You are on page 1of 7

Literatur Review

PERUBAHAN OTOT MAYAT DENGAN PERANNYA


DALAM INVESTIGASI KEMATIAN

Diajukan sebagai salah satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/ SMF Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh :
Murtaza (0907101050013)
Dara Puspita (0907101050014)

Pembimbing :
Dr. H. Taufik Suryadi Sp.F





BAGIAN / SMF KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH, 2014
2

Perubahan Otot Mayat Dengan Perannya Dalam Investigasi Kematian
dr. H. Taufik Suryadi Sp.F
**,
Murtaza
*,
Dara Puspita
*

*
Bagian/ SMF Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstrak
Kematian seseorang dapat diinvestigasi dengan melihat tanda-tanda kematian. Salah
satu tanda kematian adalah perubahan otot pada mayat. Perubahan otot ini penting
dipahami mengingat beberapa penyebab kematian dapat ditentukan melalui hal
tersebut, misalnya korban tenggelam atau bunuh diri didapatkan adanya cardiac
spasme. Perubahan pada otot mayat terdiri dari kaku mayat, kejang mayat (cardiac
spasme), dan relaksasi otot (relaksasi primer dan sekunder). Aspek medikolegal
perubahan otot pada mayat meliputi penentuan tanda kematian, lama kematian, sebab
atau cara kematian.
Kata kunci : perubahan otot pada mayat, lama kematian, sebab atau cara kematian.

Changes in Muscle Corpses With His Role in Death Investigation
dr. H. Taufik Suryadi Sp.F
**,
Murtaza
*,
Dara Puspita
*

*
Bagian/ SMF Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstract
The death of a person can be investigated by looking at the signs of death. One of the
signs of death is a change in the bodies muscle. Changes in muscle is important to
understand given the multiple causes of death can be determined by it, such as
drowning or suicide victim found the presence of cardiac spasm. Changes in muscles
composed of rigid bodies of dead bodies, corpses seizures (cardiac spasm), and
muscle relaxation (relaxation primary and secondary). Medicolegal aspects of muscle
changes in the bodies involves determining the sign of death, time of death, cause or
manner of death.
Keywords: muscle changes at the corpse, long dead, cause or manner of death.


3


Pendahuluan
Kematian menurut ilmu
kedokteran didefinisikan sebagai
berhentinya fungsi sirkulasi dan
respirasi secara permanen (mati
klinis)
8
. Dengan perkembangan
teknologi saat ini terdapat alat yang
bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan
respirasi secara buatan. Oleh karena itu
definisi kematian berkembang menjadi
kematian batang otak sehingga disebut
mati sebagai kematian batang otak
8
.
Dalam hal menginvestasi
kematian, maka dapat dilakukan
dengan mengenal tanda-tanda
kematian. Ilmu yang mempelajari
tanda-tanda kematian disebut
Thanatologi
8
. Thanatologi berasal dari
kata thanatos (yang berhubungan
dengan kematian) dan logos (ilmu).
Tanatologi adalah bagian dari Ilmu
Kedokteran Forensik yang
mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan kematian yaitu definisi atau
batasan mati, perubahan yang terjadi
pada tubuh setelah terjadi kematian dan
faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan tersebut
8
.
Klasifikasi Kematian
Kematian dapat diklasifikasi
berdasarkan penyebab; Kematian yang
terjadi seketika (Instantaneus Death),
kematian tak terduga (Unexpected
Death), kematian tanpa saksi
(Unwitness)
8
.
Kematian yang terjadi seketika
(Instantaneus Death), misalnya pada
orang sehat yang sedang bertamu, lalu
tiba-tiba meninggal.
Kematian tak terduga
(Unexpected Death), misalnya pada
orang sakit perut, diduga maag biasa
dan masih bekerja, lalu meninggal
ditempat kerja
8
.
Meninggal tanpa saksi
(Unwitness) , misalnya orang yang
hidup sendiri di sebuah rumah,
keesokan harinya meninggal dikamar
8
.
Jenis Kematian
Agar suatu kehidupan seseorang
dapat berlangsung, terdapat tiga sistem
yang mempengaruhinya. Ketiga system
utama tersebut antara lain sistem
persarafan, sistem kardiovaskular dan
sistem pernafasan. Ketiga sistem itu
sangat mempengaruhi satu sama
lainnya juga akan ikut berpengaruh.
Dalam tanatologi dikenal beberapa
istilah tentang mati, yaitu mati somatik
(mati klinis), mati suri, mati seluler,
mati serebal dan mati otak (mati batang
otak)
8
.
Mati somatik (mati klinis) adalah
suatu keadaan dimana oleh karena
sebab terjadi gangguan pada ketiga
sistem utama tersebut yang bersifat
menetap. Pada kejadian mati somatik
ini secara klinis tidak ditemukan
adanya refleks, elektro-ensefalografi
(EEG) mendatar, nadi tidak teraba,
denyut jantung tidak terdengar saat
auskultasi
8
.
Mati suri (apparent Death)
adalah suatu kedaan yang mirip dengan
kematian somatik, akan tetapi
gangguan yang terdapat pada ketiga
sisitem bersifat sementara. Kasus
seperti ini sering ditemukan pada kasus
4

keracunan obat tidur, tersengat aliran
listrik dan tenggelam.
Mati seluler (mati molekuler)
adalah suatu kematian organ atau
jaringan tubuh yang timbul beberapa
saat setelah kematian somatik. Daya
tahan hidup masing-masing organ atau
jaringan berbeda-beda, sehingga
terjadinya kematian seluler pada tiap
organ tidak bersamaan sehingga alat
bantu dapat dihentikan.
Mati serebral adalah suatu
kematian akibat kerusakan kedua
hemisfer otak yang irreversible kecuali
batang otak dan serebelum, sedangkan
kedua sistem lainnya yaitu sistem
pernapasan dan kardiovaskular masih
berfungsi dengan bantuan alat.
Mati otak (mati batang otak)
adalah kematian dimana telah terjadi
kerusakan seluruh sisi neuronal
intracranial yang irreversible,
termasuk batang otak dan serebelum.
Dengan diketahuinya mati otak maka
dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan
hidup lagi sehingga alat bantu dapat
dihentikan.
Tanda-tanda Perubahan Otot Pada
Mayat
Tanda-tanda kematian dibagi atas
tanda kematian pasti dan tidak pasti.
Tanda kematian tidak pasti adalah
penafasan berhenti, sirkulasi terhenti,
kulit pucat, tonus otot menghilang dan
relaksasi, pembuluh darah retina
mengalami segmentasi dan
pengeringan kornea
8
. Sedangkan tanda
pasti kematian adalah lebam mayat
(livor mortis), kaku mayat (rigor
mortis), penurunan suhu tubuh (algor
mortis), pembusukan, mumifikasi, dan
adiposera
8
.
Kaku mayat atau rigor mortis
adalah kekakuan yang terjadi pada otot
yang kadang-kadang disertai dengan
sedikit pemendekan serabut otot, yang
terjadi setelah periode
pelemasan/relaksasi primer, hal ini
disebabkan oleh karena terjadinya
perubahan kimiawi pada protein yang
terdapat dalam serabut-serabut otot
9
.
Cadaveric spasme atau
instantaneous rigor adalah suatu
keadaan dimana terjadi kekakuan pada
sekelompok otot dan kadang-kadang
pada seluruh otot, segera setelah terjadi
kematian somatik dan tanpa melalui
relaksasi primer
8
.
Heat Stiffening adalah suatu
kekakuan yang terjadi akibat suhu
tinggi, misalnya pada kasus
kebakaran
8
.
Cold Stiffening adalah suatu
kekakuan yang terjadi akibat suhu
rendah, dapat terjadi bila tubuh korban
diletakkan dalam freezer, atau bila suhu
keliling sedemikian rendahnya,
sehingga cairan tubuh terutama yang
terdapat sendi-sendi akan membeku
8
.
Mekanisme Perubahan Otot Pada
Mayat
Rigor mortis adalah kekakuan
pada tubuh setelah kematian yang
disebabkan karena tidak terdapat
adenosine trifosfat (ATP) dalam otot.
Pada saat awal kematian, tubuh
menjadi flaccid. Namun dalam 1
hingga 3 jam setelah itu, kekakuan otot
mulai meningkat dan terjadi imobilisasi
pada sendi.
1,3

Kelenturan otot setelah kematian
masih dapat dipertahankan karena
metabolisme tingkat seluler masih
berjalan berupa pemecahan cadangan
glikogen otot yang menghasilkan
energi. Energi ini digunakan untuk
5

mengubah ADP menjadi ATP. Selama
masih terdapat ATP maka serabut aktin
dan myosin tetap lentur. Bila cadangan
glikogen dalam otot habis maka energi
tidak terbentuk lagi, aktin dan myosin
akan menggumpal dan otot menjadi
kaku
.1,4,5


Gambar 1: Sumber energi untuk
kontraksi otot.

Otot membutuhkan pasokan
energi dari ATP untuk berkontraksi
karena jumlah yang tersedia di otot
hanya mampu untuk mempertahankan
fungsi kontraksi otot selama beberapa
detik. Terdapat tiga jalur metabolisme
yang mempertahankan agar pasokan
ATP dalam otot tetap tersedia yaitu
sistem fosfagen, sistem glikogen-asam
laktat dan sistem aerobik. Ketika otot
menjadi anoksia maka suplai oksigen
berkurang sehingga ATP tidak
diproduksi sehingga terjadi proses
glikolisis aerobik sehingga
meningkatkan kadar asam laktat dan
asam piruvat. Kadar glikogen dalam
otot berkurang, pH seluler menjadi 6
dan kadar ATP mulai berkurang.
Normalnya, ATP berfungsi untuk
menghambat aktivitas pelekatan antara
aktin dan myosin.
4,6

Pada keadaan optimal, sistem
fosfagen dapat menyediakan energi
untuk digunakan oleh otot untuk
berkontraksi selama 10-15 detik, sistem
glikogen asam laktat menyediakan
energi selama 30 hingga 40 detik dan
sistem aerobik untuk waktu yang tidak
terbatas.
Kaku mayat akan terjadi pada
seluruh otot baik otot lurik maupun otot
polos dan bila terjadi pada otot anggota
gerak, maka akan didapatkan suatu
kekakuan yang mirip atau menyerupai
papan sehingga dibutuhkan tenaga
untuk melawan kekuatan tersebut.
1

Kadar glikogen yang terdapat
pada setiap otot berbeda-beda,
sehingga sewaktu terjadinya
pemecahan glikogen menjadi asam
laktat dan energi pada saat terjadinya
kematian somatik, akan menyebabkan
adanya perbedaan kadar ATP dalam
setiap otot. Keadaan ini dapat
menerangkan alasan kaku mayat mulai
tampak pada jaringan otot yang jumlah
serabut ototnya sedikit. Kaku mayat
biasanya tampak pertama kali pada
rahang dilanjutkan siku dan kemudian
pada lutut. Pada laki-laki, kaku mayat
lebih hebat dibandingkan pada
perempuan oleh karena laki-laki
memiliki massa otot yang lebih besar
dibandingkan wanita.
1,2

Rata-rata orang pada suhu
ruangan yang biasa, rigor mortis
biasanya terlihat 2-4 jam setelah
kematian, dan biasanya terjadi rigor
mortis sempurna setelah meninggal.
Tubuh mengalami rigor mortis
sempurna ketika rahang, siku, dan lutut
sudah tidak dapat digerakkan lagi. Hal
ini berlangsung 10-12 jam setelah
kematian pada suhu ruangan 70-750 F.
Keadaan ini akan menetap 24-36 jam
dan setelah itu, kaku mayat akan mulai
menghilang.
1,6



6

Penentuan Lama Kematian Dari
Perubahan Otot pada Mayat
Penentuan lama kematian dari
perubahan otot pada mayat ditentukan
dari jenis otot yang dinilai yaitu otot
volunter dan involunter.
Rigor Mortis pada Otot Involunter
7

Kontraksi muskulus erektor pilli
(otot polos folikel rambut)
bermanifestasi sebagai goose bumps
(cutis anserina). Hal ini menunjukkan
mayat terpapar suhu dingin setelah
mati.
Kontraksi vesikel seminalis (otot
polos) setelah kematian menyebabkan
keluarnya cairan seminalis (semen).
Dapat pula menunjukkan terjadinya
aktivitas seksual setelah kematian
Muskulus cilliaris pada iris
mengubah ukuran pupil. Diameter
pupil berkisar antara 0,2-0,9 cm. Sisi
luar pupil tidak selamanya berbentuk
sirkuler. Kedua pupil dapat berubah
secara tersendiri dan memiliki ukuran
yang tidak sama. Namun demikian,
ukuran pupil tidak dapat digunakan
untuk menentukan sebab kematian.
Ukuran kedua pupil yang tidak sama
tidak menunjukkan terjadinya trauma
kepala. Kontraksi miokard ventrikel
kiri menyebabkan dindingnya
bertambah tebal dan berisi sejumlah
kecil darah.
Rigor Mortis pada Otot Volunter (Otot
Skelet)
7

Rigor mortis pada otot skelet
menyebabkan terjadinya kekakuan
pada sendi. Adapun beberapa proses
yang terjadi selanjutnya yaitu :
Initial flaccidity (kecuali instantaneous
rigor)
Terdapat sejumlah ATP yang
cukup pada awal fase postmortem yang
mengakibatkan otot-otot mengalami
relaksasi dan sendi menjadi lemas. Fase
ini berkisar antara 0,5-7 jam (rata-rata
sekitar 3 + 2 jam).
Onset
Rigor terjadi secara bersamaan di
semua otot, tetapi terjadi lebih cepat
pada kelompok otot yang lebih kecil.
Perubahan rigor mortis tidak terjadi
secara konstan dan simetris. Rigor
dimulai dari rahang, selanjutnya ke
ekstremitas superior dan akhirnya ke
ekstremitas inferior. Waktu yang
dibutuhkan untuk terjadinya rigor
secara keseluruhan di semua sendi
bervariasi mulai dari 2 hingga 20 jam.
Seseorang yang mati dalam keadaan
supine menunjukkan sedikit fleksi pada
siku dan lutut. Rigor bertahan selama
24-96 jam.
Resolusi (secondary flaccidity)
Rigor mulai berkurang dan
bahkan menghilang saat terjadi
denaturasi hubungan aktin-myosin dan
dimulainya dekomposisi. Waktu yang
dibutuhkan sekitar 24-192 jam.
Umumnya rigor mortis awalnya terlihat
di otot wajah dan menyebar ke dada,
ekstremitas lalu ke seluruh tubuh. Pola
menghilangnya rigor mortis juga
mengikuti urutan munculnya. Awalnya
menghilang di wajah lalu kemudian
menyebar ke dada dan ekstremitas.
2

Kesimpulan
Rigor mortis atau kaku mayat
adalah salah satu tanda fisik kematian.
Rigor Mortis dapat dikenali dari
adanya kekakuan yang terjadi secara
bertahap sesuai dengan lamanya waktu
7

pasca kematian hingga 24 jam
setelahnya.
Rigor Mortis terjadi akibat
hilangnya ATP dari otot-otot tubuh
manusia. ATP digunakan untuk
memisahkan ikatan aktin dan myosin
pada otot sehingga otot dapat
berelaksasi, dan hanya akan
beregenerasi bila proses metabolisme
terjadi, sehingga bila seseorang
mengalami kematian, proses
metabolismenya akan berhenti dan
suplai ATP tidak akan terbentuk,
sehingga tubuh perlahan-lahan akan
menjadi kaku seiring menipisnya
jumlah ATP pada otot.
Faktor-faktor yang memengaruhi
terjadinya kaku jenazah adalah suhu
tubuh, volume otot dan suhu
lingkungan. Makin tinggi suhu tubuh
makin cepat terjadi kaku jenazah. Rigor
mortis diperiksa dengan cara
menggerakkan sendi fleksi dan
antefleksi pada seluruh persendian
tubuh.
Daftar Pustaka
1. Howard C.,Adelman
M.Establishing The Time of Death
in : Forensic Medicine. New York
:Infobase Publishing : 2007. p.20-
26.
2. Morgan,C.,Nokes, LDM, et al.
Postmortem Changes and
Determination of The Time of
Death. Forensic Science
International (1988) Vol. 39 No. 1,
p. 89-95.
3. Dix, J., Graham, M. Time of
Death, Decomposition and
Identification An Atlas. New
York: CRC Press LLC: 2000. p.
10-27
4. Dix, J., Calaluce, R. Rigor Mortis
in : Guide to Forensic Pathology.
New York: CRC Press: 2001. p.
15-25.
5. Shepherd, R. The Medical Aspects
of Death In : Shepherd R.
Simpsons Forensic Medicine 12th
Edition. London : Arnold : 2003.
p. 27-8
6. Pounder, DJ. Lecture Notes
Postmortem Changes and Time of
Death. Department of Forensic
Medicine University of Dundee.
1995.
7. Cox, WA. Late Postmortem
Changes/Decomposition. New
York: Forensic Science
International: 2009.
8. Idries, A.M, Pedoman Ilmu
Kedokteran Forensik, Edisi 1.
Binarupa Aksara. Jakarta. 1997
9. Dimaio Vincent J. Diminick
Dimaio. Forensic Pathology.
Second Edition . CRC. 1954

You might also like