You are on page 1of 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil
Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua
sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi
hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada
pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus
memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan
fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi
untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan
meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi, metabolik,
dan gastrointestinal (Santos,et.al., 2006).
2.1.1 Perubahan Metabolik
Sebagai akibat dari peningkatan sekresi dari berbagai macam
hormon selama masa kehamilan , termasuk tiroksin, adrenokortikal dan
hormon seks, maka laju metabolisme basal pada wanita hamil meningkat
sekitar 15 % selama mendekati masa akhir dari kehamilan. Sebagai hasil
dari peningkatan laju metabolisme basal tersebut, maka wanita hamil sering
mengalami sensasi rasa panas yang berlebihan. Selain itu,karena adanya
beban tambahan, maka pengeluaran energi untuk aktivitas otot lebih besar
daripada normal (Guyton, 2006).
2.1.2 Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan
terhadapa beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem
kardiovaskular terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada sistem
kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika cardiac
output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita yang
tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima kehamilan dan
mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu
hanya mengalami sedikit peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran,
Universitas Sumatera Utara

dan masa post partum. Sekitar 50% peningkatan dari cardiac output telah
terjadi pada masa minggu kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari
cardiac output dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan
denyut jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana
meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak daripada pada wanita
tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk dihitung, tetapi
diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat pada minggu
keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut jantung tidak
berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen
simpatis (Birnbach,et.al., 2009).
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus
menjadi penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu
ke- 36 dan 38, setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal
menuju pelvis. Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien
berada pada posisi supine selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan
bahwa ada penurunan dibandingkan pada wanita yang tidak hamil,
penurunan ini tidak diobservasi ketika pasien berada dalam posisi lateral
decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang terjadi pada 10 % wanita hamil
dikarenakan adanya oklusi pada vena yang mengakibatkan terjadinya
takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan pucat.
Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan
perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus.
Oleh karena itu, perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke
arah lateral harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua dan ketiga
dari kehamilan (Santos, et. al., 2006).
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung
dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran
radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada
elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya
murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung
tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi
Universitas Sumatera Utara

perikardial kecil dan asimptomatik (Morgan, 2006).
2.1.3 Perubahan Hematologi.
Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa
kehamilan sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin-
angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari
total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah meningkat
sampai 45 % dimana volume sel darah merah hanya meningkat sampai
30%. Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya anemia
fisiologis dalam kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan
hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh
anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu memberikan kompensasi dengan
cara meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO
2
, dan pergeseran ke
kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin (Birnbach,et.al., 2009).
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi
yang memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan
darah saat proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII,
IX,X,XII, hanya faktor XI yang mungkin mengalami penurunan.
Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi kemudian pada trimester ketiga.
Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan penurunan dari jumlah
platelet sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester ketiga.
Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi mungkin saja
terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi. Imunitas sel
ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya
infeksi viral (Morgan, 2006).
2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi
Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk
mengoptimalkan oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan
produk sisa CO
2
dari janin ke ibu (Norwitz,et.al., 2008).
Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara
progresif selam masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang
lebih kecil, laju pernafasan meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen akan
Universitas Sumatera Utara

meningkat sekitar 20-50% dan ventilasi semenit meningkat hingga 50%.
PaCO
2
menurun sekitar 28-32mm Hg. Alkalosis respiratorik dihindari
melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan konsentrasi plasma
bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO
2
secara perlahan.
Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek hiperventilasi dalam
afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen dimana
hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen
meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan
dengan peningkatan curah jantung memicu perfusi jaringan (Morgan,
2006).
Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran
uterus dan umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan
transversal dari cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve
volume, residuak volume,dan functional residual capacity menurun,
mendekati akhir masa kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan
pada wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan peningkatan dari
inspiratory reserve volume sehingga kapasitas paru total tidak mengalami
perubahan. Pada sebagian ibu hamil, penurunan functional residual
capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang mengalami
perubahan pada closing volume lebih awal sebagai akibat dari merokok,
obesitas, atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan nafas awal
dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan hipoksemia. Manuver
tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan abnormal
antara closing volume dan functional residual capacity. Volume residual
dan functional residual capacity kembali normal setelah proses persalinan
(Santos,et.al., 2006).
2.1.5 Perubahan Sistem Renal
Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal
pada awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal
umumnya membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone
mengakibatkan terjadinya retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju
Universitas Sumatera Utara

filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama dan
laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal pada trimester
ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) mungkin
menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan threshold dari
tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan sering
mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300
mg/dL). Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg (Morgan,
2006).
2.1.6 Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama
persalinan menjadi topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan
bahwa traktus gastrointestinal mengalami perubahan anatomis dan
fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi yang berhubungan
dengan anestesi general (Birnbach, et.al., 2009).
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa
kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu
ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar
progestron menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana sekresi
gastrin dari plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor
tersebut menempatkan wanita yang akan melahirkan pada resiko tinggi
terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal. Tekanan intragaster tetap
tidak mengalami perubahan. Banyak pendapat yang menyatakan mengenai
pengosongan lambung. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di
samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5
dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih dari
25mL. kedua faktor tersbut telah dihubungkan memiliki resiko terhadap
terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid dan antikolinergik
menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi
terjadinya refluks gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung.
Efek fisiologis ini bersamaan dengan ingesti makanan terakhir sebelum
Universitas Sumatera Utara

proses persalinan dan penundaan pengosongan lambung mengakibatkan
nyeri persalinan dan merupakan faktor predisposisi pada ibu hamil akan
terjadinya muntah dan mual (Morgan, 2006).
2.1.7 Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer
Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama
masa kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua
anestesi general. Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal
pada hari ketiga pasca kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan
opioid endogen telah dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi
ketika diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih
tinggi daripada normal pada masa aterm dan kemungkinan berefek kecil
dalam observasi. Peningkatan secara signifikan kadar endorfin juga
memegang peranan penting dalam masa persalinan dan kelahiran (Morgan,
2006).
Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap
kedua jenis anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode
pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih
sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil untuk mencapai
level dermatom sensorik yang diberikan (Birnbach, 2009).
Minimum local analgesic concentration (MLAC) digunakan dalam
anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi relatif dari anestesi lokal
dan MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi analgesik
efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam periode awal
persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran uterus
mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan
volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan
menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan
serebrospinal, (2) penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3)
peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek awal memicu penyebaran
sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan epidural,
dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam insidensi
Universitas Sumatera Utara

lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural (Morgan, 2006).
2.1.8 Perubahan Sistem Muskoloskeletal
Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu
persiapan kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi
uterus, dan relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi
ligamen menyebabkan peningkatan risiko terjadinya cedera punggung.
Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi nyeri punggung dalam
kehamilan (Morgan, 2006).
2.1.9 Sirkulasi Uteroplasental
Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam
perkembangan dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi
uteroplasental dapat menjadi penyebab utama dalam retardasi
pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi parah dapat
mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada
aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta (Morgan,
2006).
Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan
dan mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki
resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu
masa gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi
(pembuluh darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran
arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah maternal dan curah
jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi perubahan aliran darah
melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai darah fetus.
Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:
UBF= UAP-UVP
UVR
UBF = uterine blood flow
UAP = uterine arterial pressure
UVP = uterine venous pressure
Universitas Sumatera Utara

UVR = uterine vascular resistance
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal,
dimana hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan
kompresi aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus
(kondisi yang meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan
perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi
mengakibatkan gangguan pada aliran darah (Birnbach,et.al., 2009).
2.2 Seksio Sesarea
2.2.1 Definisi
Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding
abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak
mencakup pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus
kehamilan abdomen (Cunningham, 2010)
2.2.2 Indikasi Seksio Sesarea
2.2.2.1 Indikasi Absolut
Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas
a. Berasal dari ibu
i. Induksi persalinan yang gagal
ii. Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan)
iii. Disproporsi sefalopelvik
b. Uteroplasenta
i. Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik)
ii. Riwayat ruptur uterus
iii. Obstruksi jalan lahir (fibroid)
iv. Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar
c. Janin
i. Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan
ii. Prolaps tali pusat
iii. Malpresentasi janin


Universitas Sumatera Utara

2.2.2.2 Indikasi Relatif
Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas (Norwitz, 2008):
a. riwayat ibu
i. bedah sesar elektif berulang
ii. penyakit ibu
b. uteroplasenta
i. riwayat bedah uterus sebelumnya
ii. presentasi funik pada saat persalinan
c. janin
i. malpresentasi janin
ii. makrosomia
iii. kelainan janin
2.2.2.3 Kontraindikasi Seksio Sesarea
Menurut Pernoll (2009), kontraindikasi tindakan
seksio sesarea meliputi infeksi piogenik dinding abdomen,
janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati (kecuali
untuk menyelamatkan nyawa ibu) dan kurangnya fasilitas,
perlengkapan atau tenaga yang sesuai.
2.2.3 Teknik Seksio Sesarea
2.2.3.1 Insisi Abdominal
Umumnya digunakan insisi abdomen secara midline vertikal atau
transversal suprapubik. Hanya dalam keadaan tertentu insisi paramedian
atau midtransversum digunakan (Cunningham, 2010).
2.2.3.1.1 Insisi Abdominal Vertikal
Abdomen biasanya dimasuki melalu insisi vertikal garis tengah
yang rendah meskipun kadang-kadang insisi abdominal transversal dapat
digunakan untuk seksio sesarea klasik. Insisi garis tengah biasanya
mengikuti linea nigra dan memanjang dari umbilikus sampai simfisis
pubis. Setelah menginsisi jaringan subkutan, insisilah rafe garis tengah
secara tajam dan masuki peritoneum parietal dengan diseksi tajam.
Umumnya, setelah melakukan insisi vertikal dilakukan penjahitan pada
Universitas Sumatera Utara

lapisan peritoneal dengan poliglikolik 00 atau 0. Jaringan fasia ditutup
dengan jahitan terputus menggunakan benang berukuran 0 yang dapat
diserap atau tidak dapat diserap. Setelah jaringan subkutan didekatkan
kembali, kulit ditutup (Pernoll, 2009)
2.2.3.1.2 Insisi Abdominal Transversal
Selain metode insisi abdominal pada linea mediana dikenal juga
metode insisi abdominal transversal. Metode Pfannenstiel, Maylard, dan
Joel-Cohen , merupakan metode seksio sesarea yang menggunakan insisi
transversal pada dinding abdomen. Insisi Pfannenstiel meliputi insisi
transversal semi lengkung (curved) setinggi 2 jari di atas tulang simfisis
pubis, muskulus rektus dipisahkan secara tumpul dan peritoneum parietal
diinsisi pada linea mediana. Insisi Maylard hampir serupa dengan metode
Pfannen stiel namun muskulus rektus dipotong secara transversal
menggunakan pisau bedah. Insisi ini menjadi pilihan ketika dijumpai
adanya perlengketan akibat insisi Pfannenstiel pada operasi sebelumnya.
Insisi Joel-Cohen meliputi insisi transversal yang lurus setinggi 3 cm di
atas tulang simfisis dan diperdalam lapis demi lapis secara tumpul,bila
perlu digunakan gunting bukan pisau. Kemudian plica vesicouterina
digunting dan disisihkan, kemudian dibuat insisi pada segmen bawah
uterus di bawah insisi plica yang kemudian dilebarkan secara tumpul
dengan arah horizontal. Insisi Joel-Cohen berhubungan dengan waktu
operasi yang singkat serta berkurangnya febris post operatif (Cunningham,
2010).
2.2.3.2 Insisi Uterus
Pada umumnya insisi pada uterus dibuat pada segmen bawah rahim
secara transversal seperti dinyatakan oleh Kerr pada tahun 1921 atau
seperti yang dinyatakan oleh Kronig pada tahun 1912. Segmen bawah
uterus relatif kurang vaskular dibandingkan korpus uteri, sehingga
diharapkan perdarahan yang terjadi tidak seberat dibandingkan pada seksio
sesarea secara klasik. Insisi lain yaitu insisi klasik, merupakan insisi
vertikal pada korpus uteri hingga ke fundus dan insisi ini jarang
Universitas Sumatera Utara

digunakan. Insisi pada segmen bawah rahim mempunyai keuntungan yaitu
hanya membutuhkan sedikit pembebasan kandung kemih dari
myometrium (Cunningham, 2010).
2.2.3.3 Seksio Sesarea Klasik
Indikasi seksio sesarea klasik adalah plasenta previa, letak janin
melintang atau oblik dan jika persalinan cepat sangat penting. Seksio
sesarea klasik merupakan tindakan paling sederhana. Buatlah insisi
vertikal pada bagian bawah korpus uteri melalui peritoneum viseral ke
dalam miometrium. Setelah masuk ke dalam kavum uteri , perluaslah
insisi ke arah kaudal dan kranial dengan gunting perban. Lahirkan bayi,
plasenta, dan selaput ketuban. Tutuplah insisi dengan tiga lapis jahitan
yang dapat diserap. Tutuplah dua lapisan yang lebih dalam dengan jahitan
terputus atau bersambung menggunakan benang 0 atau 00 dan lapisan
yang lebih atas dengan jahitan bersambung(atau baseball) menggunakan
benang 00 atau 000 (Pernoll, 2009).
2.2.4 Komplikasi Seksio Sesarea
Pernoll (2009) menyatakan beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
kasus seksio sesarea.
a. Kematian Ibu.
Angka kematian ibu pada seksio sesarea adalah 40-80/100.000,
meningkat sebanyak 25 kali angka kematian ibu pada persalinan per
vaginam.
b. Kesakitan Ibu selama Operasi.
Komplikasi pembedahan selama seksio sesarea berkisar di atas
11% (kira-kira 80% minor dan 20% mayor). Komplikasi mayor
meliputi trauma pada kandung kemih, laserasi sampai serviks atau
vagina, laserasi korpus uteri, laserasi melalui ismus ke ligamentum
latum, laserasi pada kedua arteri uterina, trauma usus dan trauma pada
bayi dengan sekuele. Komplikasi minor meliputi transfusi darah,
trauma pada bayi tanpa sekuele, laserasi minor pada isus dan kesulitan
melahirkan.
Universitas Sumatera Utara

c. Kesakitan Ibu Pascaoperasi
Kesakitan pasca seksio sesarea kira-kira sebesar 15 % dan sekitar
90% di antaranya disebabkan oleh infeksi (endometitis, infeksi
saluran kemih, sepsis karena luka). Komplikasi lebih banyak terjadi
pada kasus seksio darurat kira kira 25% sedangkan pada kasus elektif
hanya 5%. Predisposisi terjadi kesakitan pasca operasi adalah lamanya
pecah selaput ketuban sebelum operasi, lama persalinan sebelum
operasi, anemia dan obesitas. Komplikasi non infeksi pasca bedah
yang lazin (< 10% total komplikasi) meliputi ileus paralitik,
perdarahan intraabdominal, paresis kandung kemih, trombosis dan
gangguan paru.
2.3 Spinal Anestesi
Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block,
terjadi karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid.
Terjadi blok saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya
aktivitas sensoris, motoris dan otonom (Morgan, 2006).
Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya
temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan,
fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut
dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya
terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang
lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari medulla
spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.Serabut saraf
yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan
kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi
tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.Level blokade
otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi
kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari
level analgesi (Morgan, 2006).


Universitas Sumatera Utara

2.3.1 Indikasi Spinal Anestesi :
Morgan (2006) menyatakan beberapa indikasi dari pemberian
anestesi spinal
1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak,
tulang atau pembuluh darah.
2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah,
vaginal, dan urologi.
3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal,
appendik, rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan
ginekologis
4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi
transversum. Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian
atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat
menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.
5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).
6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan
sistoskopi.
2.3.2 Kontra Indikasi Absolut :
Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal
(Gwinnut,2009):
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal
menusuk pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah
akan menekan medulla spinalis.
2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi
pergeseran otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
4. Bila pasien menolak.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan
ditusuk jarum spinal.
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia
pernisiosa, neurosyphilys, dan porphiria.
Universitas Sumatera Utara

7. Hipotensi.
2.3.3 Kontra Indikasi Relatif
Gwinnutt (2009), menyatakan beberapa kontraindikasi relatif
dalam pemberian anestesi spinal.
1. Pasien dengan perdarahan.
2. Problem di tulang belakang.
3. Anak-anak.
4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.
2.3.4 Anatomi
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2,
karena ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka
spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3.
Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.6.
Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan
melindungi medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut
(Bernards, 2006) :
1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale posterior.
5. Ligamentum longitudinale anterior.
2.3.5 Teknik Spinal Anestesi :
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor
yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan
nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh
peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh,
anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan
terbka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan
meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian
meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards, 2006).
Universitas Sumatera Utara

Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut
(Morgan, 2006):
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk
(dilakukan ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada
infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan
dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk
spinal anestesi.
2. Posisi pasien :
a) Posisi Lateral.
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm,
lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk.
Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna
vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat
premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang
asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi
ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.
c) Posisi Prone.
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine,
alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan doek bolong steril.
4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin
besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut,
sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala
(PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil.
Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan
keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan
subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan
spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum
Universitas Sumatera Utara

beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang
jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu
ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal,
tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah
yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik
obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda
asing (Meningismus).
2.3.6 Obat-obat yang dipakai
Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah
lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain
adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade
otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5%
dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan
lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-
100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-
150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1 jam,
lidokain 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih (Morgan,2006).
2.3.7 Pengaturan Level Analgesia
Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai
berikut : level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di
bawah level analgesia kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen
sephalik dari zone sensoris. Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi
atas :
1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen
lumbal bawah dan sakral.
2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10)
dan termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.
3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi
termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.
4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona
anestesi termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.
Universitas Sumatera Utara

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,
motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin
terjadi (Kleinman, 2006).
Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat,
barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan
tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar
volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesi juga
akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan
obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum
menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat anestesi
lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di
ruangan subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi
penyebaran obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia,
sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi
dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan
yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik (Kleinman, 2006).
Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan
dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu
hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah
1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001-
1,002 (Kleinman, 2006).
Perawatan Selama pembedahan (Gwinnutt, 2009).
1. Posisi yang enak untuk pasien.
2. Kalau perlu berikan obat penenang.
3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.
4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.
5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan,
adanya mual dan pusing.
6. Berikan oksigen per nasal.
Perawatan Pascabedah (Gwinnutt, 2009).
1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam
Universitas Sumatera Utara

pascabedah.
2. Minum banyak, 3 lt/hari.
3. Cegah trauma pada daerah analgesi.
4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.
5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang
berat akan pulih.
6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.
7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada
kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi
nadi.
2.3.8 Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal :
Birnbach,et.al. (2009) menyatakan beberapa komplikasi terkait
pemberian anestesi spinal
1. Sistim Kardiovaskuler :
a) Penurunan resistensi perifer :
1. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang
diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi
simfatis.
2. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas
vena dan venous return.
3. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi
mekanisme kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi.
b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata
Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya
blokade simfatis. Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi
risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medulla
oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah
jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah
dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat
vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal
anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.
Universitas Sumatera Utara

Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis
efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4
menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit pada
pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.
c) Penurunan denyut jantung.
Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian
jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic
stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac
accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat
meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.
2. Sistim Respirasi
Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi
yang berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya :
berikan ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena
terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5).
Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan
bicara
3. Sistim Gastrointestinal
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan
karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik,
over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah
manipulasi traktus gastrointestinal).
4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena
adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang
dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila
duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-
2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan
terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90%
pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan
Universitas Sumatera Utara

menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal headache
dapat dilakukan pencegahan dengan :
1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no.
25,27,29).
2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater
sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan
duramater.
3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama
3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti
yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan
1. Memakai abdominal binder.
2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu
sendiri di ruang epidural tempat kebocoran.
3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache 10-20% pada umur 20-40
tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila
dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami
sakit kepala daripada laki-laki.
5. Backache
Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah
lumbal untuk spinal anestesi.
6. Retensio Urinae
Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai
berikut : operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria,
pemberian narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi
vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.
7. Komplikasi Neurologis Permanen
Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal
yang menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi
panas pada ampul gelas, memakai syringedan jarum yang disposible,
Universitas Sumatera Utara

spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta
penerapan teknik antiseptik.
8. Chronic Adhesive Arachnoiditis
Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan
fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya
terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachnoid.
2.4 Cairan
Selama anestesia, umumnya diberikan cairan secara intravena
untuk menggantikan kehilangan cairan karena pembedahan, dan untuk
memenuhi kebutuhan harian normal pasien. Digunakan tiga jenis cairan
yaitu kristaloid, koloid, dan darah serta komponennya (Gwinnutt,2009).
Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan
kristaloid. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga tekanan
onkotik plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume
intravaskular dan curah jantung. Ahli yang lain mengatakan bahwa
pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang
cukup. Beberapa pernyataan dibawah ini yang mendukung(Morgan,2006) :
1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya
dengan koloid dalam mengembalikan volume intravaskular.
2. Mengembalikan defisit volume intravaskular dengan kristaloid
biasanya memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika
menggunakan koloid.
3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami
defisit cairan extraseluler melebihi defisit cairan intravaskular.
4. Defisit cairan intravaskular yang berat dapat dikoreksi dengan
cepat dengan menggunakan cairan koloid.
5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L)
dapat menimbulkan edema jaringan.



Universitas Sumatera Utara

2.4.1 Kristaloid
Kristaloid merupakan larutan kristalin padat dalam air. Larutan ini
digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) yang memiliki kandungan
elektrolit-elektrolit dengan komposisi yang sama dengan plasma,
mempunyai osmolalitas yang sama dengan plasma dan sering dianggap
sebagai isotonik; (2) larutan yang mengandung lebih sedikit atau tidak
mengandung elektrolit (hipotonik) tetapi mengandung glukosa untuk
memastikan bahwa mereka memiliki osmolalitas yang sama dengan
plasma. Begitu cairan ini diberikan, maka terjadi proses redistribusi di
berbagai kompartemen cairan tubuh, jumlahnya bergantung pada
komposisi larutan. Sebagai contoh, larutan saline 0,9% didistribusikan
sepanjang ruang interstisial dan intravaskular sebanding dengan
ukurannya. Setelah 15-30 menit, hanya 25-30% dari volume yang
diberikan tetap di intravaskular. Oleh karena itu, setiap pemberian cairan
kristaloid untuk menggantikan volume sirkulasi maka dibutuhkan sekitar
tiga sampai empat kali cairan yang hilang (Gwinnutt,2009).
2.4.2 Koloid
Cairan koloid lebih efektif dibandingkan kristaloid untuk
meningkatkan volume plasma karena kandungan molekul yang besar,
difusi yang kurang baik, sehingga mencetuskan terjadinya tekanan
osmotik untuk menjaga air tetap di ruang vaskular (Marino,2007).
2.4.2.1 Hydroxyethyl Starch (HES)
Hetastarch adalah koloid sintetik yang tersedia sebagai cairan 6%
dalam saline isotonik. Hetastarch berisi molekul amilopektin yang
bervariasi dalam ukuran beberapa ratus hingga satu juta Dalton lebih.
Berat molekul rata-rata dari molekulnya setara dengan albumin 5%.
Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah
dibandingkan dengan albumin. Lebih jauh, hetastarch bersifat non
antigenik dan reaksi anafilaksisnya jarang terjadi tetapi pruritus pernah
dijumpai pada beberapa kasus (Marino,2007)

Universitas Sumatera Utara

2.4.2.1.1 Fitur
Hetastarch sedikit lebih kuat dari albumin 5% sebagai koloid.
Memiliki COP lebih tinggi dari albumin 5% dan menyebabkan ekspansi
volume plasma yang lebih besar (sampai 30% lebih besar dari volume
infus). Ini juga memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang (17 hari),
tetapi hal ini menyesatkan karena efek onkotik hetastarch hilang dalam
waktu 24 jam (Marino,2007).
2.4.2.1.2 Kekurangan
Molekul hetastarch terus dihancurkan oleh enzim amilase dalam
aliran darah sebelum dibersihkan ginjal. Kadar serum amilase sering
meningkat (2 sampai 3 kali di atas normal) selama beberapa hari pertama
setelah infus hetastarch, dan kembali normal pada hari ke-5 sampai hari
ke-7 setelah pemberiannya. Reaksi anafilaksis untuk hetastarch yang jelas
jarang terjadi (insiden terendah 0,0004%). Uji laboratorium koagulopati
dapat terjadi tetapi tidak disertai dengan perdarahan (Marino, 2007).
2..5 Efedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari
tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan
luas di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan
tradisional Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang (Katzung,
2006).
2.5.1 Farmakokinetik
Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral.
Efedrin dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral,
subkutan ataupun intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam 15-
60 menit setelah pemberian oral dan bertahan selama 2-4 jam.
Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur intramuskular lebih
cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian subkutan. Pada
pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi. Lama
kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada
pemberian parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada
Universitas Sumatera Utara

pemberian secara oral. Efedrin juga dilaporkan melewati plasenta
dan terdistribusi pada air susu ibu.Efedrin dimetabolisme oleh
liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi oksidasi, demetilasi,
hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah p-
hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan
konjugasinya. Efedrin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui urine dan dalam bentuk tidak berubah. Eliminasi efedrin
dan metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine. Eliminasi paruh
waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam pada pH
urin 6,5 (Katzung, 2010).
2.5.2 Farmakodinamik
Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi
respon kenaikan tekanan darah sistemik kurang dibanding
efedrin. Efedrin membutuhkan 250 kali dibandingkan epinefrin
untuk mendapatkan efek kenaikan tekanan darah yang sama.
Pemberian efedrin intravena meningkatkan tekanan darah,
denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal dan
splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet
meningkat. Resistensi vaskular sistemik berubah karena
vasokonstriksi pada vascular beds diimbangi dengan
vasodilatasi oleh stimulasi 2 pada tempat-tempat yang lain.
Efek kardiovaskular tersebut pada reseptor menyebabkan
vasokonstriksi arteri dan vena di perifer. Mekanisme utama efek
efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan meningkatkan
kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor 1. Dengan
adanya antagonis reseptor maka efek efedrin terhadap
kardiovaskular adalah dengan stimulasi reseptor
(Setiawati,2006).
Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai
efektifitas lebih rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini
dikenal dengan istilah takifilaksis, yang mana juga terjadi pada
Universitas Sumatera Utara

simpatomimetik dan berhubungan dengan masa kerja obat.
Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor adrenergik
secara persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi
reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah
sistemik terjadi pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada
saat itu, reseptornya bisa menempati batas minimal efedrin
untuk peningkatan tekanan darah. Takifilaksis mungkin karena
kekurangan simpanan norepinefrin (Calvey,2008)

















Universitas Sumatera Utara

You might also like