You are on page 1of 10

Tujuan terapi obat adalah untuk mencegah, menyembuhkan atau mengendalikan berbagai keadaan

penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup harus disampaikan kepada jaringan target
sehingga kadar terapeutik (tetapi tidak toksik) didapati.
Obat yang diberikan pada pasien, akan banyak mengalami proses sebelum tiba pada tempat aksi atau
jaringan sasaran. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat atau fase, yaitu
fase biofarmasetik atau farmasi, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Untuk menghasilkan
efek farmakologi atau efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam kosentrasi yang cukup
untuk menimbulkan respon. Tercapainya kosentrasi obat tergantung dari jumlah obat yang diberikan,
tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari tempat pemberian dan distribusinya
oleh aliran darah ke bagian lain dari badan.
Efek karakteristik dari obat akan hilang, apabila obat telah
bergerak ke luar dari badan dan konsekuensi dari letak aksinya baik dalam bentuk yang tidak berubah
atau setelah mengalami metabolisme obat dan terjadi metabolit yang dikeluarkan melalui proses
ekskresi. Oleh karena itu sangat penting diketahui bagaimana cara badan telah menangani obat
dengan proses absorbs, distribusi, metabolism dan ekskresi, bila kita menentukan suatu dosis, rute,
bentuk obat yang diberikan bila dikehendaki efek terapi yang diinginkan dengan efek toksik yang
minimal.
Skema perjalanan obat dalam tubuh dapat digambarkan sebagai berikut :

Tablet pecah menjadi obat tersedia absorbsi
granul dan zat aktif distribusi
terlepas dan larut metabolisme
dengan untuk resorpsi ekskresi
zat aktif

FASE FASE
BIOFARMASI FARMAKOKINETIK


obat tersedia interaksi dengan
reseptor di tempat EFEK
kerja
untuk bekerja

FASE FARMAKODINAMIK


Fase Farmasetik ; fase ini meliputi waktu mulai penggunaan sediaan obat melalui mulut hingga
pelepasan zat aktifnya ke dalam cairan tubuh. Sebagai contoh tablet mengandung hanya 5-10% zat
aktif, 90% zat tambahan terdiri dari 80% zat pengencer, zat pengikat dan 10% zat penghancur tablet.
Yang penting dalam hubungannya dengan fase ini adalah ketersediaan farmasi dari zat aktifnya, yaiyu
obat siap diabsorsi.
Fase farmakokinetik ; fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan, setelah
obat dilepas dari bentuk sediaan. Obat harus diabsorbsi ke dalam darah, yang akan segera
didistribusikan melalui tiap-tiap jaringan dalam tubuh. Dalam darah obat dapat mengikat protein
darah dan mengalami metabolism, terutama dalam melintasi hepar (hati). Meskipun obat akan
didistribusikan melalui badan, tetapi hanya sedikit yang tersedia untuk diikat pada struktur yang telah
ditentukan.
Fase farmakodinamik ; bila obat telah berinteraksi dengan sisi reseptor biasanya protein membrane
akan menimbulkan respon biologic. Tujuan pokok dari fase ini adalah optimisasi dari efek biologik.
Obat di daerah pemberian

1. Aborbsi
Obat dalam plasma


2. Distribusi
Obat dalam jaringan
3. Metabolisme
Metabolit dalam jaringan



4. Eliminasi
Obat dan/atau metabolit dalam urin, feses, empedu




A. Absorbsi
Absorbsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah. Kecepatan dan
efesiensi absorbsi tergantung pada cara pemberian. Untuk intravena, absorbs sempurna yaitu dosis
total obat seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik. Proses absorbsi sangat penting dalam menentukan
efek obat. Pada umumnya obat yang tidak diabsobsi tidak menimbulkan efek, kecuali antasida dan
obat yang bekerja local. Proses absorbs terjadi diberbagai tempat pemberian obat, seperti saluran
cerna, otot, rangka, paru-paru, kulit dan sebagainya. Transfer obat dari saluran cerna tergantung pada
sifat-sifat kimianya, obat-obat bisa diabsorbsi dari saluran cernasecara difusi pasif atau transport
aktif.
Absorbsi dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain :
1. Kelarutan obat
Agar dapat diabsorbsi, obat harus dalam larutan. Obat yang diberikan dalam larutan akan lebih cepat
diabsorbsi daripada yang harus larut dulu dalam cairan tubuh sebelum diabsorbsi. Obat yang sukar
sekali larut akan sukar diabsorbsi pada saluran gastrointestinal.
2. Kemampuan difusi melalui sel membrane
Semakin mudah terjadi difusi dan makin cepat melintasi sel membrane, makin cepat obat diaborbsi.
3. Kosentrasi obat
Semakin tinggi kosentrasi obat dalam larutan, makin cepat diabsorbsi.
4. Sirkulasi pada letak absorbsi
Jika tempat absorbsi mempunyai banyak pembuluh darah, maka absorbs obat akan lebih cepat dan
lebih banyak. Misalnya pada injekasi anestesi local ditambah adrenalin yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi, dimaksudkan agar absorbs obat diperlambat dan efeknya lama.
5. Luas permukaan kontak obat
Obat lebih cepat diabsorbsi olehi bagian tubuh yang mempunyai luas permukaan yang besar,
misalnya endetarium paru-paru, mokusa usus, dan usus halus.
6. Bentuk sediaan cair
Kecepatan absorbs obat tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari bahan pembawanya. Urutan
kecepatan obat dari bentik peroral sebagai berikut : larutan dalam air serbuk - kapsul - tablet
bersalut gula - tablet bersalut enteric.
Beberapa hal sebagai contoh dimana bentuk obat mempengaruhi absorbs :
- Absorbs obat dapat diperpanjang dengan penggunaan bentuk obat long-acting.
- Kecepatan absorbs injeksi dapat diturunkan dengan menggunakan suspense atau emulsi, untuk
obat yang sukar larut.
- Absorbs obat dapat dipercepat dengan memperkecil ukuran partikel.
- Jumlah dan sifat bahn pengikat serta bahan penghacur, tekanan tablet akan mempenggaruhi
absorbs obat dalam bentuk tablet,
7. Rute cara pemberian obat
Rute cara pemakaian obat bermacam-macam antara lain :
- Melalui mulut (oral)
- Melalui sublingual (dibawah lidah) atau buccal (antara gusi dan pipi)
- Melalui rectal
- Melalui parental
- Melalui endotel paru-paru
- Melalui kulit (efek local), topical
- Melalui urogenital (efek local)
- Melalui vaginal (efek local)

B. Distribusi
Obat setelah diabsorbsi akan tersebar melalui sirkulasi darah keseluruh badan. Dalam peredarannya,
kebanyakan obat-obat di distribusikan melalui membrane badan dengan cara yang relative lebih
muda dan lebih cepat dibanding dengan eliminasi atau pengeluaran obat.
Distribusi adalah proses suatu obat yang secara reversible meninggalkan aliran darah dan masuk ke
interstisium (cairan ekstrasel) dan/atau ke sel-sel jaringan. Pengiriman obat dari plasma ke
interstinum terutama tergantung pada aliran darah, permeabilitas kapiler, derajat ikatan ion obat
tersebut dengan protein plasma atau jaringan dan hidrofobisitas dari obat tersebut.





Factor-faktor penting yang berhubungan dengan distribusi obat antara lain :
a. Perfusi darah melalui jaringan
Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi yang tinggi adalah pada
daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah yang perfusinya rendah adalah lemak dan
tulang. Sedangkan perfusi pada otot dan kulit adalah sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan
darah (sakit jantung) akan mengubah perfusi organ seperti hati, ginjal dan berpengaruh terhadap
kecepatan eliminasi obat.
b. Kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makromolekul
Penetrasi obat tergantung pada luasnya kadar gradient, bentuk yang dapat berdifusi bebas, factor
seperti pH gradient dan ikatan pada konstituen intraseluler akan mempengaruhi akumulasi dalam
jaringan.
c. Partisi ke dalam lemak
Obat yang larut dalam lipid dapat mencapai kosentrasi yang tinggi dalam jaringan lemak. Obat akan
disimpan oleh larutan fisis dalam lemak netral. Jumlah lemak adalah 15% dari berat badan dan
merupakan tempat penyimpanan untuk obat. Lemak juga mempunyai peranan dalam membatasi
efek senyawa yang kelarutannya dalam lemak adalah tinggi dengan bekerja sebagai akseptor obat
selama fase redistribusi.
d. Transfer aktif
Pemasukan ke dalam jaringan dapat juga terjadi dengan proses transport aktif. Metadon, propanolol
dan amfetamin diangkut ke dalam jaringan paru-paru oleh proses aktif. Hal ini merupakan mekanisme
yang penting untuk pemasukan obat tersebut yang besar dalam paru-paru.
e. Sawar
Distribusi obat ke susunan syaraf pusat dan janin harus menembus sawar khusus yaitu sawar darah
otak dan sawar uri. Sawar darah otak, penetrasi obat dari peredaran darah ke dalam ruang
ekstraseluler susunan saraf sentral dan cairan cerebrospinal dibatasi atau ditentukan oleh keadaan
permukaan absorbs.
f. Ikatan obat dengan protein plasma
Factor yang penting dalam distribusi obat adalah ikatannya dengan protein plasma yang merupakan
makromolekul. Banyak obat terikat dengan protein di dalam plasma darah dan jaringan lain.
Umumnya ikatannya merupakan proses reversible dan akan berpengaruh terhadap ketersediaan
obat.
Protein yang terdapat dalam plasma dan mengadakan ikatan dengan obat adalah albumin. Bentuk
persamaan obat dengan protein dapat dituliskan sebagai berikut :
Obat + protein plasma kompleks obat-protein plasama
Ikatan senyawa kompleks obat tersebut akan berdisosiasi, hingga bentuk obat tersebut dapat
diekskresikan.





C. Metabolisme
Metabolisme sering disebut biotransformasi dan merupakan suatu istilah yang menggambarkan
metabolism obat. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi terlebih dahulu agar dapat
dikeluarkan dari badan. Pada dasarnya tiap obat merupakan zat asing yang tidak diinginkan oleh
badan dan badan berusaha merombak zat tersebut menjadi metabolit yang bersifat hidrofil agar lebih
lancar diekskersikan melalui ginjal, jadi reaksi biotransformasi yang merupakan peristiwa
detoksifikasi.
Reaksi biotransformasi dapat berupa oksidasi, hidrolisa dan konjugasi. Biotransformasi berlangsung
terutama di hati, di saluran pencernaan, tetapi beberapa obat mengalami biotransformasi di ginjal,
plasma dan mukosa intestinal, meskipun secara kuantitatif letak tersebut dipandang tidak penting,
Perubahan yang terjadi disebabkan oleh reaksi enzim dan digolongkan menjadi 2 fase, yaitu fase
pertama merupakan reaksi perubahan yang asintetik dan fase kedua merupakan reaksi konjugasi.
Dalam metabolisme senyawa asli mengalami perubahan kimiawi dan dianggap sebagai mekanisme
eliminasi obat, meskipun masalah ekskresi metabolit tetap ada. Kebanyakan metabolit mempunyai
sifat partisi yang nyata berbeda dibanding dengan senyawa aslinya terutama sifat lipofilnya menurun.
Senyawa baru tersebut mudah diekskresikan karena tidak segera diabsorbsi dari cairan tubuli ginjal.
Metabolism dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologi dari obat dengan bermacam-macam cara.
Kebanyakan aktivitas farmakologi dapat menurun atau hilang setelah mengalami metabolism. Hal
tersebut dapat digunakan untuk menentukan lama maupun intensitas aksi obat. Pada beberapa obat
yang disebut produk tidak aktif secara biologi, tetapi metabolisme obat itu dapat mengaktifkan
obatnya dalam hal ini dimaksudkan agar tujuan terapi dapat tercapai.

D. Ekskresi
Organ yang paling penting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresikan dalam struktur tidak
berubah atau sebagai metabolit. Jalan lain yang utama adalah eliminasi obat melalui system empedu
masuk ke dalam usus kecil, obat atau metabolitnya dapat mengalami reabsorbsi (siklus
enterohepatik) dan eliminasi dalam feses (kotoran manusia). Jalur ekskresi yang jumlah obat sedikit
adalah melalui air ludah dan air susu merupakan suatu rute yang menimbulkan masalah bagi bayi
yang disusui. Zat yang menguap seperti gas anestesi berjalan melalui epitel paru-paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang penting . ekskresi merupakan resultante dari 3 proses antara
lain :
a. Filtrasi di glumerolus
Glumerolus merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin
melalui cela antara sel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami
filtrasi disana.
b. Sekresi aktif di tubuli proksimal
Banyak obat diangkut melaui tubuli proksimal secara aktif ke dalam urine yang ada di tubuli dan
disebut sekresi tubuli aktif. Sekresi obat dapat ditunjukan bila kecepatan pembuangan urine melebihi
kecepatan filtrasi glomeruli.
c. Reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorbsi pasif untuk bentuk non ion. Oleh karena itu untuk
obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorbsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang
menentukan derajat ionisasi. Bila urine lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga
reabsorbsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urine lebih asam, ekskresi
asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah.
Banyak metabolit obat yang berbentuk di hati di ekskresi ke dalam usus melalui empedu, kemudian
dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran cerna dan akhirnya diekskresi
melalui ginjal.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut, tetapi dalam jumlah
yang relative kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan
sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu.



Obat. Merupakan suatu yang dibutuhkan orang yang mengalami kelainan pada funsi tubuhnya (sakit).
Sebenarnya obat merupakan suatu agonis (bahan kimia yang struktur dan komposisinya hampir sama
dengan suatu protein tubuh manusia dan menyebabkan efek yang sama dengan protein endogen).
Suatu obat juga bisa merupakan antagonis (suatu zat kimia yang mempunyai struktur yang sama
dengan protein endogen, tetapi tidak mempunyai efek yang sama dengan protein endogen ketika
antagonis ini berikatan dengan reseptor).
Masyrakat yang meminum obat (baik itu golongan antaginis maupun agonis), tidak mengetahui
perjalanan obat dimulai dari setelah menelan obat. Di dalam Farmakologi, dipelajari Farmakokinetik
(apa yang dilakukan tubuh terhadap obat) dan Farmakodinamik (apa yang dilakukan obat terhadap
tubuh (mekanisme obat)). Karena temanya adalah perjalanan obat dalam tubuh, maka
farmakodinamik (reaksi obat terhadap tubuh) tidak dibahas.
Farmakokinetik
Di dalam tubuh, obat mengalami empat proses sebelum mencapai target kerjanya.
Absorbsi
Setelah obat ditelan, maka obat akan segera mencapai lambung. Di lambung obat akan mengalami
sedikit absorbsi. Setelah obat mencapai lambung, obat akan meneruskan perjalannya ke usus halus.
Di usus halus ini, obat diabsorbsi (diserap). Ada beberapa hal yang mempengaruhi kecepatan absorbsi
obat. Pertama, kelarutan obat, obat yang larut dapat segera diserap oleh tubuh, semakin cair bentuk
suatu obat maka akan semakin cepat diabsorbsi. Sirup lebih cepat diabsorbsi dari pada obat bentuk
tablet. Karena itu bila meminum obat, seharusnya diminum dengan segelas air putih (jangan dengan
susu atau jus) untuk mempercepat kelarutan obat. Kedua, obat dapat berinteraksi dengan makanan
atau obat yang lain karena pada makanan mungkin terdapat zat-zat yang dapat merusak struktur
kimia obat sehingga bisa merusak obat. Obat juga dapat beriteraksi dengan obat lainya sehingga bisa
merusak struktur obat. Karena itu pengosongan lambung sebelum meminum obat itu perlu. Obat
dapat diserap dengan baik bial obat itu berbetuk nonion dan larut lemak karena struktur membran sel
manusi terbuat dari lemak sehingga obat bisa berfusi dengan membran sel. Obat yang dalam bentuk
ion akan diserap dengan memasuki celah (pori) di dalam sel.
2. Distribusi
Setelah obat diserap dari dalam usus menuju ke aliran darah. Di dalam darah, obat akan diikat oleh
protein darah. Untuk obat yang bersifat asam lemah, maka obat tersebut akan berikatan dengan
albumin. Untuk obat yang bersifat basa lemah, maka obat tersebut akan berikatan dengan asam alfa
glikoprotein. Obat akan berikatan dengan plasma dan akan dilepaskan sedikit demi sedikit ke plasma
dalam bentuk bebas menuju target kerja (target sel).
Pada pemakaian lebih dari satu obat (sama-sama obat asam lemah atau basa lemah) akan
mengakibatkan kompetisi antar obat untuk berikatan dengan protein. Obat yang mempunyai ikatan
protein-obat yang lemah akan tergeser sehingga obat yang mempunyai ikatan lemah tadi berada
bebas di dalam plasma dan menuju ke sel target. Bila obat yang tergeser dalam jumlah banyak maka
obat yang menuju sel target akan banyak (berlebihan) sehingga menimbulkan efek farmakologis yang
berlebihan yang berakibat fatal.
3. Metabolisme
Obat mengalami distribusi ke hati melalui vena porta hepatika. Di hati obat akan mengalami
metabolisme pertama (first pass). Obat mengalami metabolisme 2 kali (fase I dan fase II). Pada
metabolisme fase I, obat akan mengalami oksidasi, reduksi dan hidrolisis yang akan merubah obat
menjadi bentuk yang lebih polar dan bisa dieksresikan dari tubuh. Pada metabolisme fase II obat akan
mengalami kojugasi dengan substrat endogen, seperti asam glukoronat. Setelah metabolisme, obat
akan kembali ke sistemik dan ada yang menuju ke bile duct (kel. empedu).
4. Ekskresi
Setelah obat mengalami metabolisme, obat akan dieksresi. Eksresi obat bisa melalui ginjal danbile
duct. Ekresei obat melalui ginjal melalui 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus,
dan reabsorbsi pasif di sepajang tubulus.
Filtrasi glomerulus
Pada filtrasi glomerulus, akan disaring obat-obat yang beredar bebas di plasma sehingga obat yang
berikatan dengan plasma akan berada di darah.
Sekresi aktif
Pada sekresi aktif obat akan diserap kembali melalui transporter aktif. Obat akan mengalami
kompetisi untuk disekresi. Sekresi aktif dapat dimanfaatkan untuk memperpanjang kerja obat.
Reabsorbsi pasif
REabsorbsi pasif bergantung pada pH urine yang ada di ginjal. Bila pH asam maka obat-obatan yang
bersifat asam lemah akan diserap kembali sehingga tidak dieksresikan dan bila pada suasana basa
maka obat-obat asam tadi akan terionisasi sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh. Begitu sebaliknya
dengan obat-obat basa yang akan dieksresi kembali pada suasana basa. Hal ini dapat dimanfaatkan
pada kasus keracunan. Pada pasien yang keracunan phenobarbital (obat asam lemah) maka kelebihan
phenobarbital yang ada di dalam darah dapat cepat dikeluarkan dengan memberikan Natrium
bikarbonat yang bersifat basa sehingga phenobarbital dapat cepat dieksresi dari tubuh melalui urin.

You might also like