1. Turki memutuskan kerjasama militer dengan Israel pada tahun 2011 setelah serangan Israel terhadap kapal aktivis Turki Mavi Marmara yang membawa bantuan ke Gaza.
2. Keputusan ini didasari tekanan publik Turki dan perubahan orientasi kebijakan luar negeri Turki di bawah pemerintahan Erdogan.
3. Investigasi PBB tidak dapat menyelesaikan perselisihan ini dengan baik, sehingga Turki secara sepihak memutuskan ker
1. Turki memutuskan kerjasama militer dengan Israel pada tahun 2011 setelah serangan Israel terhadap kapal aktivis Turki Mavi Marmara yang membawa bantuan ke Gaza.
2. Keputusan ini didasari tekanan publik Turki dan perubahan orientasi kebijakan luar negeri Turki di bawah pemerintahan Erdogan.
3. Investigasi PBB tidak dapat menyelesaikan perselisihan ini dengan baik, sehingga Turki secara sepihak memutuskan ker
1. Turki memutuskan kerjasama militer dengan Israel pada tahun 2011 setelah serangan Israel terhadap kapal aktivis Turki Mavi Marmara yang membawa bantuan ke Gaza.
2. Keputusan ini didasari tekanan publik Turki dan perubahan orientasi kebijakan luar negeri Turki di bawah pemerintahan Erdogan.
3. Investigasi PBB tidak dapat menyelesaikan perselisihan ini dengan baik, sehingga Turki secara sepihak memutuskan ker
Makalah Kelompok KEBIJAKAN TURKI MEMUTUSKAN KERJASAMA MILITER DENGAN ISRAEL PADA TAHUN 2011
Disusun Oleh: Dian May Fitri Muhammad Rizky Amrullah Rifqa Deni Amanah Richfister Santo K.
Jurusan Diplomasi Pertahanan Fakultas Strategi Pertahanan T.A. 2014 2
DAFTAR ISI 1. Pendahuluan 1.1. Identifikasi Masalah 1.2. Peran aktor 1.3. Batasan arena dan cakupan 1.4. Tujuan yang ingin dicapai aktor 1.5. Jumlah dan prioritas aktor yang terlibat 1.6. Struktur interaksi 1.7. Kondisi interaksi 1.8. Teori Determinan Internasional dan Determinan Dalam Negeri menurut Howard Lentner 2. Pembahasan 2.1. Sejarah hubungan antara Turki dan Israel sejak tahun 1948-1990. 2.2. Kerjasama militer antara Turki dan Israel (1996-2009). 2.3. Kerjasama Industri Militer antara Turki dan Israel (1996-2009). 2.4. Pemutusan Kerjasama Militer antara Turki dan Israel (2011). 2.5. Faktor-faktor mengapa Turki memutuskan kerjasama militer dengan Israel. 2.5.1.1. Faktor Determinan Dalam Negeri 2.5.1.1.1.1. Perubahan Orientasi Kebijakan Luar Negeri Turki di bawah Kepemimpinan PM Erdogan dan AKP. 2.5.1.1.1.2. Tekanan Publik Turki atas Peristiwa Penyerangan Mavi Marmara 2.5.1.2. Faktor Determinan Luar Negeri 2.5.1.2.1.1. Serangan Israel Terhadap Gaza Palestina 2.5.1.2.1.2. Serangan Israel Terhadap Kapal Mavi Marmara 3. Kesimpulan 4. Daftar Pustaka
3
1. Pendahuluan 1.1 Identifikasi Masalah Turki merupakan negara mayoritas muslim pertama yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 1949 (Ulatas, 2010). Walaupun ketika itu hubungan kedua negara masih dalam skala minimum. Namun pada periode 1990, hubungan kedua negara semakin erat khususnya dalam bidang militer. Turki membutuhkan tekhnologi militer Israel yang didukung oleh Amerika Serikat, sedangkan Israel membutuhkan sekutu di kawasan Timur Tengah. Pada tahun 1996, kedua negara menyepakati sebuah perjanjian yaitu Military Training Cooperation Agreement (MTCA). Sebuah program kerja sama dalam bidang militer (Handayani, 2012). Kerjasama ini mencakup protocol mengenai pertukaran perwira, kunjungan delegasi militer, pertukaran informasi, pelatihan militer tiga matra, serta pemberantasan teorisme dan penjagaan perbatasan (Eisenstadt, 1997). Implementasi dari MTCA yaitu: pertama, latihan militer yang disebut Reliant Mermaid. Latihan ini bertujuan untuk melatih pasukan dalam misi penyelamatan darurat dengan prosedur Search and Rescue. Pertama kali diadakan pada tahun 1998 dan sejak tahun 2000 dijadikan sebagai agenda tahunan. Terakhir kali latihan ini diadakan pada tahun 2009 (Cirik, 2003). Paska perjanjian tersebut, kedua negara kembali membentuk perjanjian dalam bidang industry militer yang dikenal dengan Defense Industry Cooperation Agreement (DICA). Dalam perjanjian ini, kedua negara sepakat untuk saling menukar tekhnologi militer dan persenjataan. Pada tahun 1996, Israel mendapatkan proyek untuk mempebaharui pesawat F-4 Phantom Turki dengan nilai 650 juta dollar AS; pengadaan Unnamed Combat Air Vehicles (UCAV) untuk Turki senilai 76 Juta dollar AS; pembaharuan pesawat F-5 Turki dengan nilai kontrak 75 juta dollar AS; pembaharuan Tank M60 Turki dengan nilai kotrak 600 juta dollar AS (Kogan, 2006). Dua kerjasama ini saling menguntungkan dari sisi Turki dan dari sisi Israel. Turki mendapatkan kemudahan akses terhadap tekhnologi Israel dalam bidang industri pertahanan, sedangkan Israel mendapatkan akses wilayah Turki untuk melakukan latihan perang. Bahkan, 4
Israel mendapatkan akses ke pangkalan udara militer Turki yang salah satunya adalah Konya Air Base. Konya Air Base merupakan pangkalan udara terbesar di wilayah Eropa dengan luas 38.183 km dan panjang landasan pacu utama 10.900 kaki (Konya Air Base, Turkey, 2013). Hubungan antara Turki dan Israel mulai retak Pada tahun 2008 ketika Israel melancarkan serangan langsung terhadap wilayah Gaza, Turki menyatakan berbeda pandangan terhadap kebijakan tersebut. Bahkan Perdana Menteri Turki, Erdogan mengeluarkan pernyataan simpati terhadap rakyat Palestina setelah terjadi demonstrasi oleh publik secara besar-besaran di wilayah Turki untuk bersimpati terhadap serangan Israel ke Gaza. Pada 31 Mei 2010, ketika sebuah kapal berbendera Turki yang membawa bantuan logistic untuk rakyat Gaza di Palestina mengalami penghadangan oleh Pasukan Angkatan Laut Israel di wilayah laut Gaza. Bahkan, penghadangan yang lebih tepat disebut sebagai penyerangan militer terhadap sipil menyebabkan sembilan orang meninggal termasuk sembilan warga Turki (Jones, 2010). Kejadian ini menggemparkan dunia karena Turki salah satu partner pertahanan militer bagi Israel. Kapal Mavi Marmara berlayar dari Siprus bersama dengan lima kapal lain yang membawa serombongan relawan Free Gaza Movement dan Turkish Foundation for Human Rights yang bertujuan untuk memberikan bantuan logistik bagi rakyat Gaza. Mereka bersimpati terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh rakyat Gaza karena blockade ekonomi yang dilakukan oleh Israel untuk merespon kemenangan Hamas di wilayah Gaza. Karena, bagi Israel, Hamas merupakan musuh utama dan dikategorikan sebagai teroris yang mengancam Israel. Hubungan harmonis kedua negara yang telah dibangun sejak lama seketika mulai retak ketika Turki membatalkan keikutsertaan Israel dalam latihan perang Anatolian Eagle pada tahun 2009 di Konya. Kemudian pada tahun 2011, dengan resmi Turki membatalkan semua perjanjian kerjasama militer dengan Israel melalui konferensi yang diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Dovutoglu. 1.2 Peran Aktor Dalam penelitian ini, terdapat enam aktor yang terlibat yaitu, Turki, Israel, Tim Investigasi PBB, Publik Turki, Relawan Gaza dan Rakyat Gaza. 5
Turki dalam masalah ini berperan sebagai aktor yang merespon kebijakan Israel. Turki Merasa kebijakan Israel telah mengancam keamanan warga Turki. Turki melakukan kebijakan untuk memutuskan kerjasama pertahanan dengan Israel. Israel dalam masalah ini berperan sebagai aktor yang merespon kedatangan Kapal Mavi Marmara. Israel menganggap Kapal Tersebut telah masuk secara illegal ke wilayah lau Israel. Maka, dengan sigap Israel melakukan penghadangan. Tim Investigasi PBB berperan sebagai pihak penengah dalam sengketa antara Turki dan Israel. Publik Turki berperan sebagai aktor yang memberikan tekanan kepada pemerintah Turki untuk bertindak tegas atas perilaku Israel. Publik Turki menekan pemerintah untuk memutuskan kerjasama pertahanan dengan Israel dan mendesak Israel membuka blockade Gaza. Relawan Gaza berperan sebagai Non Governmental Organization (NGO) yang ingin memberikan bantuan terhadap rakyat Gaza Palestina. Rakyat Gaza dalam masalah ini berperan sebagai aktor yang tertindas oleh Israel dan membutuhkan bantuan dari relawan Gaza. 1.3 Batasan dan scope Masalah sengketa ini dapat dikategorikan sebagai masalah regional karena aktor yang terlibat langsung berada di wilayah Timur Tengah. Israel dan Turki dibatasi oleh laut mediterania dan Syiria. Sedangkan cakupannya, dapat dikateorikan sebagai sistem internasional yang anarki, ketika tidak ada otoritas lain diatas negara. Oleh karena itu, dibutuhkan pihak ketiga sebagai penengah. 1.4 Tujuan yang ingin dicapai aktor Turki dalam masalah ini memiliki tujuan untuk melindungi warganya yang telah menjadi korban pada penyerangan Kapal Mavi Marmara oleh Angkatan Laut Israel. Israel dalam masalah ini bertujuan untuk melindungi wilayah lautnya yang mereka anggap telah terancam oleh kehadiran Kapal Mavi Marmara. 6
Tim Investigasi PBB bertujuan untuk mencari fakta atas apa yang sebenarnya terjadi dan menyelesaikan masalah ini dengan mengajak Turki dan Israel duduk bersama dalam perundingan. Publik Turki ingin Israel untuk membuka blockade Gaza dan menuntut pemerintah Turki bertindak tegas dalam menghadapi Israel dengan memutuskan kerjasama pertahanan. Relawan Gaza menginginkan hal yang sama dengan Publik Turki untuk membuka blockade Gaza dan memberikan bantuan logistic terhadap rakyat Gaza. Rakyat Gaza bertujuan ingin bebas dari blockade Israel dan mendapatkan bantuan dari dunia internasional. 1.5 Jumlah dan prioritas aktor yang terlibat Dalam permasalahan ini dapat dilihat bahwa terdapat enam aktor yaitu Turki, Israel, Tim Investigasi, Publik Turki, Relawan Gaza, dan Rakyat Gaza. Akan tetapi, prioritas aktor yang terlibat langsung dalam permasalah ini adalah Turki, Israel dan Tim Investigasi. Ketiga aktor tersebut merupakan aktor negara dan non negara yang menyelesaikan masalah melalui perundingan. Walaupun hasilnya tidak memuaskan bagi Turki sehingga Turki dengan berani memutuskan hubungan kerjasam pertahanan dengan Israel. 1.6 Struktur Interaksi Dunia saat ini sedang mengalami struktur interaksi yang bersifat multipolar dengan kata lain terdapat keseimbangan antarnegara dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, militer dan sosial. Hal ini menyebabkan mudahnya antarnegara untuk bekerjsama ataupun berkonflik secara langsung. Dalam konteks masalah ini, Israel didukung oleh Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang selalu siap membela setiap kebijakan Israel, sedangkan Turki lebih netral dalam berinteraksi dengan negara lain.
7
1.7 Kondisi Interaksi Kondisi interaksi dalam permasalah ini akan digambarkan dalam sebuah ilustrasi bagan sebagai berikut:
Konflik Integrasi Kerjasama 1.8 Teori Determinan Internasional dan Determinan Dalam Negeri menurut Howard Lentner Menurut Howard Lentner, dalam menyusun kebijakan luar negeri perlu mempertimbangkan faktor-faktor determinan dalam negeri dan determinan luar negeri. Faktor determinan dalam negeri terdiri atas (Howard Lentner dalam Agung dan Yani, 2006:55): ISRAEL PUBLIK TURKI GAZA RELAWAN INVESTIGATOR TURKI 8
a. Highly stable determinants, yaitu faktor-faktor yang sudah ada sejak lama dan sulit untuk berubah seperti luas wilayah, jumlah penduduk, iklim, dan sumber daya alam. b. Moderately stable determinants, yaitu faktor-faktor yang dapat berubah dengan seiringnya waktu seperti, budaya politik, gaya politik, kepemimpinan politik dan proses politik. c. Unstable determinants, yaitu faktor-faktor yang sewaktu-waktu dapat berubah secara cepat seperti sikap, persepsi dan faktor ketidaksengajaan. Faktor determinan luar negeri terdiri atas sistem dan situasi internasional. Sistem internasional terkait dengan keadaan pola interaksi antar negara yang terbentuk oleh struktur internasional. Sedangkan situasi internasional terkait pada bagaimana interaksi yang tidak atau mencakup keseluruhan sistem internasional. Contohnya, pola interaksi negara-negara yang terlibat dalam konflik laut china selatan. Dalam makalah ini, akan dijabarkan mengenai faktor determinan dalam negeri dan luar negeri Turki yang menyebabkan adanya keputusan untuk memutuskan kerjasama militer antara Turki dan Israel. Faktor-faktor tersebut muncul sejak tahun 2008, ketika Israel melancarakan serangan langsung ke wilyah Gaza Palestina hingga tahun 2010, ketika Israel menyerang kapal Mavi Marmara yang berbendera Turki dan menyebabkan sembilan warga Turki tewas. 2. Pembahasan 2.1 Sejarah hubungan antara Turki dan Israel sejak tahun 1948-1990. Hubungan Turki dan Israel terbentuk secara resmi ketika pada tahun 1949, Turki menjadi negara muslim pertama yang melakukan hubungan diplomatic dengan negara Israel. Pada dasarnya hubungan kedua negara mengalami pasang surut, dimulai sejak tahun 1956 ketika terjadi krisis di terusan Zeus. Sehingga, Turki menurunkan status hubungan diplomatic dengan Israel. Hubungan kedua negara kemudian mengalami peningkatan pada akhir tahun 1958, ketika Perdana Menteri Turki Adnan Menderes melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Israel David Ben Gurion. Dalam pertemuan tersebut sudah mulai membahas 9
mengenai kerjasama aliansi pertahanan kedua negara yang berisi mengenai pertukaran informasi intelejen dan kerjasama tekhnologi militer. (Ulatas, 2010) Kemudian hubungan kedua negara mengalami masa penurunan ketika pada tahun 1967 terjadi perang enam hari. Tahun 1973 diwarnai oleh Perang Yom Kippur, Turki melakukan kebijakan pelarangan kawasan terbang bagi pesawat Amerika Serikat yang membawa logistic militer yang akan diberikan kepada Israel (Ulatas, 2010). Lalu, pada tahun 1980, Turki menurunkan level hubungan diplomasi ke level junior ketika Knesset Israel menyetujui Undang-Undang Israel yang menyatakan Jerussalem Timur sebagai Ibukota Israel. Turki dan Israel pada dasarnya melakukan hubungan untuk memenuhi kepentingan mereka. Israel merasa dengan menjalin hubungan dengan negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, maka mereka merasa memiliki teman di kawasan yang di kelilingi negara Islam. Sedangkan di pihak Turki, dengan adanya kedekatan dengan Israel, Turki merasa hal itu membantu Israel dalam mendapatkan dukungan Amerika Serikat di PBB. Karena perlu diketahui, Turki memiliki beberapa masalah perbatasan dengan negara lain seperti masalah Siprus dan masalah Armenia. Selain itu juga, Turki merasa dengan adanya kedekatan dengan Israel, dapat membantu Turki dalam usaha menjadi anggota tetap Uni Eropa. 2.2 Kerjasama militer antara Turki dan Israel (1996-2009). Pada 23 Februari 1996, terjadi pertemuan antara Wakil Kepala Staff Umum Jenderal Turki, Cevik Bir dengan Dirjen Kementerian Pertahanan Israel, David Ivry. Dalam pertemuan tersebut disepakati sebuah kerjasama militer yang disebut Military Training Cooperation Agreement (MTCA). Kerjasama tersebut terdiri atas, pertukaran perwira, kunjungan delegasi militer, pertukaran informasi intelejen, pelatihan militer angkatan udara dan laut, kerjasama pemberantasan terorisme dan keamanan wilayah perbatasan (Eisenstadt, 1997). Dalam kesepakatan tersebut, dibentuk sebuah latihan militer bersama antara Israel dan Turki serta beberapa negara lain. Latihan pertama yaitu, Reliant Mermaid, sebuah latihan untuk angkatan laut dan Anatolian Eagle, yaitu latihan untuk angkatan udara. 2.2.1 Latihan Reliant Mermaid Reliant Mermaid merupakan latihan bagi angkatan laut Turki dan Israel yang diadakan di Laut Mediterania. Latihan ini pertama kali dilakukan pada 7 Januari 1998. Tujuan dari latihan ini 10
untuk meningkatkan keahlian pasukan militer dalam bidang penyelamatan dan bencana. Selain Israel dan Turki, terdapat beberapa negara yang diundang untuk mengikuti latihan ini seperti Amerika Serikat, Yordania, Mesir, Uni Emirat Arab, Tunisia, Maroko, Oman, Jerman, Perancis, dan Yunani. Sejak tahun 1998, Latihan Relaint Mermaid telah dilakukan sebanyak sepuluh kali (Eisenstadt, 1997)yaitu: 1. Reliant Mermaid I, dilakukan pada 7 Januari 1998. Latihan ini melibatkan sekitar 1000 orang pasukan militer dan pelaut dengan menggunakan lima kapal, tiga helikopter, dan dua pesawat. Skenario dalam latihan ini adalah simulasi tiga perahu layar sipil tenggelam dan panggilan darurat dari kapal pesiar di laut Meditarenia. Selain itu, dalam latihan ini juga mengundang komandan angkatan laut Yordania, Laksamana Hussein Khassawneh sebagai pengamat latihan 2. Reliant Mermaid II, dilakukan pada 15-16 Desember 1999 di laut Meditarenia, lepas pantai Turki. Latihan ini menggunakan dua kapal Turki, dua 28 kapal Israel, dan satu kapal AS. Skenario latihan adalah pencarian dan penyelamatan sipil tenggelam. Latihan ini juga diikuti oleh komandan Angkatan Laut Yordania sebagai pengamat, sedangkan perwakilan dari Mesir dan Yunani menolak untuk datang sebagai pengamat. 3. Reliant Mermaid III, dilakukan pada 17 Januari 2001 di laut Meditarenia Timur. Latihan ini tertunda sebulan akibat adanya konflik antara Israel dan Palestina, yang dipicu oleh kunjungan pemimpin oposisi Israel, Ariel Sharon ke Masjidil Aqsa pada Maret 2000 (Iqbal 2010:164). Latihan ketiga ini menggunakan kapal patroli dan helikopter Israel, kapal perang Turki, dan pesawat PP-3 Orion milik AS. Skenario latihan adalah melakukan penyelamatan korban di laut, dimana Helikopter Israel mendarat di atas kapal perang Turki untuk mengevakuasi korban simulasi. 4. Reliant Mermaid IV, dilakukan pada 3-7 Desember 2001 (Near East Policy 2006). Skenario dalam latihan yang berlangsung selama lima hari ini melibatkan dua tahap. Tahap pertama berlangsung selama empat hari, difokuskan untuk latihan pencarian dan penyelamatan bersama (SAR) di laut Meditarenia. Sedangkan tahap kedua berlangsung pada hari terakhir, difokuskan untuk misi bantuan kemanusian di pelabuhan Turki. 11
5. Reliant Mermaid V, dilakukan pada 20 Januari 2003. Skenario dalam latihan kelima ini adalah menemukan dan membantu kapal sipil dalam situasi darurat. Namun, pada latihan ini ditekankan terhadap pembajakan atau ancaman teroris yang terjadi di kapal. Latihan ini menggunakan kapal angkatan laut, pesawat C-130, dan helikopter Blackhawk. 6. Reliant Mermaid VI, dilakukan pada 11-15 Agustus 2003 di laut Meditarenia, Turki. Latihan ini menggunakan empat kapal, lima helikopter, dan dua pesawat. Skenario latihan keenam ini, difokuskan untuk penyelamatan di pelabuhan. Selain itu, dalam latihan ini pasukan juga melakukan manuvermanuver di perairan internasional. 7. Reliant Mermaid VII, dilakukan pada 12-15 Januari 2005 di laut Meditarenia. Latihan tahunan ketujuh ini difokuskan untuk penyelamatan tsunami. Dalam latihan ini mencakup beberapa simulasi SAR mengenai respon medis dan kerjasama semua orang yang terlibat dalam melakukan penyelamatan tsunami. 8. Reliant Mermaid VIII, dilakukan pada 20-24 Agustus 2007, di laut Meditarenia Timur, di selatan pantai Turki. Latihan ini menggunakan sepuluh kapal angkatan laut, empat pesawat dan empat helikopter. Skenario dalam latihan kedepalan ini adalah menyelamatkan kapal sipil yang tenggelam di laut. 9. Reliant Mermaid IX, dilakukan pada 21-26 Agustus 2008. Dalam latihan tahunan yang kesembilan ini, yang menjadi tuan rumah adalah Israel. Peserta latihan mengadakan simulasi dan manuver-manuver di perairan internasional lepas pantai Israel. 10. Reliant Mermaid X, dilakukan pada 17-21 Agustus 2009. Pasukan yang bergabung dalam latihan kesepuluh ini menurun dari biasanya, hal ini disebabkan memburuknya hubungan Turki dan Israel. Namun latihan tetap dilakukan, dimana Turki menjadi tuan rumah. Latihan ini melibatkan delapan kapal, empat helikopter, dan tiga pesawat. 2.2.2 Latihan Anatolian Eagle Anatolian Eagle merupakan latihan angkatan udara yang dilakukan di Konya Air Base. Konya Air Base merupakan pangkalan udara militer terbesar di kawasan Eropa. Latihan militer ini memfokuskan pada latihan di udara, melancarkan serangan udara, perang terbuka di udara, menyerang sistem pertahanan udara, serta mengisi bahan bakar di udara (Taghian, 2011). 12
Latihan Militer Anatolian Eagle Training Date Participants AE-1 18-29 Juni 2001 Turki, Israel, AS AE-03/3 03-14 Nov 2003 Turki, Israel, AS, Jerman AE-04/2 07-18 Juni 2004 Turki, Israel, AS, Jordania AE-04/3 27 sept-08 Oct 2004 Turki, Israel, AS, Jerman, Belanda, Italia, Pakistan AE-05/4 14-25 Nov 2005 Turki, Israel, AS, Belgia E-08/3 08-19 Sept 2008 Turki, Israel, AS, Italia Sumber: http://www.anadolukartali.tsk.tr Latihan ini menguntungkan Turki dan Israel. Turki mendapatkan transfer tekhnologi dan skill dari Israel mengenai cara menggunakan tekhnologi canggih sedangkan Israel mendapatkan keuntungan akses latihan udara di Konya Air Base yang merupakan lapangan udara terbesar di kawasan Eropa sekaligus bisa tergabung dalam sebuah latihan militer udara bergengsi di dunia. Karena latihan ini juga seringkali diikuti oleh negara-negara NATO. 2.3 Kerjasama Industri Militer antara Turki dan Israel (1996-2009). Sejak keberhasilan kerjasama latihan militer bersama, Turki dan Israel melanjutkan kerjasama ke jenjang yang lebih tinggi yaitu dengan membentuk sebuah kerjasama industri militer. Walaupun pada dasarnya, kerjsama ini lebih terlihat seperti kerjasama perdagangan senjata antara Israel dan Turki. Pada tahun 1994, Presiden Israel Ezer Weizmen melakukan kunjungan ke Ankara dan ditemani puluhan tokoh militer dan perwakilan perusahaan industry militer Israel. Tujuan kunjungan itu untuk membicarakan mengenai kerjasama industry pertahanan antara kedua negara (Kogan, 2006). Kesepakatan resmi tercapai pada 28 Agustus 1996, ketika Dirjen Pertahanan Israel, David Ivry dan Menteri Pertahanan Turki, Tuncer Kilinc menandatangani kerjasama industry pertahanan yang disebut Defense Industry Cooperation Agreement (DICA) (Kogan, 2006). 13
Perjanjian itu berisi mengenai pertukaran pengetahun dan keahlian tekhnis mengenai industry militer. Sejak d itandatangin DICA, setidaknya ada lima kesepakatan antara Turki dan Israel dalam mempebaharui dan memproduksi peralatan militer Turki yaitu: a. Upgrade Pesawat Phantom F-4 Turki dan Israel sepakat untuk mempebaharui pesawar Phantom F-4 milik Turki. Perusahaan Israel bernama Israel Aircraft Industries (IAI) memenangkan tender proyek tersebut yang bernilai 800 juta Dollar AS. b. Pembelian Unnamed Combat Air-Vehicles (UCAV) Pada Agustus 1996, Turki sepakat untuk membeli 108 unit UCAV dari Israel senilai 76 juta Dollar AS. IAI kembali memenangkan tender pengadaan UCAV ini. Pesawat tersebut rampung pada tahun 2003. c. Pembaharuan Pesawat F-5 Pada tahun 1997, Turki dan Israel sepakat untuk mempebaharui pesawat F-5 milik Turki. IAI kembali memenangkan tender ini yang akan meningkatkan kualitas pesawat F-5 tersebut. F-5 akan dilengkapi dengan peralatan militer terbaru seperti sistem navigasi, GPS, HUD. d. Pembaharuan Tank M-60 Pada 2002, Turki dan Israel sepakat untuk melakukan pembaharuan terhadap Tank M-60 milik Turki menjadi Tank Merkava, yaitu Tank yang seringkali digunakan oleh Israel. Dalam pembaharuan tersebut, Tank M-60 akan dilengkapi dengan persenjataan baru seperti meriam caliber 12 mm, lapisan baja, control menara kecil dan sistem peringatan. e. Pembelian Unnamed Aerial Vehicles (UAV) Turki membeli 10 unit UAV atau pesawat nirawak dari Israel senilai 180 juta Dollar AS. UAV rampung pada tahun 2010. Turki mendapatkan keuntungan atas kerjasama ini karena dapat meningkatkan kapabilitas militernya. Transfer tekhnologi tersebut juga terbukti berhasil ketika Perusahaan Turki, Baycar Company mampu memproduksi UAV pada tahun 2010. Sedangkan di pihak 14
Israel, keuntungan yang didapat adalah Israel mendapatkan pangsa pasar industry militer. Lebih dari setengah nilai perdagangan ekspor-impor kedua negara terdiri atas perdagangan senjata. 2.4 Pemutusan Kerjasama Militer antara Turki dan Israel (2011). Hubungan kerjasama yang telah dibangun sejak tahun 1996 mengalami penurunan sejak Turki dipimpin oleh Erdogan yang berasal dari AKP. Walaupun kerjasama latihan perang dan industry pertahanan tetap berjalan. Ada hal yang membuat Tel Aviv agak gusar, yaitu orientasi kebijakan Turki yang mulai berubah haluan sejak dipimpin oleh Erdogan. Erdogan dikenal sebagai Presiden Turki yang menginginkan Turki lebih terlibat aktif dengan negara-negara Timur Tengah dari pada membangun kerjasama dengan barat. Letupan-letupan kecil mengenai kerengganan hubungan kedua negara mulai timbul ketika pada tahun 2009, Turki menganulis keikutsertaan Israel dalam latihan Anatolian Eagle. Turki bahkan melarang militer Israel untuk masuk ke wilayah udara Turki dan mendarat di Konya Air Base (Taghian, 2011). Dampak dari keputusan Turki tersebut rupanya mengakibatkan Amerika Serikat dan Italia juga membatalkan keikutsertaan dalam latihan itu. Kedua negara tersebut protes mengenai kebijakan Turki menganulir Israel dalam latihan tersebut. Pada 2 September 2011, Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu mengumumkan untuk memutuskan kerjasama pertahanan dan militer dengan Israel, bahkan mengusir Duta Besar Israel dari Ankara dan menurunkan level hubungan diplomatic menjadi level sekretaris dua. Alasan Turki memutuskan kerjasama dengan Israel bukan untuk memperkeruh suasana kedua negara, akan tetapi memberikan Israel untuk mengkoreksi kesalahan yang telah diperbuat kepada Turki (Eisenstadt, 1997). 2.5 Faktor-faktor mengapa Turki memutuskan kerjasama militer dengan Israel. Dalam memahami perilaku kebijakan luar negeri Turki terhadap Israel mengenai pemutusan kerjsama militer. Maka, dalam makalah ini akan menggunakan teori determinan dalam negeri dan determinan luar negeri yang disusun oleh Howard Lentner.
15
2.5.1 Faktor Determinan Dalam Negeri Terdapat dua faktor penting yang menjadi pemicu mengapa Turki berani dan tegas memutuskan kerjasama militer dengan Israel. Pertama, adanya perubahan orientasi kebijakan Turki ketika dipimpin oleh Erdogan dari (Adelet ve Kalkinma Partisi ) AKP dan kedua, adanya desakan keras dari public Turki mengenai masalah Mavi Marmara. 2.5.1.1 Perubahan Orientasi Kebijakan Luar Negeri Turki Pada era sebelum Erdogan, Turki merupakan negara sekuler yang orientesi kebijakannya cenderung mengarah pada negara Barat. Hal tersebut merupakan doktrin Kemalisme yang ingin melakukan modernisasi pada Turki. Modernisasi yang dimaksud adalah Taking place in the civilization of Europe (Cahyadi, 2011)Western civilization sering kali merujuk pada Eropa bagian Barat, terutama Inggris dan Prancis. Turki menjadikan negara Barat sebagai referensi bahkan aliansi pada saat itu. Dua orientasi yang paling utama dalam setiap kebijakan Luar negeri Turki. Yang pertama adalah menjaga eksistensi negara sesuai kedaulatnnya dan membangun kembali fondasi-fondasi berbangsa dan bernegara, yang kedua adalah merealisasikan formasi kebijakan luar negeri western oriented dengan mengalihkan konsentrasi ke Barat (Aktas, 2010). Hingga pasca perang dunia kedua berakhir, Turki masih menjadi bagian Barat yang terus menjalin kerjasama. Hingga pada tahun 1952 Turki akhirnya bergabung dengan pakta pertahanan Atlantik Utara, atau biasa disebut NATO. Turki mempunyai peran untuk menjaga persebaran komunisme di kawasn Eropa Timur pada saat itu. Berbagai bantuan militer dan ekonomi diberikan kepada Turki oleh Amerika dengan tujuan agar Turki menjadi negara yang kuat dalam militer dan stabil dalam ekonomi. Kedekatan Turki dengan Barat terjadi hingga awal tahun 2000. Termasuk kedekatan Turki dengan sekutu Amerika di Timur Tengah lainnya yaitu Israel. Turki melakukan kerjasama Militer dan industri keamanan dalam skala besar pada periode 1990 sampai tahun 2000 dengan Israel. Hingga pada tahun 2002, terjadi perubahan peta politik dalam negeri Turki. Dimana pada saat itu pemilu Turki dimenangkan oleh partai AKP yang berhaluan Islam dibawah komando Recep Tayyip Erdogan. Selepas menangnya partai AKP Turki yang berhaluan Islam moderat, dan terpilihnya Erdogan sebagai perdana menteri, secara perlahan kebijakan luar 16
negeri Turki berubah orientasi. Ada peran yang tak biasa dimainkan oleh Turki pada pemerintahan Erdogan. Turki secara perlahan menarik kedekatannya dengan Barat. Terbukti dalam beberapa kebijakan, Turki lebih merapat kepada negara-negara Timur Tengah, terutama negara Islam. beberapa diantaranya adalah, kebijakann Turki menolak manjadikan wilayahnya sebagai pangkalan militer NATO untuk melakukan invasi ke Libya. Turki pun lagi lagi menolak permintaan Amerika untuk menjadikan wilayahnya sebagai pangalan militer dalam agenda invasi ke Irak. Pandangan politik luar negeri Turki di Timur Tengah berubah saat dibawah kepemimpinan Erdogan. Turki melalui Ahmed Davutoglo selaku menteri luar negeri mencetuskan strategi yang dikenal sebagai Al-Amq Al-Istratijii (strategi politik intensif) (Aktas, 2010). Dimana politik ini menekankan kepada politik yang berpijak dari kondisi geostrategis Turki dan sejarahnya yang panjang serta kebudayaan yang mendorong Turki menempati posisi strategis dalam panggung politik internasional, terutama di Timur Tengah. Dengan demikian, itulah strategi politik Turki yang baru, yaitu menjamin keselamatan dan keamanan nasional Turki tanpa melalui pembatasan dan pengisolasian diri, melainkan keterbukaan dan menerapkan politik soft power kepada negara tetangga. Perubahan orientasi kebijakan Luar Negeri Turki pada Barat mulai terlihat ketika beberapa kali Turki terlibat konflik dengan salah satu sekutu Barat yang berada di Timur Tengah, yaitu Israel. Negara Israel yang notabenenya adalah mitra Turki di Timur Tengah mulai terganggu kepentingannya ketika Turki ikut campur dalam konflik Palestina-Israel. Turki sangat aktif dalam membantu untuk memediasi negara-negara Timur Tengah yang sedang berkonflik (Dzakirin, 2012). Turki turut andil dalam mediasi yang dilakukan antara Suriah dan Israel, konflik program nulir antara Iran dan Israel. Dan yang paling terbaru adalah turki membantu penyelesaian konflik antara Palestina dan Israel. Ada sebuah hal yang menarik dibalik keputusan Turki yang memutuskan kerjasama militernya dengan Israel. Turki yang selama ini merupakan bagian penting dari Israel di Timur Tengah, kini Turki cenderung lebih bersebrangan dengan Israel. Merupakan sebuah hal yang wajar jika Turki memutuskan beberapa kerjasamanya dengan Israel pasca insiden Mavi Marmara yang menewaskan 10 orang warga negara Turki.
17
2.5.1.2 Tekanan Publik Turki Mengenai Tragedi Mavi Marmara Pasca Tragedi Penyerangan Kapal Mavi Marmara oleh tentara Israel. Public Turki mengungkapkan kemarahannya terhadap Israel. Rakyat Turki melakukan demonstrasi ke kedutaan besar Israel di Ankara. Mereka mengecam tindakan Israel yang telah menyebabkan semibilan nyawa warga Turki melayang. Sebuah lembaga survei yang berbasis di Turki, The MetroPOLL menyimpulkan lebih dari 63 persen warga Turki mengatakan bahwa Turki harus membekukan hubungan dengan Israel. Sementara 27,9 persen mengatakan bahwa Turki harus memperbaiki hubungan dengan mantan sekutunya. Selain itu, jejak pendapat juga menunjukkan bahwa 24 persen menganggap Israel adalah ancaman terbesar Turki. Jejak pendapat ini dilakukan pada 25 hingga 29 Desember 2010 dengan sampel nasional Turki dipilih secara acak dari 1.504 orang dewasa yang ditinggal di kota dan desa. Margin of error untuk keseluruhan polling adalah 2,5 poin persentase, dengan tingkat kepercayaan 95 persen (Keinon, 2011). Juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki juga menjelaskan bahwa keputusan Turki menghentikan kerjasama militer adalah demi memenuhi opini rakyatnya. Pemerintah Turki telah berjanji jika Israel tidak memenuhi permintaan Turki untuk meminta maaf, membayar kompensasi dan menghentikan blokade. Maka pemerintah akan memenuhi opini publik rakyat Turki untuk mengusir duta besar Israel yang bedara di Turki dan memutuskan kerjasama dengannya (Dombey, 2011). 2.5.2 Faktor Determinan Luar Negeri 2.5.2.1 Serangan Israel Terhadap Gaza Palestina Kemenangan Hamas dalam pemilu Palestina pada tanggal 25 Januari 2006 menciptakan kuasa Hamas atas Jalur Gaza, kemudian Israel merasa terancam dengan keberadaan Hamas yang menempuh jalan radikal dalam menghadapi Israel. Setelah berkuasa, Hamas melakukan penculikan Kopral Gilad Shalit untuk ditukar dengan para tawanan Palestina. Israel melancarkan Operation Summer Rains dan Operation Autumn Clauds untuk membebaskan Kopral Gilad Shalit. Dua operasi militer Israel tersebut gagal dalam membebaskan tentaranya. Untuk memperbaiki kesalahan Israel dalam dua operasi militer ini, maka Israel melancarkan agresi militer ke Jalur Gaza pada tanggal 27 Desember 2008 hingga 18
18 Januari 2009 dengan nama Operation Cast Leads yang mempunyai misi membebaskan Kopral Gilad Shalit, menghentikan peluncuran roket Hamas ke wilayah Israel, dan menghancurkan gerakan Hamas. Perang melawan Palestina di Jalur Gaza kerap terjadi jelang pemilu Israel dimulai. Pada konflik 2008-2009 misalnya, Israel melakukan serangan mendadak hanya 6 minggu sebelum pemilu berlangsung, dan hasil pemilu pada saat itu menempatkan Benjamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri Israel. Agresi militer Israel ke Jalur Gaza tahun 2008-2009 dilatarbelakangi oleh faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor geografi. Israel mempersiapkan agresi militer ke Jalur Gaza dengan menerapkan serangan langsung. Hamas dalam menghadapi serangan militer Israel, menerapkan taktik penyerangan secara terus-menerus ke wilayah Israel. Serangan Israel ke Jalur Gaza dimulai pada tanggal 27 Desember 2008 ketika pasukan udara Israel melakukan penyerangan ke kota Beit Hanoun di utara Jalur. Serangan ini dibalas Hamas dengan menembakkan roket ke arah pasukan Israel dan ke wilayah Israel. Kemudian terjadi aksi saling serang antara Israel dan Hamas hingga berakhir pada tanggal 18 Januari 2009 ketika Israel telah mengumumkan gencatan senjata sepihak pada pukul 02.00 dini hari dan Hamas pada pukul 16.00 sore hari, maka berakhirlah serangan Israel selama 22 hari di Jalur Gaza. Konflik Israel-Gaza 2008-2009 merujuk pada konflik yang berlangsung antara Israel dan Hamas yang terjadi setelah kadaluarsanya gencatan senjata selama 6 bulan. Israel melancarkan serangan udara yang disebut Operation Cast Lead (bahasa Ibrani: , Mivtza Oferet Yetzukah) terhadap Jalur Gaza sebagai balasan atas serangan roket dari Gaza dan Hamas. Hamas sendiri adalah merupakan salah satu Faksi Partai politik di Palestina yang ingin mengusir Israel dari seluruh wilayah Palestina. Perlawanan yang dilakukan oleh Hamas cenderung ke arah perlawanan fisik atau militer. Pada perang kali ini Israel mencoba untuk menghancurkan Hamas dari wilayah Gaza (Handayani, 2012). Bayu (2010) menjabarkan kronologi Perang Gaza sejak gencatan senjata Hamas dan Israel di Jalur Gaza sejak bulan Desember hingga Januari 2009 sebagai berikut: 14 Desember 2008: Pemimpin Hamas Khaled Meshaal mengatakan kelompoknya tidak akan memperbarui gencatan senjata enam bulan dengan Israel. 19
18 Desember 2008: Hamas mengumumkan berakhirnya gencatan senjata yang sebenarnya akan berakhir sehari mendatang, ditandai dengan meningkatnya pertempuran lintas batas. 24 Desember 2008: Para pejuang Palestina di Gaza menembakkan roket ke Israel. 27 Desember 2008: Israel melancarkan serangan udara ke Gaza untuk menjawab serangan roket dan mortir Hamas, menewaskan setidaknya 229 warga Palestina. 28 Desember 2008: Serangan udara Israel mengenai Universitas Islam dan membidik terowongan penyelundupan Jalur Gaza yang menghubungkan Gaza ke dunia luar. 29 Desember 2008: Israel membom Kementerian Dalam Negeri Palestina yang dikuasai Hamas dan mengumumkan wilayah-wilayah seputar Jalur Gaza sebagai zona militer tertutup. Di saat yang sama para pejuang Palestina menembakkan roket-roketnya makin dalam ke wilaya Israel. 31 Desember 2008: Dewan Keamanan PBB menggelar sidang darurat dimana usul gencatan senjata Arab diabaikan tanpa pemungutan suara. 1 Januari 2009: Israel membunuh Nizar Rayyan, pemimpin garis keras Hamas, lewat serangan udara ke sebuah rumah di Jalur Gaza. 2 Januari 2009: Para pejabat Palestina mengatakan Mesir mulai mengadakan pembicaraan- pembicaraan lebih luas dengan Hamas untuk menghentikan pertumpahan darah. 3 Januari 2009: Israel melancarkan ofensif darat ke Jalur Gaza dengan mengirim tank-tank dan infantri untuk berperang dengan Hamas. 4 Januari 2009: Israel memotong Jalur Gaza dari sepanjang pagar pembatas sampai Laut Tengah. Tentara dan artileri berat Israel mengepung Kota Gaza. Israel menolak kemungkinan gencatan senjata dalam fase ofensif ini. 5 Januari 2009: Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, dalam rangka misi damai, dan Presiden AS George W. Bush, mengimbau gencatan senjata. 6 Januari 2009: Israel menembak sebuah sekolah PBB dengan menewaskan 42 warga Palestina di kamp pengungsian Jabalya dimana warga sipil Palestina berlindung, tentara Israel berkilah tembakannya sebagai balasan atas tembakan mortir dari sekolah itu yang diarahkan ke mereka. Mesir, didukung Prancis dan negara-negara kuat Eropa lainnya, mengajukan 20
gencatan senjata darurat dan pembicaraan dengan mengakomodasi tuntutan-tuntutan Israel. Sekitar 30 rudal menghantam Israel. 7 Januari 2009: Kekerasan berhenti setelah gencatan senjata tiga jam di Gaza. Israel menyatakan mereka melihat positif pembicaraan Kairo mengenai rencana gencatan senjata menyeluruh yang diajukan Presiden Mesir Hosni Mubarak dan Presiden Sarkozy. Dua puluh warga Palestina terbunuh. Sedikitnya 15 roket Hamas menghantam wilayah selatan Israel namun tidak memakan korban. Israel melanjutkan pemboman ke wilayah sepanjang perbatasan selatan Gaza dengan Mesir di mana terowongan-terowongan telah digunakan untuk menyelundupkan barang dan senjata ke Gaza. 8 Januari 2009: Roket-roket ditembakkan dari Lebanon menghantan selatan Israel dan melukai dua orang. Sepuluh roket ditembakkan dari Gaza menghantam selatan Israel tapi tidak menimbulkan korban. Jumlah warga Palestina tewas bertambah menjadi 666, demikian para pejabat kesehatan. PBB mengatakan kebanyakan korban adalah warga sipil. Sebelas orang Israel tewas sampai 13 hari terakhir, delapan diantaranya tentara. 2.5.2.2 Serangan Israel Terhadap Kapal Mavi Marmara Pada 31 Mei 2010, ketika sebuah kapal berbendera Turki yang membawa bantuan logistic untuk rakyat Gaza di Palestina mengalami penghadangan oleh Pasukan Angkatan Laut Israel di wilayah laut Gaza. Bahkan, penghadangan yang lebih tepat disebut sebagai penyerangan militer terhadap sipil menyebabkan sembilan orang meninggal termasuk sembilan warga Turki (Jones, 2010). Kejadian ini menggemparkan dunia karena Turki salah satu partner pertahanan militer bagi Israel. Kapal Mavi Marmara berlayar dari Siprus bersama dengan lima kapal lain yang membawa serombongan relawan Free Gaza Movement dan Turkish Foundation for Human Rights yang bertujuan untuk memberikan bantuan logistik bagi rakyat Gaza. Mereka bersimpati terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh rakyat Gaza karena blockade ekonomi yang dilakukan oleh Israel untuk merespon kemenangan Hamas di wilayah Gaza. Karena, bagi Israel, Hamas merupakan musuh utama dan dikategorikan sebagai teroris yang mengancam Israel. 21
3. Kesimpulan sebuah kerjasama dibangun atas dasar saling membutuhkan (interdependesi) antar negara. sama halnya dalam konteks ini, Turki dan Israel saling membutuhkan dalam masalah pertahanan dan militer. Turki membutuhkan tekhnologi Israel, sedangkan Israel membutuhkan Turki sebagai pasar utama produk militer Israel. Akan tetapi, kerjasama tersebut mulai menurun ketika salah satu pihak merasa perilaku pihak kedua merugikan bahkan membahayakan. Tindakan Israel seperti menyerang Gaza dan Kapal Mavi Marmara memicu Turki bertindak keras. Walaupun bukan dalam artian perang, akan tetapi protes Turki terhadap Israel berdampak signifikan. Turki berani memutuskan hubungan kerjasama dan hubungan diplomatic dengan Israel atas nama melindungi kepentingan nasional. Indikasi hubungan makin memanas dan mengarah ke jalan perang memang tidak begitu terlihat atau bahkan tidak mungkin terjadi perang. Israel tetap menanggapi dengan tenang sikap dan protes Turki terhadapnya. Hal ini dilakukan agar tidak menambah daftar negara yang memusuhi Israel di Timur Tengah, karena Israel tetap membutuhkan teman disana. Israel tidak bisa hanya mengandalkan Amerika Serikat yang jauh di Benua Amerika. Israel tetap membutuhkan sekutu di Timur Tengah untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Kebijakan Turki memutuskan kerjasama dengan Israel patut diapresiasi. Dengan mengorbankan kepentingan kapabilitas militer, Turki berani mendahulukan keamanan manusia rakyatnya. Atas nama membela hak keamanan manusia, Turki berani bersebrangan dengan Israel. Bahkan, Turki mulai mencari sekutu selain Israel di Tmur Tengah. Iran merupakan salah satu negara yang menjadi partner strategis dalam bekerja sama. Walaupun memiliki perbedaan mendasar dalam hal iedologi, akan tetapi atas nama kepentingan nasional. Hal itu bisa dikesampingkan, apalagi ketika Erdogan memimpin Turki yang berhaluan Islam.
22
Daftar Pustaka Aktas, G. Y. (2010). Turkish Foreign Policy: New Concept and Reflection. Ankara. Cahyadi, H. (2011). Agresivitas Turki Middle Eastern in Regional Security Complex Periode AKP 2002-2011: Tantangan Turki Terhadap Konsep Inssulator. Jakarta. Cirik, H. K. (2003). The Turkey, US, Israel Traingle: 1991-2001. Ankara: Bilkent University. Dombey, V. B. (2011). Turkey Expels Israeli Diplomats Over Deats. Financial Times Limited . Dzakirin, A. (2012). Kebangkitan Pos-Islamisme Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu. Solo: Era Adi Citra Intermedia. Eisenstadt, M. (1997). Tuskish- Israeli Military Cooperation: An Assesment . Policy Watch 262 , 1. Handayani, A. P. (2012). Kebijakan Turki Memutuskan Kerjasama Militer Dengan Israel Pada Tahun 2010. Jurnal Transnasional , 1-2. Jones, D. (2010, July 23). VOA News. Retrieved September 20, 2014, from voanews: www.voanews.com Keinon, H. (2011). www.jpost.com. Retrieved 10 12, 2014, from (http://www.jpost.com/Diplomacy-and- Kogan, E. (2006). Cooperation in the Turkish-Israel Defense Industry. Conflict Studies Research Centre , 3. Konya Air Base, Turkey. (2013). Retrieved September 20, 2014, from Global Security: www.globalsecurity.org Taghian, S. (2011). Erdogan Muadzin Istanbul Penakluk Sekularisme Turki. Jakarta: Al- Kautsar. Perwita, Anak Agung Banya dan Yanyan M. Yani. (2006). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ulatas, U. (2010). Tukey-Israel: A Fluctuating Alliance. SETA: Foundation for Political, Economic ans Social Research , 3.
Perbandingan Konseptualisasi Dan Implementasi Diplomasi Pertahanan Di Universitas Pertahanan Indonesia Dan Naval Postgraduate School, Monterey, California