam sektor publik,
khususnya dalam konteks kehidupan
masyarakat beragam etnik di Sumatera Utara.
Terlebih dulu tentu harus dikenali sumber-
sumber munculnya ketegangan etnik dan
kompetisi budaya itu sendiri baru dicarikan
penyalurannya (kanalisasi). Pertama akan
diuraikan persoalan hubungan konsepsional
antara identitas etnik, ekspresi kebudayaan dan
penguasaan sumberdaya; kemudian akan
dirangkai dengan gambaran tentang sumber
dan potensi ketegangan etnik yang muncul di
sektor-sektor publik; dan terakhir akan
disajikan gagasan mengenai kanalisasi
ketegangan etnik, baik yang berlangsung secara
alamiah, maupun yang sifatnya memerlukan
suatu rekayasa sosial. Perlu dikemukakan di
sini bahwa bahan baku untuk tulisan ini bukan
suatu hasil penelitian yang telah dilakukan
secara khusus untuk topik ini, melainkan lebih
banyak didasarkan pada hasil pengamatan,
pengalaman, interpretasi terhadap pengalaman
kolektif yang ditemukan dalam kancah
interaksi sosial, juga rujukan teoritik dari
sumber pustaka. Oleh karena itu, tulisan ini
lebih tepat diposisikan sebagai wacana
pengantar diskusi ketimbang suatu paparan
yang sudah final.

Identitas Etnik, Ekspresi Budaya, dan
Penguasaan Sumberdaya
Dalam pengertian yang klasik,
kelompok etnik (ethnic group) dipandang
sebagai suatu kesatuan budaya dan teritorial
yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke
dalam sebuah peta etnografi. Setiap kelompok
memiliki batas-batas yang jelas (well-defined
boundaries) memisahkan satu kelompok etnik
dengan lainnya. Kemudian secara de facto
masing-masing kelompok itu memiliki budaya
yang padu (cultural homogeneity); satu sama
lain dapat dibedakan baik dalam organisasi
kekerabatan, bahasa, agama (sistem
kepercayaan), ekonomi, tradisi (hukum),
maupun pola-pola hubungan antarkelompok
etnik, termasuk dalam pertukaran jasa dan
pelayanan (lihat Malinowski 1922, dalam Pelly
1998:26). Dengan demikian satu kelompok
etnik memiliki suatu identitas khas yang
berbeda dengan kelompok etnik lain, yang
dengan mudah terlihat dari cara mereka
mengekspresikan atau mengartikulasikan
Zulkifli B. Lubis Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor Publik


63
kebudayaannya, termasuk dalam hal
bagaimana mereka mengkonsepsikan dan
menata pengelolaan dan penguasaan terhadap
sumberdaya (alam, ekonomi, dan politik).
Kelompok-kelompok etnik pribumi yang ada
di Sumatera Utara seperti Angkola, Karo,
Mandailing, Melayu, Nias, Pakpak,
Simalungun, Toba dan lain-lain, yang pada
masa lalu menempati suatu wilayah teritorial
tertentu yang relatif jelas batas-batasnya
dengan segala kelengkapan dan ekspresi
kebudayaannya, bisa digolongkan sebagai
contoh kelompok etnik berdasarkan definisi
klasik tadi.
Bagaimana kelompok etnik yang
berbudaya homogen tersebut menyikapi
kehadiran orang luar etniknya yang
berkepentingan masuk ke wilayah teritorial
mereka?. Setiap kelompok etnik telah
mengembangkan suatu mekanisme budaya
untuk mengakomodasi hal itu, dan
sesungguhnya hampir semua kelompok etnik
dalam pengertian klasik tadi membuka diri
untuk masuknya orang luar. Syaratnya orang
luar tersebut bersedia mengikuti aturan main
yang berlaku dalam komunitas setempat.
Karena di sini ada kebudayaan dominan
(dominant culture), maka seperti dikemukakan
oleh Suparlan (1999) para pelaku dari
kelompok-kelompok suku bangsa yang tidak
dominan menyesuaikan diri dengan, dan
tunduk pada, aturan-aturan main yang
ditetapkan oleh masyarakat setempat yang
dominan. Ungkapan-ungkapan seperti di
mana bumi dipijak disitu langit dijunjung; lain
lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang,
dan ungkapan sejenis yang diproduksi oleh
setiap kelompok etnik adalah bentuk kearifan
untuk mengakomodasi perbedaan atau
keragaman budaya. Sepanjang pemahaman
dan aturan main yang berlaku setempat
dipatuhi oleh warga etnik lain, tidak akan ada
ketegangan apalagi konflik etnik.
Persoalan muncul ketika sejumlah
kelompok etnik bertemu di dalam suatu
wilayah teritorial yang tidak bisa lagi
didefinisikan secara tradisional sebagai wilayah
teritorial suatu kelompok etnik, misalnya di
wilayah perkotaan. Kaum migran warga dari
beragam kelompok etnik yang berbeda-beda
itu hidup bersama di lingkungan sosial baru,
berinteraksi satu sama lain, dan harus
bersinggungan kepentingan dalam konteks
pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya yang
terbatas dan berbeda jenisnya dari sumberdaya
yang mereka miliki sebelumnya di wilayah
teritorial asal. Kalau di daerah asal misalnya
sumberdaya utama yang menjadi rebutan
adalah tanah, maka di lingkungan perkotaan
bergeser menjadi sumberdaya-sumberdaya
immaterial seperti informasi, kedudukan atau
jabatan di birokrasi, jasa, dan lain sebagainya.
Kalau penguasaan terhadap tanah milik suatu
kelompok etnik diklaim berdasarkan alasan-
alasan ideologis, mitologis dan historis; maka
klaim penguasaan terhadap sumberdaya politik
dan ekonomi di perkotaan (berupa jabatan,
kedudukan, dsb.) bukan diperoleh dari nenek
moyang melainkan didapatkan dari negara;
dan sejatinya sumberdaya itu terkategorikan
sebagai sumberdaya milik bersama (common
property resources), bukan communally owned
resources (untuk konsep ini lihat Acheson,
1989).
Sekali lagi, jika arena sosial baru di
lingkungan perkotaan itu dikuasai oleh suatu
golongan yang dominan kebudayaannya,
misalnya kasus kota Bandung dalam kajian
Edward Bruner (1974) dan Suparlan (1972)
maka biasanya para pelaku dari kelompok-
kelompok suku bangsa yang tidak dominan
menyesuaikan diri dengan, dan tunduk pada
aturan-aturan main yang ditetapkan oleh
masyarakat setempat yang dominan (dalam
konteks Bandung adalah budaya Sunda).
Orang Batak berdasarkan kajian Bruner, dan
orang Jawa dalam kajian Suparlan di Bandung
menjadi cenderung seperti orang Sunda dalam
upaya mereka untuk menaati aturan yang
berlaku di tempat-tempat umum. Sebaliknya,
jika tidak ada golongan yang memiliki
kebudayaan dominan seperti kasus kota
Medan, maka menurut Suparlan (1999:15)
aturan-aturan main terwujud melalui tawar-
menawar kekuatan sosial yang dihasilkan dari
proses-proses interaksi sosial yang berlangsung
dari waktu ke waktu dan dari generasi ke
generasi. Aturan-aturan yang telah mantap
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


64
yang menjadi acuan bagi kelakuan yang layak
dan harus ditunjukkan di tempat-tempat
umumdikontrol dan diwasiti oleh
masyarakat setempat sebagai benar atau salah
dari waktu ke waktu.
Fenomena yang terjadi di Medan
dengan ketiadaan suatu kebudayaan dominan
menurut temuan Edward Bruner (1974)
adalah kecenderungan kaum migran untuk
mengelompok bersama dengan sesama warga
suku bangsanya, dan memperkuat posisi
kelompok suku bangsanya dalam hubungan
antarsuku bangsa dan dalam bersaing untuk
posisi-posisi yang ada dalam struktur
kekuasaan kota Medan. Masing-masing
kelompok suku bangsa menciptakan
keteraturan sosial dalam lingkungan kehidupan
masyarakat suku bangsanya. Di tempat-tempat
umum mereka saling berkompetisi dengan
mengaktifkan kesuku-bangsaannya. Asosiasi-
asosiasi sukarela yang tumbuh di perkotaan,
yang menghimpun kelompok etnik dan agama,
menurut hasil penelitian Usman Pelly
(1994:285) merupakan mekanisme-mekanisme
adaptif untuk menjaga identitas. Tetapi dalam
konteks perjuangan politis, menurut Usman
Pelly, identitas etnik harus disamarkan karena
tidak menguntungkan dan tidak pantas
mengekspresikan kepentingan-kepentingan
etnik sempit, terutama dalam perjuangan-
perjuangan ekonomik dan sosio-politis di
tengah masyarakat kota yang majemuk.
Namun terlepas dari identitas etnik
itu disamarkan atau tidak, kecenderungan yang
terlihat beberapa tahun terakhir ini (pasca
Orba) di Sumatera Utara ialah adanya suatu
anggapan bahwa keberadaan seseorang atau
aktor anggota dari suatu kelompok etnik dalam
jabatan-jabatan publik disikapi seakan-akan
identik dengan representasi kelompok etnik itu
di dalam kancah perebutan dan penguasaan
sumberdaya di daerah. Bahkan ketika terjadi
proses suksesi untuk jabatan-jabatan penting di
pemerintahan daerah (gubernur, walikota, atau
bupati), label-label identitas etnik maupun
organisasi-organisasi sosial atau asosiasi-asosiasi
sukarela yang berbasis kebudayaan etnik, secara
sadar dan formal turut didayagunakan sebagai
salah satu alat untuk menegaskan dan
membuktikan kuatnya arus dukungan publik
atas pencalonan seseorang. Contoh lain,
stigmatisasi terhadap Mudiyono yang orang
Jawa sebagai putra Jawa keluyuran di
Sumatera (plesetan dari Pujakesuma) ketika
menjadi rival Raja Inal Siregar dalam
pemilihan gubernur beberapa tahun lalu,
menunjukkan bahwa identitas etnik itu tidak
lagi sesuatu yang harus disamarkan dalam
perjuangan politik daerah. Demikian pula
dengan wacana publik yang berkembang agar
gubernur pasca Raja Inal Siregar sebaiknya
diberikan kepada orang Melayu menunjukkan
bahwa kehadiran aktor dari suatu kelompok
etnik disikapi sebagai representasi simbolik dari
kelompok etnik itu secara keseluruhan. Bahkan
yang paling fenomenal adalah perebutan
jabatan bupati di sejumlah kabupaten yang
sepertinya tertutup untuk orang yang bukan
putra daerah. Di sini seakan muncul gejala
retribalisasi, tapi bukan untuk mengangkat
harkat dan kesejahteraan komunitas lokal yang
termarginalisasi selama ini, melainkan hanya
untuk memenuhi kepentingan sesaat segelintir
elit melalui pemanfaatan idiom etnik dan
sentimen daerah
10
.
Ketika pemahaman yang demikian
sudah diterima sebagai kebenaran oleh
sebagian besar warga masyarakat di Sumatera
Utara, maka kita tengah memasuki gejala
miopisme yang secara teoritik dan konseptual
cenderung keliru. Lebih dari itu, kita sedang
mempertajam ketegangan hubungan antar-
etnik, karena kompetisi untuk menduduki
suatu jabatan publik seakan disikapi sebagai
kompetisi antar-etnik. Seperti akan
diterangkan di bawah ini, memahami
hubungan antara identitas etnik, ekspresi
budaya, dan penguasaan sumberdaya dengan
pola pikir etnografi lama, apalagi dalam
setting sosial yang heterogen dan wilayah-

10
Sebuah contoh lain, dalam diskusi bertajuk Menyoal
kembali keseimbangan tradisional dua tahun lalu di
Medan, seorang pengusaha etnik Karo dengan antusias
menyoal mengapa orang Karo tidak diberi kesempatan
untuk duduk di jabatan-jabatan penting dalam
pemerintahan propinsi; karena menurut dia hal itu
penting untuk meningkatkan martabat etnik Karo dalam
percaturan politik daerah.
Zulkifli B. Lubis Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor Publik


65
wilayah publik yang bukan berkategori
tradisional lagi, sebenarnya tidak sejalan
dengan pengertian mutakhir tentang etnisitas
dan hubungannya dengan ekspresi kebudayaan
dan penguasaan sumberdaya. Sekelompok
orang yang menggunakan suatu atribut etnik
yang sama tidak dengan serta merta akan
mengekspresikan kebudayaan yang sama, dan
juga belum tentu mengkonsepsikan
penguasaan sumberdaya untuk kepentingan
kolektif kelompok pemilik atribut etnik itu.
Oleh karena itu, presensi seseorang dalam
suatu jabatan publik tidak selalu relevan untuk
dikaitkan dengan representasi kelompok etnik
tertentu.

Identitas Etnik sebagai Jati Diri
Konsep kelompok etnik tempo dulu
yang dikemukakan di atas sebenarnya telah
lama digugat oleh Fredrik Barth. Menurut
Barth (1969) kelompok etnik tidak selalu
merupakan suatu tribe yang sederhana dengan
budaya yang tersusun rapi serta wilayah
teritorial yang definitif serta mudah dibedakan
batas-batasnya satu sama lain. Batas kelompok
etnik yang paling penting menurut Barth
adalah batas-batas sosial, bukan teritorial.
Kelompok etnik lebih didasarkan kepada
pernyataan dan pengakuan yang
berkesinambungan mengenai identifikasi
dirinya. Seseorang diidentifikasi sebagai warga
suatu kelompok etnik apabila dia memiliki
kriteria yang sama dalam penilaian dan
pertimbangan mengenai batas-batas sosial tadi.
Garis pembatas itu antara lain adalah ideologi
etnik, seperti nama kelompok, kepercayaan
(mitologi) terhadap keturunan dan asal-usul.
Selain itu ada juga karakteristik untuk
memudahkan pembedaan seperti dialek
bahasa, ekologi kehidupan ekonomi, budaya
material, organisasi sosial, agama, dan gaya
hidup.
Pengertian tentang etnisitas
(kesukubangsaan) karenanya tidak lagi
ditekankan pada isi kebudayaan yang dimiliki
oleh kelompok etnik itu, melainkan lebih
kepada jatidiri atau identitas yang muncul
dalam interaksi sosial. Kajian mengenai
kelompok etnik menurut Barth juga bukan lagi
kajian mengenai kolektiva dengan isi atau
taksonomi kebudayaannya, tapi kajian
mengenai organisasi sosial yang askriptif
berkenaan dengan asal muasalnya yang
mendasar dan umum dari para pelakunya.
Dalam istilah lain, jatidiri itu dinamakan
primordialitas, yaitu sebuah dunia jatidiri
perorangan atau pribadi yang secara kolektif
diratifikasi dan secara publik diungkapkan,
yang merupakan sebuah keteraturan dunia
(lihat Geertz, dalam Suparlan 1998).
Dengan pengertian yang demikian
maka satu hal pasti yang tersisa dan nyaris
tidak bisa dihilangkan dari identitas suatu
kelompok etnik adalah jatidiri yang bersifat
primordial tadi, yang ia akui dan nyatakan
dalam interaksi publik. Bahwa ekspresi budaya
yang ia tampilkan tidak lagi genuine seperti
yang diasumsikan melekat sebagai ciri penanda
suatu kelompok etnik asal (dalam pengertian
klasik) tidak sekaligus menegasikan
keanggotaannya dalam suatu kelompok etnik.
Seseorang bisa saja menggunakan beragam
rujukan untuk ekspresi budayanya, misalnya
dari sumber agama, pendidikan, atau dari
budaya etnik lain, tanpa harus kehilangan
identitas dirinya. Demikianlah misalnya Nadya
Hutagalung masih berhak mengaku dan diakui
sebagai orang Batak Toba, meskipun ekspresi
budaya yang ia tampilkan sehari-hari sudah
pasti tidak lagi merujuk kepada budaya Batak
Toba. Fenomena seperti ini lazim ditemukan
di dalam lingkungan sosial yang heterogen, di
mana terjadi pinjam meminjam atribut
kebudayaan, tetapi tidak berarti
mempertukarkan identitas etnik. Kalau
pemahaman seperti ini yang dianut, maka
tidak harus muncul ketegangan etnik dalam
lingkup interaksi sosial.

Sumber-Sumber Ketegangan Etnik dan
Kompetisi Budaya
Dengan uraian di atas, Saya ingin
mengatakan bahwa pemahaman yang kurang
pas tentang hubungan konsepsional antara
identitas etnik, ekspresi kebudayaan, dan
penguasaan sumberdaya, khususnya dalam
konteks lingkungan sosial yang heterogen
sangat potensial menjadi sumber munculnya
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


66
ketegangan etnik. Kerangka pikir yang masih
menggunakan pemahaman batas-batas
kesukubangsaan sebagai satu kesatuan yang
padu antara wilayah teritorial, identitas etnik,
ekspresi budaya, dan wilayah klaim penguasaan
sumberdaya, yang tentu saja masih tersisa
dalam alam pikir para migran dan kemudian ia
bawa dari tanah leluhurnya ke lingkungan
kota yang heterogen, akan potensial
menimbulkan benturan dan ketegangan
dengan warga dari etnik lain yang tidak bisa
menerima hal itu. Menggunakan konsepsi
ruang publik dalam konteks keruangan suatu
kelompok etnik ke ruang publik di
lingkungan sosial yang heterogen merupakan
gejala yang disadari atau tidak sering
ditemukan di perkotaan. Misalnya, tradisi
orang Batak Toba yang jika telah berkumpul
dua orang akan main catur, dan jika ketemu
tiga orang akan bernyanyi di pakter tuak,
seringkali dipindahkan ke lingkungan kota
tanpa mempertimbangkan batas-batas audio
yang bisa ditoleransi oleh publik yang
heterogen. Hal itu terjadi karena tradisi
bernyanyi sambil minum tuak di lingkungan
budaya Batak Toba di tanah leluhur dapat
berlaku untuk semua ruang publik yang
mereka konsepsikan sesuai dengan budaya
setempat.
Contoh lain adalah ekspresi
keberagamaan suatu komunitas, katakanlah
Muslim, di suatu lingkungan pemukiman yang
berpenduduk heterogen. Menghidupkan
pengeras suara di masjid atau langgar, bukan
hanya untuk kepentingan adzan penanda
tibanya waktu sholat, tetapi untuk menguatkan
kaset ceramah seorang dai kondang, juga
potensial untuk melahirkan ketegangan, karena
dianggap sudah melampaui ruang-ruang
publik yang dapat ditoleransi. Demikian pula
ketika sebuah kantor pemerintah dihiasi
dengan ornamen khas suatu kelompok etnik
bisa disikapi oleh kelompok etnik lain sebagai
wujud hegemoni kelompok etnik yang
berkuasa di kantor itu dalam menguasai
sumberdaya politik dan ekonomi yang terkait
dengan fungsi kantor tersebut. Pemahaman
demikian juga bisa timbul jika orang dari
kelompok etnik lain menggunakan kerangka
pikir klasik (yang memadukan identitas etnik,
ekspresi budaya dan penguasaan sumberdaya).
Padahal sesungguhnya bisa saja pilihan untuk
penggunaan atribut etnik tersebut didasarkan
pada apresiasi seni dari pejabat yang
membuatnya, dan sama sekali tidak ada kaitan
dengan hegemoni kelompok etniknya.
Hal yang juga potensial untuk
menimbulkan ketegangan etnik di Sumatera
Utara adalah adanya hegemoni dalam
menentukan batas-batas kelompok etnik.
Bahkan masalah penentuan jatidiri atau
identitas etnik itu sudah pernah memunculkan
konflik pada awal tahun 1920-an antara orang
Mandailing dengan orang Angkola yang pada
mulanya berafiliasi dan mengidentifikasi diri
sebagai orang Mandailing tapi kemudian
berubah ketika orang Angkola mengaku diri
sebagai orang Batak. Konflik itu terjadi dalam
konteks pemanfaatan tanah wakaf (pekuburan)
di Sungai Mati Medan, yang sesuai aktenya
diperuntukkan bagi sekalian bangsa
Mandailing
11
. Hegemoni makna yang
diciptakan oleh akademisi dan peja bat
kolonial Belanda tentang Batak yang terdiri
dari beberapa subsuku seperti yang sudah lazim
dikenal, yang sesungguhnya dimaksudkan
untuk suatu tujuan tertentu bagi kepentingan
kolonial, ternyata juga tidak selalu divalidasi
dan dikukuhkan oleh pengakuan emik dari
kelompok-kelompok etnik yang digolongkan
sebagai subsuku Batak itu. Pemaksaan
pemberian label etnik Batak kepada orang
Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing,
Angkola, atau yang lain, adalah pengingkaran
terhadap fakta keanekaragaman untuk sekedar
mengakomodasi sedikit keseragaman dari
ekspresi identitas etnik dan budaya dari semua
kelompok etnik itu.
Sumber lain yang bisa memicu
ketegangan etnik di Sumatera Utara,
khususnya di Medan, adalah keengganan dari
setiap kelompok etnik untuk saling belajar dan
mengenali betul jatidiri kelompok etnik lain.

11
Lebih jauh mengenai konflik ini dan bagaimana
penyelesaiannya yang cukup elegan melalui jalur hukum
(pengadilan) waktu itu dapat dibaca dalam Mangaradja
Ihoetan Riwayat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di
Soengai Mati Medan , terbit tahun 1926.
Zulkifli B. Lubis Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor Publik


67
Fakta ketiadaan kebudayaan dominan di kota
ini mungkin menjadi faktor penting untuk
menghalangi kemauan itu, karena setiap etnik
merasa bebas mengartikulasikan ekspresi
budaya etniknya, tanpa suatu kebutuhan
untuk mengenali yang lain untuk keperluan
adaptasi kultural. Akibatnya berkembanglah
streotip-streotip etnik dan prasangka yang
cenderung memandang rendah etnik lain.
Streotip etnik bisa menjadi katalisator
ketegangan antaretnik jika pengelolaan dan
situasinya tepat, tetapi bisa juga mengeras
menjadi prasangka jika diperkuat adanya
tekanan dari faktor-faktor lain yang bersifat
struktural.
Penggunaan simbol-simbol etnik
dalam ruang-ruang publik khususnya berkaitan
dengan lembaga pemerintahan dan tempat-
tempat umum yang dikonsepsikan sebagai
milik bersama juga potensial untuk
menimbulkan ketegangan etnik. Tapi harus
digarisbawahi bahwa ketegangan muncul
apabila kelompok etnik lain menyikapi
penggunaan simbol atau atribut etnik itu
sebagai wujud representasi dan hegemoni dari
kelompok etnik yang memilikinya terhadap
sumberdaya yang terkait dengan fungsi fasilitas
publik tersebut. Pada tahun 1980-an kita
menyaksikan banyak kantor-kantor
pemerintah di Medan dihiasi bagian depannya
dengan ornamen-ornamen khas dari kelompok
etnik tertentu, yang biasanya mencerminkan
golongan penguasa yang bermarkas di kantor
itu. Pada era 1990-an kantor-kantor kelurahan
dibangun pula dengan corak arsitektur khas
Melayu. Kehadiran ornamen etnik dalam
ruang demikian bisa berdampak positif, bisa
juga negatif bagi hubungan antar-etnik.

Kanalisasi Ketegangan Etnik
Untuk menyalurkan suatu ketegangan
etnik tentu harus disesuaikan dengan sumber
atau asal muasal dari ketegangan itu. Jika
problemnya adalah sesuatu yang bersifat
kultural, maka mekanisme penyalurannya juga
adalah mekanisme kultural. Tetapi kalau
problem ketegangan itu bersumber dari hal-hal
yang bersifat struktural, maka penyelesaiannya
juga harus dimulai dari pembenahan
struktural. Ketika Usman Pelly (1999)
menyimpulkan bahwa akar dari terjadinya
kerusuhan etnik di Indonesia adalah
kesenjangan sosial ekonomi yang dengan
sengaja direkayasa oleh pemerintah, maka
penyelesaiannya tentulah menghilangkan
kesenjangan itu dan meniadakan rekayasa
pemerintah. Dengan demikian, proses
kanalisasi konflik harus berpangkal dari
kemauan pemerintah, sementara peran dari
masyarakat adalah memberikan tekanan
kepada pemerintah untuk melakukan
perbaikan kebijakan.
Begitu pula jika akar persoalan konflik
atau ketegangan bersumber dari masalah-
masalah konsepsional atau kultural, maka
mekanisme penyelesaiannya juga berpangkal
dari pembenahan masalah-masalah kultural.
Untuk konteks Sumatera Utara saya melihat
bahwa sumber ketegangan etnik yang potensial
mengganggu hubungan-hubungan antar-etnik
lebih banyak berpangkal dari masalah-masalah
kultural sebagaimana dikemukakan dengan
beberapa contoh di atas. Oleh karena itu,
kanalisasi ketegangan itu juga bisa dicarikan
melalui saluran-saluran kultural. Namun
demikian, tidak bisa dinafikan bahwa faktor-
faktor struktural juga selalu berperan meskipun
dalam penampakannya yang mengemuka atau
kelihatan hanya problem kultural. Beberapa
hal di bawah ini dimaksudkan sebagai contoh
kanalisasi ketegangan etnik dan kompetisi
budaya dalam sektor publik:
(a) Masalah identitas/jatidiri
Kecenderungan yang berkembang
abad ini berkenaan dengan masalah etnisitas
adalah menguatnya sentimen-sentimen etnik,
sehingga pendefinisian tentang batas-batas
etnik secara konvensional tidak valid lagi.
Untuk konteks Sumatera Utara hal ini juga
terlihat menjelang dan sesudah kebijakan
otonomi daerah diberlakukan, di mana
masalah etnisitas menjadi bagian yang semakin
penting dalam pembuatan kategori sosial
untuk menentukan batas-batas golongan yang
boleh ikut dan sebaiknya tidak usah ikut dalam
mengelola suatu kepentingan daerah. Menurut
pendapat saya, biarkan saja hal itu berkembang
sampai setiap orang atau kelompok kemudian
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


68
akan sadar bahwa menyatukan batas-batas
etnik dengan penguasaan sumberdaya tidak
selalu produktif untuk kemajuan daerah.
Ketika saatnya tiba, orang akan menghargai
keberadaan kelompok etnik lain, dan akan
membiarkan sentimen etnik sebatas jatidiri,
sementara ekspresi budaya dan penguasaan
sumberdaya harus berkolaborasi dengan
kelompok lain
12
.

(b). Streotip dan prasangka antar-etnik
Kehidupan majemuk kota Medan
telah melahirkan banyak streotip etnik.
Pandangan-pandangan streotifik terhadap
etnik lain biasanya timbul dan kemudian

12
Pernyataan Mangaradja Ihoetan dalam bukunya
Riwayat Tanah Wakaf bangsa Mandailing di Soengai
Mati Medan (terbit thn 1926) yang merupakan rekaman
atas peristiwa konflik etnik antara orang Mandailing
dengan Batak pada awal tahun 1920-an mungkin
menarik untuk dikutip di sini untuk memperlihatkan
betapa esensialnya masalah jatidiri bagi suatu kelompok
etnik, dan bagaimana konflik yang berkenaan dengannya
diselesaikan secara beradab melalui saluran hukum:
.meskipoen diatas saja seboet riwajat ini djadi peringatan
kepada bangsa Mandailing, boekanlah dimaksoed soepaja
pertikaian antara bangsa Mandailing dengan Batak tinggal
tetap selama-lamanja beroerat berakar dalam toeboeh
masing-masing pihak, hanjalah kadar djadi peringatan di
belakang hari kepada toeroenan-toeroenan bangsa
Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih
pajah bapa-bapa serta nenek mojangnja mempertahankan
atas berdirinja kebangsaan Mandailing itoe. Dengan begitoe
diharap tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan lagi
kebangsaannja dengan moedah maoe mehapoeskannja
dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang
tidak melebihkan martabatnja. Tentang perselisihan bangsa
Mandailing dengan bangsa Batak, saja maksoedi soepaya
habislah ia sampai di sini sahadja, karena punt (pokok)
perselisihan jang terpenting, soedahlah tertentoe ia pada jang
hak. Maka dalam oeroesan lain yang menoedjoe
kepentingan bersama, diharap tetaplah bangsa Mandailing
itoe soeka bersatoe hati dan tenaga dengan segenap golongan
bangsa apa djoeapoen di Indonesia, dengan harapan tidak
timboel lagi oesik mengoesik antara satoe sama lain jang
beroedjoet pada bersakitan hati, tapi biarlah masing-masing
golongan bangsa itoe mengoeroes kepentingan roemah tangga
kebangsaannja, sedang dalam mentjari kepentingan
bersama, ia selamanja soeka poela kerdja bersama-sama
(samenwerken), karena mengingatkan itoelah sahadja yang
dapat mengangkat deradjatnja Boemipoetra dalam
pergaulan hidoep di doenia dan himpoenan orang-orang
jang bersopan (Ihoetan 1926:4).


menjadi pengetahuan dan pemahaman
seseorang melalui proses sosialisasi di
lingkungan sosial yang berkategori kami (in-
group). Pewarisan pandangan demikian kepada
anggota kelompok sendiri diperlukan sebagai
acuan tindak atau respon yang dianggap tepat
ketika seseorang berhadapan dengan orang-
orang lain yang beda kategori. Julukan-julukan
streotip itu hampir mengenai semua kelompok
etnik yang ada di Medan. Sebagai contoh,
misalnya julukan manipol untuk orang
Mandailing, aceh pungo (Aceh); padang
pancilok, cirik barandang, kecek Padang
(Minang); batak berekor, batak makan orang,
batak tembak langsung (Batak Toba); lagak Deli
(Melayu); putar keling, keling mabuk (Tamil);
jakon/jawa kontrak, jadel/jawa deli (Jawa), dan
lain-lain.
Cukup menarik bahwa penduduk Medan
memiliki saluran kanalisasi untuk mengurai
potensi kebencian etnik yang ditimbulkan oleh
prasangka dan streotip etnik. Meskipun
sebenarnya streotip itu muncul sebagai imbas
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh warga
suatu kelompok etnik dalam berinteraksi
dengan kelompok lain di berbagai lapangan
kehidupan (sosial, ekonomi, politik) yang
saling kompetitif, warga Medan punya cara
untuk mensublimasi potensi kebencian etnik
tersebut melalui cerita-cerita streotip etnik
yang tidak lagi vulgar, melainkan kocak dan
menimbulkan tawa sehingga ketegangan syaraf
kendur kembali
13
.

(c ) Mitos representasi kelompok etnik dalam
jabatan publik
Pandangan bahwa kehadiran aktor
dari suatu kelompok etnik di dalam jabatan-
jabatan publik sebagai representasi dari
kelompok etniknya secara keseluruhan harus
didorong untuk disikapi hanya sebagai mitos.
Kalau secara de facto ada yang terjadi demikian,
maka hal itu sesungguhnya harus dipahami

13
Lebih jauh mengenai kearifan penduduk Medan dalam
mengurai potensi kebencian etnik dalam konteks
lingkungan sosial yang majemuk lihat tulisan Zulkifli
Lubis (2000) Cerita Etnik sebagai Katalisator Konflik
Masyarakat Majemuk, dalam Majalah BASIS Nomor 08-
10, Tahun ke-49, September-Oktober 2000.
Zulkifli B. Lubis Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor Publik


69
sebagai wujud dari KKN, karena penyatuan
identitas etnik dengan penguasaan sumberdaya
milik publik cenderung menimbulkan tindak
manipulasi. Jika sebagian besar warga
masyarakat dari berbagai kelompok etnik
membenarkan dan membiarkan penyatuan
identitas etnik dengan penguasaan sumberdaya
tersebut, maka hal itu berarti kita sebagai
kolektif bersetuju dengan praktik KKN.
(d) Mengalihkan pusat kebanggan kelompok
etnik dari jabatan-jabatan politis
Kepentingan sebagian orang atau
kelompok etnik untuk menghimpitkan
identitas etnik, penguasaaan sumberdaya milik
publik (khususnya bidang politik/birokrasi)
dan menyikapinya sebagai wujud representasi
kelompok etnik di dalam sektor-sektor publik
tadi tumbuh karena kultur masyarakat kita
secara umum yang memberikan penilaian
tinggi pada pencapaian karir di bidang politik.
Bukti yang sangat kasat mata mengenai hal ini
adalah menjamurnya jumlah partai politik
yang tumbuh di era reformasi. Jalur politik
masih dipandang sebagai jalan tol untuk
mobilitas vertikal. Bagaimanapun, kemunculan
T. Rizal Nurdin menduduki posisi gubernur,
misalnya, disikapi oleh orang Melayu sebagai
peluang untuk membangkitkan batang
terendam agar tak hilang di bumi; dan ini
menggambarkan bahwa representasi aktor dari
suatu etnik dalam jabatan publik (politik)
diapresiasi sebagai hal yang sangat penting
untuk pengukuhan eksistensi kelompok etnik
itu dalam percaturan politik dan bidang-
bidang kehidupan lain. Semua kelompok
etnik menurut hemat saya masih punya
gambaran yang sama mengenai hal ini.

Jika hal ini dilestarikan sudah barang tentu
proses suksesi kepemimpinan daerah akan
selalu diwarnai pergesekan-pergesekan
kepentingan antarkelompok, yang di masa
datang bukan hanya menimbulkan ketegangan
tetapi bisa lebih parah menjadi konflik
terbuka. Sebaiknya kita tak membiarkan
masyarakat mengidap penyakit mental kaum
petani (peasant) yang oleh George M. Foster
(1955) disebut the image of limited good:
bahwa barang-barang yang berharga itu
terbatas adanya dan oleh karena itu untuk
mendapatkannya seseorang atau suatu
kelompok tak bisa tidak harus bertarung
mengenyahkan orang atau kelompok lain.
Daripada memusatkan orientasi
kebanggaan etnik hanya sebatas posisi-posisi
politik tadi, yang jumlahnya amat terbatas,
mencapainya memerlukan gesekan-gesekan
kepentingan dengan kelompok lain, dan jika
kalah akan menjadi tumbal; menurut hemat
saya lebih baik jika setiap kelompok etnik
berupaya mengembangkan dan membangun
pusat kebanggaannya sendiri, yang
merefleksikan puncak-puncak pencapaian
prestasi di beragam bidang di luar politik dan
birokrasi. Warga suatu kelompok yang sudah
mencapai suatu prestasi luar biasa atau
tingkatan kemajuan tertentu diberikan
penghargaan dalam berbagai wujud yang sesuai
dengan ekspresi kebudayaan mereka. Alangkah
indahnya kalau seorang warga Karo, sekedar
sebuah contoh, yang berhasil menemukan
suatu teknologi penting bagi kemajuan di
bidang pertanian hortikultura diberikan
penghargaan, minimal oleh komunitas Karo
sendiri, sehingga mereka bangga atas karyanya.
Bukankah sesungguhnya petani Karo sangat
berjasa untuk menjamin penduduk Singapura,
misalnya, dan penduduk negeri-negeri lainnya
tetap bisa makan sayur?
Ketika suatu komunitas mendapatkan
rasa bangganya dari prestasi-prestasi
kemanusiaan yang diukir warganya, dan
mendapat pengakuan dan penghargaan yang
sepadan dari komunitas lain dan negara,
mereka tentu tidak perlu memelototkan mata
dan membuang energi untuk terus bergesekan
dengan kelompok etnik lain yang berjubel
menanti kesempatan meraih jabatan-jabatan
politik yang memang terbatas itu. Jika masing-
masing kelompok etnik membangun suatu
orientasi baru bagi perwujudan simbol
kebanggaan etniknya, potensi ketegangan etnik
karena kompetisi penguasaan sumberdaya
publik diasumsikan akan dapat direduksi.

(e) Menumbuhkan asosiasi-asosiasi lintas batas
Dengan memahami konsep kelompok
etnik sebagai identitas/jati diri, mestinya orang
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


70
akan lebih terbuka bagi perubahan dan lebih
mudah menerima orang lain yang berbeda
kebudayaan. Berikutnya akan lebih mudah
pula mengembangkan paham
multikulturalisme, sebagai kondisi prasyarat
yang sangat penting untuk menumbuhkan apa
yang dicita-citakan sebagai masyarakat madani
(civil society). Dengan paham dan penghargaan
akan keberagaman maka setiap orang akan
lebih mudah untuk memasuki banyak asosiasi-
asosiasi sukarela yang tumbuh di lingkungan
masyarakat majemuk, sehingga akan tumbuh
apa yang oleh Usman Pelly (2000) disebut
sebagai akumulasi aliansi, atau oleh Sibarani
(2000) dinamakan keanggotaan saling
menyilang (cross-cutting affilitiation) yang akan
membuahkan kesetiaan saling menyilang (cross-
cutting loyalties). Jaring-jaring sosial yang
mengikat sebanyak mungkin anggota-anggota
yang beragam sudah barang tentu lebih kuat
menapis ancaman terjadinya ketegangan etnik.
Robert D. Putnam (1993) memperlihatkan
efektivitas dari jejaring sosial yang mampu
menumbuhkan partisipasi masyarakat di Italia
sebagai modal sosial yang secara sadar
didayagunakan untuk mendorong bekerjanya
demokrasi.


Daftar Pustaka

Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1999. Konflik Etnik di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan
Sosiologis. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No. 58 Thn 1999.

Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Press.

Bruner, Edward M. 1974. The Expression of Ethnicity in Indonesia. Dalam Abner Cohen
(ed) Urban Ethnicity. London.

Foster, George M. 1955. Peasant Society and the Image of the Limited Good. American
Anthropologist 67.

Ihoetan, Mangaradja. 1926. Riwajat Tanah Wakaf bangsa Mandailing di Soengai Mati
Medan. Tanpa penerbit.

Lubis, Zulkifli B. 2000. Cerita Etnik Sebagai Katalisator Konflik Masyarakat Majemuk.
Dalam Majalah BASIS Nomor 09- 10, Thn ke- 49, September-Oktober 2000.

----- . 2000. Mengembangkan Modal Sosial Dalam Penataan dan Penggunaan Ruang Publik.
Makalah disampaikan pada penyuluhan bertema: Kebudayaan Sebagai Perekat
Bangsa, diselenggarakan oleh Kanwil Depdiknas Sumut.

Pelly, Usman. 2000. Mengkaji Ulang Keseimbangan Tradisional Dalam Kehidupan
Masyarakat Kota Medan. Makalah disampaikan pada seminar Menyoal Ulang
Keseimbangan Tradisional Masyarakat, diadakan oleh Madia dan KSPM Medan.

----- . 1999. Akar Kerusuhan Etnik di Indonesia: Suatu kajian Awal Konflik dan
Disintegrasi Nasional di Era Reformasi. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 58
Thn 1999.
----- . 1998. Masalah Batas-batas Bangsa. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 54
Thn 1998.

Zulkifli B. Lubis Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor Publik


71
----- . 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.
Jakarta: Penerbit LP3ES.

Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy.
Princeton:Princeton University Press.

Sibarani, Robert. 1999. Menyikapi Pluralisme. makalah disampaikan pada seminar
Menyoal Ulang Keseimbangan Tradisional Masyarakat, diadakan oleh Madia dan
KSPM Medan.

Suparlan, Parsudi. 1998. Kesukubangsaan dan Primordialitas: Program Ayam di Desa
Mwapi, Timika, Irian Jaya. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 54 Thn 1998.

----- . 1999. Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan.
Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 58 Thn 1999.

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


72
Jender sebagai sebuah istilah telah
sering dilontarkan dalam wacana publik oleh
banyak orang khususnya pada dekade 90-an.
Namun sampai sekarang belum banyak
kalangan yang memiliki pemahaman yang baik
dan benar tentang konsep jender tersebut.
Istilah jender yang pertama muncul di kamus
diartikan sebagai penggolongan gramatikal
terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain
yang berkaitan dengannya, yang secara garis
besar berhubungan dengan dua jenis kelamin.
Dalam ilmu-ilmu sosial istilah jender
digunakan untuk mengacu pada perbedaan-
perbedaan antara laki-laki dan perempuan
tanpa konotasi yang bersifat biologisyang
merupakan bentukan sosial. Jadi yang
dimaksud dengan relasi jender atau hubungan
jender adalah sekumpulan aturan-aturan,
tradisi-tradisi, dan hubungan-hubungan sosial
timbal balik dalam masyarakat dan dalam
kebudayaan, yang menentukan batas-batas
feminin dan maskulin. Dalam konteks ini
jender menjadi istilah simpul untuk menyebut
kefemininan dan kemaskulinan yang dibentuk
secara sosial, yang berbeda-beda dari satu
kurun waktu ke kurun waktu lainnya, dan juga
berbeda-beda menurut tempatnya. Oleh
karena itu perilaku jender adalah perilaku yang
tercipta melalui proses pembelajaran, jadi
bukan sesuatu yang berasal dari dalam diri
sendiri secara alamiah atau takdir yang tak
bisa dipengaruhi oleh manusia.

Teori-Teori Sosial dalam Kajian Jender
Dalam relasi jender tersebut kenyataan
empiris menunjukkan adanya ketimpangan
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Telah banyak para ahli studi perempuan yang
mengkaji hubungan/relasi jender di berbagai
masyarakat dunia, di mana mereka umumnya
sependapat bahwa terjadi ketidakadilan dalam
hubungan jender (Moore 1998). Berbagai teori
sosial telah digunakan untuk menjelaskan
posisi subordinat perempuan dalam relasi
jender tersebut, seperti teori struktural
fungsionalisme-nya Talcot Parson, kemudian
PENGARUS-UTAMAAN JENDER SEBAGAI
STRATEGI MUTAKHIR
GERAKAN PEREMPUAN

Sri Emiyanti
Pusat Studi Wanita-Universitas Sumatera Utara

Abstrak
Tulisan ini menyajikan perkembangan wacana tentang jender sebagai sebuah konsep yang
semakin populer dalam konteks pembangunan global. Bermula dari isu WID, WAD, dan
kemudian yang paling mutakhir adalah pengarusutamaan jender, tahapan demi tahapan
tersebut berkembang sebagai kritik dan alternatif terhadap pendekatan sebelumnya sebagai
upaya untuk menguatkan peran dan posisi kaum perempuan. Namun, kebijakan negara
dalam peng-arusutama-an jender dalam pembangunan tidak akan mencapai hasil yang
maksimal, jika tidak dijabarkan dalam strategi implementasi kebijakan yang tertuang
dalam program-program strategis.

Kata kunci: jender, WID, WAD, gender mainstreaming
Sri Emiyanti Pengarusutamaan Jender sebagai Strategi Mutakhir Gerakan Perempuan


73
teori materialisme historis-nya Karl Mark dan
Engel, dan juga teori strukturalisme-nya Levi
Strauss (Saptari 1997: 64 73). Bahkan
Henrietta L. Moore, dalam buku Feminisme
and Anthropology, berusaha menjelaskan posisi
perempuan yang subordinat dari dua sudut
pandang, yakni konstruksi simbolik dan
hubungan sosial ( Moore 1998: 29 -59 ).
Namun teori-teori yang digunakan
tersebut umumnya menekankan adanya sifat
universal dalam menjelaskan posisi subordinat
perempuan. Seolah-olah posisi subordinat
perempuan dapat disebabkan oleh suatu teori
yang dianggap berlaku untuk semua
masyarakat atau kebudayaan di dunia. Di
sinilah pusat kritikan yang ditujukan pada
teori-teori sosial yang mempengaruhi studi
perempuan di atas. Dalam konteks ini
pemikiran posmodernisme dan
posstrukturalisme pada akhirnya banyak
mewarnai pembahasan tentang kajian
perempuan, di mana dalam kedua pendekatan
ini ditawarkan gagasan untuk tidak mengakui
teori apapun yang dapat menjelaskan berbagai
gejala sosial dan perubahan masyarakat kecuali
paham pluralitas (Saptari 1997: 78 82 ).
Pendekatan posmo dan
posstrukturalis menjadi cukup populer.
Pertama, adanya kesadaran yang muncul dari
perdebatan antara feminis radikal dan feminis
sosialis (antara feminis kulit putih dengan kulit
hitam), atau antara feminis Barat dengan
Dunia Ketiga tentang homogen tidaknya
kondisi perempuan. Dari perdebatan ini
semakin tampak bahwa pertanyaan-pertanyaan
konseptual tentang perempuanmisalnya,
dari mana datangnya dominasi laki-lakiperlu
dirumuskan kembali karena pertanyaan-
pertanyaan tersebut mencerminkan kerangka
berpikir Barat yang tidak mencoba melihat
dulu apakah dominasi laki-laki memang
universal, atau apakah bentuk dominasi laki-
laki seragam di seluruh dunia. Dengan
demikian aspek keanekaragaman kondisi
perempuan mulai ditonjolkan.
Kedua, studi perempuan muncul dari
keinginan untuk mendobrak bias laki-laki
dalam ilmu pengetahuan dan kegiatan
akademis, segala pandangan yang menentang
teori universal yang dianggap bisa menjelaskan
berbagai kelompok sosial yang beraneka ragam
mendapat sambutan yang cukup baik dari
kalangan studi perempuan.

Pembangunan dan Jender
Sebagai konsep analitis, gender
memiliki nilai yang tinggi karena konsep itu
langsung menarik perhatian ke arah proses-
proses dan intervensi-intervensi sosial serta
kebudayaan dalam hal dampak-dampaknya
yang berlainan terhadap perempuan dan laki-
laki, serta hubungan timbal balik antara
keduanya. Strategi perjuangan untuk
mewujudkan keadilan sosial dari perspektif
perempuan pada dasarnya telah ditempuh
melalui berbagai strategi.
Strategi pertama, yakni strategi
meningkatkan peran wanita atau
melibatkan kaum wanita dalam
pembangunan. Strategi ini menjadi strategi
dominan di tahun 70-an. Setelah PBB
menetapkan dekade pertama pembangunan
kaum perempuan, sejak saat itulah hampir
semua pemerintahan di Dunia Ketiga mulai
mengembangkan Kementerian Peranan
Wanita, dengan fokus utama meningkatkan
peranan wanita dalam pembangunan.
Strategi peningkatan peran wanita
dalam pembangunan ini didasarkan pada suatu
analisis yang lebih memfokuskan pada kaum
perempuannya. Strategi ini dibangun
berdasarkan asumsi bahwa permasalahan kaum
perempuan berakar pada rendahnya kualitas
sumberdaya kaum perempuan sendiri, dan hal
tersebut mengakibatkan mereka tidak mampu
bersaing dengan kaum laki-laki dalam
masyarakat termasuk dalam pembangunan.
Pada tahun 80-an, pemerintah negara-negara
Dunia Ketiga melalui dukungan dan tekanan
negara dan lembaga dari Barat, mendesakkan
pentingnya memasukkan peran perempuan
dalam pembangunan. Sebagai respon,
selanjutnya banyak perencanaan pembangunan
tidak saja memanfaatkan perempuan yang
jumlahnya lebih separoh dari penduduk bumi
demi mengefektifkan pembangunan, namun
juga meletakkan perempuan sebagai target
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


74
pembangunan, dengan melibatkan mereka
dalam proses pembangunan.
Gagasan ini telah melahirkan
diskursus baru dalam teori dan kebijakan
pembangunan yang dikenal dengan WID
(Women In Development). Berbagai program
telah dilakukan melalui pelatihan peningkatan
keterampilan perempuan untuk membuat
kaum perempuan memiliki peran pada sektor
produktif dan publik. Meskipun analisis ini
sudah banyak ditinggalkan, namun analisis
arus utama ini telah menjadi aliran yang
mendominasi di kalangan pemikir
pembangunan dan birokrasi.
Dalam konteks ini Moser (1993)
mengidentifikasi beberapa aliran strategi
pendekatan WID. Pertama, pendekatan ini
menggunakan analisis pengentasan
kemiskinan. Dasar pemikirannya adalah
bahwa perempuan miskin karena mereka
kurang sumberdaya alam atau tidak produktif,
oleh karena itu perlu diciptakan proyek
peningkatan pendapatan bagi kaum
perempuan. Ini berarti bahwa apa yang
dikerjakan perempuan di sektor reproduksi
dan segala pekerjaan domestik tidak dinilai.
Akibatnya proyek peningkatan pendapatan
bagi kaum perempuan justru menambah beban
kerja kaum perempuan. Kedua, pendekatan ini
menggunakan analisis pendekatan efisiensi
yakni pemikiran bahwa pembangunan
mengalami kegagalan karena perempuan tidak
dilibatkan. Oleh karena itu pelibatan itu
sendiri lebih demi efisiensi pembangunan.
Sekali lagi dalam analisis ini peran jender
tradisional kaum perempuan di sektor
domestik dan reproduksi tidak dihargai.
Analisis ini samasekali bukan bertujuan untuk
membebaskan dan mengemansipasi kaum
perempuan, melainkan justru menggunakan
perempuan untuk tujuan pembangunan.
Kedua analisis sosial tersebut lebih untuk
memenuhi kebutuhan praktis kaum
perempuan semata, tanpa mempertanyakan
pada kebutuhan strategis mereka.
Strategi kedua, muncul sebagai kritik
dan reaksi terhadap strategi WID yang
menganggap adanya korelasi positif antara
peran serta kaum perempuan di sektor
produktif dan sektor publik dengan
meningkatnya status kaum perempuan.
Partisipasi perempuan di sektor produktif
memang perlu, tapi tidak selalu akan
menaikkan status perempuan. Rendahnya
partisipasi memang berkorelasi dengan
rendahnya status perempuan, tapi tanpa
mengurangi peran mereka di sektor
reproduksi, keterlibatan perempuan di sektor
produksi akan menjerumuskan pada beban
ganda perempuan, karena mereka tetap
berposisi subordinat.
Pengalaman lapangan menunjukkan
ternyata dengan keterlibatan perempuan dalam
pembangunan tidak serta merta membawa
pada pemberdayaan perempuan, apalagi jika
alasan dasarnya lebih untuk mensukseskan
pembangunan atau demi efisiensi
pembangunan, maka perempuan lebih menjadi
korban ketimbang sebagai subyek yang
menikmati hasilnya. Atas dasar itulah strategi
kedua muncul sebagai reaksi terhadap strategi
yang lebih memfokuskan pada masalah
perempuan. Strategi kedua ini lebih
memfokuskan pada sistem, struktur, ideologi,
dan budaya yang hidup di masyarakat yang
melahirkan bentuk-bentuk ketidak-adilan
hubungan jender. Jadi persoalan utamanya
bukan pada kaum perempuan seperti
diasumsikan pada strategi WID, namun lebih
ditujukan pada bagaimana menghapuskan
segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan
gender.
Dalam menjelaskan konteks ini,
analisis jender seperti yang dikatakan oleh
Faqih (1996) dapat memberi perangkat
teoritik untuk memahami sistem ketidakadilan
hubungan gender. Kedua jenis kelamin baik
laki-laki maupun perempuan bisa menjadi
korban dari ketidakadilan hubungan gender
tersebut. Namun oleh karena mayoritas yang
menjadi korban ketidakadilan gender adalah
kaum perempuan, maka seolah-olah analisis
gender hanya menjadi alat perjuangan kaum
perempuan saja. Analisis gender justru menjadi
alat tidak saja bagi gerakan feminis untuk
menjelaskan sistem ketidakadilan sosial.
Demikian pula halnya bagi gerakan
perempuan, tanpa analisis gender gerakan
Sri Emiyanti Pengarusutamaan Jender sebagai Strategi Mutakhir Gerakan Perempuan


75
perempuan hanya memusatkan perhatian
perubahan bagi kaum perempuan belaka.
Dalam hal ini, justru analisis gender
membantu memahami bahwa pokok
persoalannya adalah sistem dan struktur yang
tidak adil, di mana baik laki-laki maupun
perempuan menjadi korban dan mengalami
dehumanisasi karena sistem ketidakadilan
gender tersebut. Dalam konteks ini Faqih
(1996) lebih lanjut mengatakan bahwa kaum
perempuan mengalami dehumanisasi karena
ketidakadilan gender, sementara kaum laki-laki
menjadi terdehumanisasi karena
melanggengkan penindasan gender.
Analisis gender juga memungkinkan
suatu program atau proyek pembangunan yang
memfokuskan pada relasi gender ketimbang
memfokuskan pada kaum perempuan saja.
Dengan demikian yang menjadi agenda utama
perjuangan perspektif gender ini tidak sekedar
menjawab kebutuhan praktis untuk merubah
kondisi kaum perempuan, melainkan juga
menjawab kebutuhan strategis kaum
perempuan, yakni memperjuangkan
perubahan posisi kaum perempuan, termasuk
menentang hegemoni dan wacana ideologi
gender yang telah mengakar dalam masyarakat.
Usaha pemberdayaan dan perubahan struktur
gender inilah yang dikenal dengan pendekatan
Gender and Development (GAD).
Strategi yang kedua ini telah
melahirkan GAD yang dianggap sebagai
alternatif terhadap WID. Jika prestasi WID
adalah melahirkan proyek-proyek peningkatan
peranan wanita, maka puncak keberhasilan
strategi kedua ini menghasilkan kebijakan
global yang monumental bagi perjuangan
kaum perempuan pada tahun 1979 yakni
dengan diterimanya konvensi global anti
segala bentuk diskriminasi terhadap kaum
perempuan yang dikenal dengan CEDAW.
Sebagian besar pemerintahan dunia yang
menjadi anggota PBB meratifikasi konvensi
tersebut. Pemerintah Indonesia meratifikasi
konvensi itu dengan mensahkan Undang
Undang No.7 Tahun 1984 tentang
penghapusan diskriminasi terhadap kaum
perempuan.
Akan tetapi dalam perjalanan
selanjutnya, ternyata diratifikasinya CEDAW
atau konvensi penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap kaum perempuan tidak
serta merta mengurangi praktik diskriminasi
terhadap kaum perempuan baik yang
dilakukan oleh aparat negara maupun
masyarakat. Keadaan ini menjadi tema
keprihatinan baru di mana-mana, termasuk di
Indonesia. Pada tahun 1985 dalam Konferensi
Dunia PBB ke tiga yang diselenggarakan di
Nairobi, dalam suatu pembahasan Komisi PBB
tentang status perempuan telah mulai diangkat
kemungkinan lebih tegas untuk menjadikan
perspektif gender ke dalam semua kebijakan
negara dan pembangunan, karena tanpa itu
CEDAW hanya menjadi macan kertas belaka.
Perjalanan panjang kekecewaan
implementasi CEDAW selanjutnya berproses
terus-menerus, dan memuncak ketika
diselenggarakannya Konferensi Dunia PBB ke
empat pada tahun 1995, di mana pertemuan
dunia ini lebih dikenal sebagai Beijing
Conference. Di pertemuan Beijing inilah untuk
pertama kalinya para pejuang yang mencita-
citakan keadilan jender mendeklarasikan suatu
usaha yang lebih tegas dan sistematis yang
dituangkan dalam Platform For Action sebagai
suatu strategi yang dikenal dengan gender
mainstreaming atau pengarus-utamaan
jender. Strategi terakhir inilah yang dikenal
sebagai strategi ketiga atau strategi mutakhir
dari gerakan perempuan di dunia. Ada 12
bidang kritis dari Beijing Platform For Action
(BPFA) ini yakni: Perempuan dan
Kemiskinan; Pendidikan, dan Pelatihan bagi
Perempuan; Perempuan dan Kesehatan;
Tindak Kekerasan terhadap Perempuan;
Perempuan dalam Konflik Bersenjata;
Perempuan dan Ekonomi; Perempuan dalam
Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan;
Mekanisme Kelembagaan untuk Kemajuan
Perempuan; Hak Asasi Perempuan;
Perempuan dan Media; Perempuan dan
Lingkungan Hidup; serta Anak Perempuan.
Strategi ketiga muncul sebagai strategi
alternatif dari strategi-strategi sebelumnya dan
merupakan agenda perjuangan mutakhir dari
mereka yang mencita-citakan percepatan
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


76
terciptanya suatu keadilan jender di masyarakat
luas. Berbeda dengan strategi pemberdayaan
sebelumnya, di mana pada strategi pertama
dimulai dari meningkatkan peran perempuan
dalam pembangunan, lantas muncul strategi
kedua mengintegrasikan jender dalam
pembangunan. Strategi kedua mulai dengan
penyelenggaraan berbagai training sensitivitas
jender dan dilanjutkan dengan pengintegrasian
jender ke dalam proyek pembangunan. Pada
saat inilah berbagai alat analisis mulai
disebarluaskan, mulai dari model Analisis
Harvard, Alat Analisis Moser, sampai model
Social Relation Framework oleh Naila Kabir.
Namun kedua strategi tersebut dirasa kurang
memuaskan.
Strategi ketiga lebih memfokuskan
perhatian pada negara. Jadi, strategi peng-arus-
utama-an jender dalam pembangunan
merupakan satu pendekatan untuk
mengembangkan kebijakan yang
mengintegrasikan pengalaman dan masalah
perempuan dan laki-laki ke dalam rancangan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
kebijakan, program, anggaran, dan peraturan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
hukum, dan kemasyarakatan. Oleh karena itu
strategi ini lebih menggunakan sarana advokasi
studi dan perencanaan kebijakan. Indonesia
telah meratifikasi konvensi tersebut dengan
mengeluarkan kebijakan dan program yang
dapat mengintegrasikan pengalaman, aspirasi,
kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan
laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi pada seluruh
kebijakan dan program nasional, yang semua
itu tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres)
No 9 Tahun 2000.
Strategi peng-arusutama-an jender di
Indonesia sudah tertuang dalam GBHN 1999,
dengan kebijakan satu pintu yakni
pembangunan pemberdayaan perempuan.
Dalam pokok-pokok uraian pembangunan
pemberdayaan perempuan (20002004) yang
diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, kebijakan ini
mencakup:
1. Peningkatan kualitas SDM
perempuan
2. Pembaharuan hukum dan peraturan
perundang-undangan
3. Penghapusan tindak kekerasan
terhadap perempuan
4. Penegakan hak asasi manusia bagi
perempuan
5. Kemampuan lembaga pemerintah
dalam pemberdayaan perempuan
6. Peningkatan kualitas peran dan
kemandirian organisasi perempuan
7. Peningkatan peran serta masyarakat
8. Perluas jangkauan pemberdayaan
perempuan
9. Peningkatan penerapan komitmen
internasional

Penutup
Kebijakan negara dalam peng-
arusutama-an jender dalam pembangunan
tidak akan mencapai hasil yang maksimal, jika
tidak dijabarkan dalam strategi implementasi
kebijakan yang tertuang dalam program-
program strategis. Untuk itu, perlu adanya
pemikiran yang sinergis dari berbagai pihak
seperti pemerintah, perguruan tinggi,
organisasi perempuan, dan LSM untuk
bersama-sama mengimplemtasikan kebijakan
peng-arusutama-an jender dalam
pembangunan.



Daftar Pustaka

Faqih, Mansour. 1996a. Gender sebagai Alat Analisis Sosial. Dalam Jurnal Analisis
Sosial. Edisi 4/November 1996.

------ . 1996b. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Moore, Henrietta L. 1998. Feminisme dan Antropologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sri Emiyanti Pengarusutamaan Jender sebagai Strategi Mutakhir Gerakan Perempuan


77

Moser, Caroline. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training.
London: Routledge.
Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah
Pengantar Studi Perempuan. Penerbit Grafiti.

Bahan-Bahan Materi Lokakarya Forum Social Watch Indonesia. Jakarta 20 22 Juli 2005.

Pembangunan Pemberdayaan Perempuan (2000 2004). Pokok-Pokok Uraian. Jakarta:
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.


















Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


78
Pendahuluan
Tanggung jawab sosial perusahaan atau
yang biasa disebut dengan Corporate Social
Responsibility (CSR) merupakan sesuatu yang
dianggap baru dalam bisnis perusahaan di
Indonesia. Gaung CSR baru terdengar lebih
kurang dalam 5 tahun terakhir ini. Padahal
sebenarnya konsep CSR sudah lama dikenal.
Bisnis yang pada awalnya dimaknai perusahaan
hanya sebagai kegiatan mencari keuntungan
semata (Friedman, 1970), pada masa kini
sudah tidak demikian lagi (Keraf, 1988,
Bertens, 2000). Di samping mencari
keuntungan, bisnis juga memiliki tanggung
jawab terhadap lingkungan dan masyarakat
baik di tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Tanggung jawab seperti itu
dalam bisnis disebut dengan istilah CSR atau
corporate social responsibility.
Ada banyak definisi tentang CSR.
Chambers et.al. (2003:1) mendefinisikan CSR
sebagai melakukan tindakan sosial (termasuk
lingkungan hidup) lebih dari batas-batas yang
dituntut peraturan perundang-undangan.
Natufe (2001:9) dengan mengutip definisi dari
WBCSD (World Business Council for
Suistanaible Development) menyebut CSR
sebagai komitmen berkelanjutan kalangan
bisnis untuk berperilaku etis dan memberikan
sumbangan pada pembangunan ekonomi
sekaligus memperbaiki mutu hidup angkatan
kerja dan keluarganya serta komunitas lokal
dan masyarakat secara keseluruhan. Hampir
sama dengan pengertian di atas, Caroll
(1989:29) menyebutkan CSR sebagai social
responsibility is seriously considering the impact of
the companys action on society. Sedangkan
Keith Davis dan Robert Blossom
mendefinisikan tanggung jawab sosial
perusahaan, Social responsibility is the
obligation of decision makers to take action which
protect and improve the welfare of society as a
whole along with their own interest.
Dari definisi di atas terlihat ada dua
penekanan dalam CSR, yaitu protect dan
improve, yang intinya adalah sama-sama
melindungi masyarakat dari akibat negatif yang
ditimbulkan perusahaan. Di samping itu, CSR
juga akan memberikan keuntungan yang
positif bagi masyarakat. Berdasarkan pemikiran
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY:
Model Community Development oleh Korporat

Tantry Widiyanarti
Universitas Katolik Atma Jaya - Jakarta


Abstrak
Selama ini perusahaan dikonsepsikan sebagai entitas bisnis yang hanya mencari keuntungan
semata, karena itu mereka tidak terikat untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab
bagi kehidupan komunitas di mana mereka beroperasi. Tetapi pemahaman demikian kini
mulai berubah dengan dikenalkannya konsep tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility), yang mana perusahaan sebagai sebuah entitas selain mencari
keuntungan bisnis juga harus mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sosial terhadap
komunitas di sekitarnya. Bentuk tanggung jawab sosial itu bukan hanya bersifat derma atau
karitatif, tetapi juga bertujuan sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat.

Kata kunci: korporat, social responsibility, community development
Tantry Widiyanarti Corporate Social Responsibility: Model Community Development...


79
ini berarti suatu perusahaan harus menjalankan
kegiatan bisnisnya sedemikian rupa sehingga
tidak merugikan pihak-pihak tertentu
(masyarakat). Secara positif berarti suatu
perusahaan harus menjalankan bisnisnya
sedemikian rupa sehingga pada akhirnya ikut
menciptakan masyarakat yang baik dan
sejahtera. Bahkan secara positif perusahaan
diharapkan untuk ikut melakukan kegiatan
tertentu yang tidak semata-mata didasarkan
pada keuntungan saja, melainkan demi
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Konsep CSR sesungguhnya mengacu
pada kenyataan, bahwa perusahaan dibentuk
oleh manusia dan terdiri dari manusia. Ini
menunjukkan bahwa sebagaimana halnya
manusia, perusahaan juga tidak dapat hidup
sendiri, beroperasi dan memperoleh
keuntungan bisnis tanpa adanya pihak lain.
Kondisi ini menuntut agar perusahaan pun
perlu dijalankan dengan tetap bersikap
tanggap, peduli, dan bertanggung jawab atas
hak dan kepentingan banyak pihak. Bahkan
lebih dari itu, perusahaan sebagai bagian
masyarakat perlu ikut memikirkan dan
menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi
kepentingan hidup bersama dalam masyarakat.
Tulisan ini menguraikan paradigma
baru yang digunakan oleh perusahaan dalam
rangka peranan mereka menghadapi
perekonomian sekarang ini yang semakin
menuju ke pasar bebas. Perkembangan pasar
bebas yang ditunjukkan dengan adanya
berbagai ikatan-ikatan ekonomi dunia seperti
AFTA, APEC, dan lainnya, telah mendorong
perusahaan untuk bersama-sama melakukan
aktivitasnya dalam rangka menyejahterakan
masyarakat .
Selama ini perusahaan lebih
memperhatikan stakeholder-nya saja dalam
rangka pengembangan dan kemajuan bisnis
yang dijalankannya. Kerjasama yang dilakukan
perusahaan dengan stakeholder sebelumnya
lebih didasari pada usaha untuk memperkuat
keberlanjutan perusahaan itu sendiri. Beberapa
workshop (lokal dan internasional)
mengisyaratkan bahwa adanya CSR sebagai
basis dalam meningkatkan persaingan
perusahaan secara global ternyata berdampak
pada keberlanjutan perusahaan itu sendiri.
Muara dari CSR adalah kemampuan
perusahaan untuk melakukan program
pengembangan masyarakatnya. Jika
perusahaan tidak melakukan hal ini, cepat atau
lambat niscaya ia akan ditinggalkan oleh
masyarakatnya. Masalahnya adalah apakah
CSR merupakan atau dianggap sama sebagai
bentuk philanthropy ataupun charity yang
dilakukan oleh perusahaan? Atau justru
sebaliknya, bahwa CSR dipandang sebagai
bentuk lain (model) bagi pengembangan
masyarakat (community development) yang
dilakukan oleh perusahaan?

Perubahan Strategi Perusahaan
Perusahaan-perusahaan dalam
aktivitasnya pada masa lalu lebih banyak
bergerak dalam konteks mengupayakan
keuntungan semata, sedangkan untuk
lingkungan (masyarakat) sifatnya lebih pada
recovery saja. Hal ini berkaitan dengan
keberadaan perusahaan di wilayah yang jauh
(remote area), sehingga CSR yang diberikan
perusahaan terhadap komunitas yang ada di
sekitarnya selama ini lebih bersifat charity
semata. Konsep kedermawanan perusahaan
(corporate philanthropy)
14
yang selama ini
dikenal dan dipakai pada beberapa perusahaan
tidak lagi memadai, karena konsep tersebut
tidak melibatkan kemitraan dan tanggung
jawab perusahaan secara sosial dengan
stakeholders yang lain.
Hubert (1999) menyatakan bahwa
dalam pengertian kewarganegaraan
perusahaan, di dalamnya mengandung
komitmen aktif yang bertanggung jawab
terhadap lingkungan di mana perusahaan
berada. Artinya, bahwa perusahaan tidak dapat
memisahkan kegiatannya (bisnisnya) yang

14
Philantrophy perusahaan akhir-akhir ini sering sekali
terjadi. Contohnya pada kasus bencana tsunami di Aceh,
2004, banyak perusahaan memberikan sumbangan dan
dermanya kepada korban tsunami sebagai bentuk
kedermawanan dan kepedulian mereka akan bencana
tersebut. Walaupun ada juga kegiatan tesebut melibatkan
masyarakat, tetapi belum dapat dikategorikan ke dalam
bentuk CSR, karena sifatnya kasuistik semata.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


80
berkaitan dengan satu komunitas, satu
masyarakat bahkan satu negara. Jelas di sini
bahwa ada hubungan langsung antara
kehidupan yang baik dari setiap masyarakat
dengan tingkah laku dan aktivitas bisnis
perusahaan di dalamnya. Atau CSR dapat
dilakukan oleh perusahaan berkenaan dengan
pengaturan ekonomi, membangun kembali
infrastruktur dan menyediakan jasa seperti
pendidikan, beasiswa pendidikan,
merehabilitasi lingkungan hidup, membantu
usaha kerajinan masyarakat, dan membantu
kesehatan masyarakat. Di pihak lain, ada juga
yang berpendapat bahwa kegiatan CSR lebih
mementingkan pada penekanan kebutuhan
masyarakat, khususnya kebutuhan sosial dan
psikologi. Dengan demikian pendekatan yang
diperlukan dalam CSR adalah yang bersifat
holistik. Artinya, pendekatan yang dilakukan
oleh perusahaan tidak dalam kegiatan bisnis
semata, melainkan juga bergerak dari yang
sifatnya derma (charity) menuju ke arah CSR
yang lebih menekankan pada keberlanjutan
pengembangan masyarakat (community
development).
Untuk mewujudkan hal ini perusahaan
harus dapat membangun hubungan sosial
dengan masyarakat (komunitas lokal) di mana
perusahaan berada. Bersama dengan
masyarakat, perusahaan membangun pranata
sosial yang tugasnya mengatur hubungan
perusahaan dengan komunitas lokal. Pranata
sosial yang ada tentu saja bersandar pada
aturan-aturan yang berlaku (nilai-nilai budaya
yang berlaku) di masyarakat tersebut. Dengan
demikian CSR yang dibangun tidak semata-
mata usaha perusahaan saja, melainkan
komunitas juga dilibatkan sehingga tidak
menjadi sia-sia.
Kemampuan CSR yang dilakukan
perusahaan tentu saja akan menentukan
kinerja dan kesinambungan usia perusahaan
yang bersangkutan. Peran CSR yang
diwujudkan oleh perusahaan dalam masing-
masing pranata sosial sangat dimungkinkan
berbeda satu sama lain. Hal ini didasarkan
karena tujuan dan pelaku yang terlibat dalam
pranata sosial tersebut berbeda-beda. Dengan
demikian perusahaan diharapkan dapat
memilah-milah peran yang dilakukannya
berdasarkan pada konteks kewilayahan pranata
sosial tersebut. Artinya, peran perusahaan
dalam konteks wilayah yang satu tidak dapat
dimasukkan peranannya dalam konteks
komunitas yang berbeda.
Masalahnya adalah bagaimana bentuk
CSR, apa dan siapa yang harus menjalankan
dan menerima CSR? Jawaban yang ada secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai berikut:
pada hakikatnya perusahaan merupakan
sebuah komunitas, yang sama posisinya dengan
komunitas lain dalam masyarakat, sehingga
keterikatan fungsional antarkomunitas
hendaknya dibangun oleh perusahaan.
Perusahaan dan komunitas lokal serta
pemerintah pada dasarnya merupakan suatu
sistem sosial yang saling kait-mengait
membentuk satu tujuan bersama.
Dalam beberapa kasus, agenda CSR
15

sudah dilaksanakan oleh perusahaan dari mulai
sektor-sektor yang sifatnya nasional ke sektor
lokal. Baik yang dilakukan pemerintah,
masyarakat sipil, LSM, dan juga para
akademisi. Konsumen, investor, dan media
masa mulai menekan perusahaan untuk
meningkatkan perhatian pada kesempatan
tenaga kerja, memperhatikan lingkungan pada
program kerja CSR mereka. Dalam kerjasama
dengan pemerintah dan masyarakat sipil,
perusahaan haruslah memiliki keaktifan yang
lebih, sehingga konsep CSR dapat
diintegrasikan dalam strategi bisnis mereka.
Dengan demikian perusahaan mendapat nilai
lebih (positif) dalam masyarakat, yang tentu
saja hal ini merupakan sesuatu yang sangat
berharga dan bernilai bagi kelanggengan usaha
perusahaan tersebut. Jika CSR tidak
dilaksanakan dengan baik bisa jadi akan
menjadi bumerang bagi perusahaan yang
bersangkutan.


15
Penelitian Chambers et.al. pada 7 negara di Asia
menyatakan bahwa di Indonesia, perusahaan yang telah
melaksanakan CSR di antaranya adalah PT Unilever, PT
Indofood Sukses Makmur, Citi Bank, dan PT Kaltim
Prima Coal.
Tantry Widiyanarti Corporate Social Responsibility: Model Community Development...


81
Perkembangan CSR
Pada awalnya sebagai bentuk
perwujudan CSR perusahaan lebih
memfokuskan perhatian pada perbaikan
pemenuhan kebutuhan stakeholder (salah
satunya adalah karyawan) mereka saja.
Tunjangan dan fasilitas untuk para karyawan
mereka perbaiki. Dengan asumsi karyawan
akan tambah giat bekerja dan akan tetap loyal
pada perusahaan. Dengan demikian
perusahaan akan mendapat keuntungan dari
hal tersebut. Pemenuhan target produksi
tercapai, dengan semakin rajin dan besarnya
tanggung jawab karyawan terhadap pekerjaan
dan perusahaannya. Perusahaan untung dan
karyawan menjadi senang.
Kenyataannya tidaklah sesederhana
demikian. Banyak penduduk (merupakan
bagian dari komunitas) tempat perusahaan
tersebut berada bersuara lantang dan nyaring
mengkritik perusahaan tersebut. Mereka
menyuarakan berbagai macam hal: dari mulai
minta perhatian agar perusahaan dapat
memberikan bantuan kepada mereka, berupa
sumbangan untuk fasilitas sosial ataupun
umum, bahkan juga sampai ada yang
mengancam akan menutup perusahaan jika
perusahaan tidak mengabulkan tuntutan
mereka. Apalagi jika produk yang dihasilkan
perusahaan mengakibatkan limbah yang
dirasakan sangat merugikan warga
16
.
Perusahaan dianggap tidak dapat memberikan
sesuatu yang sifatnya positif bagi komunitas
setempat malahan warga hanya mendapatkan
hal yang negatif saja. Contohnya, limbah yang
dihasilkan perusahaan, kriminalitas yang
semakin marak akibat ekonomi yang timpang,
kesenjangan ekonomi yang mencolok antara
karyawan perusahaan dengan warga setempat
dsb. Hal yang demikian dapat terjadi jika ada
bagian lain dari CSR yang belum dilaksanakan.
Yaitu memperhatikan kehidupan komunitas
setempat di mana perusahaan berada.

16
Kasus yang marak akhir-akhir ini berkenaan dengan
limbah yang merugikan masyarakat adalah kasus
pencemaran Teluk Buyat oleh PT Newmont di Sulawesi
Utara. Di Sumatera Utara pernah mengemuka konflik
antara PT Indo Rayon dengan masyarakat sekitar, dan
banyak lagi kasus-kasus serupa yang terjadi di Indonesia.
Pada awalnya banyak perusahaan yang
membangun pemukiman karyawannya
terpisah dari pemukiman komunitas lokal.
Dengan demikian terciptalah batas yang jelas
antara pemukiman penduduk lokal dengan
pemukiman karyawan suatu perusahaan.
Kecenderungan pemisahan pola pemukiman
ditunjang pula oleh adanya pola hidup yang
berbeda antarmasing-masing komunitas,
sehingga kondisi ini memunculkan banyak
kecemburuan sosial dari komunitas lokal
kepada komunitas perusahaan. Kecemburuan
sosial ini dapat memuncak dan meletus dalam
bentuk konflik manakala terdapat suatu
kesalahan pengelolaan dari komunitas
perusahaan terhadap lingkungannya yang
mengakibatkan kerugian pada komunitas
lokal. Oleh karena itu, perusahaan kemudian
dituntut untuk memberikan kontribusinya
dalam kehidupan komunitas lokal sebagai
rekanan dalam kehidupan bermasyarakat.
Artinya bahwa perusahaan harus mempunyai
kewajiban sosial terhadap komunitas di
sekitarnya dan memperlakukan komunitas
lainnya sebagai sesuatu yang berdiri sejajar dan
saling membutuhkan.
Pembangunan untuk masyarakat yang
dilakukan perusahaan pada awalnya terkadang
hanya bersifat ad hoc saja, tanpa dilandasi
semangat untuk memandirikan masyarakat
dan pada umumnya juga bersifat charity atau
derma terutama sumbangan-sumbangan pada
perayaan-perayaan tertentu, fasilitas modal
untuk olah raga, dsb. Hal ini berkaitan dengan
anggapan perusahaan bahwa urusan
meningkatkan kualitas hidup komunitas lokal
adalah urusan pemerintah. Bahkan terkadang
perusahaan dituntut juga oleh pihak lain untuk
menyumbangkan modal bagi terselenggaranya
kegiatan-kegiatan skala nasional dengan
mengesampingkan kebutuhan komunitas lokal
sekitar perusahaan.
Seringkali komunitas di sekitar
perusahaan diperhatikan secara minimal,
khususnya pada aspek yang hanya
menguntungkan perusahaan semata dengan
memakai kebutuhan dari sudut perusahaan.
Sedangkan segala hal yang berkenaan dengan
kerugian perusahaan di daerah pemukiman
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


82
karyawan seringkali ditimpakan kepada
komunitas lokal sebagai biang keladinya.
Pada perkembangan selanjutnya, CSR
pada era 1990-an sampai sekarang mulai
tampak adanya kepedulian terhadap komunitas
sekitarnya, dan hal ini banyak disebabkan oleh
adanya tekanan komunitas sekitar perusahaan
untuk diadakan konsultasi dengan pihak
manajemen perusahaan. Perusahaan
diwajibkan untuk selalu mengikuti
perkembangan sosial komunitas sekitarnya.
Pembangunan yang dilakukan perusahaan
merupakan bentuk perhatian untuk mengatasi
tuntutan dengan memperhatikan nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat dan hak-hak
komunitas lokal.
Pada masa sekarang keberhasilan suatu
perusahaan ditentukan oleh adanya perhatian
terhadap lingkungan sosial sekitar. Artinya
bahwa sukses komersial perusahaan dilihat juga
dari bagaimana perusahaan mengelola CSR
terhadap komunitas di sekitar daerah
operasinya.

Community Development sebagai CSR
Perusahaan adalah sebuah usaha yang
berkaitan dengan sumberdaya, hendaklah
mengingat dan memperhatikan keadaan sosial
budaya yang ada di sekitarnya. Terutama
dalam situasi dan kondisi global saat ini, dapat
mendorong dinamika dan pergerakan sosial
budaya masyarakat menjadi sangat cepat dan
bervariasi antar-ruang dan waktu. Hal ini baik
secara langsung maupun tidak, akan dapat
mempengaruhi bahkan menghambat
berjalannya perusahaan itu sendiri, seperti
munculnya kesenjangan sosial akibat dari pola
hidup dan pendapatan yang sangat jauh
berbeda antara pegawai perusahaan dengan
komunitas lokal.
Memang dengan keberadaan suatu
perusahaan di suatu daerah, akan mendorong
munculnya kegiatan-kegiatan sosial ekonomi
masyarakat sekitarnya. Munculnya kegiatan-
kegiatan tersebut memberikan manfaat positif
bagi komunitas lokal. Namun kadangkala
kemunculan usaha baru tersebut pada
umumnya berasal dari luar masyarakat itu
dengan model usaha yang berbeda dengan
komunitas lokal. Akibatnya perbaikan sosial
ekonomi yang dirasakan komunitas lokal
tidaklah signifikan. Tetap saja ada jarak sosial
ekonomi antara komunitas lokal dengan
pendatang.
Kesenjangan pola hidup antara
komunitas lokal dengan pendatang dan
karyawan perusahaan semakin jauh manakala
masing-masing komunitas menerapkan model
eksklusivisme masing-masing, yang artinya
terjadi suatu pengkotakan antara masing-
masing komunitas. Komunitas perusahaan
membuat jarak pola hidupnya dengan
membatasi diri dengan cara membuat pagar-
pagar di seluruh lingkungan perumahan
mereka, sedang komunitas pendatang juga
membuat beberapa kantung-kantung
perumahan mewah atau kompleks pemukiman
tertentu dengan model pasar, rumah sakit,
serta sekolah yang tersendiri pula, yang
kemudian membuat komunitas lokal semakin
termarjinalisasi.
Keadaan ini semakin membuat
kecemburuan sosial yang semakin besar,
perbedaan pengetahuan, pola hidup, dan juga
kepemilikan kebendaan secara fisik dapat
memicu konflik dan masalah-masalah sosial
lainnya. Munculnya kriminalitas dan gejala
patologis lainnya dapat memunculkan
anggapan-anggapan negatif terhadap
komunitas lokal, seperti perampokan,
pencurian dsb. Komunitas lokal seperti sudah
menjadi tradisi selalu saja mendapat label
sebagai biang keonaran dari sebagian anggota
komunitas yang ada.
Untuk meningkatkan peran serta
anggota masyarakat dalam kegiatan perusahaan
atau paling tidak untuk meminimalisir
ketidaksetaraan sosial ekonomi anggota
komunitas lokal dengan karyawan perusahaan
ataupun dengan pendatang lainnya diperlukan
suatu cara guna meningkatkan daya saing dan
mandirinya komunitas lokal. Untuk itu
diperlukan suatu wadah program yang berbasis
pada masyarakat yang sering disebut sebagai
community development untuk menciptakan
kemandirian komunitas lokal dan juga untuk
menata sosial ekonomi mereka sendiri dan ini
merupakan efek dari CSR.
Tantry Widiyanarti Corporate Social Responsibility: Model Community Development...


83
CSR didefinisikan di sini sebagai
internalisasi oleh perusahaan dalam aspek
sosial, memasukkan hak asasi manusia dan
dampak lingkungan dari beroperasinya
perusahaan. Atau, dengan kata lain, usaha pro-
aktif perusahaan dalam pencegahan polusi dan
penilaian resiko dampak sosial, ekonomi, dan
politik sehingga kecurangan dan kerugian
terhadap hak asasi manusia diantisipasi dan
dihindari dari awal dan keuntungan
perusahaan dioptimalkan pada proses yang
sedang berjalan (Svedson, 1998; Budimanta,
2004).
Di sini tampak bahwa perusahaan
merupakan sebuah komunitas baru yang
memiliki usaha di daerah komunitas lokal
(baca: pemilik sumberdaya alam dan pemegang
hak ulayat), serta komunitas lain yang hidup
atau mencari kehidupan di daerah tersebut.
Kesemua komunitas lokal ini dengan ciri sosial
budaya serta suku bangsa dan pola hidup yang
berbeda, hidup dalam kesatuan masyarakat.
Selayaknya jika perusahaan dan pendatang
memperhatikan dan menghormati komunitas
lokal.
Interaksi komunitas lokal dengan
komunitas perusahaan merupakan masalah
yang kompleks dan kaya variasi, sehingga
perusahaan perlu mempunyai community
development guidelines yang jelas namun luwes
yang dapat memahami struktur sosial dan
kebudayaan komunitas lokal. Dalam beberapa
bentuk CSR pada perusahaan multinasional
yang besar, kadang-kadang fleksibilitas yang
diperlukan dalam pengembangan community
development tidak didapat, demikian juga di
kalangan BUMN yang masih dikenal dengan
polanya yang sentralistik dan konservatif. Hal
ini banyak disebabkan karena kekurangan
pengetahuan secara emik terhadap komunitas
sekitarnya. Oleh karena itu sukses dari
program community development, selain banyak
bergantung dari politik makro, dalam tingkat
mikro tergantung juga pada budaya dan
komitmen perusahaannya dalam
mengimplementasikan kebijakan CSRnya.
Perusahaan tidak lagi hanya
mewujudkan citranya melalui kampanye atau
public relation saja tetapi harus mampu
menunjukkan akuntabilitasnya kepada
kepentingan publik. Perusahaan yang
akuntabel akan memperhatikan CSR
semaksimal mungkin, yang didukung oleh
aparat perusahaan yang bersih (good corporate
governence). Dengan demikian maka konsep
CSR sebagai sebuah model bagi community
development by corporate dapat terealisasikan
dengan baik.


Daftar Pustaka

Alyson. 2002. Proposal to the Extractive Industries Review: Scoping Study in the Area of
Armed Conflict and Corporate Social Responsibility. The University of Warwick.

Budimanta, Arif. 2003. Prinsip-Prinsip Community Development. Dalam Akses Peran
serta Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan dan Indonesia Center for Sustainable
Development.
----- . 2004. Corporate Social Responsibility, Jawaban Bagi Model Pembangunan di Indonesia
Masa Kini. Jakarta: ICSD.

Campfens, Hubert. 1999. Community Development Around the World. Canada: Toronto
University Press.

Carroll, Archie B. 1989. Business & Society. Ohio: South Western Publishing.

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


84
Chambers, Eleanor et.al. 2003. CSR in Asia: A Seven Country Study of CSR Website Reporting.
Nottingham: International Centre for CSR-Nottingham University.

Friedman, Milton. 1988. The Social Responsibility of Business to Increase Its Profits.
Dalam Etika Bisnis, Keraf, Sony, 1988. Yogyakarta: Kanisius.

Friedmann, Robert. 1991. Community Policing. Atlanta.

Natufe, O. Igho. 2001. The Problematic of Sustainable Development and Corporate Social
Responsibility: Policy Implication for the Niger Delta.

Pratley, Petter. 1995. The Essence of Business Ethics. Yogyakarta: Andi.

Svedsen, Ann. 1998. The Stakeholder Strategy. San Fransisco: Berret-Koehler Publisher,
Inc.Warhust.

Widiyanarti, Tantry. 2004. Persepsi Pelaku Bisnis Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(Studi pada Beberapa Perusahaan Swasta di Jl.Jenderal Sudirman Jakarta). Jakarta:
Pusat Pengembangan Etika Unika Atmajaya. Tidak diterbitkan.
Sri Alem Br.Sembiring Pengetahuan Petani dan Stabilitas Ekosistem Ladang: Urgensinya...


85
Pengantar
Perhatian terhadap pengetahuan
petani telah didengungkan banyak ahli. Salah
satunya adalah Radi A. Gani (1977) yang
mengatakan bahwa paradigma pertanian di
Indonesia sudah saatnya diubah. Berbagai
intervensi yang sifatnya top down selama ini
bukannya mensejahterakan petani, justru
cenderung memarjinalkan mereka sehingga
para wong cilik itu sekedar menjadi tenaga
kerja di lahannya sendiri. Sementara, program
intensifikasi yang membawa sukses besar
selama tiga dekade juga harus ditebus dengan
biaya mahal, antara lain beban kredit pada
tingkat petani. Dengan pendekatan intervensi
dari atas ini, inisiatif petani justru mengalami
pemarginalan
17
.

17
Dikutip dari tulisan Radi A.Gani pada pengukuhannya
sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian UNHAS di Ujung
Pandang. Telaah Gani menyimpulkan bahwa masalahnya
terletak pada paradigma terhadap sektor pertanian yang
tidak tepat Petani sering dipandang secara streotip sebagai
pihak yang tidak punya potensi sehingga diabaikan dalam
keseluruhan proses produksi. Dalam paradigma lama
yang menitikberatkan pada maksimalisasi produksi untuk
pertumbuhan, intervensi dalam produksi dan lingkungan
pasar yang tertutup tanpa mempertimbangkan potensi
petani (indigenous capacity). Lihat Media Indonesia, 20
Maret 1997).
PENGETAHUAN PETANI DAN STABILITAS
EKOSISTEM LADANG:
Urgensinya Dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan

Sri Alem Br.Sembiring
Departemen Antropologi FISIP USU


Abstrak
Kajian mengenai pengetahuan lokal petani tidak terbatas hanya pada apa yang mereka
ketahui dan kembangkan dalam pengelolaan ladang. Perhatian terhadap pengetahuan
yang secara faktual dipraktikkan petani juga penting untuk pembangunan pertanian.
Hubungan sinergis antara pengetahuan petani dan pembangunan pertanian hanya
dapat terwujud melalui sistem pertanian yang berkelanjutan, yang mengintegrasikan
faktor alam, stabilitas hasil, stabilitas lingkungan, petani, dan pemerintah.
Tulisan ini memaparkan bagaimana petani hortikultura di Berastagi membangun
hubungan yang sinergis antar-elemen terkait untuk mewujudkan stabilitas ekosistem
ladang mereka. Akan dideskripsikan bagaimana petani hortikultura membuat
klasifikasi tanaman dalam hubungannya dengan kondisi alam, fluktuasi harga pasar,
hama dan penyakit, sasaran distribusi, dan perkembangan ekspor impor hasil
pertanian. Pengetahuan ini merupakan akumulasi dari pengalaman dan percobaan
dari satu waktu tanam ke waktu tanam lain. Hasilnya, petani hortikultura
mengembangkan pola tanam campuran yang cenderung berganti/berubah yang sifatnya
sangat kontekstual tergantung dari harapan dan prediksi mereka atas perkembangan
situasi ketidakpastian yang mereka hadapi. Semua ini dilakukan dalam upaya
mempertahankan stabilitas hasil dan stabilitas ekosistem ladang.

Kata kunci: pengetahuan lokal, pertanian hortikultura, klasifikasi tanaman
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


86
Dengan nada yang tidak jauh berbeda,
Hobart (1993:1) mengemukakan bahwa salah
satu hal yang seringkali terjadi dalam
penerapan pengetahuan ilmiah oleh para ahli
(scientist) kepada petani adalah diabaikannya
pengetahuan-pengetahuan lokal dan
kemampuan potensial mereka untuk
berkembang
18
. Pengetahuan petani cenderung
dipandang sebelah mata dan dinilai
kampungan atau tidak mengikuti
perkembangan zaman. Sementara banyak
tulisan telah melaporkan bahwa petani-petani
senantiasa selalu sebagai inovator yang secara
terus menerus bereksperimen (percobaan)
dengan dan mengadaptasi ide-ide baru,
sumberdaya-sumberdaya dan teknologi-
teknologi yang diperkenalkan kepada mereka
19
.
Percobaan yang berkelanjutan ini
dilakukan petani juga dikarenakan mereka
menghadapi kondisi ketidakpastian akan iklim,
fluktuasi harga, serangan hama, dan penyakit.
Ketidakpastian ini juga merupakan suatu
persoalan lain yang harus dipikirkan petani
untuk mengatasinya. Kondisi ketidakpastian
ini akan berhubungan langsung dengan hasil
panen atau pendapatan mereka. Perubahan
dari kondisi ketidakpastian ini membutuhkan
penanganan baru. Hal inilah yang

18
Lihat juga tulisan Dirk Van Dusseldorp dan Louk Box
(1993) Local and Scientific knowledge: developing a
dialogue dalam Walter de Boef, Kojo Amanor and Kate
Williard, with Anthony Bebbington (eds) Cultivating
Knowledge: Genetic Diversity, Farmer Experimentation and
Crop Research. London: Intermediate Technology
Publication, hal 20.

19
Van Dusseldrop dan Box (1993:21) mengemukakan
bahwa dalam perbincangan di antara sesama petani, telah
terjadi pertukaran informasi, saling memberi, menerima,
dan menginterpretasi. Dalam perbincangan itu akan ada
pertukaran argumentasi dan kontra argumentasi hingga
munculnya saling memahami dan lahirnya konsensus-
konsensus. Millar (1993:47-48) juga mendeskripsikan
suatu proses penyaringan informasi yang dilakukan
petani. Proses penyaringan informasi ini meliputi
identifikasi persoalan, formulasi hipotesa, desain,
pengujian, validasi, dan evaluasi. Secara lebih tegas Millar
mengatakan bahwa tahap evaluasi ini sebenarnya adalah
proses yang berkelanjutan dan sebenarnya telah dimulai
sejak tahap identifikasi dan akan terus berlanjut tanpa
pernah berakhir.

menyebabkan pengetahuan itu berkembang
dan menjadi sangat dinamis
20
.
Beberapa telaah dan hasil studi di atas
menunjukkan bahwa petani juga memiliki
daya yang patut diperhitungkan. Pengetahuan
mereka tidak dapat dipandang sebelah mata.
Petani adalah komunitas lokal yang tentu lebih
mengenal kondisi lingkungannya
dibandingkan agen pemerintah yang
merupakan new comerdalam komunitas sosial
budaya dan lingkungan mereka.
Tulisan ini mendeskripsikan
pengetahuan petani dan signifikansi dalam
upaya mendukung sistem pertanian
berkelanjutan yang nantinya sangat bermanfaat
untuk melestarikan stabilitas ekosisitem
ladang. Pengetahuan itu merupakan hasil
analisa holistik petani atas semua persoalan
intern dan ekstern di ladang. Apa yang
dipraktikkan petani saat ini merupakan
akumulasi pengetahuan dari suatu perjalanan
panjang dalam profesi mereka.

Petani dan Pertanian Hortikultura di
Berastagi
Studi yang menjadi acuan tulisan ini
dilakukan di Desa Gurusinga, Kecamatan
Berastagi, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera
Utara. Sebahagian besar penduduknya hidup
dari pertanian
21
. Berdasarkan suhu udara,
ketinggian, kelembaban dan curah hujan, desa
ini sangat ideal sebagai sebuah desa pertanian
22
.

20
Lave (1988;1993) mengemukakan bahwa dalam
menghadapi persoalan baru, seorang individu (baca:
petani) harus selalu menyesuaikan tindakannya dengan
situasi baru yang berkembang dan melakukan perubahan-
perubahan. Perubahan ini menyebabkan pengetahuan itu
menjadi sangat dinamis dan sangat situasional.

21
Data kependudukan Desa Gurusinga pada tahun 2000
saat penelitian ini dilakukan menunjukkan bahwa dari
565 KK yang ada, terdapat 475 KK sebagai petani, 70
KK pedagang dan

20 KK pegawai negeri. Beberapa dari keluarga pedagang
dan pegawai negeri juga melakukan kegiatan cocok
tanam di ladang.

22
Desa ini terletak pada ketinggian 1400 meter dpl
dengan suhu udara relatif sejuk berkisar antara 16-27 C.
Kelembaban di Gurusinga rata-rata 82 % dan curah
Sri Alem Br.Sembiring Pengetahuan Petani dan Stabilitas Ekosistem Ladang: Urgensinya...


87
Jenis hortikultura yang mereka budidayakan di
ladang adalah beragam jenis sayur-sayuran
untuk kebutuhan pasar. Praktik tanam
campuran merupakan jenis cocok tanam yang
dipilih petani. Sebahagian kecil hasil ladang
juga digunakan untuk kebutuhan subsistensi.
Jenis tanah di desa ini cenderung
tergolong tanah andosol yang sangat subur
23
.
Ketersediaan air bagi kegiatan pertanian hanya
diharapkan dari curahan air hujan. Selain itu,
penduduk juga memelihara 20 mata air
(tapiin) yang secara kebetulan lokasinya
tersebar mengelilingi areal perladangan
penduduk. Beberapa aliran mata air ini akan
bertemu pada satu titik tertentu menjadi
sebuah sungai kecil (di dasar jurang). Terdapat
juga beberapa bidang hutan kecil milik
penduduk yang dipelihara dan tersebar di areal
perladangan dan di beberapa lokasi menjadi
batas satu ladang dengan ladang lain
24
.
Jenis tanaman hortikultura yang
dibudidayakan petani untuk kebutuhan pasar
jumlahnya mencapi sekitar 27 (dua puluh
tujuh) jenis tanaman, di samping beberapa
tanaman lain yang hanya untuk subsistensi di
kebun-kebun kecil di sekitar rumah atau di
dekat pondok di ladang mereka.

Pengetahuan Petani dalam Pemanfaatan
Sumberdaya
Petani-petani di Gurusinga
mengelompokkan tanaman-tanaman
hortikultura atas dasar kriteria-kriteria tertentu.
Kriteria-kriteria itu berkenaan dengan bentuk
fisik dan kemampuan produksi tanaman; juga
dihubungkan dengan kondisi lingkungan alam
dan kegiatan-kegiatan ekonomi. Klasifikasi
(pengelompokan) tanaman ini dibuat petani
untuk memudahkan mereka dalam memilih

hujan antara 2400 2800 mm/tahun (BPS SUMUT
1997).

23
Tanah andosol terdapat hampir di sebahagian besar
Dataran Tinggi Karo, punggung Pegunungan Bukit
Barisan. Tanah ini mengandung unsur vulkanik dari dua
gunung api di daerah ini yaitu Gunung Sibayak dan
Gunung Sinabung.
24
Hutan hutan kecil ini terdiri dari beragam jenis
tumbuhan, sebahagian besar adalah bambu, pisang, dan
beberapa jenis kayu hutan.
beberapa alternatif jenis tanaman yang akan
ditanam di ladang.
Pengetahuan tentang tanaman
hortikultura menjadi lebih kompleks manakala
petani juga harus mengaitkannya dengan arus
distribusi barang yang berhubungan dengan
ekspor-impor hasil hortikultura, juga
korelasinya dengan fluktuasi harga pasar hasil
tanaman mereka. Klasifikasi tanaman juga
terhubung dengan persoalan serangan hama
dan penyakit yang tidak dapat diprediksi.
Klasifikasi itu semakin bercorak
multidimensional ketika petani mengaitkan
penggolongan jenis tanaman dengan
hubungan-hubungan sosial. Hubungan sosial
ini merupakan afiliasi para aktor yang
berkaitan dengan perkembangan informasi
harga pasar, pinjam-meminjam bibit, kredit
pupuk dan pestisida. Sistem kekerabatan juga
memainkan peranan penting terutama dalam
penyebaran informasi tentang perkembangan
teknologi baru atau arus informasi yang
sifatnya rahasia. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa flow of information
berkaitan erat dengan flow of blood. Uraian
di bawah ini menyajikan gambaran
pengetahuan petani yang terangkum dalam
klasifikasi jenis tanaman yang mereka susun
berdasarkan kriteria tertentu.

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Usia
Seluruh tanaman hortikultura (sayur-
sayuran) yang dibudidayakan disebut petani
Gurusinga dengan tanamen muda, yaitu
tanaman yang telah dapat memberi hasil pada
usia singkat, sekitar tiga atau empat bulan.
Usia tanamen muda juga hanya berkisar tiga
bulan hingga satu tahun. Petani membedakan
tanamen muda dengan tanamen tua, yaitu
tanaman yang memberi hasil dalam hitungan
tahun, dan usia tanaman tua dapat mencapai
lebih dari satu tahun. Jeruk adalah jenis
tanamen tua berorientasi pasar yang banyak
ditanam petani.

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Masa
Produktivitas Tanaman
Berdasarkan masa produktivitasnya
petani membedakan tanamen muda atas dua
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


88
kelompok yaitu tanaman dengan waktu panen
satu kali (sekali ku tiga) dan waktu panen lebih
dari satu kali (piga-piga kali ku tiga
25
).
Tanaman sekali ku tiga meliputi kentang,
kubis, petsai, wortel, lobak, kacang jogo, ketna,
bit, selada, daun bawang, dan peleng.
Tanaman dengan waktu panen lebih dari satu
kali adalah tomat, cabai merah, cabai rawit,
buncis, arcis, patersly, seledri, ketumbar daun,
terung, kacang panjang, kacang koro, kubis
bunga, dan brokoli.

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Jenis dan
Perolehan Bibit Tanaman
Petani membedakan jenis bibit
tanamen muda dalam tiga bentuk bibit; anak
tanaman, umbi, dan biji. Bibit dalam bentuk
anak tanaman hanyalah daun bawang (bawang
daun). Bibit tanaman berbentuk umbi adalah
kentang dan bit. Selain ketiga jenis tanaman
ini, bibit tanamen muda lainnya dalam bentuk
biji. Ada dua cara penanaman bibit bentuk biji
ini, yaitu langsung menanam biji atau
menyemainya terlebih dahulu.
Berdasarkan cara perolehan bibit,
beberapa bibit tanaman dapat dibeli di kios
pupuk atau pestisida, di pasar, di tempat-
tempat khusus penyemaian bibit, ataupun dari
kerabat si petani. Khusus bibit dari kerabat
pembayarannya bisa dalam bentuk uang atau
berupa bibit juga. Petani yang tidak memiliki
uang kontan dapat membayar setelah mereka
memperoleh hasil panen. Sebahagian petani
membayarnya secara natura dalam bentuk jenis
bibit dan jumlah yang sama pada saat panen.
Petani akan menyisihkan sebahagian hasil
panennya untuk mengembalikan benih bibit
pinjaman.
Seluruh jenis tanaman dapat
dibuatkan sendiri bibitnya oleh petani
meskipun sudah ada yang menjual bibit di
pasar. Petani membuat pembibitan di ladang.

25
Secara harafiah sekali ku tiga berarti hanya satu kali ke
pasar. Sebutan ini untuk menyebut kelompok tanaman
muda yang hanya panen satu kali dalam satu waktu
tanam. Piga-piga kali ku tiga berarti beberapa kali ke
pasar. Sebutan ini ditujukan bagi kelompok tanaman
dengan masa panen beberapa kali dalam satu waktu
tanam.
Hanya bibit kubis dan petsai (khususnya sayur
putih) yang harus dibeli di pasar, dalam bentuk
biji yang dikemas dalam plastik bersegel resmi
dengan tanda khusus, produksi Thailand dan
China. Bibit kubis dan sayur putih dapat juga
dibeli di tempat penyemaian bibit milik
perorangan dalam bentuk anak tanaman.

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Perawatan
Tanaman
Petani Gurusinga membagi tanamen
muda menjadi tiga kelompok berdasarkan
perawatan tanaman; (a) tingkat kerumitan
perawatan, (b) modal perawatan, dan (c)
keahlian perawatan tanaman.
(a) Kerumitan perawatan tanaman
Petani membagi tanamen muda atas
dua kelompok, yaitu; tanamen capcai dan
tanamen muda biasa. Jenis capcai meliputi
wortel, bit, ketna, selada, daun bawang
(bawang daun), seledri, ketumbar daun,
patersly, dan sayur manis. Kelompok tanaman
jenis ini dipanen dalam bentuk daun, kecuali
wortel dan bit (panen dalam bentuk umbi).
Selain jenis capcai semua jenis tanaman
dikelompokkan sebagai tanamen muda biasa.
Secara umum, terdapat tiga perbedaan
antara dua kelompok tanaman ini. Pertama,
kelompok capcai adalah tanaman yang sangat
butuh air, harus disiram pada awal waktu
tanam dan juga pada perawatan selanjutnya
apabila cuaca terlalu panas. Setelah dipanen
dan sebelum dijual ke pasar, tanaman capcai
harus dicuci terlebih dahulu. Kelompok
tanaman muda lainnya tidak terlalu butuh air,
tidak harus disiram pada awal tumbuhnya,
cukup hanya air hujan dan juga tidak perlu
dicuci sebelum dijual ke pasar. Kedua,
kelompok capcai dapat dijual ke pasar
walaupun usianya belum mencapai usia panen
(3-4 bulan). Petani tidak akan rugi karena
kelompok ini tidak membutuhkan biaya yang
tinggi dalam perawatannya. Tanaman muda
lainnya hanya dipanen apabila sudah cukup
umur atau mencapai 4 bulan. Harga akan
murah jika dijual sebelum memasuki usia
Sri Alem Br.Sembiring Pengetahuan Petani dan Stabilitas Ekosistem Ladang: Urgensinya...


89
panen
26
. Ketiga, beberapa kelompok capcai
dapat dipanen dua kali dalam satu minggu
secara rutin sampai tanaman berusia kurang
lebih enam bulan. Panen rutin ini untuk jenis
daun, seperti daun saledri, daun patersly, dan
daun ketumbar. Helai demi helai daun dipetik
dengan menyisakan daun muda (pucuk daun).
Kelompok tanaman muda lainnya dipanen
secara bersama-sama. Kalaupun ada jenis yang
tidak dipanen lebih dari satu kali, pemanenan
itu tidak memetik daun helai demi helai setiap
minggu.

Modal Perawatan Tanaman
Petani membagi dua kelompok
tanaman untuk kategori ini yaitu tanaman si
megegeh modal (tanaman bermodal besar) dan
tanaman si sitik modal (tanaman muda
bermodal kecil). Pengelompokan ini
berhubungan dengan biaya pembelian pupuk
dan pestisida untuk perawatan tanaman hingga
panen. Tanaman bermodal besar meliputi:
tomat, kentang, cabai merah, cabai paprika,
kubis, kubis bunga, dan brokoli. Tanaman
bermodal kecil meliputi jenis capcai; buncis,
lobak, kacang jogo, kacang panjang, kacang
koro, terung, dan jenis petsai.
Pupuk yang digunakan adalah pupuk
buatan pabrik (PUSRI) seperti urea, KCL
(petani menyebutnya paten kali ) dan SP-36
(disebut tripel). Pupuk ZA disebut petani
dengan garam, SS disebut amapos, BASF
disebut rustika. Petani juga menggunakan
pupuk organik buatan sendiri yang mereka
sebut taneh gemuk. Pupuk buatan ini meliputi
pupuk kandang dan pupuk hijau atau kompos.
Pestisida disebut obat oleh petani
Tanah Karo. Obat ini dapat dibeli di kios
pupuk dan pestisida di Berastagi (ibukota
kecamatan) dan juga di Kabanjahe (ibukota
kabupaten). Penyemprotan obat dilakukan
secara rutin tanpa menunggu serangan hama
dan penyakit tanaman. Petani mengatakan
bahwa tindakan ini dilakukan sebagai
antisipasi serangan hama dan penyakit yang

26
Petani menilai atau mengukur harga jual hasil panen
atas kategori mahal atau murah dengan menjadikan biaya
perawatan tanaman sebagai acuan perbandingan.
tidak dapat diramalkan. Berdasarkan
pengalaman mereka, tanaman tidak akan
berhasil dengan baik apabila tidak disemprot
obat. Menurut petani, setiap bibit yang
ditanam adalah modal yang harus dirawat
dengan baik jika tidak ingin rugi.
Petani cenderung menggunakan dosis
obat yang lebih tinggi dari yang tertera di
kemasan. Pengalaman mereka memberikan
kepada petani pemahaman bahwa hama dan
penyakit cenderung menyerang tanaman jika
mereka mengikuti dosis di kemasan. Dalam
konsepsi mereka, apabila penyakit sudah
menyerang, maka dosis obat harus dilebihkan
lagi untuk mengantisipasi perluasan serangan
hama dan penyakit. Petani memilih untuk
melakukan upaya antisipasi daripada
menunggu hama dan penyakit menyerang,
karena menghentikan perluasan serangan jauh
lebih mahal daripada mencegahnya.
Karena mahalnya biaya perawatan
tanaman, beberapa petani memanfaatkan
hubungan baik mereka dengan pemilik toko
pupuk dan pestisida. Hubungan atas dasar
kepercayaan yang diawali sebagai pembeli tetap
berkembang menjadi hubungan pinjam
meminjam pupuk, pestisida, dan bibit tanpa
jaminan
27
.

Keahlian Perawatan tanaman
Petani membagi tanaman muda
menjadi dua bagian; tanaman top dan tanaman
si biasa. Tanaman top merupakan jenis
tanaman muda yang sangat dikenal petani;
petani sangat memahami perawatan tanaman
dan selalu mendapat keuntungan apabila
menanamnya, walau dalam cuaca terburuk
sekalipun. Si petani sangat ahli terhadap
tanaman ini. Sesekali kami memang pernah

27
Petani mengutang pupuk, pestisida maupun bibit
tanaman, dan akan membayarnya setelah panen. Jumlah
pengembalian dihitung sesuai harga barang pada saat
akan dilakukan pembayaran. Jika petani merugi, mereka
dapat terus berhutang dan membayarnya pada saat panen
mendatang. Hubungan itu didasarkan pada perjanjian
tak tertulis yang intinya mengikat petani untuk tetap
melakukan pembelian kebutuhan pertanian dari toko
yang sama. Petani mengatakan cara ini sebagai win win
solution untuk petani dan pemilik toko pupuk/pestisida.

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


90
rugi, tapi sedikit dan sangat jarang terjadi,
paling kembali modal dan bagi kami itu tidak
termasuk merugi, demikian ungkap Pak
Ginting yang memiliki tanaman tomat sebagai
tanaman top
28
.
Keahlian merawat tanaman top ini
hanya beredar di antara kerabat dekat yang
memiliki hubungan baik. Keahlian yang
tertutup dan diproteksi itu meliputi kiat-kiat
khusus menyiasati tanaman agar tumbuh dan
panen melimpah ruah. Kiat-kiat tersebut
berupa teknik/cara tanam, dosis dan waktu
pemberian pupuk, dan penyemprotan
pestisida, atau proses pembibitan yang
sempurna. Keahlian tanaman top ini sangat
individual sifatnya, dan sudah menjadi
identitas bagi kerabat keluarga luas atau klen
(marga) tertentu. Setiap individu atau
kelompok marga tertentu cenderung memiliki
tanaman top yang berbeda. Petani punya
sebutan untuk mereka yang berkeahlian khusus
ini, seperti perkentang untuk petani yang
memiliki tanaman top kentang; percina untuk
mereka yang punya tanaman top cabai; dan
sebutan perkol (kol=kubis) bagi yang memiliki
tanaman top kubis.
Sedangkan tanaman si biasa adalah
jenis tanaman muda lainnya yang bukan
merupakan tanaman top si petani. Petani tidak
sangat ahli dalam merawat jenis tanam si biasa
ini. Petani tidak selalu untung apabila memilih
tanaman si biasa baginya. Jika untung bisa
untung besar, jika rugi bisa sangat buntung,
begitulah penjelasan Pak Karo-Karo di
Gurusinga.

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Ukuran
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman dari permukaan tanah
menjadi dasar bagi petani dalam

28
Kembali modal bagi petani Gurusinga tidak dinilai
sebagai kerugian, karena mereka cenderung tidak
menghitung biaya tenaga kerja dan waktu yang mereka
keluarkan dalam merawat tanaman sebagai biaya
produksi. Petani akan menghitung tenaga kerja dan
waktu sebagai modal apabila mereka menggunakan
buruh tani untuk bekerja di ladangnya. Buruh tani harus
diberi upah berkisar Rp 20.000-25.000 untuk satu hari
kerja di ladang dengan tanamen muda dimulai pukul
09.00 sampai 17.00 WIB.
mengklasifikasikan tanaman muda mereka.
Petani menghubungkan tinggi tanaman itu
dengan kerimbunan cabang-cabang dan daun
tanaman. Berdasarkan hal ini, petani
membedakan tiga kelompok tanaman muda; si
nggedang melalau bulung (tanaman tinggi dan
daun rimbun), si sedang (tinggi tanaman
sedang dan daun tidak rimbun), si gendek
(tanaman pendek). Tanaman singgedang melala
bulung adalah tanaman muda yang memiliki
batang (seperti kayu) dengan tinggi rata-rata
mencapai pangkal paha orang dewasa (sekitar 1
m), memiliki beberapa cabang dan daun
rimbun
29
. Cabai merah, cabai rawit, cabai
paprika, tomat, arcis, kacang panjang, kacang
koro, dan terung adalah contoh jenis ini. Hasil
panen jenis ini dalam bentuk buah.
Si sedang juga memiliki batang
tanaman dengan tinggi rata-rata hingga lutut
petani dewasa (di bawah 1 m), dengan
beberapa cabang tanaman. Hasil panen juga
dalam bentuk buah, seperti buncis dan kacang
jogo. Sedangkan, si gendek adalah tanaman
yang tidak memiliki batang tanaman (dalam
bentuk kayu), hanya dalam bentuk daun
dengan tinggi tidak sampai ukuran lutut petani
dewasa. Hasil tanaman dalam bentuk umbi
dan daun, seperti kentang, wortel, lobak, bit,
jenis capcai, jenis petsai, kubis, kubis bunga,
dan brokoli.

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Bentuk
Akar Tanaman
Bentuk akar tanaman yang dimaksud
adalah ukuran besar dan kecil serta ukuran
panjang dan pendeknya akar tanaman. Petani
membedakan tanaman atas dua kelompok; si
nggedang urat (tanaman muda dengan akar
panjang) dan si gendek urat (tanaman muda
dengan akar pendek). Si nggedang urat
memiliki bentuk akar yang lebih besar
dibanding jenis tanaman lainnya. Akarnya
mencapai 50 cm, kuat melekat pada tanah,
sukar dicabut, dan memiliki beberapa cabang
akar dengan ukuran lebih kecil, seperti kubis,

29
Petani menggunakan kriteria ukuran tinggi tanaman
dengan membandingkannya terhadap ukuran tinggi
tubuh mereka.
Sri Alem Br.Sembiring Pengetahuan Petani dan Stabilitas Ekosistem Ladang: Urgensinya...


91
kubis bunga, brokoli, jenis cabai, tomat,
buncis, kacang jogo, kacang panjang, kacang
koro, dan terung. Jenis ini tergolong tanaman
dengan akar tunggang.
Si gendek urat memiliki akar tanaman
yang pendek, halus, kecil-kecil, bersambungan
satu dengan lainnya dan jumlahnya sangat
banyak, tidak kuat melekat pada tanah, tidak
sukar dicabut. Kelompok ini meliputi beberapa
jenis tanaman seperti jenis petsai (sayur putih,
sayur pahit, sayur manis), jenis capcai, dan
lobak. Kelompok ini tergolong jenis tanaman
berakar serabut.

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Sumber
Penyakit
Klasifikasi ini berkaitan erat dengan
kondisi iklim di Gurusinga. Berdasarkan
sumber penyakit, petani mengelompokkan
tanaman muda ke dalam dua bagian; tanaman
sakit karena hawa (angin dan cuaca) dan
karena tanah atau pinakit taneh.
Petani menjelaskan bahwa tanaman
muda mereka dapat tumbuh tidak sempurna
disebabkan hawa yang tidak baik. Dalam
musim hujan (September-Desember) urat
tanaman tidak berjalan. Musim sedang atau
tukar-tukar hawa (Agustus-September) akan
banyak ulat-ulat atau busuk daun/batang. Pada
musim ini cuaca dapat berubah beberapa kali
dalam satu hari, panas, lalu turun hujan secara
tiba-tiba atau mendung, atau gerimis tiba-tiba
diiringi angin kencang. Jika musim panas
(Mei-Agustus), maka semua zat tanah (unsur
hara) akan diserap panas matahari. Musim
yang baik adalah musim sedang, khususnya
Januari-April. Namun, mereka tidak mungkin
hanya menanam pada bulan ini, karena mata
pencaharian utama dari pertanian.
Penyakit ada karena hawa tidak baik.
Tanaman tidak tahan terhadap hawa itu.
Hawa yang mereka maksud berhubungan
dengan suhu atau temperatur udara dengan
kecepatan atau arah angin. Menurut petani,
apabila mereka menyesuaikan jenis tanaman
dengan kecenderungan jenis iklim yang sesuai
bagi pertumbuhan tanaman, ternyata penyakit
yang dihindarkan juga menyerang tanaman.
Sehingga, hasil yang diperoleh juga tidak sesuai
dengan harapan petani. Dengan pengalaman
berulang-ulang seperti ini, petani cenderung
menanam setiap jenis tanaman dalam setiap
kondisi iklim. Beberapa penyakit yang
bersumber dari hawa antara lain adalah
bayungen (Pseudomonas solanacearum), cendol-
cendol/nipe-nipe (Crocidolomia-binotalis),
kriting (Spodoptera litura), meseng pucuk
(Antraknose)
30
.
Penyakit tanaman juga disebabkan
karena penyakit tanah. Tanah kami juga
sudah sakit. Tanah yang sakit ini
menularkan penyakit pada tanaman. Petani
tidak tahu mengapa tanah mereka menjadi
sakit. Penyakit tanah akan menyerang
tanaman apabila petani menanam jenis
tanaman yang sama untuk dua waktu tanam
secara berturut-turut pada lahan yang sama.
Bagian tanaman yang diserang biasanya adalah
akar, umbi ataupun pangkal batang tanaman.
Beberapa penyakit yang bersumber dari tanah
antara lain akar lobak atau nematoda bengkak
akar (Meiloidogyne Spp.), balagering atau
penggerek umbi dan batang (Phthorimaea
Operculella Zeller).

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Tujuan
Pemanfaatan Tanaman
Tanaman muda dibedakan atas dua
kelompok: tanaman sampingan dan dayaan.
Tanaman sampingan adalah tanaman muda
yang dibudidayakan hanya untuk sampingan
atau sekedar tambahan. Petani tidak
mengharapkan keuntungan besar dari jenis ini.
Beberapa petani tidak menjual hasil tanaman
sampingan, hanya untuk subsistensi. Beberapa
contohnya antara lain; jenis petsai, jenis capcai,
buncis, kacang koro, terung, dan cabai rawit
31
.

30
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dalam Sri Alem
Sembiring (2000), Praktik Tanam Campuran: Kajian
Proses Pengambilan Keputusan Petani dalam Memilih
Jenis Tanaman Hortikultura di Desa Gurusinga, Kec.
Berastagi Sumatera Utara. [Tesis]. Program Pascasarjana
Program Studi Antropologi Universitas Indonesia.
31
Terdapat juga tanaman sampingan lain seperti; labu
kuning, labu putih (walo), labu jipang dan daun
singkong. Jenis tanaman ini tidak disebut tanamen muda,
walaupun telah menghasilkan dalam usia 4 bulan, tetapi
usianya dapat mencapai lebih dari tiga tahun jika dirawat
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


92
Beberapa jenis tanaman sampingan lainnya
adalah tanaman obat dan juga beberapa
bumbu dapur
32
. Tanaman ini juga ditujukan
sebagai tumbal atau sasaran dari penyakit
yang akan menyerang tanaman.
Harapan keuntungan utama petani berasal dari
tanaman dayaan, yaitu tanaman yang ditanam
dengan tujuan utama untuk dijual ke pasar.
Petani dapat menggolongkan seluruh jenis
tanaman muda sebagai tanaman dayaan selama
mereka menanam tanaman tersebut untuk
tujuan komersial, dan mempunyai harapan
besar untuk mendapatkan keuntungan
darinya.

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Sasaran
Distribusi
Petani mengelompokkan tanaman
muda ke dalam dua bagian; tanamen kirim
(tanaman ekspor) dan tanamen la kirim
(tanaman untuk lokal). Tanaman ekspor
adalah tanaman muda yang dapat diekspor
atau dikirim ke luar negeri. Berikut ini daftar
tanaman ekspor dengan negara tujuan.

Petani Gurusinga menyebutnya dengan senuan-senuan
juma (tanaman-tanaman ladang).

32
Tanaman obat yang ditanam petani antara lain; tebu
hitam, daun bangun-bangun, dan daun sirih. Sedangkan
jenis bumbu dapur antara lain; jahe, kunyit dan kencur,
dan lengkuas.
Sri Alem Br.Sembiring Pengetahuan Petani dan Stabilitas Ekosistem Ladang: Urgensinya...


93
Tabel 1. Nama Jenis Varietas Tanaman dalam Bahasa Indonesia, Lokal ,dan Latin

No. Jenis Tanaman Bahasa Lokal Bahasa Latin
1 Andebi Andebi
2 Arcis/kacang kapri Arcis Pisum Sativum L.
3 Bawang daun Daun prei Allium fistulosum
4 Bit Bit
5 Brokoli Brokoli Brassica oleralea var italica
6 Buncis tegak Buncis Taiwan Phaseoulus vulgaris L.
7 Cabe merah Cina Capsicum annuum L.
8 Cabe paprika Cina si galang Capsicum annuum var grossum
9 Cabe rawit Cina cur Capsicum frutescents L.
10 Kacang jogo Kacang Joko Phaseolus vulgaris L.
11 Kacang koro Kacang koro Vacia faba
12 Kacang panjang Kacang panjang Vigna sinensis L.
13 Kangkung Angkung Ipomoea aquatica
14 Kentang Kentang Solanum tuberosum L.
15 Kubis Kol Brassica oleracexa L.
Brassica olerceae var capitata L.
16 Kubis bunga Kol bunga Brassica var botritys
Brassica oleraceae sp.campestris L.
17 Lobak Lobak
18 Petsai Sayur putih, sayur
pendek, sayur pait,
sayur panjang.
Brassica campestris var. pekinensis Rupr
Brassica sinensis
19 Peleng Peleng
20 Selada Selada Lactuca sativa L.
21 Seledri Daun sop
22 Tangho Tangho
23 Terung Terung Solanum melongenal
24 Tomat Tomat Lycopersicum esculentum Mill
25 Wortel Wortol Daucas carota Linn

Tabel 2. Jenis Tanaman Ekspor dari Kecamatan Berastagi dan Negara Tujuan Ekspor

No Jenis Tanaman Negara Tujuan
1 Kentang Malaysia, Singapura, Brunei D., USA
2 Tomat Singapura dan Malaysia
3 Kubis Bunga Malaysia, Singapura, Hongkong
4 Kubis Malaysia, Singapura, Jepang, Taiwan, Pakistan
5 Wortel Malaysia, Singapura, Pakistan, Hongkong
6 Buncis Malaysia, Singapura, Hongkong,Jepang
7 Arcis Malaysia
8 Seledri Malaysia, Singapura
Sumber: Departemen Perindag Kabupaten Karo 2000

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


94
Jenis tanamen la kirim adalah tanaman
yang hasilnya tidak diekspor, tetapi hanya
didistribusikan untuk beberapa daerah lain
atau di luar Sumatera Utara, seperti; Medan,
Aceh, Batam, Padang, Palembang, dan juga
Riau
33
.

Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Fluktuasi
Harga
Petani menggolongkan jenis tanaman
atas fluktuasi harga menjadi dua bagian;
tanaman dengan perubahan harga yang sangat
cepat dan tanaman dengan perubahan harga
yang tidak terlalu cepat. Petani menyebut
tanaman dengan fluktuasi harga tinggi dengan
tanamen ngeri atau tanamen ngeri-ngeri sedap,
seperti; tomat, kentang, cabai merah, kubis
bunga, dan wortel
34
. Harga tanaman ini dapat
berubah jauh dalam hitungan hari. Perbedaan
harga sangat mencolok dari hari ke hari. Jenis
tanaman ini sebahagian besar tergolong
tanaman ekspor. Besarnya permintaan ekspor
barang menentukan perubahan harga.
Tanaman yang tergolong memiliki
fluktuasi harga pasar yang tidak terlalu cepat
adalah; buncis, brokoli, lobak, jenis terung,
dan jenis capcai (kecuali wortel). Jenis tanaman
ini tidak berubah secara mencolok perbedaan
harganya. Jika naik, harga tidak terlalu tinggi
dan jika turun, harga tidak jatuh terlalu
besar
35
.
Sehubungan dengan fluktuasi harga
ini, petani menempuh beberapa cara untuk
mendapatkan informasi baru yang di up date
setiap hari bahkan beberapa kali dalam sehari,
terutama apabila petani hendak menjual

33
Dalam menjual tanaman kebutuhan ekspor dan lokal
ini, petani memiliki dua alternatif pilihan penjualan,
yaitu kepada agen (pedagang perantara untuk ekspor)
dengan melelang tanaman di ladang atau membawanya
ke pasar induk di Berastagi dan menjualnya ke perkoper
(pedagang perantara untuk kebutuhan lokal)
34
Petani Gurusinga menjelaskan bahwa harga jenis
tanaman ngeriini dapat tiba-tiba menjadi mejile (mahal)
dan juga tiba-tiba menjadi mejin (murah), yang membuat
mereka bisa mendapat untung tetapi juga bisa menderita
kerugian besar.
35
Petani menjelaskan beragam versi penyebab naik
turunnya harga, misalnya karena banjir barang,
tingginya permintaan barang dari dalam dan luar negeri,
atau karena kegagalan panen di daerah lain.
tanamannya. Petani mengembangkan jalur
informasi dengan para agen dan perkoper.
Bahkan banyak petani yang membuka jalur
informasi dengan tukang timbang di pasar
induk dan juga dengan supir angkot dalam
kota/antarkampung. Mereka inilah yang lebih
cepat mendapat informasi mengenai harga
barang, jenis tanaman yang banjir barang,
arus ekspor, distribusi antarkota.

Signifikansi Pengetahuan Petani bagi
Stabilitas Ekosistem Ladang dan Sistem
Pertanian Berkelanjutan
Pengetahuan dan praktik tanam
campuran petani di Desa Gurusinga yang telah
dipaparkan di atas menunjukkan bahwa satu
petani dengan petani lain cenderung
mempraktikkan pola tanam campuran dan
pilihan jenis tanaman yang berbeda-beda.
Perbedaan pilihan jenis tanaman dan pola
tanam cenderung didasarkan pada
pengalaman, atau lebih tepatnya merupakan
akumulasi pengetahuan petani dari satu
periode tanam ke periode tanam lain.
Hasil dari percobaan dan akumulasi
pengetahuan adalah klasifikasi tanaman
berdasarkan banyak hal. Ini menunjukkan
bahwa pengetahuan petani tidak statis,
melainkan dinamis sesuai dengan
perkembangan situasi baru. Penyesuain selalu
diupayakan petani demi mencapai harapan
mereka dalam setiap periode tanam. Hasil dari
apa yang mereka praktikkan adalah keragaman
jenis tanaman dan pergantian jenis tanaman
untuk setiap periode tanam. Fenomena ini
searah dengan isu keragaman hayati
(biodiversity).
Dalam kaitannya dengan konteks
keragaman tanaman, apa yang dipraktikkan
petani hortikultura di Gurusinga akan
menyumbang pada lestarinya keragaman
tanaman. Kelestarian keragaman tanaman akan
senantiasa terpelihara karena ada hal lain yang
juga lestari (paling tidak dalam prediksi petani)
yaitu kecenderungan akan kepastian perubahan
iklim yang tidak menentu, fluktuasi harga yang
sangat tinggi, serangan hama dan penyakit
yang sulit diprediksi dan diantisipasi, dan juga
Sri Alem Br.Sembiring Pengetahuan Petani dan Stabilitas Ekosistem Ladang: Urgensinya...


95
perubahan kuantitas permintaan ekspor dan
lokal hasil pertanian.
Keseluruhan faktor ini akan
mempengaruhi hasil panen dan penghasilan
petani. Kekhawatiran akan jatuhnya harga dari
beberapa jenis tanaman dan antisipasi serangan
hama, petani akan cenderung tetap
membudidayakan jenis tanaman yang
beragam. Tindakan ini terutama ditujukan
sebagai proteksi stabilitas hasil panen atau
stabilitas penghasilan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas,
petani mengatakan bahwa jika menanam jenis
tanaman yang sama (atau mencampur tanaman
yang sama) di lahan yang sama untuk dua
periode tanam berturut-turut, maka hasil
panen cenderung berkurang dari segi kuantitas.
Selain itu, serangan hama juga akan cenderung
lebih mengganas. Konsekuensinya, petani
harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk
penyemprotan pestisida. Selain itu, biaya
pupuk juga lebih banyak. Penjelasan petani
mengenai hal ini:
Jenis tanaman yang sama akan memakan
zat tanah yang sama, jadi harus ditambah
pupuk karena telah dimakan oleh tanaman
yang sama sebelumnya, demikian juga hama
dan penyakit yang sebelumnya ada juga
lebih cepat berkembang karena tanamannya
sama, karena tidak semua hama itu mati
walau telah panen, entah kenapa begitu,
kami tidak tahu .., tapi kalau diganti
posisi tanaman atau jenis tanamannya,
tidak begitu dia, bisa lebih baik panennya,
begitulah.
Penjelasan demikian merupakan
pengetahuan yang diperoleh petani dari
pengalaman mereka sebelumnya. Mereka
melakukan upaya pergantian jenis tanaman
demi menjaga kesuburan tanah dan sebagai
upaya untuk meminimalisir serangan hama
dan penyakit tanaman.
Keanekaragaman hayati menurut
Cleveland (1993) dan Shand (1997) sangat
diperlukan dalam jangka panjang untuk
kehidupan di planet ini dan merupakan kunci
mendasar bagi sistem pertanian yang
berkelanjutan (sustainable agriculture)
36
.
Urgensi terhadap perlindungan keragaman
hayati ini juga telah melahirkan sebuah
konvensi keragaman biologi di Rio de Janeiro
pada tahun 1992. Konvensi ini telah
menetapkan bahwa langkah pertama yang
perlu dikampanyekan untuk seluruh dunia
adalah perlindungan terhadap perusakan
keragaman. Perusakan keragaman ini
merupakan ancaman terhadap pemusnahan
beberapa spesies dan perusakan lingkungan,
termasuk di dalamnya tumbuhan, hewan, ikan
atau hutan. Akhirnya, hal itu akan
menyebabkan kerusakan ekosistem pada
tingkat dunia
37
.
Kesadaran banyak pihak akan bencana yang
dihadapi akibat hilangnya keragaman
hayati telah mencetuskan beberapa
upaya ke arah konservasi keragaman
hayati. Salah satu elemen penting dari
upaya ini adalah konservasi biodiversity
dalam habitatnya sendiri (in situ),
selain konservasi di luar habitat pada
genebank secara ex situ. Konservasi
keragaman tanaman dalam habitatnya
sendiri akan melibatkan petani sebagai
orang yang paling dekat dengan
budidaya tanaman tersebut. Dengan
demikian, perhatian akan lebih
bermanfaat difokuskan kepada petani
dan pengetahuan lokal mereka. Petani
adalah aktor yang paling penting
dalam upaya konservasi keragaman
tanaman. Pengetahuan yang mereka

36
Menurut Cleveland (1993) dan Shand (1997) dalam
jangka panjang, keragaman hayati sangat diperlukan bagi
jaminan persediaan makanan bagi penduduk Bumi; juga
berfungsi sebagai sistem yang mendukung kehidupan di
planet ini untuk kontribusi oksigen, mempertahankan
kualitas atmosfer dan juga untuk alasan estetis.

37
Beberapa penulis menyebutkan bahwa perusakan
keragaman hayati berawal dari usaha modernisasi
pertanian, komersialisasi, maupun intensifikasi produksi
melalui Revolusi Hijau dan sistem pertanian monokultur
dengan pengutamaan pada penggunaan teknologi tinggi,
pasokan energi tinggi, dan hasil yang tinggi. Program
Revolusi Hijau tidak hanya mengancam hilangnya
keragaman hayati, tetapi juga terhadap hilangnya
pengetahuan-pengetahuan tradisional petani, karena
keduanya memiliki hubungan yang saling terkait.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


96
miliki merupakan suatu kearifan
pemanfaatan lahan yang
memperhatikan kepentingan
lingkungan, ekonomi, dan stabilitas
ekosistem ladang mereka.

Daftar Pustaka

Cleveland, D. A. 1993. Is Variety More than Spice of Life: Diversity, Stability, and
Sustainable Agriculture. Dalam Culture and Agriculture: 2-7.

Millar, David. 1993. Farmer Experimentation and The Cosmovision Paradigm. Dalam
Walter de Boef, Kojo Amanor, and Kate Williard, with Anthony Bebbington (eds)
Cultivating Knowledge: Genetic Diversity, Farmer Experimentation and Crop Research.
London: Intermediate Technology Publication, hal 20.

Hobart, Mark1. 1993. Introduction: The Growth of Ignorance. Dalam Mark Hobart (ed)
An Anthropological Critique of Development: The Growth of Ignorance. London and
New York: Routledge Publication, hal. 1-30.

Sembiring, Sri Alem. 2000. Praktik Tanam Campuran: Kajian Proses Pengambilan
Keputusan Petani dalam Memilih Jenis Tanaman Hortikultura di Desa Gurusinga,
Kec.Berastagi, Kab.Karo Sumatera Utara.[ Thesis]. Depok: Universitas Indonesia.
[Tidak dipublikasikan].

Shand, Hope. 1997 Human Nature: Agriculture Boidiversity and Farm Based Food Security,
RAFI (Rural Advancement Foundation International). Canada: Design Co,
December 1997.

Van Dusseldorp, Dirk dan Louk Box. 1993. Local and Scientific Knowledge: Developing a
Dialogue. Dalam Walter de Boef, Kojo Amanor, and Kate Williard, with Anthony
Bebbington (eds) Cultivating Knowledge: Genetic Diversity, Farmer Experimentation
and Crop Research. London: Intermediate Technology Publication, hal 20.
Agustrisno Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi Rawa...


97


Pendahuluan
Pada tahun 1970-an sekelompok
warga Jawa mantan karyawan perkebunan
membeli lahan rawa-rawa milik penduduk
Desa Pulau Banyak, Kecamatan Tanjung Pura,
Kabupaten Langkat. Mereka membeli lahan
rawa secara patungan dengan harga murah dari
orang-orang Melayu penduduk asli, dan
kemudian mengkonversinya menjadi lahan
sawah. Setelah menjadi petani mereka hidup
menetap di desa itu, dan jumlah mereka saat
ini ada sebanyak + 233 KK (bertambah sekitar
50 % dari jumlah saat mereka tiba pertama kali
di desa tersebut pada tahun 1970-an). Petani
Jawa tersebut tinggal terkonsentrasi di tiga
lorong, yakni Lorong Rejosari (37 KK),
Lorong Manggis (102 KK), dan Lorong Paluh
Medan (94 KK). Berkat kegigihan mereka
bersawah, produksi padi sawah seluas 20 Ha
lahan bekas rawa itu mencapai 5 ton pertahun.
Menurut Kepala Desa Pulau Banyak, hasil padi
petani Jawa tersebut merupakan income
terbesar desanya dari sektor pertanian, sehingga
menjadi perhatian bagi warga kelompok
tetangga yang lain (Wawancara dengan kepala
desa, Februari 2000).
Di tengah luasnya lahan-lahan rawa
tak produktif di wilayah pesisir timur Sumatera
Utara, tentu menarik untuk mengkaji
bagaimana orang Jawa bisa mengkonversinya
menjadi lahan yang produktif untuk
menunjang pasokan pangan penduduk.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian tentang
sistem kategorisasi pengetahuan
38
sekelompok

38
Sistem kategorisasi inilah kata para ahli yang
memungkinkan manusia (1) menyederhanakan
keanekaragaman unsur-unsur yang ada; (2)
mengidentifikasi berbagai unsur yang ada dalam
lingkungannya, dan menempatkan masing-masing unsur
menurut sistem pengkategorisasian, (3) mengurangi
proses belajar yang terus menerus, (4) melakukan
tindakan yang bersifat instrumental antara dua kategori
SISTEM KATEGORISASI PENGETAHUAN
PETANI:
Kasus Konservasi Rawa Menjadi Lahan Sawah di Desa
Pulau Banyak
Kabupaten Langkat

Agustrisno
Departemen Antropologi Fisip USU

Abstrak
Kategorisasi pengetahuan petani sangat menentukan bagaimana mereka melakukan
kegiatan pengelolaan sumberdaya alam. Dengan pengetahuan itulah sekelompok
petani Jawa di Desa Pulau Banyak, Langkat, mengkonversi lahan rawa-rawa yang
dulu tidak produktif menjadi lahan sawah. Tulisan ini menguraikan ringkas
bagaimana kategorisasi pengetahuan petani di desa tersebut khususnya berkaitan
dengan lahan rawa dan pengolahannya menjadi sawah.

Kata kunci: pengetahuan lokal, rawa tanah galong, rawa tanah cabuk
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


98
petani Jawa tersebut, khususnya untuk
mendeskripsikan kategorisasi pengetahuan
yang mereka gunakan dalam memilih dan
mengubah lahan, dari yang dulunya rawa-rawa
bersemak menjadi lahan sawah produktif.
Penggalian kategorisasi pengetahuan ini, selain
dimaksudkan untuk mengungkap khazanah
pengetahuan lokal (local knowledge) yang secara
efektif masih digunakan masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan alam; juga diharapkan
dapat memberikan kontribusi teoritik dalam
menjelaskan hubungan antara sistem
kategorisasi pengetahuan dengan tindakan
instrumentatif manusia. Kepentingan
praktisnya adalah menemukan kiat-kiat yang
digunakan oleh masyarakat lokal dalam
menjinakkan lahan rawa, yang bisa direplikasi
guna menunjang ketahanan pangan di masa
mendatang.
Sistem kategorisasi pengetahuan
petani tersebut merupakan landasan kognitif
yang kelak bisa ditransfer kepada orang lain
agar mereka bisa memilih dan menentukan
apakah kondisi sekarang ini di Desa Pulau
Banyak masih memungkinkan untuk
mengubah rawa-rawa yang ada menjadi areal
sawah.

Pendekatan
Pendekatan etnosain, sebuah
pendekatan yang mengasumsikan bahwa
pengetahuan manusia tersusun menurut
kategori-kategori yang berbeda-beda,
digunakan sebagai pendekatan dalam kajian
ini. Terkait dengan itu, sistem peristilahan
(bahasa) menjadi alat yang sangat penting
untuk mengungkapkan pengetahuan beserta
sistem kategorisasinya. Untuk itu, metode yang
digunakan dalam menggali pengetahuan
mereka adalah observasi-partisipasi, wawancara
mendalam (indepth interview), dan diskusi
kelompok terfokus (Focus Group
Discussion/FGD). Melalui pengamatan
kemudian dilakukan wawancara terhadap
informan. Dalam hal ini, informan bertindak

yang saling berpasangan, (5) membuat keteraturan dan
ketertiban dalam kehidupannya, (6) memprediksikan
peristiwa atau kejadian yang akan terjadi di masa yang
akan datang (Suparlan 1981: 8-9 dan 1981a: 5-6).
selaku guru bagi peneliti, yang kepadanya
diminta jawaban atau penjelasan terhadap
pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan jawaban
atau penjelasan yang diberikan kemudian
menjadi dasar bagi peneliti dalam membangun
inferensi-inferensi tentang kategorisasi
pengetahuan mereka. Teknik FGD kemudian
sengaja ditambahkan di pertengahan masa
penelitian untuk memverifikasi atau
memvalidasi inferensi-inferensi yang sudah
dibuat.
Daftar istilah dijadikan sebagai bahan
wawancara selanjutnya untuk mengetahui
prinsip-prinsip yang digunakan petani dalam
menyusun kategori-kategori terhadap benda-
benda, ataupun cara-cara, tempat-tempat,
kegiatan-kegiatan, pelaku-pelaku, dan tujuan-
tujuannya dalam pekerjaan mengubah lahan
rawa-rawa menjadi lahan sawah sesuai dengan
kerangka pemikiran petani sendiri. Untuk
mengetahui kriteria yang dipakai dalam
pengkategorisasian data, peneliti menggunakan
kartu-kartu yang berisi kategori-kategori
seperti yang pernah dilakukan oleh Perchonock
dan Warner (1969). Untuk itu peneliti harus
melakukan pendekatan emik, menjelaskan
sesuatu hal menurut pandangan masyarakat
setempat (Sturtevant 1969). Tingkah laku
kebudayaan sebaiknya dikaji dan dikategorikan
mengikuti pandangan orang yang diteliti itu
sendiri, definisi yang digunakan adalah definisi
yang diberikan oleh si petani yang mengalami
peristiwa dalam kehidupannya. Pengkonsepan
yang dilakukan perlu ditemukan dengan cara
menganalisis proses kognitif masyarakat yang
dikaji dan bukan dipaksa secara etnosentrik.
Pandangan ini disebut sebagai etnografi baru
(Sturtevant 1969).

Uraian
Studi tentang pengetahuan mengubah
lahan rawa-rawa menjadi sawah adalah studi
mengenai kebudayaan, yang di dalamnya
terintegrasi berbagai macam unsur
pengetahuan dalam mengolah alam.
Pengetahuan itu mempunyai unsur-unsur yang
tersistematisasikan menurut suatu sistem
kategorisasi, di antaranya yang paling dasar
adalah binary opposition atau penggolongan
Agustrisno Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi Rawa...


99
dalam dua bagian yang saling bertentangan
tetapi berpasangan mirip dengan konsepsi
dalam filosofis Yin-Yang (Agustrisno 2000:
61). Sebagai contoh: kanan-kiri, pria-wanita,
panas-dingin, keras-lunak, dan lain sebagainya.
Sistem kategori yang selanjutnya adalah
bersifat fungsional, saling berkaitan dan
pengaruh mempengaruhi serta prinsipil, tidak
ada yang satu kalau tidak ada yang lain (Shri
Ahimsa Putra 1985 dan Suparlan 1981: 8-9
dan 1981a: 5-6).
Sistem pengkategorisasian ini dapat
bermanfaat bagi peneliti untuk mengetahui
peta kognitif mengenai jagad dari seorang
petani (Shri Ahimsa Putra 1985). Studi
semacam ini banyak menggunakan ungkapan
bahasa pendukung kebudayaan yang diteliti,
oleh karena itu data dapat diperoleh dari data
linguistic utterances, yaitu dengan
memperhatikan istilah-istilah yang dipakai
oleh masyarakat yang diteliti (Shri Ahimsa
Putra 1985). Menurut Spradley (1979:17)
istilah bahasa adalah alat untuk membangun
realitas; istilah bahasa yang berbeda-beda
menimbulkan dan memperhatikan realitas
yang berbeda pula.
Dalam kasus konversi lahan rawa
menjadi sawah, dapat ditemukan sejumlah
unsur alam yang terdapat di dalamnya:
tetumbuhan, hewan, tanah, air, dan unsur-
unsur ekologi serta kait-mait di antara
sesamanya. Dengan istilah apa mereka
membaca realitas itu, dan bagaimana mereka
menjelaskan hubungan-hubungan di antaranya
(opposisi, parasitisme, mutualisme,
komensalisme, dan sebagainya) serta apa yang
mereka perbuat dan alat apa yang mereka
gunakan untuk mengubah atau tidak
mengubah susunan itu saat mereka mengubah
rawa-rawa menjadi sawah. Mana yang
diselamatkan, mana yang dihancurkan. dan
untuk apa semua itu dilakukan?

Pengetahuan Petani tentang Rawa
Pada dasarnya warga Desa Pulau
Banyak telah mengetahui bahwa posisi lahan
yang berada di desa mereka, khususnya yang
terletak di lorong (dusun) Manggis, Rejosari,
dan Paluh Medan sangat dekat dengan laut.
Ketiga lorong itu dikelilingi oleh beberapa
paluh. Paluh adalah lahan basah yang
ditumbuhi nipah dengan karakter tanah yang
berlumpur, sehingga ketika datang air pasang,
maka lahan-lahan mereka dipenuhi dengan air.
Lahan yang ada di ketiga lorong itu dulunya
mereka namakan rawa.
Konsep rawa menurut informan
(Kateman dan Timin) adalah lahan berupa
semak belukar berisikan tumbuhan-tumbuhan
seperti nipah, rerumputan semak, dan yang
bertanah lumpur. Informan lain (Legimin)
menyebut rawa sebagai lahan tanah pancengan
dengan tekstur tanah berkombinasi ada yang
keras dan ada yang berlumpur sehingga berair
dan lembek yang di atasnya ditumbuhi pohon
kayu seperti kayu mara, waru (Hibiscustilliaceus
LINN). Sementara itu, Warsim (informan)
mendefinisikan rawa sebagai lahan tanah
pancengan yang ditumbuhi oleh pohon keras,
seperti bera-bera dan beringin (Eicus benjamina
LINN); sedangkan Suryadi mengatakan rawa
adalah lahan tanah pancengan yang ditumbuhi
tanaman-tanaman keras, seperti pohon bera-
bera dan berpaluh yang ditumbuhi nipah
dengan karakter tanah yang berlumpur.
Dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa yang namanya rawa adalah
lahan tanah pancengan yang dekat dengan laut
maupun paluh sehingga berair dan berlumpur
yang ditumbuhi semak belukar maupun
pepohonan kayu keras, seperti: nipah, rumbia,
bera-bera, beringin, waru, jabi-jabi, pohon
sawit, kelapa, pinang, dan lain-lain sebagainya.
Di samping tumbuhan, di dalamnya juga
hidup berbagai fauna seperti babi hutan, ular,
kodok, lintah, dan beberapa jenis ikan. Jenis
ikan bado dapat dijumpai dalam jumlah yang
besar.
Pengetahuan masyarakat tentang iklim
atau musim berkaitan langsung dengan lahan,
maupun aktivitas pertanian mereka. Menurut
warga tiap bulan daerah mereka akan
kedatangan air pasang. Dalam sebulan air
pasang akan terjadi sebanyak dua kali.
Masyarakat menyebutnya dengan pasang besar
yang selalu datang setiap tanggal 15 -17 dan 30
2, tiap bulannya. Pada saat seperti ini, petani
akan mengurungkan diri untuk menanam
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


100
bibit padi di sawahnya, karena apabila padi
ditanam hasilnya akan sia-sia belaka, tanaman
padi biasanya rusak (membusuk).
Bila ditinjau dari struktur tanah dan
kandungan mineral yang ada pada rawa,
menurut Kateman (informan) rawa di daerah
tersebut dapat digolongkan menjadi dua.
Pertama, rawa yang dinamakan rawah tanah
cabuk yakni, rawa yang tanahnya berwarna
tidak terlalu hitam dan juga tidak terlalu
putih/kuning (tanah humus). Tanah rawa
semacam ini sangat cocok untuk areal tanaman
padi. Jenis yang kedua adalah rawa tanah
galong, yaitu rawa yang tanahnya mengandung
tanah liat. Tanah rawa jenis ini tidak cocok
untuk lahan tanaman padi tetapi diupayakan
untuk tanaman keras ataupun untuk tanaman
buah-buahan.
Dalam pengelolaan lahan rawa
menjadi lahan bertanam padi masyarakat
membedakan lagi jenis rawa tanah cabuk
menjadi rawa lahan rendah dan rawa lahan
tinggi. Kedua jenis rawa itu akan berbeda cara
pengolahannya untuk tempat bertanam padi.
Secara skematis konsepsi petani Desa Pulau
Banyak tentang rawa dapat digambarkan
sebagai berikut:


Rawa adalah lahan tanah pancengan yang dekat dengan laut maupun paluh sehingga berair dan
berlumpur yang ditumbuhi semak belukar maupun pepohonan kayu kera seperti: nipah, rumbia, bera-bera,
beringin, waru, jabi-jabi, pohon sawit, kelapa, pinang, dan lain-lain sebagainya. Di samping tumbuhan, di
dalamnya juga hidup berbagai fauna seperti: babi hutan, ular, kodok, lintah, dan beberapa jenis ikan.
Rawa tanah galong: rawa yang
tanahnya mengandung tanah liat. Tanah rawa
jenis ini tidak cocok untuk lahan tanam padi
tetapi dapat diupayakan untuk tanaman keras
ataupun untuk tanaman buah-buahan.
Rawa tanah cabuk: rawa yang
tanahnya berwarna tidak terlalu hitam dan juga
tidak terlalu putih/kuning (tanah humus). Tanah
rawa semacam ini sangat cocok untuk areal
tanaman padi.
Rawa lahan rendah:
Adalah lahan yang jika terjadi air pasang maka
lahan tersebut biasanya terendam (banjir), lahan
seperti ini meliputi Lorong Paluh Medan.
Siklus dan cara pengerjaan rawa lahan rendah
meliputi:
1. Turun bibit
2. Ngerenep
3. Cocok tanam
4. Pemeliharaan lahan dan tanaman, yang
meliputi:
Penyabutan rumput
Pemberantasan hama
Pemupukan.
5. Panen, meliput:
Pemotongan
Perontokkan
6. Pengolahan lahan sawah pascapanen
meliputi:
Penajakan
Pembersihan dan penyingkiran
batang padi
Pembersihan dan penyingkiran
keong
Penggemburan tanah
Pemilihan
Benih
Rawa lahan tinggi:
Rawa lahan tinggi adalah lahan yang datarannya
lebih tinggi dari permukaan air laut, sehingga
apabila terjadi air pasang lahan tersebut jarang
terendam. Lahan semacam ini di Desa Pulau
Banyak meliputi Lorong Rejosari dan Manggis.
Cara pengolahannya sama dengan rawa lahan
rendah, hanya tahap ngerenep tidak ada.
Agustrisno Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi Rawa...


101
Metodologi Pengolahan Rawa menjadi Lahan
Sawah
Dalam usaha pengolahan rawa
menjadi sawah, pada dasarnya dimulai dari
proses perencanaan yang meliputi beberapa
tahap, yaitu: peninjauan lahan, transaksi
pembelian, upacara ritual, perintisan
(penebangan dan pembabatan),
pembusukan/pembakaran, perataan tanah dan
pembuatan beteng.
Peninjauan lahan atau survai
dilakukan di awal tahun 1970-an dengan
status tanah pancengan, meliputi seluruh tanah
pancengan
39
. Pada waktu itu, akses menuju
lokasi tergolong sulit karena belum adanya
jalur jalan yang relatif baik. Ada dua jalur yang
bisa dilalui menuju lokasi tersebut yakni dari
sisi barat dan sisi timur desa. Dari sisi barat,
jalur masuk melalui Desa Pulau Banyak,
berjalan kaki menuju timur sejauh 1 km
dengan kondisi jalan perkerasan hingga ke
pinggir paluh, kemudian menyeberangi paluh
dan tanah berlumpur penuh pacet sedalam
paha orang dewasa membentang sejauh 500
meter. Untuk jalur kedua, dapat langsung
menggunakan boat tempel dari Tanjung Pura
menuju sisi barat lorang Paluh Medan yang
pada waktu itu hanya genangan lumpur saja.
Ada beberapa warga yang membeli
lahan rawa di Desa Pulau Banyak pada masa-
masa awal, seperti terlihat pada tabel di bawah
ini.
Pembukaan lahan didahului dengan
melaksanakan upacara ritual, dengan meminta
petunjuk orang pintar mengenai waktu
pelaksanaan (hari baik) dan cara
pelaksanaannya
40
. Pada saat pelaksanaan ritual
dibuatkan sesaji berupa kepala kambing
berwarna hitam. Kepala kambing yang berusia
sekitar 1,5 tahun itu dibungkus dengan kain
putih (menggunakan kain kafan) dan ditanam
di lahannya oleh seorang bilal. Ramuan bunga
berupa bunga kenanga, kantil, mawar, melati,

39
Keluarga Warsim, kini warga Lorong Paluh Medan,
adalah orang yang pertama melakukan peninjauan lahan
rawa dan kemudian membelinya pada tahun 1971.
40
Sebagaimana dituturkan dan dilakukan oleh Suryadi
ketika ia mulai membuka lahan.

turut juga ditanam bersama kepala kambing
tadi. Setelah penanaman selesai, maka
diundang pula orang kampung untuk
menghadiri kenduri dengan lauk berupa
daging kambing yang kepalanya ditanam. Satu
sampai dua hari setelah pelaksanaan ritual
lahan yang baru dibuka dijedakan. Petani lain
41

juga melakukan ritual yang hampir sama,
dengan membuat sesajen berupa pencok bakal
yang berisi antara lain ketumbar, cabe, kelapa
sebesar jempol, berambangan sebanyak 1-2
yang ditungkir/dipincuk, sesuai dengan
petunjuk orang pintar.
Pekerjaan membuka lahan dilakukan
bersama anggota keluarga atau menggunakan
tenaga kerja upahan yang berasal dari
penduduk setempat. Waktu pengerjaan lahan
dipilih sesuai tanggal di mana air tidak
mengalami pasang, dan ketika air pasang
datang mereka harus istirahat atau tidak
melakukan kegiatan di lahannya karena
genangan air cukup dalam, bisa mencapai
ketinggian 170 cm. Pohon-pohon yang telah
ditebang kemudian dibakar. Waktu yang
dibutuhkan pada fase pembukaan lahan
tersebut berkisar antara satu hingga enam
bulan.

41
Kateman
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


102
Tabel 1. Uraian pembelian lahan rawa:tahun, luas lahan, dan harga
No Nama Pembeli/Lokasi Tahun
Pembelian
Luas Lahan Harga
1 Warsim/Paluh Medan 1971 1 Hektar Rp 3.000
2 Legimin/Paluh Medan 1972 1 Hektar Rp 25.000
3 Suryadi/Paluh Medan 1974 1 Hektar Rp 10.000
4 Kateman/Manggis 1980 1 Hektar Rp 500.000
5 Saren/ Paluh Medan 1983 1 Hektar Rp 30.000

Selama membersihkan lahan, mereka sering
menemukan beragam jenis ikan, semisal ikan
bado, yang dapat dikonsumsi. Selain itu juga
ditemukan hewan seperti babi hutan, dan
binatang-binatang lain yang hidup di rawa
seperti pacet, lintah, ular, kodok, dan
sebagainya. Beberapa jenis tumbuhan yang ada
juga dimanfaatkan seperti daun nipah yang
dimanfaatkan untuk bahan atap rumah.
Batang tanaman rumbia juga dimanfaatkan
untuk membuat sagu jika cadangan berasnya
mulai menipis. Pengetahuan membuat sagu ini
telah diperoleh informan sejak lama.
Pohon-pohon besar seperti beringin,
jabi-jabi, dan waru setelah ditebang harus
dibersihkan dengan cara membakar. Semak-
semak yang sudah dibabat disingkirkan atau
digunakan untuk pembuatan bedeng. Ada juga
yang menumpuk semak-semak yang sudah
dibabat ke pangkal bekas pohon nipah untuk
proses pembusukan hingga menjadi tanah.
Sementara itu, genangan air yang ada di lahan
yang baru dibuka sangat berguna ketika
mereka meratakan tanah dengan menggunakan
cangkul. Permukaan lahan mereka buat miring
agar air dapat tetap mengalir dengan lancar.
Seorang petani mengatakan bahwa ia
meratakan lahannya sedikit lebih rendah dari
paluh, agar ketika pasang surut lahannya masih
tetap berair dan ketika pasang naik tidak
terlalu penuh dengan air.
Untuk penanda batas-batas lahan
yang telah diratakan dibuat bedeng, dengan
memindahkan sedikit demi sedikit tanah ke
pinggir lahan. Selain untuk pembatas lahan,
bedeng berukuran sekitar 0,5 meter itu juga
dimanfaatkan untuk mengatur jalannya air dari
satu petak sawah ke petak lainnya. Di atas
bedeng-bedeng itu ditumpukkan pula bekas
tebangan semak-semak untuk membuat
bedeng lebih tinggi dan padat.

Pengolahan Rawa Lahan Rendah
Cara pengolahan rawa lahan rendah
secara berurutan adalah sebagai berikut:
a. Turun bibit
Turun bibit/menyemai bibit di
beteng-beteng merupakan langkah awal petani
dalam mengolah sawah. Petani pria menakul
tanah (membuat lubang) di beteng-beteng
sawahnya dengan menggunakan nakul, lalu
petani wanita memasukkan benih sekitar 10-
15 benih ke dalam sawah dan menimbunya
kembali. Kegiatan ini dilakukan cukup satu
hari untuk 1 hektar lahan.
b. Ngerenep
Ngerenep adalah kegiatan
memindahkan bibit dari beteng-beteng yang
telah berusia 20 hari ke lahan sawah yang telah
digemburi sebelumnya. Dengan menggunakan
tangan, petani pria mencabut pohon-pohon
padi dari beteng kemudian petani wanita
menanam pohon padi ke lahan sawah yang
agak tinggi (lahan sawah sementara) dengan
menggunakan sejenis alat bernama kuku
kambing. Jarak tanam antara padi yang satu
dengan yang lainnya kira-kira sejengkal. Fungsi
ngerenep adalah untuk membesarkan bibit.
Dalam sehari pekerjaan ngerenep bisa
dilakukan untuk lahan seluas 2 hektar.
Pekerjaan ini juga dilakukan oleh tenaga kerja
upahan secara berkelompok 2-8 orang. Upah
ngerenep sekitar Rp 11.000/kelompok/hektar.
Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh anak-
anak gadis di kampung. Ngerenep hanya ada
di Lorong Paluh Medan.
Agustrisno Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi Rawa...


103
c. Cocok tanam
Cocok tanam sama dengan ngerenep.
hanya saja pada ngerenep pohon padi masih
kecil, belum kuat dan batang belum terlalu
besar. Pada saat cocok tanam padi, pohon padi
sudah besar dan akarnya sudah kuat sehingga
kalau air pasang tidak mudah terbawa air.
Cocok tanam dilakukan di lahan yang rendah
(lahan sesungguhnya). Cara pengerjaan cocok
tanam sama alatnya dengan ngerenep. Cocok
tanam ini juga menggunakan tenaga upahan
yang besarnya upah sama dengan ngerenep.

d. Pemeliharaan lahan dan tanaman
Penyabutan rumput. Rumput-rumput
yang tumbuh di sawah di sekitar
tanaman padi dicabut atau
disemprotkan obat 64 atau polaris,
dengan menggunakan sprayer/
seneyor. Penyabutan rumput
dilakukan kalau ada rumput yang
mulai tinggi.
Pemberantasan hama. Hama yang ada
di antaranya adalah tikus, ulat, keong.
Untuk mencegah hama ini digunakan
obat deseas untuk hama ulat, obat
akodan untuk keong, sedangkan
untuk tikus tidak ada. Ini biasanya
dikerjakan laki-laki.
Pemupukan. Pupuk yang digunakan
meliputi urea, yang diberikan pada
saat padi berusia 1 minggu; TSP, ZA,
dan pupuk buah. Umumnya para
petani sekarang menggunakan pupuk
sehingga panen bisa 2 kali dalam
setahun dan produktivitas padi
meningkat bisa sampai 2 goni (160
kg)/rante. Sedangkan kalau tidak
menggunakan pupuk hanya 1 goni
(80 kg) per rante.

e. Panen
Pekerjaan memanen dapat dilakukan
dengan dua cara: pertama, panen dengan cara
melakukan pemotongan, yakni dengan cara
mengari (menyabit) batang padi setinggi 2
jengkal (setengah tiang); kedua, dengan
menggunakan ketam (alat memanen
padi/mengambil padi) atau ani-ani. Cara yang
ketiga adalah dengan menggunakan arit (sabit).
Perontokan, yakni pohon padi yang
telah dipotong, kemudian dirontokkan biji
padinya dengan menggunakan alat yang
disebut grendel dan atau rebon, yang
menggunakan peralatan semacam itu hanya
laki-laki.

f. Pengolahan lahan sawah pascapanen
Pengolahan lahan sawah pascapanen
dilakukan dengan berbagai tahap, yaitu:
melakukan penajakan, batang-batang padi
yang masih ada di sawah setelah pascapanen
dipotongi dengan menggunakan tajak atau
jettor. Kegiatan ini berlangsung 1 minggu dan
dikerjakan oleh laki-laki. Batang-batang padi
dimanfaatkan untuk menambah kuat dan
semakin tinggi beteng. Ukuran beteng 0,5
meter. Penggemburan tanah sawah dilakukan
dengan cara meratakan tanah dan pendiaman
tanah selama kurang lebih 1-2 bulan.
Selanjutnya dilakukan pemilihan benih yang
akan ditanam.

g. Upacara ritual
Upacara ritual yang dilakukan setelah
pasca panen adalah upacara jamu ladang atau
turun bibit (kenduri selamatan bagi para
petani). Upacara ritual semacam itu
mengandung kepercayaan animisme, bahwa
segala benda yang ada memiliki jiwa. Padi
adalah tumbuhan yang dianggap memiliki
jiwa. Pada pelaksanaan upacara bersifat
sinkretis, terjadi kombinasi antara ajaran
agama Islam di satu pihak dan kepercayaan
animistis. Tujuan dari upacara dimaksud
adalah agar petani pemilik sawah ataupun
pekerja di lahan pertanian memperoleh selamat
dalam mengolah lahannya. Pelaksanaan
upacara dilakukan di bulan Agustus setiap
tahunnya. Upacara jamu ladang dipimpin oleh
seorang pawang pada pelaksanaannya, serta
dihadiri semua petani, juga dihadiri kepala
lorong/dusun. Pada pelaksanaan upacara jamu
ladang setiap petani membawa jenis benih padi
yang akan ditanam dengan terlebih dahulu di
beri doa-doa dari sang pawang. Setelah usai
upacara jamu ladang, setiap petani membawa
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


104
Tabel 2. Jenis benih padi yang digunakan di Desa Pulau Banyak

No Nama Benih Bentuk Keadaan Masa Panen
1 Cantik Manis Panjang Kaku 3,5 Bulan
2 64 Bulat Lembek 4 Bulan
3 42 Panjang Agak keras 4 Bulan
4 Ramos Lebih besar dari 42 Agak lembek 4 Bulan

jenis benih padi yang telah diberi doa dibawa
pulang ke rumah masing-masing untuk
ditanam di lahan persawahannya.

Pengolahan Rawa Lahan Tinggi
Cara pengolahan rawa lahan tinggi
hampir sama tahap-tahapnya dengan cara
pengolahan rawa lahan rendah, bedanya dalam
mengelola rawa lahan tinggi tahap pekerjaan
ngerenep tidak ada. Jadi pekerjaan petani
dimulai dari tahap: turun bibit, langsung
pekerjaan cocok tanam. Selanjutnya pekerjaan
pemeliharaan lahan dan tanaman, panen,
pengolahan lahan sawah pascapanen, dan
upacara ritual.

Penutup
Sistem kategorisasi pengetahuan
petani dalam mengkonversi rawa menjadi
lahan sawah pada masyarakat Desa Pulau
Banyak sangat bermanfaat ke depan bagi
pengelolaan lahan rawa yang ada umumnya.
Kemampuan penduduk lokal dalam
mendefinisikan lahan rawa dapat digunakan
sebagai acuan atau tolok ukur bagi
pengembangan lahan rawa.
Menurut konsepsi masyarakat, rawa adalah
lahan pancengan yang dekat dengan laut dan
dikelilingi oleh beberapa paluh (sungai), ketika
air laut pasang maka akan tergenang air
sehingga karakter tanahnya berlumpur dan
lembek. Rawa tersebut juga ditumbuhi oleh
semak belukar, nipah, rumbia, mara, bera-bera,
waru, jabi-jabi, dan beringin. Serta fauna yang
hidup seperti ular, kodok, lintah, ikan bado,
dan babi hutan. Rawa itu sendiri terbagi atas
dua bagian, yakni rawa tanah galong (tanah
liat) dan rawa tanah cabuk (tanah humus).
Rawa tanah galong hanya dapat ditanami
tanaman keras, dan rawa tanah cabuk sangat
subur dan baik untuk tanaman padi. Tanah
cabuk dibedakan atas dua, yakni rawa lahan
tinggi dan rawa lahan rendah. Rawa lahan
tinggi terdapat di Lorong Rejosari dan
Manggis, sedangkan rawa lahan rendah
terdapat di Lorong Paluh Medan. Perbedaan
atas pengolahan rawa lahan rendah dan rawa
lahan tinggi terletak pada ngerenep. Pekerjaan
ngerenep hanya terdapat pada rawa lahan
rendah.


Daftar Pustaka

Agustrisno. 2000. Pola Adaptasi Masyarakat Cina Medan dalam Kasus Kepercayaan Terhadap
Datuk dan Pekong. Laporan Penelitian SPP/DPP FISIP USU. Tidak diterbitkan.

Bogdan, R. & Taylor Steven, J. 1983. Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian (edisi
terjemahan). Surabaya: Usaha Nasional.

Burling, Robbins. 1969. Cognition and Componential Analysis, Gods Truth or Hocus-
Focus. Dalam Manners, Robert A., and David Kaplan (eds), Theory in
Anthropology A Sourcebook, Chicago: Aldine Publishing Company, 514-523.

Dove, Michael R. 1988. Sistem Perladangan di Indonesia, Suatu Studi Kasus dari Kalimantan
Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Agustrisno Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi Rawa...


105

Dwyer, Peter. 1984. Other Peoples Animals Two Examples From New Guinea. Dalam:
Search, St. Lucia, Queensland, Vol.15 No.11-12 Desember/Januari, 321-327.1984-
85.

Pelto, P. J. & Pelto G. H. 1989. Penyelidikan Antropologi; Struktur Penelitian ( terjemahan ).
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

Shinichi Ichimura dkk. 1976 Lingkungan Alam dan Perilaku Sosio-ekonomis dari Petani-
Petani di Muangthai dan Jawa. Dalam S. Ichimura dan Koentjaraningrat,
Indonesia Masalah dan Peristiwa, Bunga Rampai. Diterbitkan oleh Yayasan Obor
Kyoto University, Japan, Jakarta: Gramedia, hal.119-156. 1976.

Shri Ahimsa Putra, Heddy. 1985. Etnosains dan Etnometodologi. Dalam majalah Ilmu-
ilmu Sosial Indonesia, Agustus jilid XII, No.2: hal.103-133. 1985.

Suparlan, Parsudi. 1981 Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama sebagai Sasaran
Penelitian Antropologi. Makalah disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat
Latihan Penelitian Agama, Dep.Agama R.I., di IAIN Jakarta, Ciputat 14 september,
1981.

----- . 1981a Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi. Dalam majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Juni, Jilid X, No.1, hal.1-
15.

Spradley, J.P and D.W. Mc Curdy. 1975 Anthropology The Cultural Perspective. New York:
John Wiley & Sons. Inc.
----- . 1979 The Ethnographic Interview. New York: Rinehard and Winston.

----- . 1980 Participant Observation. New York: Rinehart and Winston.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


106
Gambaran Umum
Desa Silo Lama merupakan salah satu
desa yang berada di Kecamatan Air Joman,
Kabupaten Asahan, yang hingga saat ini masih
menjalankan berbagai aktivitas adat di dalam
sendi-sendi kehidupannnya. Salah satu
aktivitas tersebut adalah dalam kegiatan
pertanian. Sebagaimana diketahui bahwa
masyarakat di daerah ini pada umumnya
bermata pencaharian sebagai petani. Berbeda
dengan petani-petani pada umumnya, petani
di desa ini memiliki keunikan tersendiri di
dalam melaksanakan kegiatan bertani. Mereka
pada umumnya masih bersandar pada nilai-
nilai dan tradisi yang hidup dan berkembang
di dalam masyarakat tersebut. Kegiatan ini
biasanya dilakukan pada saat akan memulai
aktivitas penanaman (disebut buka Bondang)
serta pada saat akan melakukan panen (tutup
Bondang). Apa yang menarik dari kegiatan ini
adalah bahwa selain bersandarkan pada
kearifan tradisional, konsep pertanian bondang
ini ternyata cukup sinergis dengan upaya
menciptakan keseimbangan lingkungan.
Dalam rangka aktivitas pertanian Bondang ini
petani tidak menggunakan sama sekali zat-zat
kimia maupun obat-obatan yang dapat
mengakibatkan berbagai dampak pada
kesehatan dan kerusakan lingkungan. Kegiatan
pengolahan lahan pertanian dari mulai tanam
hingga panen sepenuhnya dilakukan secara
tradisional, tanpa menggunakan bahan-bahan
kimia. Oleh sebab itu, sebagai salah satu
bentuk kearifan tradisional masyarakat, tradisi
Bondang ini penting untuk diselamatkan.
Desa Silo Lama terletak lebih kurang
20 km sebelah timur laut dari Kota Kisaran,
sehingga mudah dicapai. Desa ini cukup
dikenal, khususnya bagi masyarakat Asahan.
Di desa inilah pernah berdiam seorang alim
yang bernama Syekh Silo atau Syekh Haji
Abdurrahman Urrahim bin Nakhoda Alang
Batubara. Beliaulah yang pertama kali
membuka hutan di kawasan ini yang
selanjutnya menjadi cikal bakal desa, yakni
Desa Silo Lama dan Desa Silo Bonto. Selain
TRADISI BONDANG DAN TANTANGAN
GLOBALISASI:
Studi Kasus di Desa Silo Lama, Kecamatan Air Joman,
Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara

Edy Suhartono
Aktivis Ornop SPSU dan JALA

Abstrak
Pengelolaan lahan pertanian tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi biasanya
juga kait-mengait dengan sistem budaya, sistem sosial, dan kepercayaan yang hidup
di dalam suatu komunitas. Modernisasi pertanian selama beberapa dekade terakhir
ini di satu sisi telah membawa dampak positif pada peningkatan produktivitas lahan
pertanian, tetapi di sisi lain juga mengakibatkan hilangnya tradisi-tradisi lokal
dalam pengelolaan pertanian. Tulisan ini menguraikan salah satu tradisi lokal yang
masih bertahan hidup di tengah perubahan zaman menuju globalisasi, yaitu tradisi
bondang di Asahan.

Edy Suhartono Tradisi Bondang dan Tantangan Globalisasi: Studi Kasus...


107
alim, beliau juga memiliki kemampuan untuk
mengobati penyakit serta memberikan nasihat
bagi warga yang membutuhkan. Karena
kemampuannya ini, nama Syekh Silo cukup
dikenal berikut Ajaran Tarekat Al Satariyah
yang dipimpinnya.
Ada beberapa kebiasaan hidup yang
diajarkan oleh Syekh Silo kepada para
pengikutnya; yang ini kemudian mengakar
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, yakni
tradisi Jamu Laut dan Aktivitas Pertanian
Bondang. Salah satunya yang akan diungkap di
sini adalah aktivitas pertanian Bondang.
Aktivitas pertanian ini merupakan bentuk
kearifan tradisional masyarakat dalam rangka
pengelolalan lingkungan hidup, khususnya di
bidang pertanian. Acara ini dibuat dalam
upaya membentuk tertib tanam padi serentak.
Berdasarkan catatan almarhum Syekh Silo
kegiatan pertanian Bondang ini sudah
dilakukan sejak tahun 1925. Kegiatan ini
merupakan perpaduan antara nilai-nilai yang
terkandung di dalam agama Islam serta
kepercayaan tradisional masyarakat terhadap
adanya kekuatan gaib di dalam aktivitas
pertanian.

Aktivitas Bondang
Bondang adalah istilah dalam bahasa
Melayu untuk menyebut lahan. Aktivitas
Bondang baik pada saat buka maupun tutup
secara umum dapat dilihat dalam beberapa
tahapan proses, yakni: (1) potong ayam; (2)
nasehat dari tokoh adat tentang arti penting
Bondang; (3) zikir dan doa; (4) dialog dengan
kekuatan gaib; (5) tepung tawar bibit. Kegiatan
ini biasanya dimulai dengan penyembelihan
ayam yang dibawa oleh warga desa di tempat
tertentu. Darah sembelihan, tulang belulang
sisa makanan serta kotoran hewan sembelihan
diletakkan di tempat yang telah ditetapkan
sebagai persembahan. Selanjutnya warga desa
berkumpul di tempat tersebut dan membaca
takhtim, takhlil, dan doa serta
menepungtawari benih yang dibawa oleh
masing-masing warga. Kegiatan ini bertujuan
untuk mendapatkan hasil panen yang
memuaskan serta terhindar dari gangguan
hama dan sebagainya. Selain pembacaan doa
bersama, juga dilakukan proses dialog antara
seorang datuk dengan kekuatan gaib melalui
medium yang terdiri dari beras (warna kuning
dan putih) serta jagung yang diletakkan dalam
satu wadah yang beralaskan daun. Di atas beras
dan jagung ini kemudian diletakkan 4 buah
telur (yang bagian atasnya telah dilubangi).
Telur ini diletakkan bersisian, masing-masing
dengan sebatang rokok dan wadah
pembungkus yang terbuat dari daun. Rokok
diletakkan di antara telur dan pembungkus
daun. Kesemua perlengkapan persyaratan ini,
kemudian dimasukkan ke dalam tanah.
Selanjutnya berlangsunglah proses dialog
antara datuk dengan kekuatan gaib setempat.
Pada saat acara buka Bondang, doa
yang dipanjatkan biasanya berisi pengharapan
agar bibit yang akan ditanam memberikan
hasil yang memuaskan. Akan halnya proses
dialog, isinya tidak jauh beda; yakni
mengharapkan penjagaan dari kekuatan gaib
agar tanamannya benar-benar memberikan
hasil yang melimpah dan dihindarkan dari
segala bentuk kesulitan yang mungkin terjadi;
khususnya yang berasal dari dunia gaib.
Sementara itu, pada acara tutup Bondang
proses dan substansi acara tidak jauh berbeda,
namun lebih ditekankan pada pengungkapan
tanda rasa syukur atas hasil panen padi. Pada
kedua acara (buka dan tutup Bondang) akan
dipimpin oleh seorang pengetua adat (datuk),
ustadz serta tokoh masyarakat.
Sebagai acara terakhir, setelah
pembacaan doa dan acara dialog dengan
kekuatan gaib selesai dilanjutkan dengan acara
tepung tawar; yakni menepungtawari bibit
tanaman yang akan ditanam. Acara
penepungtawaran ini sambil diiringi dengan
teriakan menjadi padi maksudnya adalah
agar bibit yang akan ditanam nantinya dapat
benar-benar menghasilkan padi yang baik.
Setelah seluruh prosesi acara selesai dilanjutkan
dengan acara makan bersama.

Sistem Sosial
Tak dapat dipungkiri bahwa
kedudukan Syekh Silo di seantero Asahan
cukup dikenal baik, dan cukup mengakar
khususnya di Desa Silo Lama. Sebagai
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


108
pendatang serta perintis di daerah ini,
kehadiran Syekh Silo cukup memberi
pengaruh terhadap kehidupan di masyarakat.
Hal ini terbukti dengan terbentuknya karakter
dan kebiasaan hidup di masyarakat yang
sepenuhnya mengacu dari ajaran dan aturan
yang diterapkan oleh Syekh Silo. Sebagai misal,
dalam hal ketaatan terhadap peraturan dan
larangan yang telah ditetapkan, maka akan ada
ganjaran atau hukuman yang sifatnya
mendidik. Seperti larangan mencuri, tidak
boleh berzina, tidak boleh mabuk-mabukan,
tidak boleh berjudi, tidak boleh menipu.
Setiap yang melakukan pelanggaran terhadap
larangan yang telah ditetapkan akan dikenakan
ganjaran; yang sifatnya mendidik.
Tinjauan secara etnisitas, warga
masyarakat yang bermukim di desa ini
sebagian besar terdiri dari etnis Melayu dan
Jawa serta Batak Toba dalam jumlah yang
relatif lebih sedikit. Warga masyarakat di desa
ini pada umumnya bekerja sebagai petani, di
samping pekerjaan lain seperti pedagang,
pegawai negeri, sektor informal dan home
industry. Selain agama Islam, di desa ini juga
terdapat penganut agama Kristen Protestan
dan Katolik. Kedatangan suku bangsa Batak di
daerah ini diperkirakan berasal dari daerah
Tapanuli Utara pada masa penjajahan Belanda
sebagaimana yang diungkap Cunningham
dalam The Postwar Migration of Toba Batak to
East Sumatra, (1958).
Meskipun Syekh Silo sudah tidak ada,
namun ajaran-ajaran beliau melalui tarekat Al
Satariyah yang diajarkan kepada masyarakat
cukup mengakar dan mewarnai dinamika
kehidupan sosial di dalam masyarakat. Seiring
dengan perjalanan waktu, sosok dan kharisma
Syekh Silo sebagai tokoh panutan di wilayah
ini tampaknya akan ditentukan oleh waktu dan
Jamaah tarekat Al Satariyah yang ada di
daerah ini. Sejauh tarekat ini masih eksis di
tengah-tengah masyarakat, maka dengan
sendirinya sistem sosial yang sudah terbangun
selama ini akan terus mampu bertahan. Hal ini
sekaligus menentukan bagi hidup matinya
tradisi Bondang sebagai sebuah momentum
kegiatan pertanian yang merupakan warisan
dari ajaran Syekh Silo.
Karena ajaran Al Satariyah cukup
begitu kuat di daerah ini, yang inti ajarannya
mengacu dan merupakan perluasan dari nilai-
nilai ajaran Islam dengan sendirinya telah
menjadi penopang dan sendi-sendi kehidupan
di dalam masyarakat. Dengan kata lain, sistem
sosial yang menjadi dasar bentukan kehidupan
masyarakat sepenuhnya berada dalam kaidah
nilai-nilai agama Islam. Oleh karenanya,
realitas sistem sosial yang ada di desa ini
sebenarnya bisa dilihat dari kehidupan di
dalam jamaah tarekat Al Satariyah.

Sistem Budaya
Mengingat kuatnya pengaruh ajaran
Syekh Silo di desa ini, dengan sendirinya telah
merasuk di dalam pola-pola kehidupan
masyarakat. Jika sistem budaya dimaknai
sebagai sistem perilaku, maka sistem budaya
masyarakat di Desa Silo Lama identik dengan
sistem nilai yang dibangun oleh Syekh Silo
melalui tarekat Al Satariyah yang diajarkannya.
Karena apapun alasannya sistem budaya
sebenarnya meliputi sistem dan pola-pola
tingkah laku masyarakat yang menjadi suatu
kebiasaan dan kecenderungan umum dari
masyarakatnya.
Sistem budaya yang mengacu sistem
dan pola-pola kelakuan masyarakat
sesungguhnya implisit dan menjadi bagian
integral dari sistem nilai budaya. Sistem nilai
budaya inilah yang menjadi dasar bagi
terbentuknya karakter dan kepribadian
masyarakat. Pada masyarakat Desa Silo Lama,
karakter dan kepribadian yang dilandasi oleh
nilai-nilai hidup agama Islam sebenarnya
cukup relevan dengan entitas Melayu sebagai
sebuah etnik yang notabene nilai-nilai
budayanya banyak merujuk pada agama Islam.
Di sini terlihat betapa sistem nilai yang
terkandung di dalam agama (baca: Islam) pada
akhirnya mampu mewarnai corak dan nilai-
nilai budaya Melayu.
Sebagai salah satu bentuk ekspresi dan
manifestasi dari sistem budaya yang ada pada
masyarakat Desa Silo Lama, dapat dilihat dari
adanya budaya pencak silat yang merupakan
kebudayaan tradsional yang acap dilakukan
oleh masyarakat pada setiap bulan Syawal,
Edy Suhartono Tradisi Bondang dan Tantangan Globalisasi: Studi Kasus...


109
tepatnya satu minggu setelah Hari Raya Idul
Fitri. Kegiatan ini, selain dimaksudkan untuk
menjaga dan membina kesehatan jasmani, pun
juga dimaksudkan untuk untuk membina
keluarga, hubungan kerabat, dan jamaah.
Budaya pencak ini pada dasarnya merupakan
media bagi masyarakat khususnya jamaah Al
Satariyah untuk membina mental spritual dan
fisik sekaligus berdasarkan ajaran-ajaran agama
Islam yang dirangkai dengan budaya dan seni
beladiri Melayu.

Sistem Teknologi
Salah satu sistem yang cukup
menunjang dalam kehidupan manusia adalah
sistem teknologi. Sistem ini sedemikian rupa
sehingga selalu saja mengikuti perkembangan
zaman. Pada beberapa kelompok masyarakat,
perkembangan sistem teknologi sangat
dipengaruhi oleh sistem pengetahuan yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Pada masyarakat Desa Silo Lama, sesuai
dengan konteks sosial masyarakat serta latar
geografi perkembangan peradabannya masih
berada dalam konteks agraris. Relevan dengan
kenyataan ini, maka teknologi yang
berkembang adalah teknologi yang berbasis
pada realitas agraris. Namun hingga saat ini,
dengan masih eksisnya aktivitas Bondang,
maka teknologi yang digunakan masyarakat di
desa ini menggunakan teknologi sederhana,
seperti cangkul, sabit, dan parang babat untuk
membuka lahan. Penggunaan teknologi
pertanian, dalam hal ini tetap dilihat sebagai
alat untuk mempermudah, bukan merusak
lingkungan yang ada.

Tradisi Bondang dan Tantangan Globalisasi
Realitas Bondang merupakan salah
satu wujud dari bentuk-bentuk kearifan
budaya lokal yang ada di Desa Silo Lama dan
Desa Silo Bonto, Asahan. Tradisi ini begitu
mengakar di tengah-tengah masyarakat, karena
memang berpijak pada akar sejarah, budaya
dan agama masyarakatnya. Hal ini menjadikan
tradisi ini masih terus bertahan di tengah-
tengah masyarakat. Persoalannya, apakah
tradisi Bondang ini masih tetap seperti dulu;
ataukah sudah mengalami berbagai pergeseran
yang cukup signifikan. Sejauh ini memang
belum dapat disimpulkan secara akurat.
Karena memang belum dilakukan suatu
penelitian yang bersifat intensif dan ilmiah.
Sebagai sebuah realitas sosial, Bondang
menjadi sebuah realitas yang cukup fenomenal
di tengah perkembangan arus modernisasi dan
globalisasi dewasa ini. Karena hal ini
menyangkut tradisi, maka sangat boleh jadi ia
dimaknai sebagai sesuatu yang statis, karena
merupakan warisan turun temurun dari
generasi yang pertama. Ada banyak studi yang
memfokuskan pada persoalan kearifan
tradisional dalam kaitannya dengan konteks
perubahan sosial. Ada ahli yang melihat tradisi
sebagai sesuatu yang dinamis (Vayda, 1989).
Dengan kata lain, akan selalu terjadi
perubahan dengan adanya pergeseran,
pengurangan dan penambahan tradisi sesuai
dengan kondisi pola pikir pendukungnya.
Dalam hal ini Calson (1984) menyatakan
bahwa tradisi sebagai suatu proses yang tidak
stabil, selalu berubah sesuai dengan
kepentingan dan kondisi yang sedang berlaku.
Senada dalam hal ini Frederick Barth (1987)
menyatakan bahwa tradisi selalu mengalami
perubahan dan bervariasi. Sementara, Daniel
Lerner (1983) menegaskan bahwa semua
gerakan perubahan sosial mengubah cara-cara
di dalam mana umat manusia hidup sehari-
hari. Proses modernisasi memiliki kekuatan
untuk mengubah jalan hidup pribadi.
Sebagai sebuah bentuk kearifan
tradisional masyarakat Melayu di Desa Silo
Lama, Kec. Air Joman, Kabupaten Asahan,
tradisi Bondang membuktikan bahwa cara
bertani selaras alam dengan sendirinya
membantu mencegah rusaknya lingkungan
sebagai akibat penggunan zat-zat kimia yang
berlebihan, baik pada struktur tanah maupun
produk tanaman yang dihasilkan. Hal ini
sekaligus ingin menegaskan bahwa arus
modernisasi dan globalisasi yang saat ini begitu
hebat mempengaruhi masyarakat ternyata
tidak selamanya berlaku mutlak dan universal.
Persoalannya, meskipun petani di desa
ini masih terus melalukan tradisi Bondang,
namun sesungguhnya masih banyak persoalan
yang dihadapi oleh petani di sini; yang ini jika
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISIVol. 1No.2Oktober 2005


110
tidak ditangani maka secara lambat laun akan
berpengaruh pada keberlanjutan aktivitas
tradisi Bondang. Beberapa permasalahan real
yang kini dihadapi petani di desa ini adalah
kesulitan dalam hal permodalan; penentuan
harga gabah yang tidak menguntungkan;
minimnya sarana penyimpanan hasil panen;
tumbuh suburnya ijon; dan koperasi yang
tidak berfungsi.
Dalam kaitan inilah kemudian,
kehadiran Yayasan SINTESA selaku LSM yang
melakukan kegiatan pendampingan dan
pengorganisasian sejak lama telah berupaya
untuk menjadikan tradisi Bondang sebagai
wadah untuk melakukan kegiatan
pemberdayaan dan kampanye bagi
memasyarakatnya program Pertanian Organik
(organic farming), tidak hanya di Desa Silo
Lama tapi juga di daerah lainnya.

Kesimpulan dan Saran
Sebagai sebuah aktivitas, tradisi
Bondang pada dasarnya merupakan
percampuran antara kepercayaan pada
kekuatan ghaib (saat dialog), adat (saat tepung
tawar) dan keyakinan pada agama Islam (saat
berdoa). Boleh dikatakan bahwa hampir
semua tradisi yang ada di negeri ini selalu
menggambarkan realitas ini. Karenanya
menarik untuk mengungkap signifikansi
hubungan antara ritualitas adat, kepercayaan
pada kekuatan gaib dan agama dalam wacana
kebudayaan kita dalam mewujudkan
keseimbangan lingkungan hidup yang ada
disekitar kita.
Jika kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang
dinamis, maka tradisi Bondang yang notabene
mengakar pada keyakinan agama, kepercayaan,
dan adat istiadat akan menghadapi tantangan
globalisasi serta modernisasi yang semakin
kerap melanda kebudayaan manusia; yang
sewaktu-waktu dapat menggerus tradisi ini dari
tengah-tengah masyarakat. Persoalannya,
sejauhmana tradisi Bondang ini mampu terus
bertahan? tentunya ini sangat tergantung pada
masyarakat pendukungnya. Harapannya,
tentu, melalui identifikasi dan dokumentasi
tradisi Bondang ini, nilai-nilai positif,
khususnya dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup yang selaras dengan alam
dan berkelanjutan dapat terus dipertahankan.


Daftar Pustaka

Bunch, Roland. 1991. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal
pada Rakyat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Joachim Metzner & N. Daldjoeni (Penyunting).1987. Ekofarming: Bertani Selaras Alam.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lerner, Daniel. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta: Penerbit Gajah
Mada University Press.

Lister Berutu dkk. 1998. Tradisi dan Perubahan: Konteks Masyarakat Pakpak Dairi. Medan:
Penerbit Monora.

Usman Pelly. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan
Mandailing.
Jakarta: Penerbit LP3ES.

Ecology and Farming, Magazine No. 14, Januari April 1997, IFOAM, Germany, 1997.

Bulletin SADAR, No. I/Desember 1992, Yayasan SINTESA, Kisaran, 1992.
Edy Suhartono Tradisi Bondang dan Tantangan Globalisasi: Studi Kasus...


111

Bulletin SADAR, No. II/Oktober 1993, Yayasan SINTESA, Kisaran, 1993.

Monografi Desa Silo Lama, 1994.

Monografi Desa Silo Bonto, 1997.

Riwayat Hidup dan Perjuangan Syekh Abdurrahman Silau (Syekh Silau Laut), diterbitkan
dalam rangka Haul setengah abad (ke 50) , 24 Desember 1989.




- Biodata Penulis -

AGUSTRISNO, adalah staf pengajar tetap di Departemen Antropologi Fisip USU Medan dan sedang
mengikuti pendidikan S-2 di Program Pascasarajana USU untuk Program Studi Pembangunan. Beliau juga
menjadi pengajar mata kuliah Filsafat di Program Studi Psikologi FK-USU, Program Studi Keperawatan FK-
USU, STKes Mutiara Indonesia, Stikes Takasima, Deli Husada, dan STIkes Medistra Lubuk Pakam. Selain
aktif sebagai antropolog dan pengajar, beliau juga aktivis Ornop.

B. A. SIMANJUNTAK, adalah guru besar sosiologi di Universitas Negeri Medan. Pernah menjadi dosen tidak
tetap di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, khususnya di Jurusan Antropologi pada tahun-tahun
awal berdirinya jurusan itu pada dekade 1980-an.

EDY SUHARTONO, adalah seorang aktivis Ornop yang banyak bergelut dalam dunia advokasi di bidang
pertanian dan kenelayanan setelah menamatkan pendidikan S-1 dari Jurusan Antropologi Fisip USU. Aktif di
lembaga SPSU (Serikat Petani Sumatera Utara), dan kini memimpin lembaga JALA, sebuah LSM yang
bergiat di bidang advokasi nelayan, khususnya di daerah pesisir pantai timur Sumatera Utara.

SRI ALEM SEMBIRING, adalah staf pengajar tetap di Departemen Antropologi Fisip USU. Pendidikan
terakhirnya ialah magister (S2) antropologi dari Universitas Indonesia, tamat tahun 2000. Ia menaruh
perhatian yang besar pada kajian-kajian antropologi kognitif dan etnobotani. Kini ia juga aktif sebagai staf
redaksi Sora Mido, sebuah tabloid dwi-mingguan khusus tentang masyarakat Karo.

SRI EMIYANTI, adalah staf pengajar tetap di Departemen Antropologi Fisip USU sejak 1988. Menamatkan
pendidikan S-1 dari Jurusan Antropologi UGM, dan S-2 bidang studi lingkungan dari USU. Sejak 1991
sampai saat ini ia bekerja sebagai peneliti di Pusat Studi Wanita USU, dan aktif dalam berbagai kegiatan
gerakan perempuan di Sumatera Utara. Ia juga aktif sebagai Koordinator Litbang di Komisi Penanggulangan
HIV/AIDS Daerah Propinsi Sumatera Utara (KPAND Sumut), sejak 2000 sampai sekarang. Pernah menjadi
koordinator wilayah untuk menangani program-program yang difasilitasi PKM (Pemulihan Keberdayaan
Masyarakat), dan hingga sekarang aktif dalam gerakan anti pemiskinan.

TANTRY WIDIYANARTI, memperoleh gelar sarjana antropologi dari Jurusan Antropologi Fisip USU (1992).
Gelar magister antropologi diraih dari Universitas Indonesia (2002). Kini ia tercatat sebagai staf pengajar
Pusat Pengembangan Etika (PPE) Unika Atma Jaya, Jakarta; staf pengajar tidak tetap Universitas Indonusa
Esa Unggul, Jakarta; dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes), Tangerang. Selain aktif mengajar, ia juga
sering terlibat dalam berbagai penelitian: menjadi peneliti Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Jakarta, 1997 - 2000;
peneliti di PPE Atma Jaya (2002 - sekarang), dan anggota kelompok peneliti APTIK (Asosiasi Perguruan
Tinggi Ilmu Katolik). Pernah meneliti CSR, 2003-2004 pada beberapa perusahaan yang berkantor di Jalan
Jend. Sudirman, Jakarta. Beberapa hasil penelitiannya tentang etika bisnis dan Coorporate Social Responsibility
(CSR) sedang dalam proses penerbitan.

USMAN PELLY, adalah guru besar ilmu antropologi di Universitas Negeri Medan. Lulus sarjana ilmu
adminisitrasi pendidikan dari IKIP Medan pada tahun 1969. Ia memperoleh gelar M.A. di bidang
antropologi tahun 1980 dan gelar Ph.D. dalam bidang antropologi pembangunan pada tahun 1983 dari
University of Illinois, Amerika Serikat. Disertasinya telah diterbitkan oleh LP3ES (1994) menjadi sebuah
buku berjudul Urbanisasi dan Adaptasi. Selain aktif mengajar di beberapa universitas, ia juga menghasilkan
banyak karya tulis baik dalam bentuk artikel, makalah, dan buku.

ZULKIFLI B. LUBIS, magister antropologi dari Universitas Indonesia, tamat tahun 1996. Sejak 1990 menjadi
staf pengajar tetap di Departemen Antropologi Fisip USU. Beliau juga aktif mengajar di Program Studi
Pembangunan, Program Pascasarjana USU. Selain sebagai pengajar, ia aktif dalam kegiatan penelitian di
bidang pengelolaan sumberdaya alam, desentralisasi, jender, dan masalah etnisitas.

You might also like