You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansi
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah
pola pemikiran bangsa yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi
logosentris. Awalnya bangsa yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa
semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa. Karenanya para dewa harus
dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang
selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio.
Kejadian Alam, seperti gerhana tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa yang
tertidur, tetapi merupakan kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan, dan
bumi berada pada garis yang sejajar, sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian
permukaan bumi.[1]


BAB II
PEMBAHASAN
STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU DI INDONESIA

Filsafat dalam bahasa inggris yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal
dari bahasa yunani : philosophia yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti
cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebut filosof yang
dalam bahasa arab disebut failasuf.[2]
Harun Nasution mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa arab falsafa
dengan wazan (timbangan) falala, falalah dan filal. Dengan demikian, menurut Harun
Nasution, kata benda dari falsafa seharusnya falsafah dan filsaf. Menurutnya, dalam
bahasa indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan berasala dari kata Arab
falsafah dan bukan dari kata inggris Philosophy.[3] Harun Nasution mempertanyakan
apakah kata fil berasal dari bahasa inggris dan salah mengambil dari kata Arab.
Sehingga terjadilah gabungan keduanya, yang kemudian menimbulkan kata filsafat.[4]
Setiap kali berbicara tentang strategi pengembangan ilmu, maka pertanyaan
pertama yang muncul di benak kita yaitu: apaka ilmu itu bebas nilai atau tidak? Sebab
kedua cara pandang yang berbeda itu membawa implikasi yang berbeda pula dalam
strategi pengembangan ilmu yang dipilih. Kadangkala orang yang mengaitkan pilihan
antara bebas atau tidak bebas nilai itu dengan jenis ilmu yang dikembangkan. Artinya,
ilmu-ilmu sosial dipandang lebih banyak terkait dengan masalah-masalah sosial,
sehingga lebih kuat keterkaitannya dengan masalah nilai. Sedangkan ilmu-ilmu eksak,
nyaris terlepas dari intervensi sosial, sehingga dipandang lebih bebas nilai. Apakah
pendapat yang demikian itu dapat diterima atau tidak, tentu pembuktian dilapangan
sangat menentukan bahwa ilmu-ilmu eksak sekalipun tidak kali terhadap kepentingan
sosial, sehingga sedikit banyak terkait pula dengan nilai-nilai.
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak descartes dengan sikap skeptis-
metodisnya meragukan segala sesuatu. Kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu. Cogito
Ergo Sum. Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha
manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan Alam. Aufklarung,
ujar Alex Lanur, mewarisi pandangan Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan.
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan itu harus berdaya guna, operasional; karena
pengetahuan itu bukan demi pengetahuan itu sendiri. Kebenaran bukanlah kontemplasi
melainkan operation. To do business kebenaran berdaya-guna hanya berhasil dalam
proses eksperimentasi. Sikap ini melahirkan pragmatisme. Dalam dunia ilmiah. Yakni
perkembangan ilmu dianggap berhasil manakala memiliki konsekuensi-konsekuensi
pragmatis. Keadaan ini mengiring ilmuan pada sikap menjaga jarak terhadap problem
nilai secara langsung.
Tokoh sosiologis, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi
ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan (value-
relevant). Weber tidak yakin ketika para ilmuan sosial melakukan aktivitasnya seperti
mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu mereka tidak terpengaruh oleh
kepentingan-kepentingan tertentu atau tidak biasa.
Nilai-nilai itu harus diimplikasikan bagian-bagian praktis ilmu sosial jika
praktek itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan
segelintir orang, budaya, moral atau politik yang mengatasi hal-hal lainnya, maka
ilmuan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap
moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah. Weber
sendiri mengatakan sebagaimana yang disitir Michael Roof sebagai berikut.
Persoalan-persoalan disiplin ilmu empirik adalah bahwa ia dipecahkan,
bukan secara evaluatif. Mereka bukanlah persoalan evaluasi, tetapi persoalan-persoalan
ilmu-ilmu sosial dipilih atau ditentukan melalui nilai yang relevan dari penomena yang
ditampilkan. Ungkapan relevansi pada nilai-nilai (relevance to values). Mengacu pada
interpretasi filosofi dari kepentingan ilmiah yang bersifat khusus, kepentingan-
kepentingan terssebut menentukan pilihan dari pokok masalah dan persoalan-persoalan
analisis empiris yang diajukan.

STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU DI INDONESIA
Model pengembangan ilmu sangat terkait dengan pembangunan, setelah ilmu
merupakan prasyarat bagi pembangunan, ilmu membimbing aktivitas manusia dalam
pembangunan. Baik pembangunan fisik maupun nir-fisik. Oleh karena itu strategi
pembangunan ilmu diindonesia merupakan faktor yang sangat penting.
Beberapa syarat yang dibutuhkan bagi strategi pengembangan ilmu diindonesia yaitu:
Pertama, terbentuknya masyarakat ilmiah yang memiliki kekuatan tawar-
menawar (bergaining power) baik dengan pemerintah maupun dengan perusahaan-
perusahaan besar. Disinilah letak pentingnya ilmu pengetahuan sebagai masyarakat
sebagaimana yang ditengarai oleh Daoed Joesoef, salah seorang tokoh postmodernisme.
Jean Francois Lyotard.[5] Sangat memperhatikan persoalan ini. Ia menegaskan bahwa
transformasi ilmu pengetahuan akan memperhatikan akibat pada kekuatan publik yang
ada, kekuatan mereka ini, terutama civil society. Akan dipertimbangkan kembali dalam
hubungan (baik de jure maupun de facto) denghan perusahaan-perusahaan besar.
Muhammad A.S. Hikam[6] mengatakan bahwa istilah civil society (masyarakat
madani) dalam tradisi eropa sampai abad ke 18 mengacu pada pengertian suatu
kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Istilah civil
society pernah dipahami secara radikal yaitu sebagai kelompok yang menekankan aspek
kemandirian dan perbedaan posisinya sedemikian rupa sehingga menempatkan
posisinya sebagai antitesa dari negara bagi Mars, yang dimaksud civil society adalah
kelas borjuasi. Dalam pengertian ini civil society didefinisikan sebagai wilayah-wilayah
kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan. Kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generation).kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan
keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.
Akar civil society di indonesia bisa dirunut secara historis pada tokoh-tokoh
pergerakan nasional yang membentuk organisasi sosial modern diawal abad ke 20.
Sedangkan dewasa ini yang dimaksud civil society lebih mengacu pada LSM yang
jumlahnya mencapai lebih dari 10.000, namun kedudukan mereka mesih lemah
manakala dihadapkan dengan kekuatan negara.
Kelompok cendekiawan yang diharap dapat berperan sebagai aktor pelopor
perkembangan civil society di indonesia juga masih lemah, karena minimnya
pemikiran-pemikiran alternatif yang mereka tawarkan. Mereka justru lebih dekat
dengan pusat kekuasaan, karena tidak henddak memikul resiko menentang kebijakan
pemerintah. Cendekiawan yang berumah diatas angin (meminjam istilah Rendra) tidak
begini besar perannya dalam menentukan kebijakan pembangunan di indonesia. Mereka
nyaris tidak memiliki bargaining power dengan pemerintah. Namun ketika arus
reformasi berhasil mendobrak kekuassaan yang terlalu mendominir kehidupan
masyarakat hingga kedunia akademik. Maka arus perubahan itu telah berhasil
menciptakan kemandirian yang tinggi dikalangan akademik.
Kendatipun demikian masih ada sebagian kecil kelompok masyarakat ilmiah
justru berada pada pusat-pusat kekuasaan pemerintah di indonesia, mengingat para
birokrat di pemerintahan sekaligus adalah ilmuwan atau yang biasa di kenal dengan
istilah kelompok elit. Dalam hal kelompok elit ini Saafoedin Bahar mengutip pendapat
robert D Punam yang menyebutkan tiga cara untuk mengenal apakah seseorang
(1) Analisis posisi formal, kedudukan resminya dalam pemerintahan,
(2) Analisis reputasi, peranannya yang bersifat informasi dalam masyarakat,
(3) Analisis keputusan, peranan yang dimainkannya dalam pembuatan atau penentangan
terhadap keputusan politik.[7]
Kedua, pengembangan ilmu di Indonesia tidak bebas nilai (value-free),
melainkan harus memperlihatkan landasan meetafisis, epistimologi, dan aksiologis dari
pandangan hidup bangsa indonesia. Van Melsen[8] menekankan pentingnya hubungan
antara ilmu pengertahuan dengan pandangan hidup, karena ilmu pengetahuan tidak
pernah dapat memberikan penyelesaian terakhir dan menentukan, lantaran tidak ada
ilmu yang mendasarkan dirinya sendiri secara absolut.disinilah perlunya pandangan
hidup. Terutama peletakan loandasan ontologis, epistimologis,dan aksiologis, bagi ilmu
pengetahuan, sehingga terjadi harmoni antara rasionalitas dengan kearifan.
Ketiga, pengembangan ilmu di Indonesia haruslah memperhatikan relasi antar
ilmu tanpa mengorbankan otonomi antara masing-masing disiplin ilmu. Disini
diperlukan filsafat sebagai mediator, terutama bidang filsafat ilmu. Dalam hal ini
Gaston Bacheard[9]menegaskan perlunya hubungan yang erat antara ilmu dengan
filsafat. Filsafat, ujarnya harus mampu memodifikasi bahasa teknisnya agar dapat
memahami perkembangan ilmu dewasa ini. Sebaliknya ilmu pengetahuan hyharus dapat
memanfaatkan kreativitas filsafat. Disinilah diperlukan filsafat ilmu, sebab filsafat ilmu
mendorong upaya kearah pemahaman disiplin ilmu lain, interdisipliner sistem.
Keempat, pengembangan ilmu di Indonesia harus memperhatikan dimensi
religiusitas, karena masyarakat indonesia masih sangat kental dengan nuansa
religiusnya. Walaupun bisa terjadi kendala pengembangan ilmu yang disebabkan oleh
agama dalam arti eksitoris (lembaga atau pranata keagamaannya), bukan dalam arti
esoteris (hakikat keagamaan itu sendiri). Oleh kareena itu dimensi esoteris keagamaan
perlu digali agar masyarakat ilmiah dapat memadukan dimensi ilmu pengetahuan
denghan nilai-nilai religius atau mengembangkan sinyal-sinyal yang terkandung secara
implisit dalam ajaran agama tentang manfaat ilmu pengetahuan bagi umat manusia
Uraian yang dikemukakan diatas merupakan kilas balik dari perkembangan ilmu
pengetahuan yang memerlukan interpretasi secara terus-menerus.
Strategi[10]pengembangan ilmu dimasa mendatang tidak boleh mengulangi kesalahan
yang pernah diperbuat di Barat, terutama pandangan yang menganggap ilmu itu bebas
nilai, sejak tokoh-tokoh pada zaman renaissance merasa tidak perlu lagi berhubungan
dengan agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dipihak lain, intervensi nilai yang berlebihan kedalam pengembangan ilmu
hanya akan menjadikan ilmu sebagai wadah berbagai kepentingan, terutama
kepentingan yang semata-mata ideologis, sehingga para ilmuan menjadi terpasung
dalam kungkungan ideologis atau kepentingan politik semata.
Pengembangan ilmu di Indonesia memang tidak boleh tercerabut dari akar
budaya bangsa indonesia sendiri, terutama nilai-nilai pancasila, namun pancasila
seyogyanya lebih berperan sebagai rambu-rambu yang dapat memelihara nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan. Demokratis, dan keadilan; tanpa mengurangi
otonomi dan kreativitas ilmu itu sendiri.
Pengembangan ilmu di Indonesia seyogyanya tidak berorientasi pada tujuan,
melainkan lebih berorientasi pada pengadilan umat manusia. Rasionalitas ilmiah tidak
boleh mengorbankan nilai-nilai spiritualitas keagamaan, nilai kemanusiaan, wawasan
kebangsaan, demokrasi dan cita-rasa keadilan. Sebab tidak semua masalah bisa
diselesaikan dengan rasionalita. Masih ada beberapa faktor lain disamping ilmu
pengetahuan. Yang menggiring manusia untuk mencapai kebahagiaan, antara lain;
agama, seni, hubungan kema. Oleh karena itu strategi pengembangan ilmu yang baik
adalah gerak rasionalisasi yang beriringan dengan spiritualisasi, ekspresi keindahan, dan
sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan.
Pancasila digali dari budaya bangsa indonesia sendiri, sehingga pancasila
mempunyai fungsi dan peranan yang sangat luas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, fungsi dan peranan itu terus berkembang sesuai dengan
tuntutan zaman. Itulah sebabnya, pancasila memiliki berbagai predikat sebagai sebutan
nama yang menggambarkan fungsi dan peranannya.
Fungsi dan peranan pancasila oleh BP7 pusat (1993) diuraikan mulai dari yang
abstrak sampai yang konkret menjadi sepuluh, yakni pancasila sebagai jiwa bangsa,
pancasila sebagai kepribadian bangsa indonesia. Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala sumberhukum di indonesia,
pancassial sebagai perjanjian luhur, pancasila ebagai pandangan hidup yang
mempersatukan bangsa indonesia, pancasila sebagai cita-cita dan tujuan bangsa
indonesia. Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara, pancasila sebagai moral pembangunan dan pembangunan
nasional sebagai pengamalan pancasila.
Pancasila sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945 adalah dasar
negara dari negara kesatuan republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan bernegara. Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam
pembukaan UUD 1945 diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang
berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, penyelenggaraan negara dilaksanakan
melalui pembangunan nasional dalam segala aspek kehidupan bangsa, oleh
penyelenggara negara, bersama-sama segenap rakyat indonesiadiseluruh wilayah negara
republik indonesia.
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan
masyarakat indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, bangsa berlandaskan
kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaannya mengacu
pada kepribadian bangsa dan nilai-nilai luhur yang universal untuk mewujudkan
kehidupan bangsa yang berdaulat,mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh
kekuatan moral dan etikanya.
Muncul persoalan sejauh mana pancasila sebagaimana paradigma pembangunan
khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab
persoalan ini maka kajiannya tentu menyentuh secara filosofis, yakni berawal dari
pengertian paradigma, pengertian ilmu, kemudian mengenal landasan ontologis,
epistimologis, axiologis dan antropologis pancasila dari bahasan terakhir masalah
pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Paradigma menurut Thomas S. Kuhn adalah suatu dasar dan asumsi teoretis
yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum,
metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangaat menentukan sifat,
ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Thomas S. Kuhn berpendapat bahwa perkembangan atau kamajuan ilmiah
bersifat revolusioner, bukan kumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya revolusi
ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap
dunia dan contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret, menurut Kuhn cara kerja
paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan kedalam tahap-tahap
sebagai berikut.
Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah
dalam masa ilmu normal (normal science). Disini para ilmuan berkesempatan
menjabarkan dan mengembangkan paradigma sabagai model ilmiah yang digelutinya
secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para ilmuan tidak bersikap kritis terhadap
paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah
para ilmuan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan
paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya, ini
dirumuskan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya
ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisi kepercayaan dari para
ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan
mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para ilmuan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang sama
dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang
bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses
peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi
ilmiah ( Rizal Mustansyir dkk 2001 ).
Gambaran ketiga tahap tersebut dapat diskematisasikan sebagai berikut:



PARADIGMA
Dalam masa normal science

ANOMALI

PARADIGMA BARU
Revolusi ilmiah

istilah ilmiah paradigma berkembang dalam berbagai bidang kehidupan manusia
serta ilmu pengetahuan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya serta bidang
lainnya. Dalam masalah yang populer istilah paradigma berkembang menjadi
terminologis yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir,
orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan,
serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan,
reformasi maupun dalam pendidikan (kaelan 2000)
Adapun landasan ontologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis
keberadaan yang diterapkan pada pancasila, landasan epistimologis dimaksudkan untuk
mengungkapkan sumber pengetahuan dan kebenaran tentang pancasila sebagai sistem
filsafat dan ideologi landasan axiologi dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis nilai
dasar yang terkandung dalam pancasila. Landasan antropologi dimaksudkan untuk
mengungkapkan hakikat manusia dalam rangka pengembangan sistem filsafat pancasila.
VISI ILMU DI INDONESIA
Visi adalah wawasan ke depan yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Visi bersifat intyuitif yang menyentuh hati dan menggerakan jiwa untuk berbuat. Visi
tersebut merupakan sumber inspirasi, motivasi, dan kreativitas yang mengarahkan
proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masa depan yang
dicita-citakan, penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara diorientasikan ke
arah perwujudan visi tersebut karena hakikatnya hal itu merupakan penegasan cita-cita
bersama seluruh rakyat.
Bagi bangsa indonesia strategi pengembangan ilmu pengetahuan yang paling
tepat menurut Koento Wibisono (1994) ada dua hal pokok, yaitu visi dan orientasi
filosofiknya diletakan pada nilai-nilai pancasila didalam menghadapi masalah-masalah
yang harus dipecahkan sebagai data atau fakta objektif dalam satu kesatuan integratif.
Visi dan Orientasi Operasionalnya Diletakan Pada Dimensi-Dimensi Berikut.
a. Teleologis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan hanya sekedar saran yang memang
harus kita pergunakan untuk mencapai suatu teleas (tujuan), yaitu sebagaimana
merupakan ideal kita untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana dicantumkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
b. Etis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan harus kita operasionalisasikan untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Manusia harus berada pada tempat yang
sentral. Sifat etis ini menuntut penerapan ilmu penghetahuan secara bertanggung jawab.
c. Integral atau Integratif, dalam arti bahwa penerapan ilmu pengetahuan untuk
meningkatkan kualitas manusia, sekaligus juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas
struktur masyarakatnya, sebab manusia selalu hidup dalam relasi baik dengan sesama
maupun dengan masyarakat yang menjadi ajangnya. Peningkatan kualitas manusia
harus terintegrasikan kedalam masyarakat yang juga harus ditingkatkan kualitas
strukturnya
Dengan visi ilmu diatas perlu refleksi anjuran-anjuran bagaimana membangun
pemikiran ilmiah di Indonesia Prof. T. Jacob (dalam A.H Mintaredja,1990)
menganjurkan bahwa dalam rangka mengimbangi perkembangan ilmu dan teknologi
yang cenderung mengancam otonomi manusia, para ilmuan selayaknya jika
memperhatikan agama, etika, filsafat, dan sejarah ilmu. Kemudian Prof. Poespoprojo
menyarankan bahwa bagi sarjana, lebih-lebih calon doktor, harinya sudah terlalu siang
untuk tidak tahu hakikat ilmi, posisi ilmu dalam semesta tahu dan pengetahuan manusia.
Abbas Hammi Mintaredja juga menyarankan agar ilmu dapat lebih aktif dan mampu
berfungsi sebagaimana mestinya, maka hal-hal yang cukup mendasar yang perlu
mendapat perhatian antara lain:
1. Ilmu harus mampu mewadahi kebudayaan masyarakat, ilmu diharapkan dapat
berkembang persis seperti yang dikehendaki masyarakat.
2. Adanya keinsyafan tidakmelulu kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya untuk
memperoleh kebenaran.
3. Pendidikan moral (etika) dan etika pancasila serta moral keagamaan syarat mutlak
bagi moral para ilmuan agar memiliki etikaprofesional yang seimbang.
4. Perlunya pendidikan filsafat, khususnya filsafat ilmu atau epistimologi bagi
pendidikan Tinggi

KESIMPULAN
Uraian yang dikemukakan diatas merupakan kilas balik dari perkembangan ilmu
pengetahuan yang memerlukan interpretasi secara terus-menerus. Strategi
pengembangan ilmu dimasa mendatang tidak boleh mengulangi kesalahan yang pernah
diperbuat di Barat, terutama pandangan yang menganggap ilmu itu bebas nilai, sejak
tokoh-tokoh pada zaman renaissance merasa tidak perlu lagi berhubungan dengan
agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dipihak lain, intervensi nilai yang
berlebihan kedalam pengembangan ilmu hanya akan menjadikan ilmu sebagai wadah
berbagai kepentingan, terutama kepentingan yang semata-mata ideologis, sehingga para
ilmuan menjadi terpasung dalam kungkungan ideologis atau kepentingan politik semata.
Pengembangan ilmu di Indonesia memang tidak boleh tercerabut dari akar
budaya bangsa indonesia sendiri, terutama nilai-nilai pancasila, namun pancasila
seyogyanya lebih berperan sebagai rambu-rambu yang dapat memelihara nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan. Demokratis, dan keadilan; tanpa mengurangi
otonomi dan kreativitas ilmu itu sendiri.
Pengembangan ilmu di Indonesia seyogyanya tidak berorientasi pada tujuan,
melainkan lebih berorientasi pada pengadilan umat manusia. Rasionalitas ilmiah tidak
boleh mengorbankan nilai-nilai spiritualitas keagamaan, nilai kemanusiaan, wawasan
kebangsaan, demokrasi dan cita-rasa keadilan. Sebab tidak semua masalah bisa
diselesaikan dengan rasionalita. Masih ada beberapa faktor lain disamping ilmu
pengetahuan. Yang menggiring manusia untuk mencapai kebahagiaan, antara lain;
agama, seni, hubungan kema. Oleh karena itu strategi pengembangan ilmu yang baik
adalah gerak rasionalisasi yang beriringan dengan spiritualisasi, ekspresi keindahan, dan
sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan.
DAPTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1997.
Harun Nasution, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Amsal Bakhtiar, Filsafat ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005.
Bachelard, Gaston, 1984, The New Scientific Spirit Beacon Press, Boston.
Lyotard, Jean-Francois, 1979, The Postmodern Condition, A Report on Knowlage,
Mancheester University Press.
Muhammad AS Hikam, 1997, Demokrasi dan Civil Society, LPSES, Jakarta.
Saafoedin Bahar, 1997, Elit dan Etnik serta Negara Nasional. Dalam PRISMA,
LPSES, Jakarta.
Van Melsen, ilmu pengetahuan dan tanggung jawab kita, diterjemahkan oleh Bertens,
Gramedia, Jakarta.
Drs. Rizal Mustansyir M. Hum, Drs Misnal Munir M. Hum, filsafat ilmu, pustaka
pelajar, 2001
Surajiyo, filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia suatu pengantar/Surajiyo,
Jakarta, bumi aksara, 2010.




[1] Surajiyo, filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia suatu pengantar, Jakarta,
bumi aksara, 2010.

[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1997), hal.7
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005.
[4] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Cet.III hal.9

[5]Jean-Francois Lyotard, 1979, The Postmodern Condition, A Report on Knowlage,
Mancheester University Press.hal.
[6] Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, LPSES, Jakarta. , 1997.hal.

[7] Saafoedin Bahar, Elit dan Etnik serta Negara Nasional. Dalam PRISMA, LPSES,
Jakarta. , 1997.
[8] Van Melsen, ilmu pengetahuan dan tanggung jawab kita, diterjemahkan oleh
bertens, gramedia, Jakarta.
[9] Bachelard, Gaston, 1984, The New Scientific Spirit Beacon Press, Boston.
[10] Drs. Rizal Mustansyir M. Hum, Drs Misnal Munir M. Hum, filsafat ilmu, pustaka
pelajar, 2001. hal.

You might also like