You are on page 1of 4

Analisis Tanah Longsor Banjarnegara

Oleh Yeri Sutopo dan Saratri Wilonoyudho



TULISAN ini merupakan analisis hasil pengamatan di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu,
Kabupaten Banjarnegara yang terkena musibah tanah longsor. Pengamatan di lapangan penting
artinya karena jika hanya melihat secara sekilas, bukit yang longsor menimpa pemukiman penduduk
sebenarnya tidak banyak mengalami kerusakan lingkungan. Artinya tanaman pelindung yang ada di
bukit tersebut sangat rapat dan terawat baik.

Pertanyaannya jika kondisi hutan sangat baik, mengapa terjadi juga bencana tanah longsor ? Tulisan
ini rnengurai alasannya setelah melakukan pengamatan dan wawancara di lapangan selama dua
hari.

Pengamatan dilakukan oleh beberapa staf ahli Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Jawa Tengah yang
diketuai oleh Dr Ir Imam Wahyudi,DEA, doktor lulusan Prancis yang mengkhususkan pada bidang
hidrolika, penulis, serta beberapa ahli lingkungan, teknik sipil, dan geografi.

Faktor Pemicu

Secara geologis dan lingkungan sebenarnya kondisi bukit yang longsor menimpa Desa Sijeruk sangat
bagus. Namun mengapa masih juga bisa longsor ? Secara garis besar fenomena ini dapat dilacak dari
jenuhnya jumlah air yang mengumpul di gundukan tanah pada ujung parit yang terbentuk dua tahun
yang lalu di bukit tersebut.

Hasil pengamatan penulis dan hasil wawancara dengan Abdul Kholik, penduduk yang sering
menyabit rumput di bukit tersebut menunjukkan, sejak dua tahun yang lalu di puncak Bukit
Pawinihan mulai dijumpai erosi parit.

Selama itu, nampaknya tidak ada upaya untuk memperbaiki kondisi erosi parit dengan cara menutup
dengan tanah. Di sarnping itu, tidak ada upaya untuk mengalihkan aliran air yang meluncur ke
bawah. Selama waktu dua tahun menyebabkan erosi yang semula berbentuk parit menjadi panjang,
dalam dan lebar.

Sebulan sebelum kejadian malapetaka runtuhnya tanah atas bagian dari bukit ke pemukiman parit
tersebut membentuk saluran air dengan panjang 25 m, kedalaman 4 m, dan lebar antara 1 sampai
dengan 2 m. Tanggal 27 Desember 2005 sampai dengan kejadian 4 Januari 2006, Bukit Pawinihan
diguyur hujan deras selama 8 hari. Akibatnya , saluran itu dipenuhi dengan air.

Celakanya di ujung saluran sudah terakumulasi tanah hasil erosi yang seakan berfungsi sebagai
bendung di atas bukit. Kondisi ini merupakan faktor pertama.

Sebenarnya akumulasi beban tanah dan kandungan air yang ada di atas bukit masih bisa seimbang
beberapa bulan lalu, karena tanah di bawah bukit masih mampu menyerap rembesan air dari atas
bukit sehingga terjadi keseimbangan. Namun sekitar dua bulan sebelum bencana ini terjadi, tanah di
bawah bukit diperkeras dengan aspal untuk dibuat jalan menghubungkan Kampung Gunungraja
Wetan dengan Kampung Kendaga.

Pengerasan jalan ini juga dapat dipahami untuk melancarkan komunikasi. Namun akibatnya
kandungan air yang berada di atas bukit yang semula dapat merembes ke bawah, menjadi sedikit
terhambat karena rembesan air tidak dapat terserap.

Selanjutnya dapat ditebak, beban air yang dikandung dalam tanah di atas bukit makin berat, dan
jalan aspal yang menjadi penyangganya ambrol. Akibatnya terjadi tarikan tanah dari atas bukit ke
bawah. Hal inilah yang diperkirakan sebagai pemicu utama dari bencana tanah longsor di Desa
Sijeruk RT I/ III, RT2/III, RT3/III, dan RT4/ III.

Singkat kata, mekanisme longsorannya dapat diuraikan secara sekuensial demikian. Pertama, kondisi
puncak bukit yang dilalui parit hasil erosi, menyebabkan kumpulan tanah di ujung parit. Kumpulan
tanah ini dapat diibaratkan sebagai sebuah bendung, yang keadaan tanahnya sudah jenuh air serta
sudah terjadi pengembangan pori-pori tanah yang maksimal. Ini berarti kondisi tanah sesungguhnya
sudah menjadi lumpur.

Dua, sebelurn diperkeras, jalan Gunungraja Kulon yang semula tanah, sebenarnya mampu
menyeimbangkan aliran air di dalam tanah, atau dikatakan tanah mampu membuang air secara
seimbang.

Tiga, namun ketika jalan Gunungraja Kulon ditingkatkan perkerasannya, maka fungsi jalan tidak lagi
sebagai drainasi yang mampu menyeimbangkan aliran air tanah, bahkan dapat disebut rnalahan
berubah menjadi seperti fungsi bendung yang menghalangi proses drainasi.

Empat, keadaan ini menyebabkan tekanan air tanah ke jalan menjadi sangat besar yang selanjutnya
meruntuhkan jalan aspal itu. Lima, pada hal jalan berada tepat di bawah lereng bukit, dan pada saat
jalan ambrol tanah di bawah menarik atau menyeret lereng tanah di atasnya yang sudah dalarn
kondisi jenuh air atau secara fisik sangat lembek seperti lumpur.

Enam, ditambah adanya parit di atas jalan Gunungraja Kulon yang diaspal itu, yang berhubungan
dengan puncak bukit yang mengalami akumulasi tanah hasil erosi yang sangat besar dan lembek,
maka proses tarikan atau seretan tanah yang ambrol di bawah (di jalan Gunungraja Kulon) secara
berantai juga menyeret akumulasi tanah di atas bukit, sehingga terjadilah longsoran masa tanah
yang volumenya sangat besar (aliran debris).

Tujuh, urutan kejadian inilah yang menyebabkan bencana tanah longsor di Desa Sijeruk RT I/ III, R T
2/III, RT3/ III, dan RT4/ III Desa Sijeruk RT I/III, RT2/LI, RT3/III, dan RT4/III.

Desa Sijeruk RT I/III, RT2/ III, RT3/III, dan RT4/III berada di kaki bukit Pawinihan, yang berdekatan
dengan Bukit Lawe.

Desa ini merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Merawa, dan dialiri Sungai Kamprat (kecil) yang
terdapat di antara pemukiman dan Bukit Pawinihan. Aliran Sungai Kamprat ini menuju ke Sungai
Merawu yang selanjutnya menuju ke Sungai Serayu. Karakteristik tanah di desa ini dalam istilah ilmu
pertanian disebut dengan Solum tanah yang sangat tebal, atau secara teknik sipil dikatakan memiliki
residul soil yang sangat tebal. Tanah jenis ini sangat mudah longsor.

Tingkatkan Pengetahuan

Jumlah penduduk 655 jiwa dan 43 jiwa di antaranya pergi merantau.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Abdul Kholiq warga seternpat, tingkat pendidikan warga di RW
III rata-rata adalah SD. Sebaran tingkat pendidikan,warga RW III Desa Sijeruk diperkirakan hanya
mempunyai 1 orang sarjana, 4 orang D2 yang saat ini menjadi guru bantu, 4 orang tamat SMA,
sisanya tamat SMP dan SD. Yang paling dominan adalah berpendidikan tamat SD.

Melihat kenyataan tingkat pendidikan warga di atas, nampaknya wajar jika mereka kurang
mempunyai pemahaman mengenai mekanisme tanah longsor. Saat mereka membangun jalan
beraspal, juga tidak dipahami bahwa konstruksi itu dapat menyebabkan meningkatnya tekanan air
tanah terhadap tanah yang dapat menjadi pemicu terjadinya tanah longsor.

Meskipun mereka mengetahui di puncak bukit terdapat proses erosi yang mengikis bukit dan
menyebabkan pembendungan air di atas bukit, namun narnpaknya mereka tidak dapat berpikir
terlalu jauh bahwa hal itu kelak akan menjadi penyebab terjadinya luncuran masa tanah yang dapat
memendam desa mereka

Ke depan kepada semua warga di RW III Desa Sijeruk, tetap harus mengikuti program relokasi.
Melihat geografi tanah berada di sisi Selatan desa adalah perbukitan dengan kemiringan > 60
derajat, nampaknya longsoran susulan dapat saja terjadi lagi bahkan berkali-kali.

Di samping itu, secara kejiwaan kejadian tersebut menimbulkan trauma yang merupakan penyebab
depresi bahkan dapat menyebabkan penyakit kejiwaan.

Ke depan pemerintah harus memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai tanah longsor.
Pemahaman tentang penyebab dan pemicu serta cara mengatasi penyebab dan pemicu harus
ditingkatkan. Dengan penyuluhan masyarakat juga paham akibatnya setiap terjadi perubahan
lingkungan yang tidak wajar, sehingga upaya preventif dapat dilakukan. Upaya ini dapat dilakukan
dengan memasang billboard peringatan bahaya tanah longsor, serta bagaimana secara preventif
dapat mengurangi bencana itu.

Melihat kondisi geografi yang demikian terjal, nampaknya upaya atau perbaikan secara konstruksi
macam apa pun diperkirakan tidak mampu mengatasi bencana tanah longsor di Desa Sijeruk.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk diambil tindakan yang tepat di masa. mendatang. (11)

- Yeri Sutopo, staf ahli teknik sipil-hidrolika pada Dewan Riset Daerah (DRD) Prov Jateng. Saratri
Wilonoyudho, dosen rekayasa lingkungan, kepala Pusat Penelitian Sainstek Unnes

You might also like