You are on page 1of 9

KIYAI DAN PROFESOR:

MENCARI TITIK TEMU PERGURUAN TINGGI ISLAM


Oleh : Muhammad Isnaini




Sungguh ironis jika kita memperbincangkan tentang keberadaan lembaga
pendidikan pesantren di negeri ini. Biarpun pesantren merupakan lembaga pendidikan
khas dan asli pribumi (Bruinessen;1999). Namun kenyataannya, lembaga ini tetap saja
kalah bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Padahal, baik dari segi
wacana maupun praksis, perbedaan tradisonal maupun modern tentang lembaga
pendidikan ini sudah tidak persoalkan lagi. Sebab, baik pesantren yang bersifat
tradisional dan modern sama-sama mempunyai ciri-ciri yang kurang lebih persis sama.
Pesantren tradisonal, misalnya pesantrennya orang-orang NU, meskipun dalam sistem
pengkajiannya dikatakan tradisional namun, untuk tingkat pola pikir yang terjadi justru
sebaliknya, mereka lebih modern atau bahkan liberal (baca JIL) ketimbang lembaga
pendidikan lainnya yang lebih modern. Untuk contoh ini bisa disebut para alumni dari
pesantren tradisional seperti; Ulil Abshar Abdalla, Abdurrahman Wahid, Khamami Zada,
Musda Mulia dan lain sebagainya.
Sedangkan pesantren yang dikategorikan sebagai pesantren modern, biasanya
identik dengan pesantren atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh umat Islam yang
masuk kelompok ormas Muhammadiyah, Persis, Islam Lc dan lain-lain. Dalam
konteks ini, biarpun mereka dikatakan mengikuti sistem pendidikan modern, akan tetapi,
untuk pola pikir, mereka masih terlalu jauh dibandingkan dengan kelompok NU di atas.
Baik dari segi wacana maupun dalam tataran praksis. Dan mungkin untuk beberapa hal
lainnya juga sama.
Untuk itu, maka kata ''modern'' dan ''tradisional'' sudah tidak relevan lagi bila
disematkan pada lembaga pendidikan ini dalam hal ini pesantren. Namun,
persoalannya tidak hanya berhenti sampai di situ. Melainkan sejumlah persoalan yang
melingkupi pesantren ini masih saja ada. Setidaknya, ketika dihadapkan perbincangan
pesantren ini dengan perbincangan lembaga pendidikan lainnya yang lebih diakui

Penulis adalah Dosen IAIN Raden Fatah Palembang dan Anggota Dewan Riset (DRD) Sumsel, sekarang tengah
mengikuti Pelatihan Penelitian Sosial Keagamaan di UGM Yogyakarta
mempunyai peran dan fungsinya di masyarakat dan pemerintahan, yakni perguruan
tinggi-perguruan tinggi seperti universitas, institut dan sekolah tinggi. Meskipun untuk
pengembangan studi ilmu-ilmu pesantren telah didirikan sebuah perguruan tinggi Islam
dengan nama UIN, IAIN dan STAIN, namun, tetap saja, dua lembaga pendidikan ini
dianggap mempunyai banyak perbedaan yang cukup mendasar dan substansial.
Baik dari segi kurikulum, metode pengkajian dan berbagai faktor lainnya. Oleh
karena itu, fenomena tersebut jelas perlu dipertanyakan kembali mengenai sejauh
mana antara pesantren dan perguruan tinggi mempunyai relevansi yang seimbang,
atau paling tidak bisa dikatakan sama. Karena, kedua lembaga pendidikan ini tetap saja
dipandang berbeda. Lebih dari itu, pesantren-terlepas dari perbedaan tradisional dan
modern-tetap saja dipandang sebelah mata. Bahkan, dalam pandangan penulis,
semodern-modernnya sebuah pesantren tetap saja tidak akan mempunyai arti apa-apa
ketika dikomparasikan dengan lembaga pendidikan negara, yakni perguruan tinggi.
Bahkan lebih jauh, banyak juga lulusan-lulusan dari pesantren-pesantren modern yang
pada akhirnya melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Begitu juga dengan santri-
santri yang sebelumnya belajar di pesantren tradisional, melakukan hal yang sama,
yakni melanjutkan studinya di perguruan tinggi negara.
Akan tetapi, dalam tulisan ini secara lebih khusus hanya akan memaparkan
tentang bagaimana relevansi antara kedua tokoh figur di masing-masing kedua
lembaga pendidikan tersebut, yakni kiyai di pesantren dan dosen (guru besar) di
perguruan tinggi. Apakah kedua tokoh figur tersebut mempunyai kesamaan yang
selaras dan relevan? Ataukah sebaliknya, kedua tokoh tersebut memang benar-benar
jauh berbeda? Sehingga tidak bisa dipertemukan antara satu dengan lainnya. Namun,
biarpun tulisan ini secara khusus hanya akan mengurai upaya mencari titik temu antara
kiyai dan dosen (khususnya lagi guru besar) di masing-masing lembaga tersebut.
Tetapi, dalam konteks tersebut, tentu tidak lepas dari pembahasan pesantren dan
perguruan tinggi itu sendiri. Sehingga dalam uraian nanti, juga akan diterangkan secara
sekilas mengenai kapan dan bagaimana perjalanannya untuk menjadi sebuah lembaga
pendidikan yang mempunyai peran dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat yang
jelas begitu plural dan heterogen.
Sekilas Tentang Pesantren dan Perguruan Tinggi Di Masa Kolonial
a. Pesantren
Ketika membicarakan antara pesantren dan perguruan tinggi di masa kolonial,
tampaknya dalam konteks ini, pesantren lebih mempunyai peran dan fungsinya di
masyarakat. Bahkan pesantren menjadi motor penggerak segala bentuk perubahan dan
protes terhadap pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu yang masih dan sedang
berkuasa. Sebaliknya, perguruan tinggi pada masa-masa awal kolonial belumlah bisa
dikatakan mempunyai sesuatu hal yang bisa dikatakan berarti ketika itu. Karena,
memang ketika itu perguruan tinggi juga belum lahir.
Pada masa-masa kolonial tersebut, hegemoni pesantren dan pembelajaran ilmu-
ilmu agama sangatlah besar dan menjadi salah satu kebanggaan umat muslim ketika
itu. Karena dengan begitu, mereka akan bisa belajar langsung kepada tokoh-tokoh
Islam terkemuka pada saat itu. Di mana tokoh-tokoh Islam pada saat itu merupakan
pujangga-pujangga terkemuka di dunia Islam Nusantara, bahkan internasional. Jika kita
melihat ke belakang sekitar abad ke-17-18 maka, kita akan melihat bagaimana peran
seorang ulama seperti syekh Yusuf al-Maqassari, Abdurrauf Singkel, Syamsudin as-
Sumaterani, Nuruddin ar-Raniri dan yang lainnya dalam memimpin umatnya dan
memberikan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam kepada umatnya.
Lebih jauh ketika perkembangan tradisi keilmuan Islam mengalami dinamika
yang cukup pesat. Apalagi dengan sudah dibukanya terusan Suez pada abad ke-19
(1870) (Steenbrink; 1984). Maka, semakin banyaklah umat muslim Indonesia yang
mondok dan mesantren tidak hanya ke seluruh pesantren-pesantren yang ada di
Nusantara-walaupun pada saat itu belum ada istilah atau nama pesantren sebagai
sebuah lembaga pendidikan Islam---tapi lebih jauh lagi hingga ke Mekah dan Madinah.
Tetapi, jika yang ada adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengkaji ilmu-
ilmu keislaman tentu saja sudah ada. Karena hal itu bisa terlihat dari banyaknya kiyai
atau ulama-ulama yang lahir ketika itu--Dan tentu saja pada abad ke-19, jumlah
pesantren sudah tidak sedikit jumlahnya.
Lebih dari itu, pada abad ini pula para santri semakin bertambah banyak yang
melanjutkan studi keislamannya di kota Mekah sekaligus sambil menjalankan ibadah
haji. Apalagi pada saat itu di kota Mekah banyak sekali para santri yang berasal dari
Nusantara telah menjadi ulama-ulama yang dikenal akan kapasitas keilmuannya
bahkan kealimannya. Kenyataan tersebut semakin dipertegas dengan adanya bahasa
Nusantara yang menjadi bahasa kedua setelah bahasa arab yang digunakan di sana.
Setidaknya, menurut Martin, sekurang-kurangnya kira-kira tahun 1860 bahasa Melayu
merupakan bahasa kedua setelah bahasa arab yang dipergunakan di Mekah.
Kembali kepada pesantren. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa,
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di
Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya belum ada pendapat yang
pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut. Namun, jika melihat beberapa hasil studi
yang dilakukan beberapa sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan
lainnya ada indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut diperkirakan kira-kira abad
ke-19. Akan tetapi, terlepas dari persoalan tersebut yang jelas signifikansi pesantren
sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan
masyarakat muslim pada masa itu.
Karena, kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh
masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan
terbentuknya kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, gerakan-gerakan
protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut
selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya
misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984)
Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-1875)
dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren
mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia.
(Steenbrink; 1984)
Namun, ketika mulai menginjak abad ke-20, di mana abad ini disebut-sebut
sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami
pergeseran secara signifikan. Tentang hal tersebut, sebagian pengamat mengatakan
bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan
begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga dengan
begitu, fungsi dan peran pesantren seakan-akan memang benar telah bergeser dari
sebelumnya. Tapi, paling tidak hal di atas cukup kiranya untuk menyatakan bahwa pra
abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan
manapun. Dan hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
b. Perguruan Tinggi.
Sebagaimana yang sudah dikatakan di atas bahwa lembaga pendidikan yang
paling berpengaruh sebelum abad ke-20 adalah pesantren, namun pada abad XX dan
selanjutnya hingga sekarang justru sebaliknya, tingkat dominasi pesantren di seluruh
kawasan Nusantara mengalami penurunan. Dan, mulai abad dua puluh itulah dan
sampai sekarang yang lebih berperan dan mengambil peran dalam setiap persoalan
pemerintah adalah lembaga pendidikan yang disebut kemudian dengan nama
perguruan tinggi, baik itu universitas, institut ataupun sekolah tinggi.
Fenomena tersebut memang jelas merupakan hasil dari begiu kuatnya dominasi
dan wilayah domain pemerintah Hindia Belanda dalam setiap menjalankan kebijakan
politiknya. Namun, tentang mulai kapan ada dan berdirinya lembaga pendidikan yang
berlabelkan universitas, institut dan sekolah tinggi ini juga belum bisa dipastikan. Tapi,
setidaknya sebagai sekedar informasi yang ditemukan oleh Akira Nagazumi dari hasil
studinya mengenai ''Perhimpunan Indonesia; Kegiatan Mahasiswa Indonesia Di Negeri
Belanda, 1916-1917'', patut dijadikan catatan. (Akira Nagazumi; 1986)
Tentang mulai berdirinya perguruan tinggi di Nusantara memang tidaklah
langsung jadi secara cepat. Atau, pemerintah Hindia Belanda pada saat itu tidak
langsung mendirikan lembaga pendidikan tersebut, perguruan tinggi. Melainkan yang
pertamakali didirikan terlebih dahulu adalah semacam sekolah tingkat dasarnya. Sekitar
abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai berusaha meningkatkan
pendidikan di Hinida Belanda. Tepatnya pada tahun 1845 Gubernur Jenderal J.C. Baud
mengusulkan untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi kalangan elit penduduk
pribumi. Yang kemudian baru menjadi kenyataan beberapa tahun sesudahnya. Tahun
1852 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah pertama untuk guru
pribumi (kweekscholen) dan satu sekolah untuk melatih ''juru suntik'' (dokter Djawa-
Scholen). Karena baru ada 20 sekolah dasar untuk anak-anak pribumi pada tahun 1854,
maka umumnya yang dapat memasuki lembaga pendidikan tersebut di atas, hanyalah
mereka yang telah menerima pelajaran privat dari guru-guru Belanda atau, mereka
yang telah dari Europeese Lagere School (sekolah dasar Eropa) di Hindia Belanda,
yang baru setelah itu, tahun 1864 membuka pintu bagi anak-anak pribumi untuk belajar
di lembaga pendidikan tersebut. (A. Nagazumi; 1986)
Tahun 1878 di Jawa telah didirikan sekolah pimpinan pemerintahan (Hoofden-
scholen). Pada mulanya sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak kaum
bangsawan (elite), tetapi kemudian menjadi lembaga pendidikan para pegawai
pemerintah pribumi atau ambtenar (yang dimasa itu lebih dikenal sebagai sekolah
pangreh praja). Guru, tenaga medis dan pegawai pemerintahan adalah orang-orang
yang paling diperlukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan lembaga untuk
mendidik tenaga-tenaga ini, merupakan sekolah lanjutan yang paling tinggi tingkatnya
di Hindia Belanda. (A. Nagazumi; 1986). Sementara itu, sekolah-sekolah kejuruan
seperti hukum, peternakan, pertanian dan perdagangan, tumbuh seperti jamur dalam
dasawarsa-dasawarsa abad XX, baru pada tahun 1920-an pendidikan universitas mulai
diadakan di Hindia Belanda. Dan untuk pendidikan tinggi ini, seseorang terpaksa harus
ke luar negeri, khususnya negeri Belanda. Di tahun 1900 hanya ada lima orang
mahasiswa pribumi menuntut pendidikan tinggi di Belanda, tetapi pada tahun 1908
jumlah mahasiswa sudah 23 orang, dan pada tahun yang sama inilah Indische
Vereniging (Perhimpunan Hindia) dibentuk. Yang kemudian ''Perhimpunan Hindia''
berubah nama menjadi ''Perhimpunan Indonesia'' pada tahun 1925.
Itulah kira-kira sekilas tentang bagaimana pertamakali munculnya perguruan
tinggi. Hanya untuk menegaskan, bahwa dari sinilah perguruan tinggi itu tumbuh dan
kemudian mulai mengalami perkembangan terus semakin pesat. Dan tentunya berbeda
dengan pesantren yang memang didirikan oleh masyarakat sendiri. Perguruan tinggi
sengaja didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dikarenakan pada saat itu
Pemerintah Hindia Belanda sangat memerlukan banyak sekali orang-orang pribumi
untuk dijadikan pegawai-pegawai di Pemerintahan Hindia Belanda, dan tentunya itu
juga tidak lepas dari pretensi-pretensi Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian pada
perkembangan selanjutnya itulah yang lebih mempunyai peran di tingkat pemerintahan
nasional adalah para pemuda-pemuda yang memang merupakan llulusan perguruan
tinggi. Salah satu contoh dapat kita sebut misalnya adalah; Ir. Soekarno, Drs. Moh.
Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Syafrudin Prawirangera dan yang lainnya. Mereka inilah
yang kemudian mempunyai peranan dalam dinamika pemerintahan tingkat nasional.
Antara Kiyai dan Profesor
Selama ini, mungkin kita hanya melihat kiyai dan professor sebagai dua sosok
figur yang berbeda, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan
masyarakat intelektual. Apalagi jika dikaitkan dengan di mana kedua tokoh tersebut
mengabdikan dirinya kepada masyarakat, kiyai di pesantren, sedangkan professor di
perguruan tinggi.
Kemudian, kiyai lebih dikenal sebagai tokoh agama yang tentu saja sangat
menguasai ilmu-ilmu keislaman yang berkembang dan memang sudah menjadi
keharusan bagi seorang kiyai untuk menguasainya. Sedangkan professor lebih dikenal
sebagai seorang tokoh intelektual yang juga mempunyai keilmuan yang mendalam di
bidang keilmuannya. Hanya saja, jika kiyai merupakan gelar atau title yang diperoleh
dari masyarakat langsung. Namun, tidak hanya disebabkan karena kedalaman
keilmuan saja ia memperoleh gelar tersebut. Tetapi, ia mendapat gelar itu juga
dikarenakan kesabarannya dalam mengasuh dan membina umat.
Dan, tentunya moral juga dipertanggungjawabkan. Jadi, jika bisa dikatakan, gelar
atau titel kiyai didapatkan dari dan oleh masyarakat langsung karena peranannya dalam
membina dan membawa masyarakat suatu pedesaan dari yang tidak baik menjadi baik,
dari yang tidak bermoral menjadi bermoral.
Sehingga dengan demikian, gelar kiyai tidak semata-mata disebabkan oleh
kedalaman ilmu yang dimilikinya. Tetapi, secara moral dan tanggung jawab seoarang
kiyai memang lebih besar daripada seoarang professor. Karena, sudah menjadi tugas
dan tanggung jawab kiyai untuk menjadi tokoh masyarakat yang disegani, dihormati
dan dikagumi. Atau pendeknya, kiyai mempunyai tugas tidak hanya semata-mata
urusan duniawi, tetapi, ia mempunyai tanggung jawab untuk dapat membimbing
masyarakat ke jalan ukhrawi (agama). Agar masyarakat tersebut nantinya bisa
menyeimbangkan antara keperluan duniawi dan ukhrawi.
Namun, dalam realitasnya, kiyai ini terbagi menjadi dua. Munurut Prajarta
Dirjosanto sebagaimana yang dikutip Nurul Huda SA, kiyai pesantren dan kiyai langgar.
Kiyai pesantren adalah kiyai yang mempunyai pesantren, sedangkan kiyai langgar yaitu
kiyai yang tidak memiliki pesantren dan hanya mengajar di rumah atau di langgar.
Namun, meskipun demikian, pada dasarnya kedua kiyai tersebut tetap mempunyai
peran dan tanggung jawab yang sama; membimbing umat. (Pikiran Rakyat, 2007).
Akan tetapi, terlepas dari itu semua, bila sedang membicarakan tentang kiyai, maka hal
itu identik dengan kiyai-kiyai yang tinggal di pesantren. Karena memang perannya yang
begitu sentral dalam pembinaan umat. Dengan demikian, maka apa yang dikatakan
Dhofier cukup selaras.
Karena kiyai merupakan elemen yang paling penting dan esensial dari suatu
pesantren. Bahkan seringkali ia merupakan pendiri dari pesantren tersebut. Maka
sudah sewajarnya pertumbuhan dan perkembangan suatu pesantren semata-mata
bergantung kepada kemampuan pribadi kiyainya. (Dhofier; 1994).
Berbeda dengan professor, di mana gelar tersebut diperoleh berdasarkan
beberapa kriteria yang telah dirumuskan oleh masyarakat akademis pada suatu
perguruan tinggi. Bisa jadi karena telah banyak menulis buku, melakukan penelitian,
mengajar dan beberapa kategori yang lainnya. Sehingga, gelar atau titel professor
diraih berdasarkan prestasi atau pengabdian di tempat di mana ia mengabdikan dirinya
sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya. Singkatnya, gelar professor merupakan gelar
yang diraih atas dasar prestasi akademis.
Akan tetapi, biarpun perguruan tinggi berbeda dengan pesantren, namun ketika
seorang mahasiswa yang akan dan sedang menyusun tugas akhirnya (baik itu skripsi,
tesis maupun disertasi), biasanya dan memang sudah mejadi keharusan, setiap tema
dan judul tugas akhir yang diambil oleh mahasiswa tersebut dan ketika si mahasiswa
akan diberikan dosen pembimbing maka akan disesuaikan dengan masing-masing
keahlian dari si dosen pembimbing tersebut. Melihat realitas seperti itu maka, hal itu
mengingatkan kita tentang di setiap pesantren, atau pesantren-pesantren yang ada itu
biasanya mempunyai ciri khas yang berbeda-beda.
Ciri khas itu biasanya identik dengan kajian yang dibahasnya di masing-masing
pesantren. Ada pesantren al-Quran, gramatika arab, fiqih, tasawuf dan lain sebagainya.
Dan, pesantren-pesantren tersebut menjadi terkenal dikarenakan ada satu bidang yang
diprioritaskan untuk dikaji atau ditonjolkan. Misalnya saja seperti pesantren Gontor yang
lebih dikenal dengan sistem dan program bahasa asingnya-Arab dan Inggris. Hal itu
biasanya juga disesuaikan dengan keahlian dari para pengasuh atau para pengajar
pesantren tersebut, baik itu ustadz maupun kiyainya.
Sehingga dengan begitu, ternyata sistem pendidikan yang diterapkan di
perguruan tinggi tersebut sama persis dengan pendidikan yang diterapkan di
pesantren-pesantren. Singkatnya mengenai sipenuntut ilmu akan mencari seorang guru
untuk studinya yang digelutinya. Hanya saja bedanya terletak pada, santri memang
sudah dari awal diarahkan untuk mengkaji satu disiplin ilmu tertentu, dan biasanya
untuk langkah menuju ke sana, santri tersebut harus mempelajari ilmu-ilmu dasarnya
sebelum beralih ke tingkatan yang paling atas untuk mendalami satu bidang disiplin
ilmu tertentu. Sedangkan di perguruan tinggi, hal itu akan terjadi ketika akan menulis
tugas akhir. (Allahu alam bi ashowab)

You might also like