You are on page 1of 2

Pemilu 2009: Akhir Masa Transisi?

Oleh : Asra Virgianita, M.A.


"You can have election without democracy, but you can not have democracy without election"
Pada tahun 2009 bangsa Indonesia akan kembali melaksanakan pemilu demokratis setelah jatuhnya
Pemerintahan Orde Baru. Pada zaman Orde Baru, pemilu juga dilaksanakan secara rutin setiap lima
tahun, sebagai pengejawantahan Demokrasi Pancasila, yang sesungguhnya merupakan sebuah
demokrasi semu yang diciptakan sebagai cara melegitimasi kekuasaan permerintahan Order Baru.
Indonesia telah kembali masuk ke dalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan Soeharto
jatuh. Pemilu demokratis pertama dan kedua terselenggara pada tahun 1999 dan 2004. Kedua pemilu
tersebut dinilai sebagai pemilu yang cukup berhasil untuk mengantar bangsa Indonesia menuju negara
demokratis yang sesungguhnya. Kini pemilu demokratis yang ketiga akan dilaksanakan pada tahun 2009.
Tentunya momentum ini perlu kita sambut dengan suka cita, berharap pemerintahan yang terpilih
nantinya bisa menggiring kita lebih dekat ke sistem demokrasi yang lebih mapan, tidak hanya kemapanan
dalam bidang politik, tetapi juga di bidang sosial dan ekonomi.
Secara teori, ada tiga tahap yang harus dilalui dalam proses demokratisasi suatu negara, yaitu tahap
liberalisasi, transisi, dan konsolidasi (Schmidtz & Sell: 1999). Tahap liberalisasi telah kita lalui, yang
ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Orde Baru. Saat ini kita sedang berada dan bergelut dalam masa
transisi, masa yang paling penting untuk menentukan langkah ke depan reformasi di negara kita. Tak
mudah memang melalui masa transisi ini, mengingat banyak sekali pekerjaan rumah yang diwariskan
oleh pemerintahan sebelumnya, yang menuntut apa yang disebut dengan “democratization cost" yang
tidak sedikit. Biaya ekonomi dan sosial yang tidak sedikit harus menjadi pendorong suksesnya bangsa
kita melalui masa transisi ini. Kegagalan melalui masa transisi ini, akan menjadikan biaya yang sudah
dikeluarkan menjadi sia-sia dan semakin menuntut cost yang besar. Bila hal ini terjadi, dikhawatirkan
akan berdampak pada keapatisan masyarakat terhadap keberlangsungan proses demokratisasi di
negara kita.
Ironisnya, kita sadari atau tidak, indikasi gerak mundur masa transisi ini dapat terbaca dari beberapa
perkembangan akhir-akhir ini. Munculnya suara-suara yang mengusulkan digunakannya kembali sistem
bipartai, karena sistem multipartai dianggap tidak memberikan dampak signifikan, menjadi salah satu
indikasi tersebut. Terlepas dari motif apapun di balik berdirinya suatu partai, rasanya kita perlu
memberikan sambutan positif terhadap antusiasme masyarakat tersebut. Sistem multipartai saat ini
masih menjadi pilihan terbaik setelah trauma yang mendalam dari sistem bipartai yang pernah kita jalani
selama 32 tahun.
Revisi UU Pemilu Legislatif 2009 juga dinilai sebagian kalangan sebagai langkah mundur karena revisi
tersebut dinilai tidak membawa perubahan yang berarti. Sebaliknya, disinyalir bahwa revisi UU itu
dilatarbelakangi kehendak para politisi partai untuk menjaga peluang mendapatkan kursi baik tingkat
pusat maupun daerah. Apa yang kita harapkan dari Pemilu 2009 jika kepentingan partai atau individu
masih menjadi nomor satu, dan meletakkan kepentingan bangsa pada nomor kesekian? Fenomena
masih dijadikannya politik sebagai alat untuk mencapai kepentingan ekonomi dan kekuasaan masih
banyak terjadi. Terkuaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan, kasus BLBI, dan kasus
korupsi di tubuh KPU menambah suramnya masa transisi ini. KPU, sebagai lembaga pelaksana pemilu
yang diharapkan bisa menggiring Indonesia menjalankan pemilu yang jujur dan adil (jurdil) seharusnya
menjadi lembaga yang bersih dari praktik-praktik menyimpang. Pemilu 2009 seharusnya menjadi
momentum bagi KPU untuk membuktikan bahwa tidak akan ada lagi kasus korupsi di tubuh KPU yang
terkuak setelah pelaksanaan pemilu. Bukan berarti tidak terkuak karena tertutup rapat oleh karpet merah,
akan tetapi karena benar- benar bersih dan transparan.
Lebih jauh, Pemilu 2009 seharusnya menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia untuk bisa segera
meninggalkan masa transisi ini dan segera memasuki tahap konsolidasi. Tapi akankah Pemilu 2009
mampu mengantarkan kita mengakhiri masa transisi ini dan menuju ke pintu masuk tahap konsolidasi?
Berdasarkan kondisi yang ada saat ini rasanya tidak salah jika saya katakan bahwa peluang tersebut
masih kecil. Pengalaman negara-negara yang telah lebih dulu melalui proses demokratisasi seperti
Filipina dan negara-negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa panjangnya masa transisi di suatu
negara sangat bervariasi, tergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakatnya mempersiapkan
kebutuhan "software" dan "hardware" untuk memasuki tahap konsolidasi. Masih lemahnya civil society
dalam tatanan sistem politik kita juga menjadi salah satu dari sekian banyak batu kerikil yang
menghalangi jalannya demokratisasi di negara kita. Hal ini bukan berarti memupuskan harapan terhadap
proses transisi yang sedang berjalan. Sebaliknya, partisipasi kita untuk aktif mengawal proses transisi ini
semakin dituntut. Mari kita jaga proses demokratisasi yang sedang berjalan saat ini agar tidak bergerak
mundur atau hanya berjalan di tempat. Jika tidak, negara kita akan menjadi failed state yang akan
kehilangan sendi-sendi penting bagi berdirinya sebuah negara yang demokratis dan kuat. Bersikap kritis,
tidak apatis, dan menggunakan hak pilih dengan cermat, merupakan contoh pilihan dari sekian banyak
cara yang bisa dilakukan untuk menjaga proses demokrasi ini tetap berlangsung. Dengan demikian, jelas
bahwa jawaban atas pertanyaan tentang kapankah bangsa Indonesia akan melewati masa transisi dan
sampai pada tahap konsolidasi, sesungguhnya berada di tangan saya dan Anda.
Daftar Pustaka

You might also like