You are on page 1of 4

Kajian lingkungan cbm

Coal Bed Methane (atau disingkat CBM) adalah suatu bentuk gas alam yang berasal dari batu
bara (coal). Pada dasawarsa belakangan ini, CBM telah menjadi suatu sumber energi yang
penting di Amerika Serikat, Kanada dan beberapa negara lain. Australia memiliki endapan CBM
yang kaya yang dikenal sebagai coal seam gas (disingkat CSG).
Istilah CBM ini merujuk kepada gas metana yang teradsorbsi ke dalam matriks padat batu bara.
Gas ini digolongkan "sweet gas" lantaran tidak mengandung hidrogen sulfida (H
2
S). Keberadaan
gas ini diketahui dari pertambangan batu bara di bawah permukaan bumi yang kehadirannya
menjadi sebuah resiko pekerjaan. Coal Bed Methane berbeda dari sandstone biasa dan reservoar
konvensional lainnya, lantaran gasnya tersimpan di dalam batuan melalui proses adsorbsi.
Metananya berada dalam keadaan yang hampir cair di sekeliling dalam pori-pori batu bara.
Rekahan-rekahan terbuka di dalam batu baranya (yang disebut cleats) dapat pula mengandung
gas atau terisi/tersaturasi oleh air.
Tidak seperti gas alam di reservoar konvensional, Coal Bed Methane sangat sedikit mengandung
hidrokarbon berat seperti propana atau butana dan tidak memiliki kondensat gas alam. Ia juga
mengandung beberapa persen karbondioksida.
Permeabilitas adalah faktor yang penting bagi CBM. Batu bara itu sendiri adalah reservoar
berpermeabilitas rendah. Hampir seluruh permeabilitas yang ada pada batu bara itu dianggap
akibat dari rekahan yang pada batu bara dapat terjadi dalam bentuk cleat dan joint. Sementara,
permeabilitas dari matriks batu bara itu sendiri relatif dapat diabaikan. Cleat batu bara terdiri dari
dua jenis: butt cleat dan face cleat yang hadir dalam sudut hampir tegak lurus.
Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama
dengan tight sand gas, devonian shale gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan
low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas.
Beberapa karakteristik batubara yang cocok untuk BCM adalah sebagai berikut:
1) Kandungan gas yang tinggi: 15 m3 30 m3 per ton
2) Permeabilitas yang bagus: 30 mD 50 mD
3) Dangkal: Coal seams < 1.000 m (3.300 ft). Tekanan pada kedalaman yang lebih dalam, pada
umumnya terlalu tinggi untuk mengalirkan gas bahkan ketika coal seamsnya sudah selesai
dewatering. Hal ini terjadi karena tekanan tinggi menyebabkan berkurangnya permeabilitas
batubara. Untuk Jenis batubara: Umumnya proyek BCM memproduksi gas dari Bituminous
coals, akan tetapi bisa juga gas yang dihasilkan dari jenis batubara Anthractie.


Produksi cbm
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung
proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara.
Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal
matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya.
Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai
reservoir, juga berperan sebagai source rock.
CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air
pada target lapisan. Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari
permukaan tanah sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan
batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air
tanah di sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini akan menyebabkan gas
metana terlepas dari lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke
permukaan tanah melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga
akan keluar pada proses produksi ini.


Cadangan cbm di Indonesia
Cadangan Coal Bed Methane (CBM) Indonesia saat ini cukup besar, yakni 450 TCS dan tersebar
dalam 11 basin. Potensi terbesar terletak di kawasan Barito, Kalimantan Timur yakni sekitar
101,6 TCS, disusul oleh Kutai sekira 80,4 TCS.
Berdasarkan data Bank Dunia, konsentrasi potensi terbesar terletak di Kalimantan dan Sumatera.
Di Kalimantan Timur, antara lain tersebar di Kabupaten Berau dengan kandungan sekitar 8,4
TCS, Pasir/Asem (3 TCS), Tarakan (17,5 TCS), dan Kutai (80,4 TCS). Kabupaten Barito,
Kalimantan Tengah (101,6 TCS). Sementara itu di Sumatera Tengah (52,5 TCS), Sumatera
Selatan (183 TCS), dan Bengkulu 3,6 TCS, sisanya terletak di Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TCS)
dan Sulawesi (2 TCS).
Sebagai informasi, sumber daya terbesar sebesar 6,49 TCS ada di blok Sangatta-1 dengan
operator Pertamina hulu energi methane Kalimantan A dengan basin di Kutai. Disusul Indragiri
hulu dengan operator Samantaka mineral prima dengan basin Sumatera Selatan yang mempunyai
sumber daya 5,50 TCS, dan sumber daya paling rendah terlatak di blok Sekayu yang dioperatori
Medco SBM Sekayo dengan basin Sumatera Selatan, dengan sumber daya 1,70 TCS.




Kajian lingkungan hidup cbm
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 33 Tahun 2006 dan revisinya No. 36 Tahun 2008,
wilayah pengembangan CBM meliputi wilayah terbuka, wilayah PKP2B dan KP batubara serta
WK Migas. Konsekuensinya, wilayah-wilayah pertambangan maupun migas eksisting menjadi
terbuka dan resiko tumpang tindih wilayah kerja tidak dapat dihindari.
Kondisi ini mengandung beberapa resiko. Dampak yang nyata dari resiko permukaan (surface)
akibat tumpang tindih dengan PKP2B dan KP Batubara adalah rusaknya fasilitas produksi
minyak dan gas bumi, akibat eksploitasi batubara. Resiko bawah permukaan (subsurface) akibat
tumpang tindih WK Migas dengan WK CBM juga akan timbul karena ada kemungkinan
dihasilkan migas & CBM secara bersamaan, terutama pada reservoir yang relatif dangkal.
Di samping itu, terdapat resiko administrasi pertanahan dan infrastruktur penunjang. Untuk
pengembangan CBM, diperlukan relatif lebih banyak sumur dibandingkan minyak dan gas bumi
pada luas area yang sama. Oleh karena itu, pembebasan lahan, baik untuk lokasi sumur, akses
jalan, maupun pembangunan fasilitas produksi, pada area tumpang tindih memiliki resiko yang
cukup tinggi.

You might also like