You are on page 1of 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran.
Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-
antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu
tubuh yang tinggi. Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala, fungsinya memberi
tanda tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman
atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsang mekanis atau kimiawi, kalor atau
listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang disebut
mediator nyeri (pengantara) (Anief, 1995).
Zat ini merangsang, reseptor nyeri yang letaknya pada ujung syaraf bebas di
kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari tempat ini rangsang dialirkan melalui
syaraf sensoris ke S.S.P (Susunan Syaraf Pusat), melalui sumsum tulang belakang ke
talamus (optikus) kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar, di mana rangsang terasa
sebagai nyeri (Anief, 1995).
Sebagai mediator nyeri adalah:
1. Histamin
2. Serotonin
3. Plasmokinin (antara lain Bradikinin)
Universitas Sumatera Utara
4. Prostaglandin
5. Ion kalium
Obat analgesik - antipiretik serta obat anti - inflamasi nonsteroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah
aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin
(aspirin-like drugs) (Ganiswara, 1995).
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan
mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek
samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas
penghambatan biosintesis prostaglandin (PG) (Ganiswara, 1995).
Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas.
Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan
ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip-aspirin. Ada bukti
bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali pelepasan suatu zat
pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang memacu pelepasan PG
yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Selain itu PGE2 terbukti
menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau disuntikkan ke
daerah hipotalamus. Obat mirip - aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan
menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian PG tidak
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik
(Ganiswara, 1995).
Salah satu parameter uji yang dilakukan untuk pengujian sediaan tablet adalah
dilakukan uji disolusi. Uji ini dilakukan untuk menentukan kesesuaian dengan
persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan
tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.
Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan
lain dalam monografi (Dirjen POM, 1994).
1.2 Perumusan Masalah
Yang menjadi perumusan masalah dalam penyusunan Tugas Akhir ini adalah
bagaimana suatu obat larut sempurna sehingga dapat melepaskan zat aktifnya
kemudian diabsorbsi dan dapat melewati membran masuk ke jaringan termasuk
reseptor yang membutuhkan sehingga berefek terapi.
1.3 Tujuan Dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Tujuan penyusunan Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui kadar dari
parasetamol, serta jumlah zat aktif yang terlarut dalam media cair dengan volume,
waktu dan alat tertentu apakah memenuhi persyaratan disolusi yang tertera pada
monografi Pharmacopeia of the Peoples Republic of China.
1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan Tugas Akhir ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
- Mahasiswa dapat mengaplikasikan kemampuan dalam melakukan penetapan
kadar parasetamol yang dilakukan dengan uji disolusi secara spektrofotometri.
- Untuk mengetahui laju pelarutan zat aktif dari sediaan, karena absorbsi dan
kemampuan obat berada dalam tubuh sangat tergantung pada adanya obat
dalam keadaan terlarut untuk diabsorbsi.











Universitas Sumatera Utara

You might also like