You are on page 1of 11

Sehari, 3 Perempuan Alami Kekerasan di Lampung

RADAR LAMPUNG - RABU, 8 JANUARI 2014


BANDARLAMPUNG Angka kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Lampung
ternyata masih cukup tinggi. Berdasarkan data Lembaga Advokasi Perempuan Damar, selama
2013 terjadi sebanyak 902 kasus. Artinya, setiap hari terjadi hampir tiga kasus kekerasan
terhadap perempuan di provinsi ini.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan Damar Sely Fitriani, kondisi ini
disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya adalah budaya masyarakat yang lebih memberi
kekuasaan kepada kaum pria. Kemudian adanya aturan yang tak tertulis di masyarakat yang
menganggap wanita sebagai objek, sedangkan laki-laki sebagai subjek.
Faktor lainnya adalah interpretasi agama yang bias dan kadang diamini seketika oleh
masyarakat. Faktor yang paling penting adalah sikap negara lewat kebijakan yang tidak adil
dan masih melihat gender, seperti pembangunan yang ada tidak ramah untuk perempuan,
katanya saat merilis data kekerasan terhadap perempuan di kantor setempat kemarin.
Dijelaskan, dari hasil pendataan yang dilakukan Damar, kasus kekerasan yang diketahui
publik merupakan yang tertinggi terjadi di Lampung. Jumlahnya mencapai 656 kasus.
Sementara sisanya 246 kasus tergolong kekerasan privat atau tidak diketahui masyarakat
(selengkapnya lihat grafis).
Jika berdasarkan kategori usia korban, 437 kasus (48,5%) dialami anak-anak. Kerentanan
ini terjadi karena anak-anak dianggap sebagai pihak yang tidak berani melakukan serangan
atau perlawanan saat mengalami kekerasan dan juga belum memiliki nalar yang cukup atas
peristiwa yang terjadi. Kerentanan terhadap anak juga sering kali terjadi karena orang tua
yang kurang waspada terhadap lingkungan sosialnya dan adanya pembiaran ketika terjadi
perubahan pada perilaku anak-anak, paparnya.
Sementara untuk kategori usia pelaku berbanding terbalik dengan korban. Dari 902 pelaku
kekerasan terhadap perempuan, hanya ada 38 orang yang usianya masih tergolong anak-anak.
Selebihnya, yaitu 864 pelaku, berusia di atas 18 tahun atau dewasa. Angka ini menunjukkan
bahwa kekerasan terhadap perempuan cenderung dilakukan oleh laki-laki dewasa,
ungkapnya.
Kemudian ditilik dari lokasi terjadi kekerasan, Kota Bandarlampung menjadi yang terbanyak
dengan 373 kasus diikuti oleh Kabupaten Lampung Selatan dengan 104 kasus. Sebanyak
41,35 persen tindak kekerasan terhadap perempuan terjadi di Kota Bandarlampung karena
secara logis daerah perkotaan tinggi angka kriminalitasnya. Hal ini juga didukung mudahnya
memperoleh data di Bandarlampung, masyarakatnya lebih terbuka, dan berani mengungkap
kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di sekitarnya atau yang menimpa dirinya,
katanya.

Khusus kasus yang ditangani Damar, pada tahun ini jumlahnya meningkat cukup signifikan.
Jika pada 2010 Damar hanya mampu menangani 37 kasus, pada tahun ini meningkat menjadi
61 kasus. Kalau pada 2012, kami menangani 37 kasus. Sedangkan pada 2011, kami
menangani 42 kasus, ungkapnya.
Penanganan kasus, lanjut Selly, meliputi legitasi, nonlegitasi, layanan shelter dan
perlindungan sementara, serta pendampingan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dirinya
berharap kebutuhan penanganan yang mumpuni terhadap kasus kekerasan tidak dapat ditunda
lagi. Faktanya, upaya untuk menangani kekerasan seksual secara komprehensif masih
tertatih. Salah satu masalah utama adalah belum adanya payung hukum yang memadai.
Sampai hari ini, perbaikan hukum pidana dan hukum acara pidana berjalan pelan. Bahkan
seolah kehilangan arah, sesalnya, seraya berharap layanan bagi perempuan yang kini masih
sangat terbatas dapat lebih dibuka. (why/p2/c2/fik)
Sumber : http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/66298-sehari-3-perempuan-
alami-kekerasan-di-lampung
















Diskriminasi Pelayanan Rumah Sakit
Written by Eli Kamilah
Minggu,25 February 2013 | 14:06
Ilustrasi


Beberapa hari lalu bayi Upik bin Ali Zuar meninggal karena terlambat
mendapatkan pelayanan medis. Orangtua Upik Ali Zuar mengatakan, bayinya tak
mendapatkan layanan inkubator usai lahir. Padahal bayinya lahir di usia enam bulan
kehamilan. Protes Ali justru berimbas agar dirinya keluar dari ruang persalinan. Ali
kaget setelah kembali ke ruang persalinan dan mendapati bayinya telah terbungkus
kain kafan lengkap denga surat kematian dari RS Bersalin Kartini di Jakarta
Selatan.

Belum hilang kaget dari RS Bersalin, di rumahnya keluarga kembali terkejut saat
membuka kafan bayi Upik yang masih bernafas. Keluarga pun kembali ke RS untuk
memberitahukan kondisi Upik. Tapi, pihak RSBersalin Kartini lambat merespon
keluhan orangtua Upik. Dan Upik pun meninggal.

Serupa Upik, Zara Naven, bayi berusia 3 bulan dengan kelainan jantung ini
meninggal di RS Harapan Kita. RS diduga lamban menangani bayi Zara asal Depok
ini lantaran kurangnya biaya Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Seperti biasa,
tudingan itu dibantah Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Kementerian Kesehatan sendiri mengklaim sudah jauh memikirkan bagaimana
implemantasi UU tentang rumah sakit. Salah satunya mengenai hak pasien, di
antaranya, memperoleh layanan yang manusiawi, adil dan tanpa diskriminasi.

Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan, selain dalam UU tentang
kesehatan, pasal 1 dan 2, diterangkan jelas, bahwa dalam keadaaan darurat,
pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan, bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecatatan terlebih dahulu. Sementara
dalam pasal dua, disebutkan dalam keadaan darurat, baik fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah maupun swasta, di larang menolak pasien dan meminta uang
muka.

Namun, menurut Ali Ghufron, dalam pelaksanaannya banyak factor yang
mempengaruhi tidak teraplikasinya isi UU tersebut. Seperti kasus kurangnya fasilitas
kesehatan rumah sakit Karena memang banyak factor, bisa dari pemda, rumah
sakit sendiri dan pasien.kata Ali.
Ali menyatakan, yang terpenting yang bakal dilakukan kemenkes adalah penegakan
bagaimana pelayanan dan pelaksanaan sesuai UU. Sementara soal sanki, menjadi
hal kedua. Ini lantaran, kewenangan sanki berada diotoritas lembaga lain.

Kebjikan UU Rumah Sakit dan UU Kesehatan Tumpul

Aktivis LSM Mayarakat Miskin Kota, Edi Saidi menilai apa yang terjadi di lapangan
berbeda jauh dengan amanat UU rumah sakit dan kesehatan. Pasalnya, aplikasi
kedua UU tersebut masih tumpul, baik dari segi pelaksanaannya dan pelanggaran
hukum dari UU tersebut. Edi menambahkan, beberapa kasus seperti kurangnya
fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, sehingga pasien di tolak, merupakan
satu dari pelayanan kesehatan yang buruk. Ini artinya kata Edi, pasien tak tertangani
dan tak tertampung oleh rumah sakit.

Kasus seperti kartu Jakarta Sehat misalnya. Banyak masyarakat menyambut baik
adanya kartu jaminan tersebut. Namun, pemerintah pun tak mengimbangi dengan
layanan kesehatan yang diberikan pada warga miskin, termasuk di antaranya
pelayanan tenaga medis dan fasilitas rumah sakit. Saat ini memang kata Edi,
penggantian biaya rumah sakit untuk orang miskin, sudah ditanggung pemerintah, di
rumah sakit milik pemerintah sendiri, maupun beberapa rumah sakit swasta yang
menjadi rujukan.

Seringkali pelayanan masyarakat kelas tiga tak mendapatkan pelayanan kesehatan
yang sebagaimana mestinya, meskipun ditanggung pemerintah. Bahkan kata Edi,
prosedur rawat inap bagi pasien kelas tiga sering berbelit-belit.
Pengalaman Asep di Garut, Jawa Barat, lebih memprihatinkan. Asep merasa
ditelantarkan, pasalnya selama empat hari, istrinya yang sudah melahirkan dibiarkan
begitu saja. Resep mahal yang ditebus Asep untuk bayinya pun, ternyata tidak
dipakai sama sekali. Asep sendiri merasa terganggu, dengan pelayanan rumah sakit
di daerahnya yang dinilai buruk.

Negara harusnya menjamin pelayanan rumah sakit yang layak dan baik, dengan
kualitas yang sama, baik masyarakat miskin, tengah maupun yang kaya. Edi
menyarankan, jika rumah sakit menolak dengan alasan tidak ada kamar, masyarakat
di minta memeriksa kembali kebenaran hal tersebut. Jika pun memang benar, ada
baiknya masyarakat meminta kelas dua atau sesuai kebutuhan. Yang terpenting
kata Edi, pasien mendapatkan perawatan terlebih dahulu. Soal biaya, tidak
mampunya pasien bisa mengadukan hal tersebut ke pemerintah atau dinas
kesehatan setempat.

Publik harus tahu dengan kondisi pasien. Keluarga pasien juga perlu tahu haknya,
termasuk hak dilayani dengan layak. Kata Edi Saidi.
Sumber : http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2474016_4215.html




Rieke: Hentikan Komersialisasi di Rumah Sakit!

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, terus memperjuangkan RUU BPJS agar rakyat Indonesia, tanpa
terkecuali, mendapat pelayanan kesehatan secara maksimal (sumber: Antara)
RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus segera disahkan agar tak ada lagi diskriminasi pasien
miskin yang dilakukan oleh rumah sakit.

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka sangat menyesalkan sikap pihak RSU Mitra Anugrah Lestari (MAL),
Bandung, Jawa Barat, yang telah menelantarkan Nizsa Ismail (8 bulan) yang didiagnosa menderita infeksi
lambung.

Akibat penanganan yang lambat dan berbelit-belit, bayi berjenis kelamin perempuan itu akhirnya meninggal pada
Sabtu (22/10) pukul 11.00 WIB.

"Kasus ini seringkali terjadi di rumah sakit swasta dan pemerintah. Ini jelas melanggar UU karena rumah sakit
telah membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan. Karenanya RS itu harus diberi sanksi ," tandas Rieke
yang dihubungi beritasatu melalui telepon genggamnya.

Sayangnya, lanjut Rieke, DPR tak bisa memberi sanksi kecuali hanya bisa mendesak pemerintah untuk segera
menindaklanjuti kasus tersebut.

Beranjak dari kenyataan itulah, ia makin bersemangat untuk terus memperjuangkan Rancangan Undang-undang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) agar segera disahkan. "Bila tak segera disahkan, itu berarti
pemerintah SBY-Boediono jelas-jelas telah melakukan pelanggaran," kecam Rieke.

Ia menilai sangat penting RUU BPJS segera disahkan agar rakyat Indonesia -- tanpa terkecuali -- bisa mendapat
5 jaminan yaitu, jaminan kesehatan, kecelakaan, jaminan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan kematian.

"Paling tidak, dapat jaminan kesehatanlah. Agar rakyat Indonesia dijamin kesehatannya dari Sabang sampai
Merauke. Jadi tak ada lagi kasus penolakan dan penelantaran pasien dari keluarga miskin yang dilakukan rumah
sakit," tandas perempuan yang tengah hamil 7 bulan ini.

Sistemnya Harus Diubah
Lebih dari itu, Rieke menambahkan, jika RUU BPJS telah disahkan, maka badan hukum BPJS tidak lagi
dipegang BUMN, melainkan nirlaba.

"Lembaga yang mengatur pembiayaan pengobatan seperti Taspen, Jamsostek, Asabri dan Askes hingga kini
kan bentuknya masih PT (BUMN), jadi orientasinya masih komersial (mencari keuntungan)," katanya.

Makanya tak heran, lanjut Rieke, banyak kasus penyelewengan dana dari lembaga itu. Nah, kondisi inilah yang
menjadi alasan mengapa lembaga (badan) yang mengatur, mengelola dan melayani pembiayan pelayanan
kesehatan tersebut harus diubah menjadi badan penyelenggara yang nonprofit.

"BUMN kan mencari keuntungan untuk pemerintah. Padahal BPJS bukan badan untuk mencari profit. Beda
dengan nirlaba yang dananya dikembalikan untuk rakyat," tandasnya lagi.

Masalah pelayanan kesehatan di Indonesia, diakui Rieke, merupakan masalah yang amat memrihatinkan.
Mengapa? Sebab hampir setiap hari ada pengaduan rakyat yang ditolak rumah sakit karena miskin atau tidak
ada biaya.

Padahal seharusnya rumah sakit, terlebih rumah sakit pemerintah tidak boleh membeda-bedakan kelas
pelayanan kesehatannya berdasarkan kondisi sosial dan ekonomi pasiennya.

"Dalam kenyataannya kan banyak rumah sakit pemerintah yang menyediakan kamar VIP dan VVIP. Seharusnya
pembagian ruang berdasarkan jenis penyakitnya, bukan berdasarkan sosial ekonominya," tegas pemeran Oneg
dalam Sitkom Bajaj Bajuri ini.

Sedangkan untuk rumah sakit swasta, Rieke berpendapat, meski ada pembagian kelas sesuai kondisi ekonomi
dan sosial, tapi dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien harus tetap sama.

"Seharusnya tidak ada pembedaan perlakuan terhadap pasien kaya atau miskin. Semua harus diberi pelayanan
kesehatan yang sama-sama maksimal," imbuhnya.

Agar seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati pelayanan kesehatan dengan baik, maka kata Rieke, yang harus
diubah adalah sistemnya. Dan sekarang semua tergantung political will dari pemerintah. Mau benar-benar serius
melindungi rakyatnya atau tidak? Kita tunggu saja!
http://www.beritasatu.com/nasional/14592-rieke-hentikan-komersialisasi-di-rumah-sakit.html









Ditolak Rumah Sakit, Pasien Miskin Meninggal
Rabu, 22 Desember 2010 21:13 wib | Ibnu Saechu - Koran SI
Sumber : http://news.okezone.com/read/2010/12/22/340/406274/ditolak-rumah-sakit-
pasen-miskin-meninggal




CIREBON - Akibat ditolak pihak rumah sakit dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cirebon,
saat mengajukan surat keterangan miskin (SKTM), Tati Nurhayati, seorang pasien miskin
akhirnya menghembuskan napas terakhir.
Informasi yang berhasil dihimpun, warga Jalan Pamitran Kota Cirebon ini, masuk ke RSUD
Gunungjati Minggu 12 Desember lalu. Karena tergolong pasien tidak mampu, pasien yang
diagnosa menderita Suspect Hyperthyroid ini selanjutnya mengajukan SKTM.

Karena dianggap tidak masuk kategori program live saving, pengajuan pasien keluarga
miskin ini juga ditolak pihak Dinas Kesehatan. Setelah mendapat kepastian ditolak, pihak
keluarga langsung menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon, dr Kaptiningsih.

"Namun Kadinkes juga menolak dengan alasan sama, yakni tidak masuk program," kata
Agus Amino, keluarga pasien, Rabu (22/12/2010).

Dikatakannya, Kadinkes Kota Cirebon, dr Kapti malah menyarankan agar pasien tidak perlu
mendapat perawatan inap, tapi cukup dengan berobat jalan. Namun, selang beberapa jam
kemudian, pasien meninggal dunia.

Agus Amino, yang juga aktivis warung diskusi kebangsaan ini menyayangkan meninggalnya
pasien gakin akibat penolakan baik dari pihak rumah sakit maupun Dinkes.

"Selama ini alasan live saving sering digunakan menjadi alat penjegal pasien gakin. Padahal
adanya live saving jelas berarti untuk menyelematkan hidup," tegas Agus.

Dikatakan, istilah live saving dalam dunia kesehatan atau kedokteran digunakan sebagai
upaya penyelematan hidup dan yang lebih mengetahui kriteria live saving adalah dokter
dengan diagnosa sementara maupun tetap.

"Selama ini Live saving malah sering kali dijadikan alat agar pasien gakin tidak bisa
mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD Gunungjati karena dinkes menolak memberikan
rekomendasi fasilitas SKTM bagi pasien gakin yang akan berobat. Padahal selama ini sudah
ada rujukan dari Puskesmas," kata Agus.

Agus yang juga kader PDIP Kota Cirebon tersebut menyesalkan kurangnya koordinasi antara
pihak RSUD Gunungjati dengan Dinkes. Terlebih hal ini menyangkut keselamatan jiwa
pasien.
Berdasarkan catatan okezone, ada beberapa kasus serupa yang pernah terjadi. Tak hanya di
ibu Kota Negara saja, tapi kasus penolakan rumah Sakit juga terjadi di seluruh Indonesia.
Berikut deretan kasus penolakan warga oleh RS:

15 Oktober 2011, Suryani (44), penderita kanker getah bening ditolak Rumah Sakit
Dharmais, Jakarta Barat. Alasannya, Suryani hanya memiliki Surat Keterangan Tidak
Mampu (SKTM).

22 November 2011, Nur Islamiyah, seorang warga miskin pengguna program Jaminan
Persalinan (Jampersal), warga Desa Bakung, RT 03 RW 05, Kecamatan Udanawu,
Kabupaten Blitar ditolak petugas Rumah Sakit Umum Mardi Waluyo, Blitar. Pihak rumah
sakit beralasan tidak ada dokter jaga.

16 Juli 2012, Andika Pratama, bocah berusia 1,5 tahun yang menderita tumor ganas pada
bagian pangkal hidung ditolak rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Pihak RS Wahidin
Sudirohusodo beralasan, kartu kepemilikan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Andika
berasal dari Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sedangkan RS Wahidin berada di Sulawesi Selatan.

6 Agustus 2012, seorang ibu melahirkan di teras rumahnya karena dtolak oleh Rumah Sakit
Umum Nagan Raya, Aceh. Alasannya, pihak rumah sakit tidak memiliki obat dan dokter.
Akhirnya bayi tersebut meninggal karena tidak mendapat pertolongan medis.

10 November 2012, Iwan Rudiawan (42 thn), warga Hang Lekir II, Gang Buntu
RT.10/RW.06 kelurahan Gunung, Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bisa merawat,
putrinya Dinda Anisa. Rumah sakit Fatmawati menolak merawat Dinda. Alasannya, Dinda
tidak memenuhi kategori rawat inap, dan disarankan hanya berobat jalan.

7 Januari 2013, Afiyah putri Ratih Mustikowati, Warga Kelurahan Gadang, Kota Malang
ditolak Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang. Awalnya, Afiyah lahir secara normal,
pada 8 September 2012. Lantas, dua bulan kemudian kepala Afiyah membesar dan
pandangan mata tak fokus. Setelah berobat di puskesmas, Afiyah didiagnosa menderita
hydrocephalus, selanjutnya dirujuk ke RSSA Malang, dan ditolak.

14 Januari 2013, Masanih (44), seorang ibu rumah tangga warga RT 03 RW 10 Lubang
Buaya, Cipayung, Jakarta Timur yang menderita infeksi lambung ditolak oleh Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo. Dirinya ditolak pihak rumah sakit dengan alasan ruang
rawat pasien semua penuh, baik ruang kelas II maupun kelas III.

19 Januari 2013, Ruslan, Bocah tanpa anus di Kampung Melayu, Jakarta Timur, dua kali
ditolak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Meski berbekal kartu Jamkesmas, pihak rumah
sakit menolak dengan alasan alat medis yang rusak.


















Berprofesi Sopir Angkut, Hanna Ditolak Berobat di
RS
Senin, 18 Februari 2008 18:05 wib | Yuni Herlina Sinambela - Okezone
Sumber : http://news.okezone.com/read/2008/02/18/1/84605/berprofesi-sopir-angkut-hanna-ditolak-berobat-di-rs

JAKARTA - Moh Hana (37), seorang warga Tegal Alur, Jakarta Barat, Minggu (17/2) kemarin mengalami
kejadian tragis. Dia mendapat perlakuan yang tidak semestinya terjadi, yakni ditolak oleh sejumlah rumah sakit di
Jakarta saat hendak berobat.

Penolakan yang dialaminya mempunyai alasan yang nyaris sama, yakni tidak tersedianya sejumlah kamar
kosong untuk perawatan dirinya.

Kejadian berawal, Minggu (17/2) lalu sekira pukul 17.00 WIB. Saat itu, Moh Hana dilarikan ke RS Cengkareng
dan ditangani di instalasi gawat darurat. Namun, saat akan dimasukkan ke rawat inap, RS tersebut menolak
dengan alasan kamar penuh.

Akhirnya, Hana dibawa ke RS lain. Namun, sama halnya dengan RS Cengkareng, sejumlah RS di Jakarta juga
menolak dengan alasan sama. Kisah sedih Hana ini disaksikan oleh dua orang aktivis LSM Perkumpulan Hijau,
Jamal dan Anto. Keduanya prihatin melihat kejadian yang menimpa warga miskin ini.

"RS Cengkareng telah memberikan keterangan yang tidak jujur," ujar Jamal kepada okezone, Senin (18/2/2008).

Dikatakan Jamal, dirinya melihat sacara langsung proses sulitnya warga miskin mendapat perawatan rumah
sakit ini. "Mereka itu bohong, kata mereka sudah tidak ada kamar kosong, khususnya kelas 3. Padahal, sebagai
warga miskin pun patut untuk menerima hak yang sama dalam pengobatan," ujar Jamal.

Informasi terakhir yang didapat oleh Okezone, Jamal berniat melakukan pengaduan ke Menkes terkait kasus
yang menimpa Moh Hana. Saat ini, pasien telah mendapat tindakan medis oleh tim dokter dari Rumah Sakit
Atmajaya, Jakarta Selatan. Pasien Moh Hana terindikasi terkena penyakit DBD.

You might also like