You are on page 1of 6

@

Artikel Penelitian
Analisis Kedalaman Fossa Olfaktorius
dengan Sudut hlasofrontal Berdasarkan
Klasifikasi Keros
Yan Edwin Bunde, Freddy George Kuhuwael, Sutji Rahardjo, Muhammad Amsyar Akil
Bagian llmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Lehe4
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Maleassar
Abstrak: Pencitraan dengan CT scan sinus paranasalis merupakan keharusan sebelum tindakan
BSEF, untuk mengetahui anatomi sinonasal dan struktur sekitarnya. Klasifikasi Keros
mendeskripsikan kedalamanan
fossa
olfaHorius tipe-j yang saxgat rentan terjadi kebocorqn
cairan serebrospinalis dan kamplikasi intrakranial lainnya. Asumsi bshwa sudut nasafrontal
dan kedatamanfossa olfaktorius berasal dctri penorcjolercwajahyang same pada masakehidupan
embriologi, ingin ditelusari kebermaknaannya dalam penelitian ini. Penelitian ini ingin
rnembuktikan apakah matra hidung luar yakni ,sudut nasafrontal dapat menjadi pararneter
untuk memprediksi matra hidung dalam yakni kedalamanfossa olfahorius. Penelitian dilal<akan
pada 120 subjek. Diperoleh deslcripsi kedalaman
fossa
olfaktorius pada masing-masing sisi
secara berurutsn dari yang terbanyak ialah Keros tipe II, Keros tipe III dan Keras tipe I pada
sisi kiri dan Keras tipe II, Keros tipe I dan Keros tipe III pada sisi kanan. Fassa o$aldarias sisi
kiri lebih dalam dari pada sisi karcan. Rerata sudut nasofrontal ialah 134,2o. Tidak terdapat
korelasi bermakna
qntara
sudut nasofrontal dan kedalamanfossa olfaktorius sehingga sudut
nasofrontal tidak dapat mercjadi parameter untuk memprediksi kzdalamanfossa olfaktorius.
Ksta Kunci: Klasifikasi Keros,
fossa
olfaktorius dan sudut nasofrontal.
Maj Kedokt Indon, Volurn: 58, Nomor: E, Agustus 2008 291
Analisis Kedalamarc Fassa Olfaktorius Dengan Sudut Nasofrantal
The Depth of Olfactory Groove Analysis With Nasofrantal
Angle Based on Keros Classification
Yan Edwin Bunde, Freddy George Kuhuwael,
Sutji Rahardjo, Muhammad Amsyar Akil
Ear Nose Throat-Head and Neck Departrnent,
Faculty of Medicine, Hasanuddin Ul,itersity, Makassar
Abstra{t: Radiagraphic imaging of camputed tamagraphy (CT) scan befare perforrning
pf.$$
ig
mandatory to understand sinonasal anatomy and its adjacent struclures. Keros classification had
been describing the depth of olfactory groove which type-3 is most vrlnerable to CSF leak and
intretcranial penetration. Assuming that nasofrontal angle and the depth of olfactory groore cafle
frornthesamefacialprqjectionduringembryonallifewillbefndingoutinthisstudy.Can
extetnal
nasal measarement i.e. nasofrontal angle be a new parameter to predict intemal nasat measufe-
ment i.e- the depth of olfactory groave? Astudy had been conductedfor 124 subjects. We obtained
the descriptions of the depth of olfactory groove each side which is Keros type 2, type 3, type 1
conseeutively at left side and Keros tTpe 2,
We
I,
We
3 cottsecutively attheright side. The leftside
olfactory groove deepet'tltan the right side. Mean of ncsofrontal cngle is 134, 2". There was no
signficant cot'relation between nasofrontal angle and the depth of olfactnry groove so nasofrontal
angle can not be a parameter to predict the depth ofolfactory groove
Key words: Keros classifrcation, olfactory groove, nasofrontal angle
Pendahuluani
Pada dua dekade terakhir, Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional (BSEF) merupakan suatu prosedur yang telah
diterima secara luas untuk penanganan Rhinosinusitis
kronikt'2 Prosedur ini telah sangat berkembang di Indonesia
termasukdi Makassar.
Untuk dapat melakukanBSEF dengan aman danbaik
dibutuhkan faktor ketersediaan instrumentasi dan tehnik
operasi yangbaik, kemampuan mencennati stn:khu anatomi
sinonasal dan struktur sekitarnya serta kemampuan
menangani komplikasi yang dapat terjadi.s Dalam melakukan
BSEF, merupakan suatu keharusan untuk melakukan
pemetaan variasi anatomi Sinonasal dan stnrktur sekitarnya
dengan lebih rinci pihr melalui pemeriksaanComputed Tb-
mography (CT) scan sinus paranasalis.a
Salah satu variasi anatomi yang penting diketahui dalam
melalaftan BSEF adalah kedalarnan fossa olfaktorius. Lamfun
lateralisnya merupakan daerah rawan tembus pada tindakan
etmoidektomi intranasal yang merupakan prosedur BSEF
sehingga dapat terjadi kebocoran cairan serebrospinalis.5'6
Angka kejadian kebocoran cairan serebro-spinalis akibat
BSEF berkisar |Yo, tergantung dari ahli bedah dan kasus
yang dihadapi. Kejadian tersebut dapat menjadi keadaan
yangmengancamjiwa.2
292
Kedalaman fossa olfaldorius telah diklasifikasikan oleh
Keros terdiri dari 3 tipe yaitu tipe I ( I -3 mm), tipe I1 (4-? mm)
dan tipe 3 (8-16 mm) seperti diperlihatkan pada gambar 1.
Tipe 3 mempunyai lamina lateralis yang lebih panjang
sehingga paling berpotensi untuk terjadinya kebocoran
cairan serebro-spinalis dan komplikasi intrakranial lainnya
yang dapat mengarcamjiwa penderila. Para ahli BSEF harus
mempertimbangkan dan mewaspadai keadaan tersebut.7,8
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 20OE
Analisis Kedalaman Fossa Olfaktorius Dengarc Sudut Nasofrontal
Penelitian-penelitian tentang kedalaman fossa
olfaktorius menurut Klasifikasi Keros telah dilakukan
dibeberapa negara. Di Indiatt didapatkan hasil tipe I pada 15
Wnderitae$/o),tipetrpada59pndeita(78,77o)dantipeltr
pada 1 penderita (1,3W . Di Philipina diperoleh tipe I pada 8
penderita (15,6Y$, ttpe[,pada5 penderita (9,87o) dan tipe Itr
pada 23 penderita (45%). Endang Mangunkusamo
memperoleh hasil tipe I pada l1 kasus (44VQ,ttpeIIpada7
kasus (287o) dan tipe Itr pada? kasus (287o).12
Biladiperhditan secaraembriologi( dasar darifossa
olfaktorius ya;ttu lamina cribrosa ossis ethmoidalis yang
juga
merupakan bagian dari 6asls cranii anterior mempunyai
keterkaitan d engan pra ce ssus
frontanasali
s.
Dengan berkembangnya daerah sekelilingnya, proces-
sus frontonasalis menjadi cekung dan pada bulan ke tiga
usia fetus terbentuk processus nasalis lateralis yang akan
berperan pada perkembangan atap rongga hidung.''
Pada saat lahir, basis cranii anterior termasuk os
ethmoidis, crista galli dan atap hidung belum mengalami
ossifikasi, masih berupa tulang rawan. Seiring tumbuh
kembangnya anak, akan te{adi ossifikasi pada basis cranii
anterior termasuk tulang hidung dan sekitar dahi, seperti
tampakpada gambar 3.13
Diketahui terdapat beberapa ukuran sudut-sudut wajah
dari proporsi estetikawajah, seperti sudut nasofrontal, sudut
nasofasiaT, sudut nasomental dan sudut naso1zbial.14'15 Di
antara sudut-sudut wajah tersebut, menurut asal embriologik
dan tumbuh kembangnya, sudut nasofrontal diasumsikan
mempunyai keterkaitan dengan fossa olfaktorius.
Dengan melihat hubungan embriologis kedua struktur
tersebut ingin diamati apakah ada hubungan antara sudut
nasofrontal dan kedalaman fossa olfaktorius, sehingga bisa
dijadikan suatuparameterbam dalam memprediksikedalaman
Maj Keilokt Inilon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 2008
Gambar 3. Sudut Nasofrontal Wajah
la
fossa olfaktorius itu sendiri, pada keadaan fasilitas CT scan
belumtersedia.
Hingga saat ini belum terdryat data mengenai kedalaman
fossa olfaktorius menurut klasifikasi Keros di kota Makassar.
Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama untuk
mengetahui apakah terdapat korelasi bermakna antara matra
hidung dalam yattu ukuran kedalaman fossa olfaktorius
dengan matra hidung luar yaitu ukuran sudut nasofrontal.
Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
ektplorat$ Populasi penelitian ini adalah semua penderita
Rinosinusitis Pra BSEF yang telah atau akan menjalant
pemeriksaan CT scan sinus paranasalis potongan koronal
tanpa kontras.
Syarat inklusi sampel adalahPenderitaPra BSEF yang
di lalckan pemeriksaan Clscan sinus paranasalis potongan
koronal tarpa kontras, berusia minimal 17 tahun, sub ras
Deutero Melayu atau Proto Melalu. Syarat eksklusi bila
terdapat riwayat operasi hidung sebelumnya, tumorhidung
3f tu,?znw* *ps*tz te<r ttrt$rc1. Ftwi*gfur+
trs*b.tslsnl
wa{
'ffamptilr*ir
Ia*ralwsel yctsr
liyu
E:ital.tr pr.tit*t
;}fe*iil+rg prma.t*
lftvrii!*L+r urr&
f1gtezatz'1:&"tfu r*Nt
Gambar 2, Kepala Embrio Manusia Kira-kira Umur 29 Hari12
1"a
ptBa nf *ryeii
-
Gambar 4. Potongan Sagital Septum Hidungl5
293
Analisis Kedalaman Fossa Olfuktorius Dercgan Sudut Nasafrontal
yang dapat merubah ukuran kedalaman fossa otfaktorius dan
sudut nasofrontal, polip hidung masif yang menyulitkan
pengukuran kedalaman fossa otfaktorius, riwayat trauma
hidung dan maksilofasial sebelunnya.
PeEanbiJar mnpelscata ranclom sampling method.
Ukuran kedalaman fossa olfaktorius ialah ukuran yang
didapatkan berdasarkanjamk garis tegak lurus antara lamina
kribrosa dengan ketinggian atap ethmoid pada imaging CT
scan sinus paranasalis potongan koronal tanpa kontras.
HasilPenelitian
Selama kurun waktu 4 bular! yaitu dad bulan Mei 200?
sampai bulan Agustus 2007
,
telah dilakukan pengambilan
sampel pada penderitz pra BSEF yang telah menjalanr
pemeriksaan
CT scan sinus paranasalis potongan koronal di
bagian radiologi, RSAD Pelamonia, Makassar yang
mementrtri kriteria penelitian. Jumlah total sampel sebanyak
120 penderita.
Karakteristik sampel penelitian sebagai berikut:
Tabel 1. Frekuensi Menurut jenis Kelamin, Suku dan Sub-
Yariabel Frekuensi Persentase
Tabel 1. menur$ukkanjurnlah sampel perempuan lebih
banyak dari laki-laki dengan perbandingan 1,7: 1. Tiga nrku
terbanyak secara berurutan adalalah suku Bugis sebesar 51
subjek (42,5o/A, suku Makassar sebesar 40 subjek (33,3Vo)
dan suku Toraja sebesar 10 subjek (8,37o). Deutero Melayu
sebagai sub ras terbanyakyaitu 104 subjek (86,7yA.
Tabel. 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Suku dan Jenis
Kelamin
Suktr Laki-Laki JumIah
Bugs 17
Makassar 16
Toraja 1
Mandat I
Jawa 3
Tolaki I
Ternate 2
Batak 1
Betawi
Bima 1
Raha
14,11 34
t3,28 24
0,83 9
0,83 2
t{
t,
0,83 2
1,66 I
0,83
-1
0,83
-1
4,93
28,22 51
t9,92 4A
7,47 10
1,66 3
1,66 5
1,66 3
0,83 3
o,g:
0.83
42,5A
33,33
8,33
t {n
4,16
2,50
2,54
0,83
0,83
0,83
0,83
0,83
36,7 76 63.3 120 100
Tirbel 2 memrnjukkan bahwa laki-laki suku Bugis sebesar
17 stfujek (l 4, I lVg dan perernpuannya 3 4 utujek (28,22%)
merupakan sampel tertesar dalam distribusi ini.
Tabel 3. Distribusi Klasifikasi Keros pada Seluruh Sample
Klasifikasi
Keros
Sampel
Fossa
Olfaktorius
Kifi
Fossa
Olfalokrius
Kanan
Jenis kelamin:
Laki-laki
Perempuan
Sub Ras DM
BuSs
Makassar
Bima
Mandar
Betawi
Jawa
Ternate
Sub Ras PM
Tolaki
Raha/Wuna
Toraja
Batak
Sub-ras
Deutero Melayu
Proto Melayu
Perempuan:
TIPE I
TIPE II
TIPE III
Laki-laki:
TIPE I
TIPE II
TIPE III
11
50
15
6
24
14
44
76
51
4A
1
3
I
5
-t
3
)
10
1
36,7
63,3
42,5
33,3
0,e
t<
0,8
4,2
a<
t{
1,6
8,4
0,8
86,7
13.3
t4
54
8
13
30
L
t4,47
65,78
19,73
L3,63
54,54
31;81
18,42
71,05
t4,52
29,54
68,1 8
an1
104
l6
Sampel: 120 subjek
Tabel 3. menunjukkan bahwa pada fossa olfaktorius kiri
gendff
Wreffipuan
didapatkan klasifikasi Keros terbanyak
secara berurutan yaitu Keros tipe II sejumlah 50 subjek
(65,78YQ,Keros
tipe Itr 15 subjek (19
,73o/o)
danKeros tipe I
sebsar Tl (T4,47W. Pada fossa olfaktorius kanan jenis
kelamin perempuan, Klasi{ikasi Keros terbanyak secara
berurutan yaitu Keros tipe II sejunlah 54 subjek (7l,05o/o),
Keros tipe I sebesar 14 subjek (I8,42yo) dan Keros tipe III
sebesar 8 sampel (10,52VA. Pada fossa olfaktorius kiri laki-
laki didapatkan klasifikasi Keros te$anyak sanrakrurutan
Maj Kedokt Indon, Vblum: 58, Nomor: E, Agustus 2008
(DM: Deutero melayu; PM : Proto melayu)
294
iii:
riF I
il$. cjriSdii v1 . ttu& {sNr
al. |itisdd! S'l . l!Fknl6ar:.
tC. rildJ5!]J (Jtr
"
+t'rdB,!
t? . ftria};rti.* FE -;t'*d&#jj
Gambar 5. Uknran Kedalarnan Fossa Olfaktoriusls
Analisis Kedalaman Fossa Olfaktorius Dengan Sadut Nasofrontal
Derajal kedalaman (mm)
a. FO kiri
b. FO kanan
Sudut NF (
')
yaituKeros tipe2 s&esar 24 sampel (54,54o/o),Keros tipe 3
sebesar 14 sampel (31,81olo)danKerostipe I sebesar6 sampel
(13,63yo). Pada fossa olfaktorius kanan laki-laki, Klasifikasi
Keros terbanyak secara berurutan yaitu Keros tipe 2 sebesar
30 sampel (68,187o), Kerostipe 1 sebesar 13 sanrylQ9,54YQ
danKeros tipe 3 sebesar I sampel(2,27YQ.
Pada seluruh sampel didapatkanklasifikasi Keros pada
fossa olfaktorius kiri terbanyak secara berurutan yaitu Keros
tipe 2 sebesar 74 sampel, Keros tipe 3 sebesar 29 sampel dan
Keros tipe 1 sebesar 17. Pada fossa olfaktorius kanan,
Klasifikasi Keros terbanyak secara berurutan yaitu Keros
tipe 2 sebesar 84 sampel, Keros tipe I sbesar 27 sampel dan
Keros tipe 3 sebesar 9 sampel.
Tabel 4. Korelasi Kedalaman Fossa Olfakforius dengan Sudut
Nasofrontal
Variabel Rata-rata SD
dengan hasil penelitian di Indi4 Philipina, Jakanta, Jerman,
tampak bahwa hasil mempunyai kesamaan dengan penelitian
Keros, bahwa yang terbanyak adalah tipe II, lalu tipe III
(pada fossa olfaktorius sisi kiri dari penelitian ini), dan terakhir
adalahdpe I. Demikianpula denganhasil penelitian di Indi4
dan75 subjeknya diperoleh tipe terbanyak secara berurutan
mulai yang tertesar adalah tipe II, tipe I dan tipe III.10 Namun
berbeda dengan penelitian di Philipina oleh Santos, dai36
subjeknya, secara berurutan mulai yang terbesar yaitu tipe
III, tipe I dan tipe II. Penelitian di Jakarta oleh Endang
Mangunkusumo,tt pada 25 sampelnya, urutan terbanyak
mulaiyangterbesar adalah tipe 1, lalu tipe 2 dan 3 yang sama
besarnya, Hasil penelitian terutama yang dilalcukan di Asia
termasuk hasil penelitian in berbeda satu sama laino dzpat
saja disebabkan karena besar sampel yang tidak besar dan
bervariasi. Kesamaan penelitian ini dengan y ang drlalqrkan
oleh Keros adalah pada sampel yang besar.
Penelitian di barat d{jumpai kedalaman fossa olfaktorius
lebih besar di sisi kanan maka sisi tersebut lebih rentan,
berbeda dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa
fossa olfaktorius lebih rendah pada sisi kiri. Artinya harus
lebih waspada pada tindakan di sisi kiri penderita, namun
tidak lebih berrisiko pada ahli TI{T yang bekerja dengan
tangankanan karenabekerja pada sisi kiri tidak secanggung
bekerja disisi kanan. Juga estimasi kedalaman saat bekerja di
sisi kanan yang lebih dangkal setelahbeke{a disisi kiri yang
l&ih dalarn. dapat lebih baik dan anran.1o,t7
Padatabel 4, uji korelasi Spearman menunjukkan nilai
signifikan antara kedalaman fossa olfaktorirx kiri dan kanan
frorelasi
0.577 denganp0.000). Ujirnenunjukkan nilaitidak
signifikan antara kedalaman fossa kiri dengan sudut
nasofrontal (korelbsi 0.47 dengan nilai p 0.609). Korelasi
signifikan untuk fossa olfaktorius kanan dengan sudut
nasofrontal
ftorelasi
0.197 dengan nilai p 0.03 1), yaitu makin
besar sudut makin dalam fossa olfaktorius. Dari hasil tersebu!
teffryaIa. matrahidung luar dapat memprediksi matra hidung
dalam yaitu kedalaman fossa olfalrtorius sisi kanan tetapi
tidakpada sisi kirl Mengapa hal ini bisaterjadi, masih menjadi
suatu misteri yang memerlukan shrdi la4iut untuk dipecahkan.
Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara
sudut nasofrontal dengan ukuran kedalaman
fossa
olfaktorius pada seorang individu sehingga sudut
nasofrontal tidak dapat meramalkan kedalaman
fossa
olfaktorius.
Alasan yang dapat dikemukakan bahwa walaupun
asumsi penelitian ini yaitu dari tifik pertumbuhan yang sama
antara atap rongga hidung dan sudut nasofrontal semasa
perkembangan embriologi, namun tidak didapatkan korelasi
bermakna, karena faktor pengaruh lingkunganyang lebih
besar pengaruhnya dalam membentuk
pnotipe
sesorang
yang te{adi selama masa tunrbuh kembang seorang individu
dibanding faktor genetiknya. Pada penelitian ini, korelasi tidak
bermakna namun dari asmsiyang sama maka korelasija:ak
glabella-nasion (seperti garis biru di gambar 4) dengan sudut
6,2
5,3
134,2
2,O0
1,80
9,30
0,00
0,031
0,609
Nilai p pada Fossa Olfaktorius (FO) kiri:0.00.
Fossa Olfaktorius (FO) kanan
:0.031
Sudut Nasofrontal (NF)
:0.609
Tabel 5. Korelasi Sndut Nasofrontal, Kedalaman Fossa Olfak-
torius Antara Suku Bugis, Suku Makassar dan Suku
Toraja
Bugis Makassar Toraja
(n:40) (n=10) (n=1)
Mean * Mean + Mean +
SD
FO Kiri (mm)
FO Kanan (mm)
SudutNF(")
6.5059 +
2.035'12
5.4706 +
1.7 4279
134.08 +
10,814
6.3050 + 5.3000 +
1.95414 l_646
5.3500 + 43504 +
1.97847 1.475
133.80 + 135.50 +
9.088 9.659
Diskusi
Pada penelitian ini, dilalalkan pengularan kedalaman
fossa olfaktorius kedua sisi karena pada tiap sampel terdapat
perbedaan yang cukup bermakna, sehingga selanjutnya
dalampembahasan dan hasil akhirpenelitian ini akan selalu
ditampilkan betdasatkan masing-masing sisi fossa
olfaktorius.
Dari tabel 3, pada fossa olfaktorius kiri didapatkan
klasifikasi Keros terbanyak secara benrutan yaitu Keros tipe
II sejumlah 74 subjek (6l,66ya) Keros tipe III 29 subjek
Q4,L6VI)
danKeros tipe I 17 (I 4,l6yo). Pada fossa olfaktorius
kanan, klasifikasi Keros terbanyak secara berurutan yaitu
Keros tipe II sejumlah 8a subjek (?07o), Keros tipe I 27 subjek
(22,5W dan Keros tipe III 9 subjek
Q,5W.
Dibandingkan
Maj Kedokt Inilon, Yolurn: 58, Nomor: 8, Agurtus 2008
-lnaliis Kedalaman Fossa Olfaktorius Dengan Sudut Nasofrontal
nasofrontal dapat diteliti hubungannya.
Penelitian ini walaubersifat eksploratif namun karena
dilakukanpada subjek manusia akan bernilai dan bermanfaat
bagi pengetahuan
tentang tubuh manusia dan berimplikasi
kl ini s dalam tindakan BSEF.
Kesinpulan
Diperoleh ukuran kedalaman fossa olfaktorius menurut
klasifikasi Keros mulai yang terbanyak ialah Keros tipe-Il,
Keros tipe-III, Keros tipe-I; pada fossa oHaktorius kiri dan
Keros tipe-Il, Keros tipe-I, Keros tipe-III; pada fossa
olfaktorius karan. Diperoleh besar sudut Nasofrontal ialah
i34,2" (Standar
Deviasi: 9,3"). Matra hidung luaryaitu sudut
nasofrontal tidak dapat dijadikan parameter untuk
memprediksi matra hidung dalam yaitu kedalaman fossa
olfaktorius.
DdtarPustaka
1. Mangunkusumo E. Persiapan operasi BSEF. Nasoendoskopik dan
Pemeriksaan Tomografi Komputer. Dalam Kumpulan Naskah
Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional. Makassar; 2OOA:B -24.
2. Marks SC. Radiolory of the nose and sinuses. In. Nasal and Sinus
Surgery, Philadelphia. WB. Saunders; 43-57;117-43.
3. Rice HD. Endoscopic functional paranalisis sinus surgery: Ante-
rior to Posterior Approach. Endoscopic
paranasalis
Sinus Sur-
gery 3'd ed. Philadelphia- Lippincott Williams and Wilkins
2AA0:169-73.
4. Wormald PJ. Radiology. Aaatomi, three dimensional reconstruc-
tion and surgical tehnique, Stuttgart. Thieme; 2005:ll3-g.
5. Marfatia H. Tips for the novice nasal endoscopist. Indian
Otolaryngol Head and Neck Surg, 2001,53.68-9.
6. Ohnishi, T. High risk areas in endoscopic sinus surgery and pre-
vention of complications. In Laryngoscope, 1993, 103 : 1 1
gi-5.
Casiano RR. Consistent and reliable anatomical landmarks in
endoscopic sinus surgery: A Historical Perspective. Endoscopic
Sinus Surgery Dissection Manual. A Step Wise, Anatomically
Based Approach to Endoscopic sinus Surgery, New
york,
2002:
1-',|.
Stammberger H. Special endoscopic anatomy of the lateral Nasal
Wall and Ethmoidal Sinuses. Functional Endoscopic Sinus Sur-
gery: The Masserklinger Tehnique Philadelphia. Mostry;
199t.p.49-87.
Ctscans.hawkelibrary.com. The roof of ethmoid available at:
http://ctscans.hawkelibrarv.com.
Accessed: January 10 20A5.
Kurien M, Arif A. Anterior skull base: High risk areas in endo-
scopic sinus surgery in chronic rinosinusitis: A Computed Tomo-
graphic Analysis. Indian Otolaryngol Head and Neck Surg.
2005;57:5-8.
Mangunkusumo E. Menghindari penetrasi intrakratial anterior
pada lindakart bedah sinus endoskopik pemahaman CT scan atap
Etmoid Anterior. ORLI X)O(V NO 4, 2005:'75-80.
Gray H. Anatomy ofhuman body-1918. The Brachial Region_
Available at: http:/lwww.bartlebv- som.
Belden CJ, Mancuso Ad The developing anterior skull base: CT
Appereance from Birth to 2 years ofAge. AJNR 18:811-818.
Available at : wwwairn.orsegiprint. I 8581 l.
Papel. Fzcial Proportions and Aesthetic Ideals. In Essentials of
septorhinoplasty. Philadelphia. Thieme; 2AA4.p.66-7 4.
Ridley BM, VanHook MS. Aesthelic facial proportions. In: Fa-
cial plastic and reconstructive surgery.2od ed. New
york:
Thieme;
2002.p.96-1A9.
Clemenle, MP. Surgical anatomy of the paranasalis sinus. Sinus
Surgery Endoscopic and Microscopic Approaches. Stuttgart.
Thieme; 2005.p. 1-55.
Dessi R. Difference in the height of the right and left ethmoidal
roofs: a possible risk factor for ethmoidal surgery.
prospective
study of I50 CT scar. Journals of Laryngology and Otology.
1994;108:261-2.
@"n
7.
8.
t0.
11.
t2
13
14.
15.
16.
l7
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: B, Agustus 200g

You might also like