You are on page 1of 16

1

ABU IBRAHIM WOYLA


Wali dari Tanah Aceh



Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini
dalam masyarakat Aceh lebih dikenal dengan Abu Ibrahim Keramat atau
dipanggilnya dengan sebutan Tgk Beurahim Wayla. Tokoh ini merupakan
orang yang sangat dihormati di Aceh dan dipercaya sering menunaikan
shalat Jumat di Makkah dan kembali pada hari itu juga.

2

1. Kelahiran Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku Ibrahim bin
Teungku Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh,
Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M.
Mukhlis, salah satu santri kepercayaan Abu Ibrahim Woyla,
ditengarai mengetahui persis garis keturunan Abu Ibrahim Woyla. Awalnya
garis ke atas keturunan Abu Ibrahim Woyla yang berasal dari Negeri
Baghdad berjumlah tujuh orang datang ke Tanah Aceh, persisnya berlabuh
di Aceh Barat. Kemudian, ketujuhnya berpisah ke beberapa daerah di Aceh
dan di luar Aceh untuk menyebarkan agama Islam.

2. Masa Belajar Abu Ibrahim Woyla
Menurut riwayat, pendidikan formal Abu Ibrahim Woyla hanya
sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), selebihnya menempuh pendidikan
Dayah (pesantren tradisional/salafiyyah) selama hampir 25 tahun. Sehingga
dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun
pada Syaikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang
kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Blang Pidie Aceh Barat.
Diantara murid Syaikh Mahmud ini selain Abu Ibrahim Woyla juga Syaikh
Muda Waly al-Khalidy yang kemudian sebagai seorang ulama Thariqah
Naqsyabandiyah tersohor di Aceh.
Menurut keterangan, Syaikh Muda Waly hanya sempat belajar pada
Syaikh Mahmud sekitar 4 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan
belajar pada Abu Haji Hasan Krueng Kale selama 2 tahun. Setelah itu Syaikh
Muda Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syaikh Jamil Jaho Padang
Panjang. Dua tahun di Padang Syaikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke
Mekkah atas kiriman Syaikh Jamil Jaho. Setelah 2 tahun di Mekkah
kemudian Syaikh Muda Waly kembali ke Blang Pidie dan melanjutkan
mendirikan pesantren tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan.
Saat itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syaikh
Muda Waly telah kembali dari Mekkah dan mendirikan pesantren, maka Abu
Ibrahim Woyla kembali belajar pada Syaikh Muda Waly untuk memperdalam
ilmu Thariqah Naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu Ibrahim Woyla
pernah belajar pada Abu Calang (Syaikh Muhammad Arsyad) dan Teungku
Bilyatin (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu Abu Adnan Bakongan.
3

Setelah lebih kurang 2 tahun memperdalam ilmu thariqah pada Syaikh
Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya. Tapi tak
lama setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana
keluarga sendiri tidak mengetahui ke mana Abu Ibrahim Woyla pergi
mengembara.

3. Keluarga Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang isteri. Isteri pertama
bernama Rukiah dan dikaruniai 3 orang anak, 1 laki-laki dan 2 perempuan,
bernama Salmiah, Hayatun Nufus dan Zulkifli. Sementara isteri keduanya
dinikahi di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal, dan
tidak dikaruniai anak.
Menurut cerita, tatkala isteri pertamanya hamil 6 bulan (hamil yang
pertama), kondisi Abu Ibrahim Woyla saat itu seperti tidak stabil. Sehingga
beliau mengatakan pada isterinya: Saya mau belah perut kamu untuk
melihat anak kita.
Hal itu membuat keluarganya tak habis pikir terhadap apa yang
diucapkan Abu Ibrahim Woyla pada isterinya itu. Karena perkataan seperti
itu dianggap perkataan yang sudah di luar akal sehat. Para keluarga dengan
cemas mengatakan tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abu Ibrahim
Woyla yang meminta untuk membelah perut isterinya yang sedang
mengandung 6 bulan. Meskipun begitu, perkataan yang pernah diucapkan itu
tak pernah dilakukannya.
Pada tahun 1954 sebenarnya tahun yang sangat membahagiakan bagi
pasangan suami-isteri tersebut. Karena pada tahun itu lahirlah anak pertama
dari pasangan Abu Ibrahim Woyla dan Ummi Rukiah. Akan tetapi kehadiran
seorang anak pertama itu bagi Abu Ibrahim Woyla bukanlah sesuatu yang
istimewa. Abu Ibrahim Woyla saat itu hanya pulang sebentar menjenguk
anaknya yang baru lahir, kemudian beliau pergi kembali mengembara entah
ke mana.
Ketika anak pertamanya yang diberi nama Salmiah sudah besar,
menurut cerita Teungku Nasruddin, barulah kondisi Abu Ibrahim Woyla
kembali normal hidup bersama keluarganya. Dan saat itu Abu Ibrahim Woyla
sempat membuka lahan perkebunan di Suwak Trieng untuk menjadi harta
yang ditinggalkan untuk keluarganya di kemudian hari.
4

Pada saat itu kehidupan Abu Ibrahim Woyla bersama keluarganya
sudah sangat harmonis hingga lahir anak kedua, Hayatun Nufus dan anaknya
yang ketiga Zulkifli. Semua keluarganya sangat bersyukur karena Abu
Ibrahim Woyla telah tinggal bersama keluarganya.
Namun apa mau dikata, tak lama setelah lahir anaknya yang ketiga
Abu Ibrahim Woyla kembali meninggalkan keluarganya dan entah ke mana.
Sehingga Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan ketidakpedulian Abu Ibrahim
Woyla terhadap nafkah keluarganya, isterinya minta untuk pulang ke Blang
Pidie daerah asalnya.
Alasan isterinya untuk pulang ke Blang Pidie memang tepat, karena
menurutnya Abu Ibrahim Woyla tidak lagi peduli kepada keluarga, beliau
hanya asyik berzikir sendiri dan pergi ke mana beliau suka. Akan tetapi,
keinginan Ummi Rukiah untuk kembali ke Blang Pidie tidak terwujud karena
Allah mempersatukan kembali Abu Ibrahim Woyla dan isterinya sampai
akhir hayatnya.

4. Ulama Pengembara
Menurut riwayat dari Teungku Nasruddin (menantu Abu Ibrahim
Woyla) semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah menghilang dari
keluarga selama 3 kali; selama 2 bulan, 2 tahun dan 4 tahun, yang tidak
diketahui ke mana perginya. Dalam kali terakhir inilah Abu Ibrahim Woyla
kembali pada keluarganya di Pasi Aceh.
Pihak keluarga tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada
Abu Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya sudah demikian panjang tak
terurus, pakaiannya sudah compang-camping dan kukunya panjang seadanya.
Mungkin bisa kita bayangkan seseorang yang menghilang selama 4 tahun dan
tak sempat untuk mengurus dirinya. Begitulah kondisi Abu Ibrahim Woyla
ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang, maka
wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat
Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.

5. Ulama Pendiam
Abu Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agak
pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua.
Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan
5

sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang
terkesan aneh bila dikerjakan Abu Ibrahim Woyla.
Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh
keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya
demikian, keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang
ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak
masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla.

6. Dipercaya Sebagai Wali Allah
Bila kita dengar kisah dan cerita tentang Abu Ibrahim Woyla semasa
hidupnya tak ubah seperti kita membaca kisah para sufi dan ahli tasawuf.
Banyak sekali tindakan yang dikerjakan Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya
yang terkadang tidak dapat diterima secara rasional, karena kejadian yang
diperankannya termasuk di luar jangkauan akal pikiran manusia. Untuk
mengenal perilaku Abu Ibrahim Woyla haruslah menggunakan pikiran alam
lain sehingga menemukan jawaban apa yang dilakukan Abu Ibrahim Woyla itu
benar adanya.
Itulah keajaiban-keajaiban yang melekat pada sosok Abu Ibrahim
Woyla, yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla
adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkat waliyullah (wali Allah).
Hal itu diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat
yang diterima keluarga menceritakan seputar keajaiban kehidupan Abu
Ibrahim Woyla.
Hal ini terbukti semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla selalu
mendatangi tempat-tempat dimana umat selalu dalam kesusahan,
kegelisahan dan musibah beliau selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu.
Namun orang sulit memahami maksud dan tujuan Abu Ibrahim Woyla untuk
apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti itu, karena kedatangannya
tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi masyarakat yang
didatanginya. Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di tempat-tempat
yang ia datangi, tutur Teungku Nasruddin.
Dalam hal ini Teungku Muhammad Kurdi Syam, seorang warga Kayee
Unoe, Calang yang sangat mengenal Abu Ibrahim Woyla, menceritakan
bahwa ketika Abu Ibrahim Woyla sedang berjalan kaki terkadang beliau
masuk ke sebuah rumah tertentu milik masyarakat yang dilewatinya. Ia
mengelilingi rumah tersebut sampai beberapa kali kemudian berhenti pas di
6

halaman rumah itu dan menghadapkan dirinya ke arah rumah tersebut
dengan berdzikir La Ilaha Illallah tak berhenti keluar dari mulutnya.
Setelah itu Abu Ibrahim Woyla pergi meninggalkan rumah itu. Tidak ada
yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah agar penghuni
rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau mendoakan
penghuni rumah itu agar dirahmati Allah? Wallahu Alam.

7. Hidup Zuhud
Menurut Teungku Nasruddin, dilihat dari kehidupannya, Abu Ibrahim
Woyla sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi. Ia
mencontohkan, kalau misalnya Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang
tersebut bisa habis dalam sekejap mata dibagikan kepada orang yang
membutuhkan. Biasanya Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada
anak-anak dalam jumlah yang tidak diperhitungkan (sama seperti amalan
Rasulullah Saw.). Begitulah kehidupan Abu Ibrahim Woyla dalam kehidupan
sehari-hari.
Keajaiban lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan
bertanya-tanya adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang
ternyata lebih cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Abu
Ibrahim Woyla kalau pergi ke mana-mana selalu berjalan kaki tanpa
menggunakan sendal.
Bagi orang yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu
Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal. Karena disamping penampilannya
yang tidak rapi, mulutnya terus komat-kamit mengucapkan dzikir sambil
jalan.
Kisah lain diceritakan oleh Affan Ramli. Setiap kali Abu Ibrahim
Woyla melewati kampungnya, ia bersama kawan-kawan selalu menghampiri
Abu Woyla untuk mengambil uang yang telah penuh di saku celananya. Beliau
membiarkan mereka mengambil uang itu berapapun, boleh diambil semuanya.
Saat itu, mereka kira Abu Woyla membiarkan uang di sakunya diambil
karena beliau mendapatkannya dari sedekah masyarakat, bukan dari
bekerja. Masyarakat yang ingin mendapatkan sedikit keberkatan dari
keramat Abu Woyla berusaha menyedekahkan uang semampu mereka.
Pemberi sedekah memasukkan uang ke saku Abu sama seperti kami
mengambilnya, sama-sama tanpa anjuran dan tanpa larangan dari pemilik
saku, yakni Abu Woyla, kenang Affan Ramli.
7


8. Karomah Abu Ibrahim Woyla
Teungku Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Abu
Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan
yang memakan waktu 1 atau 2 jam dengan kendaraan bermotor). Anehnya,
Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya
mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya.
Kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai
barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu
Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang
biasa.
Karenanya tak heran kalau Abu Ibrahim Woyla sering berada seperti
di pasar. Misalnya semua pedagang di pasar itu berharap agar Abu Ibrahim
Woyla dapat singgah di toko mereka. Mereka ingin mendapatkan berkah
Allah melalui perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun tidak segampang itu,
karena Abu Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu
tempat.
Seperti yang diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu
Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno Aceh Jaya lalu bertemu dengan
seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe.
Saat itu Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang. Ketika mampir di
situ Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air. Setelah air itu diberikan
Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut
kepada Samsul. Tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa
lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Abu Ibrahim
Woyla.
Karena tidak mau diterima Samsul, lemang itu dibuang Abu Ibrahim
Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya. Kontan saja Samsul tercengang
dengan tindakan Abu Woyla yang membuang lemang begitu saja. Karena
merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang
tersebut. Namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-
tiba.
Dalam kejadian lain, Teungku Nasruddin menceritakan bahwa suatu
ketika (sebelum Teungku Nasruddin menjadi menantu Abu Ibrahim Woyla),
tiba-tiba di waktu pagi-pagi Abu Ibrahim Woyla datang ke almamaternya ke
Pesantren Syaikh Mahmud. Kaki Abu Ibrahim Woyla kelihatan sedikit
8

pincang sebelah kalau berjalan. Kedatangan Abu Ibrahim Woyla disambut
Teungku Nasruddin dan teman-teman sepengajian lainnya.
Lalu Abu Woyla meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi. Nasinya
ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu, kata Teungku Nasruddin.
Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja. Coba lihat dulu di dapur
mungkin masih ada satu telur tersisa, jawab Abu Ibrahim Woyla.
Lalu Teungku Nasruddin menuju ke dapur. Ternyata di tempat yang
biasa ia simpan telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada
sisa telur lagi karena sudah habis dimakan. Lantas sambil menyuguhkan Nasi
kepada Abu Ibrahim Woyla, Teungku Nasruddin bertanya: Kenapa dengan
kaki Abu?
Abu Ibrahim Woyla menjawab: Saya baru pulang dari bukit Qaf
(Mekkah), di sana banyak sekali tokonya tapi tidak ada penjualnya. Namun
kalau kita ingin membeli sesuatu kita harus membayar di mesin, kalau tidak
kita bayar kita akan ditangkap polisi. Setelah saya belanja di toko-toko itu
lalu saya naik kereta api dan sangat cepat larinya. Karena saya takut duduk
dalam kereta api itu, maka saya lompat dan terjatuh hingga membuat kaki
saya sedikit terkilir. Makanya saya agak pincang, tapi sebentar lagi juga
sembuh.
Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla
sendiri. Suatu hari Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk
meminta sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing. Lalu tuan rumah
itu mengatakan pada isterinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang
belimbing untuk Abu Ibrahim Woyla. Tapi isterinya memberi tahu bahwa
pohon belimbingnya tidak lagi berbuah: Baru kemarin sore saya lihat pohon
belimbingnya lagi tidak ada buahnya, kata sang isteri pada suuaminya.
Tapi suaminya terus mendesak isterinya: Coba kamu lihat dulu,
kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan Abu.
Lalu isterinya pergi ke pohon belakang rumah. Ternyata belimbing itu
memang didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore
dilihatnya.
Demikian pula ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama
Abu Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah. Masyarakat di kampung melihat
sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak peduli terhadap acara pernikahan
anaknya. Padahal acara pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi,
tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa untuk menghadapi acara
9

pernikahan anaknya itu. Bahkan uang pun tidak beliau kasih pada keluarga
untuk kebutuhan acara tersebut.
Namun ajaibnya pada hari pernikahan berlangsung, ternyata acara
pernikahan anaknya berlangsung lebih besar dari pesta-pesta pernikahan
orang lain yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya.
Dan masih banyak cerita aneh lainnya yang tersebar dalam
masyarakat Aceh. Masyarakat awam cenderung pragmatis, sehingga
memahami keunggulan Abu Woyla lebih banyak dari sisi keramatnya. Padahal
sebenarnya keramat (karamah) itu hanyalah bonus dari Allah bagi setiap
orang yang gemar riyadhah spiritual dan berhasil melakukan perjalanan
ruhiyah menuju Ilahi.

9. Pertemuan Abu Ibrahim Woyla dan Gus Dur
Kisah ini diceritakan langsung oleh salah satu santri Gus Dur, Ustadz
Nuruddin Hidayat, yang menyaksikan pertemuan Gus Dur dengan Abu
Ibrahim Woyla.
Sebagai tokoh yang dihormati dan dikagumi banyak orang, rumah Gus
Dur tak pernah sepi dari kunjungan para tamu, baik dari warga NU, pejabat,
politisi, wartawan dan sebagainya. Gus Dur menerima tamu-tamunya biasanya
dengan pakaian non formal. Karena kondisi fisiknya yang sudah lemah,
biasanya para tamu diajak mengobrol sambil tiduran.
Saya pun merasa terheran-heran ketika ada tamu, Gus Dur minta
untuk digantikan pakaiannya dengan kain sarung dan peci, seperti ketika mau
shalat Idul Fitri. Seumur-umur saya belum pernah melihat Gus Dur seperti
itu, tutur Ustadz Nuruddun Hidayat.
Rombongan tamu tersebut sampai ditahan agar tidak masuk rumah
dahulu, sampai Gus Dur dipinjami salah satu sarung milik santrinya agar bisa
cepat berganti pakaian.
Tamu, yang diketahuinya ternyata dari Aceh tersebut berpakaian
sederhana, dekil, dan memakai celana seperti yang biasa dipakai oleh bakul
dawet (penjual dawet). Tamu tersebut diantar oleh aktifitis Aceh.
Perilaku Gus Dur dan tamunya juga aneh. Setelah keduanya
bersalaman, Gus Dur pun duduk di karpet, demikian pula tamunya, tetapi tak
ada obrolan di antara keduanya. Gus Dur tidur, tamunya juga tidur, suasana
10

menjadi sunyi yang berlangsung sekitar 15 menit. Setelah sang tamu bangun,
ia langsung pamit pulang, tak ada pembicaraan.
Karena merasa penasaran, segera setelah tamu pergi, Santri
Nuruddin Hidayat bertanya kepada Gus Dur: Pak, tumben Bapak pakai
sarung, ngak biasanya menerima tamu seperti ini.
Jawab Gus Dur: Itu Wali.
Nuruddin pun kaget dan bertanya: Apa ada wali lain seperti beliau
Pak?
Di sini tidak ada, adanya di Sudan yang seperti beliau, jawab Gus
Dur.
Ada orang yang menyebutnya sebagai dewa tidur, yang
menghabiskan hari-harinya dengan tidur. Abu Ibrahim Woyla juga bisa
mengetahui perilaku seseorang dan seringkali orang yang menemui beliau
dibacakan kesalahannya untuk diperbaiki. Posisi tidur Abu yang dianggap
aneh (melengkung/meukewien), ucapannya sedih melihat manusia banyak
seperti hewan serta mengatakan dunia ini sudah semakin sempit.
Gus Dur bertemu kembali dengan Abu Ibrahim Woyla pada tanggal 09
Muharram, di tahun 2005, tepatnya di pemakaman masal korban Tsunami
Aceh. Beliaulah yang langsung menjemput Gus Dur di Bandara Iskandar
Muda. Kemudian keduanya pergi bersama ke pemakaman masal.
Berada di sebelah kanan Gus Dur dengan pakian safari putih dan
sarung, beliaulah Abuya Ibrahim Woyla. Beliau meminta kepada Gus Dur
untuk mendoakan para korban. Setelah itu Abuya Ibrahim Woyla pamit dan
menolak bertemu SBY keesokan harinya yang bertepatan pada Hari Raya
Idul Adha.

10. Abu Ibrahim Woyla dan Tsunami Aceh
Sebelum terjadinya tsunami, Abu Ibrahim yang pernah mengatakan:
Air laut bakal naik sampai setinggi pohon kelapa. Terbukti setelahnya
terjadi bencana tsunami.
Tepatnya 15 hari sebelum bencana besar gempa bumi dan gelombang
Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Abu Ibrahim Woyla telah
mengabarkan kepada muridnya yang bernama Mukhlis perihal akan
datangnya bencana besar itu.
11

Namun, hanya kepada dua muridnya yang kerap mengikutinya ia
beritahukan dan ia melarang memberitahukannya kepada orang lain. Hanya
saja Mukhlis diperintahkan untuk segera mengajak keluarganya menjauhi
bibir pantai.
Mukhlis, pria yang sudah berkepala tiga yang kini sering bermukim di
Dayah Bustanul Huda atau Dayah Pulo Ie, Desa Dayah Baro, Calang,
menceritakan kembali keseharian Abu sebelum Tsunami meluluhlantakkan
Aceh. Abu tidak seperti hari-hari sebelumnya, ia sudah jarang makan dan
terlihat gusar. Pernah suatu waktu Mukhlis dipanggil oleh Abu untuk
memberitahukan perihal bencana besar. Saat itu, Mukhlis masih menuntut
ilmu di Dayah Peulanteu, Aceh Barat. Rayeuk that buet uke nyoe,
siberangkaso yang buka rahasia Allah maka kafee lah jih kafee (besar sekali
kerja ke depan, dan siapa saja yang membuka rahasia Allah maka dia kafir),
begitu kata Mukhlis menirukan ucapan Abu Ibrahim kepadanya.
Mukhlis juga mendengar hal yang sama dari Abu Utsman yang masih
ada hubungan dekat dengan Abu Ibrahim Woyla. Bahkan kepada orangtuanya
sendiri Mukhlis tidak memberitahukan apa yang sudah ia ketahui. Di
lapangan Blang Bintang kapai akan jipoe uroe malam, di laot Ulee Lheuh
(tidak disebut Ulee Lheue) akan na kapai laot ubee lapangan bola, dalam
kapai nyan ureung puteh-puteh (di Bandara Blang Bintang pesawat akan
terbang siang malam, di laut Ulee Lhee akan ada kapal laut sebesar lapangan
bola, di dalamnya orang putih-putih-red), ucap Mukhlis lagi mengutip
perkataan Abu Utsman.
Kata Mukhlis, sejak kata-kata tersebut diucapkan oleh Abu Ibrahim,
keseharian Abu seperti berubah. Bahkan jika sedang tidur malam hari,
sering Abu tiba-tiba terbangun dan langsung duduk berdzikir. Melihat ini,
perasaan Mukhlis pun semakin cemas, dalam hatinya ia merasa kalau
peristiwa besar sudah semakin dekat. Lon kalon dari sikap Abu, lon na
firasat sang ata yang geupeugah le Abu ka to that (Saya lihat sikap Abu,
saya punya firasat bahwa apa yang dikatakan Abu sudah sangat dekat),
jelas Mukhlis.
Entah apa yang terpikirkan oleh Abu, 4 hari sebelum gempa bumi dan
Tsunami di Aceh, Abu Ibrahim mengajak Mukhlis ke Banda Aceh. Dengan
mobil pinjaman, Mukhlis menyupiri Abu hingga ke Banda Aceh. Di Banda
Aceh, mereka menginap di salah satu rumah di kawasan Blower. Na geulakee
le po rumoh beu geuteem eh Abu meusimalam bak rumoh gob nyan (ada
permintaan dari yang punya rumah agar Abu Ibrahim berkenan bermalam
semalam saja di rumahnya), kata Mukhlis.
12

Mukhlis menambahkan, saat di sana, sewaktu makan pun Abu tidak
makan lagi, Abu mengepal nasinya menjadi tiga bagian. Setelah Abu makan
sedikit satu bagian dari kepalan nasinya, kemudian seluruhnya Abu berikan
kepadanya untuk dimakan.
Pada esoknya, Kamis pagi 23 Desember 2006, Abu berkata kepada
Mukhlis jika ia ingin jalan-jalan keliling Kota Banda Aceh. Tanpa membantah,
dengan mobil pinjamannya Mukhlis pun membawa Abu jalan-jalan.
Setelah sarapan alakadarnya di warung samping Simbun Sibreh
(deretan Satnarkoba Polda Aceh), lalu Abu meminta Mukhlis untuk
membawanya ke kawasan Peulanggahan. Tiba di depan mesjid Tgk Di Anjong,
Abu minta mobil dihentikan di luar pagar masjid. Abu geu ngeing u arah
makam Tgk Di Anjong, sang-sang Abu teungoh geupeugah haba, kadang Abu
teukhem keudroe (Abu menatap ke arah makam Tgk Di Anjong, seolah-olah
Abu berbicara, sesekali Abu tersenyum sendiri), jelas Mukhlis.
Usai singgah di makam Tgk Di Anjong, Peulanggahan, Kecamatan
Kutaraja, Banda Aceh, Abu melanjutkan perjalanan ke arah Gampong Jawa.
Saat dalam perjalanan, ada seorang wanita paruh baya yang mengenal Abu.
Spontan wanita tersebut memanggil Abu dan meminta Abu untuk singgah di
rumahnya. Rombongan Abu Woyla kemudian memenuhi permitaan dan
singgah di rumah wanita tersebut.
Wanita pemilik rumah itu, kata Mukhlis, menginginkan anaknya untuk
minum air yang dicelupkan dengan musabah Abu Ibrahim. Sampai di rumah
wanita tersebut, kami disajikan kopi, tetapi airnya sangat panas hingga kami
tidak sempat minum. Tapi Abu langsung meminumnya walau airnya masih
panas. Setelah itu Abu menyelupkan musabahnya ke dalam air yang akan
diberikan kepada anak wanita tersebut, kata Mukhlis.
Tak beberapa lama di rumah wanita itu, Abu dan Mukhlis kemudian
melanjutkan perjalanan dari Gampong Jawa dan kembali ke arah Peunayong,
seterusnya sampai di depan RSUZA, Jalan T Nyak Arief. Di tempat itu Abu
Ibrahim kemudian meminta kepada Mukhlis untuk mengarahkan kenderaan
mereka ke Masjid Raya Baiturrahman.
Dalam sekejap saja, mobil yang dikendarai Mukhlis sudah berada di
depan Mesjid Raya Baiturrahman. Di sana mobil dihentikan sesuai
permintaan Abu. Dari dalam mobil, dengan kaca terbuka Abu menatap ke
arah mesjid sembari melambaikan tangannya dengan gerakan arah telapak
tangannya ke bawah. Berkali-kali Abu melakukan itu, ujar Mukhlis.
13

Di akhir Abu menggerakkan tangannya tiga kali menghadap masjid
raya, seperti tanda memotong sesuatu, tiru Mukhlis dengan gerakan
tangannya dari arah kiri ke kanan.
Usai perjalanan singkat tersebut, Abu langsung kembali ke tempat ia
menginap dan mengatakan kepada Mukhlis, jika Abu malam nanti akan
berangkat ke Padang, Sumatra Barat. Sebelum berangkat, Mukhlis memohon
izin kepada Abu bahwa ia tidak bisa menemani Abu ke Padang karena ia baru
berkeluarga. Menyoe meunan Doa bak lon (kalau begitu doa dari saya),
ujar Mukhlis mengulang perkataan Abu kepadanya kala itu.
Dua hari setelahnya, Tsunami meluluhlantakkan Aceh begitu
dahsyatnya. Namun kata Mukhlis, gelombang Tsunami yang datang pada 26
Desember 2004 lalu itu, sepertinya berhenti di seputaran kawasan Abu
Ibrahim Woyla jalan-jalan di Banda Aceh sebelum Tsunami itu terjadi.
Setelah itu, Mukhlis pun tidak lagi mengetahui kegiatan Abu hingga
gempa bumi dan Tsunami melanda Aceh. Baru pada hari keempat setelah
kejadian yang menewaskan ratusan ribu umat manusia itu, Mukhlis bertemu
kembali dengan Abu di salah satu rumah di kawasan Geuceu Komplek, Banda
Aceh.
Setelah bertemu di sana, pada sore hari Abu mengajak Mukhlis jalan-
jalan ke Lhoknga. Kembali Mukhlis meminjam sebuah mobil milik kerabatnya
yang juga mengenal Abu Ibrahim Woyla. Setibanya di kawasan Peukan Bada,
Mukhlis melihat tumpukan sampah Tsunami yang belum dibersihkan dan
masih ada mayat-mayat bergeletakan di sekitar mereka.
Melihat kondisi medan yang tidak mungkin dilewati, Mukhlis mengadu
kepada Abu jika tidak mungkin mobil melewati jalan, karena masih banyak
puing Tsunami dan benda tajam lain yang menghambat laju kenderaan
mereka. Hana peu-peu, tajak laju (tidak masalah, jalan saja), begitu kata
Abu ujar Mukhlis saat ia mengadu.
Mendengar kata Abu, Mukhlis pun terus mengendarai kendaraannya
melewati puing Tsunami yang logikanya tidak mungkin dilewati oleh
kendaraan. Mereka terus berjalan hingga ke jembatan yang terputus di
kawasan Lhoknga, Aceh Besar.
Setiba di sana, mereka berjumpa dengan seorang wanita yang
mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla. Wanita itu menceritakan, dalam
musibah itu suaminya menjadi korban dan sampai hari keempat setelah
Tsunami ia belum bertemu dan mengetahui nasib suaminya itu. Lantas wanita
14

itu meminta Mukhlis untuk menanyakan kepada Abu Ibrahim, bagaimana
perihal nasib suaminya yang diseret arus Tsunami.
Melalui Mukhlis, Abu menjawab singkat pertanyaan wanita tersebut:
Suaminya sedang jalan-jalan jauh.
Di tempat itu, Abu Ibrahim bersama Mukhlis berada hingga langit
mulai merah dan matahari akan tenggelam.
Kini, Mukhlis dengan beberapa rekannya hanya mengurusi dan
membangun Dayah Bustanul Huda Gampong Dayah Baro di Kabupaten Aceh
Jaya. Penuturan lelaki ramah dan berilmu agama ini, Dayah tempat dirinya
dan santri lain memperdalam ilmu Islam sekarang ini, dibagun pada tahun
2006 silam. Dan pesan Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya adalah:
Amanah Abu, bek meulake bak gop keu peudong dayah, peulaku ubee
sangguop (Amanah Abu, jangan meminta-minta untuk mendirikan dayah,
kerjakan sesuai kesanggupan), tegas Mukhlis menirukan ucapan Abu.

11. Kewafatan Abu Ibrahim Woyla
Belum pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh Barat) bila
seseorang meninggal ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali pada
waktu wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Selama hampir 30 hari meninggalnya
Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang melayat ke
kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat
peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla.
Selama 30 hari itu ribuan orang setiap hari tak kunjung henti datang
menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Abu Ibrahim Woyla,
sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak air mineral gelas dan 3 ekor
lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf
untuk menjamu para tamu yang datang silih berganti ke tempat wafatnya
Abu Ibrahim Woyla. Begitulah pengaruh ke-ulama-an Abu Ibrahim Woyla
dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di wilayah Aceh Barat dan
Aceh Selatan.
Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari Sabtu pukul 16.00 WIB
tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla
Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90 tahun.
Peneliti LKAS Banda Aceh pernah berziarah ke makan beliau pada
bulan April 2010. Melihat makam yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak
sekali diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan
15

berpesan pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan
tempat pemujaan.
Begitulah sebagian dari perjalanan riwayat hidup seorang ulama wali
Allah, Abu Ibrahim Woyla, yang sulit dicari penggantinya di Aceh sekarang
ini.



12. Kuburan Abu Ibrahim Woyla Digandakan
Berdasarkan informasi dari tribunnews, pihak keluarga almarhum Abu
Ibrahim Woyla memprotes terhadap penggandaan kuburan di tiga lokasi di
Kecamatan Bubon, Aceh Barat, oleh seorang ulama di wilayah itu. Padahal,
jasad almarhum sudah dikebumikan di Desa Pasi Aceh, Kecamatan Woyla.
Karena itu, pihak keluarga meminta Majelis Permusyaratan Ulama (MPU)
segera menyelesaikan masalah tersebut, sebelum pihak keluarga turun
tangan.
Mohd Miswar didampingi Tgk Zul Zamzami dari keluarga almarhum
Ibrahim Woyla kepada Serambi, mengatakan, penggandaan kuburan Abu
Ibrahim Woyla hingga menjadi tiga lokasi oleh seorang ulama sangat
meresahkan pihak keluarga besar almarhum Abu Ibrahim Wolya. Sebab,
kuburan Abu Ibrahim adalah di Desa Pasie Aceh, Kecamatan Woyla.
Sedangkan dua kuburan lain yang menurut keluarga Abu Ibrahim adalah
kuburan palsu, yakni di Desa Peulante dan Desa Blang Sibeutong Kecamatan
Bubon.
Pihak keluarga sudah melihat langsung kedua keburan tersebut. Ini
benar-benar bisa menyesatkan umat, karena itu kami mengharapkan agar
MPU segera menyelesaikan masalah tersebut, sebelum pihak keluarga Abu
Ibrahim turun tangan, tegas Miswar yang juga mantan anggota DPRK Aceh
Barat tersebut.
Ditegaskan Miswar, almarhum Abu Ibrahim dikebumikan di Desa Pasi
Aceh Kecamatan Woyla yang merupakan desa tempat kelahirannya dan tidak
dikebumikan di dearah lain. Menurut Miswar, jika masalah itu tidak segera
diselesaikan oleh pihak MPU, dikhawatirkan bisa menyesatkan masyarakat.
Sebab, ujar Miswar, dalam agama Islam tidak boleh kuburan seseorang ada
tiga buah, karena jasad manusia pun cuma satu.
16

Ketua MPU Aceh Barat, Teungku Abdurrani yang dikonfirmasi
Serambi Jumat mengakui telah mendapatkan laporan mengenai penggandaan
kuburan tersebut. Informasi itu memang sudah kami terima, dan yang kita
sayangkan justru yang melakukan penggandaan kuburan itu seorang ulama di
wilayah itu, ujar Abdurrani.
Teungku Abdurrani juga menyebutkan, dalam syariat tidak boleh
digandakan kuburan. Karena itu, Ketua MPU Aceh Barat itu berjanji segera
bermusyawarah dengan ulama tersebut guna menyelesaikan masalah
penggandaan kuburan itu.

You might also like