You are on page 1of 28

1

REFERAT
CEDERA MEDULLA SPINALIS





Pembimbing :
dr. Ibnu Benhadi Sp.BS

Disusun oleh :
Norfarah Izzati binti Md Azman
030.08.294





KEPANITERAAN KLINIK BEDAH
RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 10 JUNI s/d 17 AGUSTUS 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
2

LEMBAR PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Norfarah Izzati binti Md Azman
NIM : 030.08.294
Bagian : Bedah
Judul referat : Trauma Medulla Spinalis
Pembimbing : dr. Ibnu Benhadi Sp.BS

Referat Trauma Medulla Spinalis telah di setujui oleh Dr. Ibnu Benhadi, Sp.BS pada tanggal
26 Juni 2013, dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih
Periode 10 Juni s/d 17 Agustus 2013.





Jakarta, 26 Juni 2013
Pembimbing,



Dr. Ibnu Benhadi Sp.BS
3

KATA PENGANTAR

Dengan rahmat Allah SWT, saya dapat menyelesaikan penyusunan referat saya yang
berjudul Trauma Medulla Spinalis. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik IlmuBedah di RSUD Budhi Asih Periode 10 Juni s/d 17 Agustus 2013.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing saya dr. Ibnu
Benhadi Sp.BS dan seluruh pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan referat ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Demikianlah kata pengantar dari saya, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-
besarnya jikalau masih banyak kekurangan dan kesalahan pada referat ini. Oleh karena itu saya
berharap para pembaca dapat memberikan saran dan kritik untuk perbaikan referat ini.


26 Juni 2013,

Penulis

4

DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan....................................................................................................................2
Kata Pengantar............................................................................................................................3
Daftar Isi.......................................................................................................................................4
BAB I Pendahuluan.....................................................................................................................5
BAB II Tinjauan Pustaka................................................................................................................
Anatomi.....6
Definisi..10
Etiologi..11
Klasifikasi.....11
Mekanisme13
Patofisiologi..13
Manifestasi klinis.18
Komplikasi...23
Pemeriksaan Penunjang.23
Penatalaksanaan..24
Prognosis .....26
BAB III Kesimpulan........27
BAB IV Daftar pustaka.28

5

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yangdisebabkan serin
gkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenaidaerah L1-2 dan/atau di bawahnya
maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motoric dan sensorik serta kehilangan fungsi
defekasi dan berkemih. Trauma medullaris diklasifikasikan sebagai
komplet: kehilangan sensasifungsi motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran
kehilangan sensasi danfungsi motorik volunteer.
Trauma medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 10.000 trauma baru yangterj
adi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebihdari 75% dari
seluruh trauma. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit UmumPusat Fatmawati didapatkan
dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampaiJuni 2003 angka kejadian angka kejadian
untuk fraktur adalah berjumlah 165 orangyang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk
trauma medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi
pada pria di bandingkan pada wanitakarena olahraga, pekerjaan,
dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena
faktor osteoporosis yang diasosiasikandengan perubahan hormonal (menopause).
(1)





6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI
Collumna vertebralis
Columna vertebralis atau rangkaian tulang belakang dikelompokkan menjadi :
7 vertebra cervical atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk.
12 vertebra thorakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang thoraks
atau dada.
5 vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah lumbal atau pinggang.
5 vertebra sacralis atau ruas tulang selangkang membentuk sacrum.
4 vertebra koksigeus atau ruas tulang tungging membentuk tulang koksigeus

7

Medulla spinalis
Medulla spinalis berbentuk silinder berongga dan agak pipih. Walaupun diameter
medulla spinalis bervariasi, diameter struktur ini biasanya sekitar ukuran jari kelingking.
Panjang rata-rata 42 cm. Dua pembesaran, pembesaran lumbal dan serviks menandai
sisi keluar saraf spinal besar yang mensuplai lengan dan tungkai. Tiga puluh satu
pasang (31) saraf spinal keluar dari area urutan korda melalui foramina intervertebral.


Saraf spinal diberi nama dan angka sesuai dengan regia kolumna vertebra tempat
munculnya saraf tersebut.
Saraf serviks ; 8 pasang, C1 C8.
Saraf toraks ; 12 pasang, T1 T12.
Saraf lumbal ; 5 pasang, L1 L5.
Saraf sacral ; 5 pasang, S1 S5.
Saraf koksigis, 1 pasang.

Terdiri dari sebuah inti substansi abu-abu yang diselubungi substansi putih. Kanal
sentral berukuran kecil dikelilingi oleh substansi abu-abu bentuknya seperti huruf H.
Batang atas dan bawah huruf H disebut tanduk atau kolumna dan mengandung badan
8

sel, dendrite asosiasi dan neuron eferen serta akson tidak termielinisasi. Tanduk dorsal 8
adalah batang vertical atas substansi abu-abu. Tanduk ventral adalah batang vertical
bawah. Tanduk lateral adalah protrusi di antara tanduk posterior dan anterior pada area
toraks dan lumbal sistem saraf perifer. Komisura abu-abu menghubungkan substansi
abu-abu di sisi kiri dan kanan medulla spinalis. Setiap saraf spinal memiliki satu radiks
dorsal dan satu radiks ventral.
31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks dorsal (posterior) dan ventral
(anterior). Pada bagian distal radiks dorsal ganglion, dua radiks bergabung membentuk
satu saraf spinal. Semua saraf tersebut adalah saraf gabungan (motorik dan sensorik),
membawa informasi ke korda melalui neuron aferen dan meninggalkan korda melalui
neuron eferen.
Pada medulla spinalis terdapat rute utama pada setiap ketiga collumna alba. Pada tractus
ascendens terdiri atas tiga tractus yaitu:
1. Tractus spinothalamicus anterior atau ventralis
Meneruskan impuls taktul dan tekanan dari medulla ke thalamus. Serabutnya
dimulai pada collumna posterior substansia grissea dari sisi berseberangan dan
melintas di atas commisura alba anterior sebelum naik paa collumna alba anterior.
2. Tractus spinothalamicus lateralis
Membawa impuls sakit dah temperatur ke thalamus. Serabutnya bergabung pada
medulla dengan serabut dari tractus spinothalamicus anterior untuk membentuk
lemnicus spinalis. Serabut keluar dari sel yang terletak pada cornu posterior
substansia grissea sisi seberangannya dan terutama berjalan naik pada collumna
lateralis.
3. Tractus spinothalamicus anterior posterior atau ventral dorsal
Meneruskan informasi ke cerebellum yang dapat membantu koordinasi otot
(aktivitas sinergik) dan tonus otot juga taktil dan tekanan. Serabut-serabut saraf
mulai keluar pada cornu posterior dari sisi yang sama dan berjalan menuju
collumna alba lateralis.
Tractus descendens terdiri atas:
1. Tractus corticospinalis atau cerebrospinalis anterior atau ventralis
9

Tersusun atas serabut-serabut yang berjalan turun melalui otak dari cortex cerebri.
Medulla terletak di dekat fissure antero-media dan berhubungan dengan control
voluntaris dari otot skeletal. Tractus menjadi lebih kecil ketika berjalan naik dan
hamper hilang pada region thoracis media karena pada ketinggian ini sebagian
besar serabut pembentuknya sudah menyeberang ke sisi berlawanan untuk
berakhir dengan cara membeentuk sinaps di sekitar cornu anterior dari neuron
motoris inferior. Beberapa serabut yang masuh tersisa akan berakhir pada
collumna anterior substansia grissea pada sisi corda yang sama.
2. Tractus lateralis atau tractus pyramidalis transverse
Mengandung sejumlah besar serabut untuk mengontrol gerak otot volunter.
Serabutnya keluar pada cortex motoris dan melintang di atas atau bergabung
dengan tractus sisi seberangnya pada medulla.
3. Tractus vestibulospinalis
Juga berjalan turun pada collumna anterior substansia alba. Tractus ini
mempunyai hubungan dengan fungsi keseimbangan dan postur. Serabut saraf
mulai keluar pada medulla di sisi yang sama dari gabungan sel-sel yang disebut
nucleus vestibularis.
4. Tractus rubrospinalis
Terletak tepat di depan tractus corticospinalis lateralis, serabutnya dimulai pada
mesencephalon dan berjalan turun untuk berakhir di sekitar sel-sel cornu anterior.
Berhubungan dengan control aksi otot dan merupakan bagian utama dari system
extrapyramidal.
Tractus motoris dan sensoris merupakan tractus yang paling penting di dalam otak dan
medulla spinalis dan mempunyai hubungan yang erat untuk gerakan motoris voluntais, sensasi
rasa sakit, temperatur dan taktil dari organ-organ indera pada kulit dan impuls propioseptif dari
otot dan sendi.
Tractus corticospinalis atau pyramidalis atau motoris berasal dari cortex motoriius precentralis,
serabutnya berjalan turun melalui capsula interna pada genu dan dua pertiga anterior limbus
posterior.
Tractus cortico ventralis mengendalikan neuron-neuron motorik yang melayani otot-otot
pada truncus termasuk mm.intercostalis dan abdominalis. Semua neuron yang menyalurkan
10

impuls-impuls motorik ke nuclei motorii di dalam batang otak dan medulla spinalis dapat disebut
sebagai upper motor neuron. Impuls-impuls motorik ini dapat disalurkan melalui jalur
descendens pyramidal (tractus corticobulbaris dan corticospinalis) dan extrapyramidal (tractus
reticulospinalis dan rubrospinalis) dapat disebut sebagai upper motor neuron sedangkan neuron-
neuron motorik di dalam nuclei motorii di dalam batang otak dan medulla spinalis dapat disebut
lower motor neuron.
(2)

DEFINISI
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan
saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra.
Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian
tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama
11

sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada
medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.
(3)

ETIOLOGI
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak
medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik
sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan
sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and
Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor
neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit
neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital
dan perkembangan.
(3)

KLASIFIKASI
Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:
Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)
Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan completeness
dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti cedera
pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti
yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal
12

ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus
dicatat.
Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya preservasi
dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis, termasuk pada segmen sakral yang
paling rendah.
Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu cedera medula spinalis memungkinkan
prognosa untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit, kemungkinan penyembuhanjauh
lebih kecil dibandingkan dengan lesi inkomplit. Menyusul terjadinya cedera medula
spinalis, terdapat beberapa pola cedera yang dikenal, antara lain:
Sindroma korda anterior
Terjadi akibat gaya fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan dislokasi ke anterior
atau akibat fraktur kompresi dari corpus vertebra dengan penonjolan tulang ke kanalis
vertebra.
Sindroma korda sentralis
Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal. Cedera hiperekstensi
menyebabkan kompresi medula spinalis antara osteofit ireguler dari corpus vertebra di
anterior dengan ligamentum flavum yang menebal di posterior.
Sindroma korda posterior
Sindroma ini umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur pada elemen
posterior dari vertebra.
Sindroma Brown-sequard
Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering dijumpai pada fraktur massa
lateral dari vertebra. Tanda dari sindroma ini sesuai dengan hemiseksi dari medulla
spinalis.
Sindroma konus medularis
Sindroma kauda ekuina
13


Gambar: Potongan melintang dari korda spinalis, menunjukkan sindroma cedera medula spinalis
parsial
(4)

MEKANISME
Medula spinalis danradiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :
a. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang
mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
b. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan , hal ini
biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun
dengan bertambahnya usia
c. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran
darah kapiler dan vena.
d. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau system arteri spinalis anterior dan posterior.

PATOFISIOLOGI
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari
proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan
penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak
14

ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya
berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal,
deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini,
yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang
segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang
berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang
kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana
kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal
bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan
reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula
spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder.
Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat,
oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan
menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya
lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel.
Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks
dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase,
protease, dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari
aktivitas mitokondria dan kerusakan membran sel.
Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam
proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone)
mungkin bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada
hipotesis bahwa zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor,
serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan merupakan mediator
dari kerusakan jaringan sekunder.
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan
15

apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera
primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yangsignifikan
pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis
berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya.
Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang
diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat.
Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan
jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan
degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari
pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi
medula spinalis.
Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan lesi tusukan yang luas (large stab).
16



Gambar. Gambaran skematik dari tiga lesi stereotipik dari sistem saraf pusat: lesi mikro (A), lesi kontusif (B)
dan lesi tusukan yang besar (C). Pada semua tipe, makrofag menginvasi lesi tersebut dan baik chondroitin
sulfate proteoglycans (CSPGs) dan keratan sulfate proteoglycans (KSPGs) diregulasi naik. A. Kesejajaran astrosit
tidak terganggu, tetapi akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi. B. Selaput otak tidak rusak, tetapi kavitasi
pada episentrum dari lesi tersebut dan deposisi proteoglikan terjadi. Akson tidak dapat beregenerasi di luar
lesi, tetapi akson yang masih baik dapat ditemukan distal dari lesi. C. Lesi tusukan yang menembus selaput
otak dan mengizinkan invasi fibroblast dan makrofag. Akson direpulsi secara tinggi oleh peningkatan gradien
dari CSPGs dan KSPGs. Beberapa molekul inhibitor lainnya juga dihasilkan pada jenis cedera ini dan secara
khusus prevalen pada inti lesi. ECM= extracellular matrix
(5)

17

Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit, astrosit tetap dalam kesejajaran
yang normal tetapi menghasilkan chondroitin sulfate proteoglycans (CSPGs) dan keratan
sulfate proteoglycans (KSPGs) sepanjang traktus yang cedera dan makrofag menginvasi lesi
tersebut. Akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi tersebut. Pada lesi kontusif, sawar darahotak
terganggu, tetapi selaput otak masih utuh.
Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit terganggu pada
lesi. Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada gradien yang meningkat dari penumbra
menuju pusat lesi. Tidak dijumpai invasi fibroblast pada inti lesi, dan karena itu, tidak
dijumpai inhibitor yang mengekspresikan fibroblast. Makrofag menginvasi lesi tersebut dan
intinya dan akson distrofik mendekati lesi tersebut sebelum pertumbuhan berhenti. Pada lesi
tusukan yang luas, sawar darah otak rusak, dan kavitasi terjadi pada pusat lesi.
Derajat keparahan cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi beberapa grade menurut
Frankel.
Frankel A; kehilangan fungsi motorik dan sensorik
Frankel B; ada fungsi sensorik, motorik tidak ada
Frankel C; fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi
Frankel D; fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna
Frankel E; fungsi sensorik dan motorik baik, hanya ada refleks abnormal
Skala kerusakan berdasarkan

American spinal injury association/International medical society of
Paraplegia (IMSOP)
1



Grade Tipe Gangguan medula spinalis ASIA/IMSOP
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu
sampai segmen sakral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot
motorik utama masih punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot
motorik utama punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
(6,3)

18

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah trauma terjadi
secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan lokasi trauma:
Biasa terjadi trauma spinal total atau complete cord injuiry, manifestasi yang mungkin
muncul antara lain total paralysis, hilangmya semua sensasi dan aktivitas refleks.



19

1. KOMOSIO MEDULA SPINALIS
Komosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis hilang
sementara akibat suatau trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi. Sembuh
sempurna akan terjadi dalam waktu beberpa menit hingga beberapa jam/ hari tanpa
meninggalkan gejala sisa.
Kerusakan reversible yang mendasari komosio medulla spinalis berupa edema,
perdarahan perivaskuler kecil- kecil dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada saat inspeksi
makroskopik medulla spinalis tetap utuh . Bila paralisis total dan hilngnya sensibilitas menetap
lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medulla
spinalis lebih mengarah ke perubahan anatomic daripada fisiologik


2. KONTUSIO MEDULA SPINALIS
Berbeda dengan komosio medulla spinalis yng diduga hanya merupakan gangguan
fisiologik saja tanpa kerusakan anatomic makroskopik, maka pada kontusio medulla spinalis
didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu perdarahan,
pembengkakan (edema), perubahan neuron,reaksi peradangan.
Perdarahan di dalam sustansia alba memperlihatkan adanya bercak bercak degenarasi
waller dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron yang di ikuti proliferasi microglia dan
astrosit.

3. LASERASIO MEDULA SPINALIS
Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusdakan yang berat akibat diskontinuitas
medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok / tusukan, fraktur
dislokasi vertebra.

4. PERDARAHAN
Akibat trauma , medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural Maupun
hematomieli. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat
anesthesia epidural dan sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang relative ringan
tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua keadaan
20

diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomieli adalah perdarahan di dalam substansia
grisea medulla spinalis . Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktu- dislokasi , trauma whiplash
atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri / duduk.
Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medulla spinalis dibawah lesi, yang sering
menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka
terdapat perbaikan- perbaikan funsi funikulus lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini
menimbulkan gamabran klinis yang khas hematomielia sebagai berikut : terdapat paralisis
flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan di bawah lesi terdapat paresis spastic, dengan utuhnya
sensibilitas nyerei dan suhu serta fungsi funikulus posterior.

5. KOMPRESI MEDULA SPINALIS
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan epi
dan sudural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medulla spinalis akibat
tumor, kista, dan abses di dalam kanalis vertebralis . Akan didapati nyeri radikuler dan paralisis
flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Akibat hiperekstensi , hiperfleksi,
dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (whiplash) radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami
jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian dan menimbulkan nyeri
radikular spontan.Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis yang sebenarnya
lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis traumatic yang reversible. Di bawah lesi kompresi
medulla spinalis akan didapati paralisis spastic dan gangguan sensorik serta otonom sesuai denga
deerajat bertanya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktu- dislokasi vertebra
L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medulla spinalis.Biasanya tidak dijumpai
gangguan, otorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang
terutama mengenai daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu dijumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urin serta pada pria
terdapat impotensi. Kompresi kaudal ekulna akan menimbulkan gejala, yang bergantung pada
serabut saraf spinlais mana yang terlibat. Akan dijumnpai paralisis flaksid dan atrofi otot.
Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat. Kompresi pada saraf spinalis S2, S3,
dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilamgnya control volunteer vesika urinaria,
inkontinensia alvi dan impotensi.
21


6. HEMISEKSI MEDULA SPINALIS
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk / bacok di medulla spinalis.
Gambaran klinisnya merupakan sindrom down sequard yaitu setinggi lesi terdapat kelimpuhan
neuron motorik perifer(LMN) ipsilateral pada otot otot yang disarafi oleh motoneuron yang
terkena hemilesi . Setinggi lesi dijumpai deficit sensorik ipsilateral yang terbatas pada kawasan
sensorik segmen yang terkena hemilesi. Dibawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsi lateral
kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan deficit sensorik proprioseptif sedangkan pada
sisi kontra lateral terdapat deficit sensorik protopatik.

7. SINDROM MEDULA SPINALIS BAGIAN ANTERIOR
Sindrom ini mempunyai ciri khas berikut: paralisis dan hilangnya sensibilitas protopatik
dibawah tingkat lesi, tetapi sensibilitas protopatik tetap utuh.

8. SINDROM MEDULA SPINALIS BAGIAN POSTERIOR
Ciri khas sindrom ini adalah adanya deficit motorik yang lebih berat pada lengan
daripada tungkai dan disertai defisit sensorik.
Defisit motorik yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat
rusaknya sel motorik di kornu anterior medulla sinalis segmen servikal atau akibat terlibatnya
serabut traktus kortikospianlis yang terletak lebih medial di kolumna lateralis medulla spinalis.
Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilosis servikal.

9. TRANSEKSI MEDULA SPINALIS
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi teransversal maka akan
dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak yaitu:
a. Semua gerak voluntary pada bagian tubuh yang terletakdibawah lesi akan hilang
fungsinya secra mendadak dan menetap
b. Semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
c. Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan menghilang. Efek
terakhir ini disebut renjatan spinal(spinal shock), yang melibatkan baik reflex tendon
22

maupun reflex otonom. Kadang kala pada fase renjatan ini masih dapat dijumpai reflex
bulbokavernosus dan atau beberapa minggu samapi beberapa bulan(3-6 minggu)
Pada anak- anak fase syok spinal berlansung lebih singkat daripada orang dewasayaitu
kurang dari 1 minggu.Bila terdapat dekubitus , infeksi traktus urionarius atau keadaan metabolic
yang terganggu , mal nutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebih lama.
Mc Cough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.
a. Hilangya fasilitas traktus desendens
b. Inhibisi dari bawah yang menetap , yang bekerja pada reflex ekstensor dan
c. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini mat dramatis , ridoch menggunkanya sebagai dasar pembagian
gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksi dan aktivitas reflex yang
meningkat.

10. SYOK SPINAL ATAU AREFLEKSIA
Sesaat setelah trauma , fungsi lesi di bawah tingkat lesi hilang, otot flaksid ,reflex hilang,
paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi
dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi sert6a fungsi seksual. Kulit menjadi
kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Sfingter
vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan karena hilangnya inhibisi dari
pusat system saraf pusat yang lebih tinggi) tetapi otot destrusor dan otot polos dalam keadaan
atonik. Urin akan terkumpul , setelah intravaskuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin
akan mengalir keluar(overflow incontinence) demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar ,
retensio alvi dan ileus paralitik. Refleks genitalia (ereksi penis, reflex bulbokavernosus, kontraksi
otot dartos) menghilang.

11. AKTIVITAS REFLEKS YANG MENINGKAT
Setelah beberapa minggu respons reflex terhadap rangsang mulai timbul, mula- mula
lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul reflex fleksi yang khas yaitu tanda
babinski dan kemudian fleksi tripel( gerak menghindar dari rangsang dengan mengadakan fleksi
pada sendi pergelangan kaki, sendi lutut dan sendi pangkal paha) muncul.Beberapa bulan
kemudian reflex menghindar tadi akan bertambah meningkat , sehingga rangsang pada kulit
23

tungkai akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo ereksi dan
pengosongan kandung kemih secra otomatis( kadang kala juga pengosongan rectum). Hal ini
disebut reflex massa.


KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu
instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca trauma,
nyeri dan gangguan fungsi seksual.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Radiologik
Foto polos posisi antero- posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami
trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada ruang
gawat darurat, foto lateral daerah vertebra yang diperkirakan mendapat trauma harus dikerjakan
segera, meskipun penderita telah membawa foto dari rumah sakit sebelumnya( khususnya pada
trauma daerah servikal). Tujuan tindakan ini adalah untuk memastikan bahwa tidak terjadi
perubahan jajaran vertebra(alignment) sewaktu diangkat/ dipindahkan. Pada trauma daerah
servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya
kemungkinan fraktur vertebra C1- C2.
b) Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medulla spinalis . Sedikit peningkatan tekanan liquor
serebrospinal dannadanya blockade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya
derajat edema medulla spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan
dengan hati- hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yuang telah
terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma
pada daerah vertebra servikalis tersebut.
c) Mielografi
Mielografi tampaknya tidak mempunyai indikasi pada fase akut trauma medulla spinalis.
Tetapi mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada derah lumbal,
sebab sering terjadi herniasi diskus intevertebralis.
24

PENATALAKSANAAN
Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera bersamaan
pada kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas hanya sekitar 40% cedera medula
spinalis yang terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti pasien trauma pada
umumnya yang meliputi survei primer, resusitasi dan survei sekunder.
Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting. Yang
pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti pemberian
metilprednisolon dalam 8 jam setelah kejadian sesuai dengan panduan yang dianjurkan dalam
studi NASCIS-III.
Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat badan
diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam atau 48 jam
secara infusan.
Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya diminimalisir
dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua pasien sebaiknya
menerima oksigen tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi oksigen mendekati 100%.
Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus diimobilisasi untuk
mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.
Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi. Optimisme
yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai patogenesa dari cedera medula
spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi pengobatan farmakologis untuk
mencegah cedera sekunder telah menemui kekecewaan dalam praktek klinis. Kemungkinan
aplikasi sel punca pada penanganan cedera medula spinalis terus dipelajari baik dengan
menggunakan sel punca eksogen, seperti sel stroma mesenkim dan olfactory ensheating glial
cells, maupun dengan memanipulasi sel punca endogen.
Pembedahan merupakan dan akan tetap menjadi pilihan utama dalam paradigma
penanganan cedera medula spinalis, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan operasi
dekompresi masih menuai banyak kontroversi.
Untuk kondisi medis di mana kesembuhan belum tersedia, seperti cedera medula spinalis,
deteksi dari faktor resiko, implementasi program preventif, dan identifikasi dari subjek yang
potensial terkait merupakan relevansi yang penting. Studi epidemiologis dengan follow up
jangka panjang memberikan kontribusi ke dalam hal ini dengan memberikan gambaran perkiraan
25

dari insidensi dan prevalensi, mengidentifikasi faktor resiko, memberikan gambaran
kecenderungan, dan memprediksi keperluan di masa yang akan datang.


REHABILITASI
Rehabilitasi cedera spinal merupakan suatu kegiatan rehabilitasi dari hanya berbaring di
tempat tidur menuju kehidupan berkomunitas (rehabilitation from bedside to community).
Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis, dalam waktu yang terbatas bertujuan untuk
meningkatkan kualitas individu yang mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental,
fisik, kognitif, dan sosial.
(7)

Rehabilitasi untuk fraktur servikal memerlukan waktu yang lama, beberapa bulan sampai
tahunan, tergantung kepada beratnya cedera. Terapi fisik dapat dilakukan seperti latihan untuk
menguatkan kembali daerah leher dan memberikan tindakan pencegahan untuk melindungi
cedera ulang. Selain itu dianjurkan untuk mengubah gaya hidup yang dapat menyebabkan fraktur
servikal.
(8)

Pada cedera medulla spinalis, rehabilitasi ditujukan untuk mengurangi spastisitas,
kelemahan otot dan kegagalan koordinasi motorik. Terapi fisik dan strategi rehabilitasi yang lain
juga penting untuk mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot dan untuk reorganisasi fungsi
saraf. Penting juga memaksimalkan penggunaan serat saraf yang tidak rusak.
OPERASI
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu.
Indikasi untuk dilakukan operasi :
1. reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal,
bilamana traksi dan manipulasi gagal.
2. adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap
menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang
adekuat.
3. trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen
tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi diskus
intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan
tomografi untuk membuktikannya.
26

4. fragmen yang menekan lengkung saraf.
5. adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
6. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya
dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai
hematoma.
(3)


PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada:
Lokasi lesi (lesi servikal atas prognosis lebih buruk).
Luas lesi (komplit / inkomplit).
Tindakan dini (prehospital dan hospital).
Trauma multipel.
Faktor penyulit (komorbiditas).













27

BAB III
KESIMPULAN
Cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis
akibat trauma. Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medulla spinalis adalah karena
kecelakaan lalu lintas, dll. Trauma medulla spinalis diklasifikasikan menjadi trauma medulla
spinalis komplit dan inkomplit.
Sedangkan gejala yang paling seringtrauma medulla spinalis adalah nyeri akut pada
belakang leher, paraplegia, paralisis sensorik motoric total, kehilangan kontrol kandung kemih
(retensi urin, distensi kandung kemih), penurunan keringat dan tonus vasomotor, penurunan
fungsi pernafasan, gagal nafas.
Terapi cedera medulla spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Terapi operatif kurang dianjurkan kecuali jika
pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi.
Cedera medulla spinalis tidak komplit cenderung memiliki prognosis yang lebih baik
daripada trauma medulla spinalis komplit.





28

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Scribd. Medulla Spinalis. Available at:
http://www.scribd.com/doc/86888365/Trauma-Medulla-Spinalis. Accessed on
2. Anonym. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM SARAF. Available at:
http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2012/11/ANATOMI-FISIOLOGI-SISTEM-
SARAF.pdf. Accessed on
3. Universitas Sumatera Utara. Medulla spinalis. Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34275/3/Chapter%20II.pdf.
Accessed on
4. http://sketchymedicine.com/2011/10/spinal-cord-syndromes/. Accessed on
5. http://www.nature.com/nrn/journal/v5/n2/fig_tab/nrn1326_F1.html. Accessed on
6. Physical Medicine Rehabiliation. SPINAL CORD INJURY MEDICINE.
http://www.med.nyu.edu/pmr/residency/resources/01-
epidemiology%20and%20classification.pdf. Accessed on
7. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. PERDOSI.
Jakarta. 2006 : 19-22
8. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives.
Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice
Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine.
2006. Vol. 31 Number 4 (403-479)

You might also like