You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dilihat dari maknanya menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), hak
memiliki makna kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Hak juga berkaitan dengan
derajat dan martabat seseorang individu. Sementara untuk kewajiban, memiliki
arti yaitu sesuatu yang harus dilakukan. Dari segi makna, keduanya tentu berbeda.
Namun dalam pelaksanaannya sehari-hari, kedua kata ini sering dikaitkan satu
sama lain. Hak dan kewajiban hakikatnya merupakan dua hal yang melekat pada
diri seseorang sebagai individu maupun sebagai warga negara. Kedua hal ini harus
dijamin baik oleh individu lain maupun negara tempat ia tinggal.
Di negara Indonesia, terdapat aturan hukum yang berkaitan hak dan kewajiban
individu sebagai warga negara. Seperti yang tertera pada Pasal 27 ayat (1)
menyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemeritahan itu
dengan tidak ada kecualinya. Atau yang terdapat pada Pasal 30 menyatakan
bahwa Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pembelaan negara.
Dengan adanya aturan hukum mengenai hak dan kewajiban tersebut,
seharusnya setiap warga negara mampu mendapatkan apa yang menjadi haknya
seperti hak hidup, hak bicara, dll; serta dapat melakukan kewajibannya seperti
menghormati hak orang lain, wajib menaati hukum, dll. Akan tetapi seiring
berjalannya waktu, di era reformasi saat ini, kapitalisme sudah menjamur di
kehidupan masyarakat kita. Individu yang memiliki modal lebih akan memiliki
kekuasaan yang lebih pula. Hal ini tentu menyebabkan diskriminasi terhadap
individu lain.
Berdasarkan uraian di atas, Penulis mengambil judul Hak dan Kewajiban di
Era Reformasi.

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pelaksanaan hak dan kewajiban seorang warga negara pada era
reformasi saat ini?
1.3 Tujuan
a. Agar setiap warga negara menyadari hal-hal apa saja yang menjadi hak dan
kewajibannya di negara Indonesia.
b. Mengetahui fenomena kontemporer mengenai pelaksanaan hak dan
kewajiban warga negara di era reformasi














BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kewarganegaraan Indonesia
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh
UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan
Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta)
Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan
diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila
ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor
diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang
bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang
menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah :
1. Setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah
yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah
tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
5. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui
oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan
sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
9. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya
11. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan
ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut
dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi :
1. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun
dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing
2. Anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah
sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan
bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh
kewarganegaraan Indonesia
4. Anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.

Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang
termasuk dalam situasi sebagai berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan
bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya
memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat
anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga
negara Indonesia.
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas,
dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui
proses pewarganegaraan.

2.2 Sejarah Kewarganegaraan di Indonesia
Orde Lama (era Soekarno)
1946 - Indonesia pada tahun 1946 telah jelas mengundangkan bahwa
Indonesia menganut azas ius soli. Siapa saja yang lahir di Indonesia adalah warga
negara Indonesia. Dengan demikian, secara otomatis, orang Tionghoa yang ada di
Indonesia sejak Proklamasi 1945 adalah WNI suku Tionghoa.
1949 - Belanda mengharuskan Indonesia mendasarkan peraturan
kewarganegaraannya ke zaman kolonial bila ingin mendapat pengakuan
kedaulatan dari Belanda. Orang Tionghoa di Indonesia kembali diharuskan
memilih ingin jadi WNI atau tidak.
1955 - Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RRC dan Indonesia
ditandatangani. Karena ada klaim dari Mao Zedong bahwa RRC menganut azas
ius sanguinis, siapa yang lahir membawa marga Tionghoa (keturunan dari laki-
laki Tionghoa) maka ia otomatis menjadi warga negara Tiongkok. (Hal ini
merupakan alasan politik untuk menggalang dukungan dari kalangan Tionghoa
perantauan seperti yang dilakukan oleh ROC Taiwan (nasionalis)). Di KAA
Bandung, Zhou Enlai menyatakan bahwa keturunan Tionghoa di Indonesia
berutang kesetiaan pada negara leluhur. Mao di satu pihak meluncurkan kebijakan
ini, namun di lain pihak merasa keturunan Tionghoa di luar negeri adalah masih
memihak kepada ROC yang nasionalis.
1958 - Perjanjian dituangkan dalam UU, menegaskan bahwa orang
Tionghoa di Indonesia kembali diperbolehkan memilih kewarganegaraan
Tiongkok atau Indonesia. Batas waktu pemilihan sampai pada tahun 1962. Yang
memilih menjadi WNI tunggal harus menyatakan diri melepaskan
kewarganegaraan Tiongkok.


Orde Baru (era Soeharto)
1969 - Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dibatalkan. Yang memegang
surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan menjadi stateless (tidak memiliki
kewarganegaraan) bila tidak menyatakan keinginan menjadi WNI.
1978 - Peraturan Menteri Kehakiman mewajibkan SBKRI bagi warga
Tionghoa.
1983 - Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa SBKRI hanya
wajib bagi mereka yang mengambil surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan lalu
menyatakan keinginan menjadi WNI. Jadi bagi WNI tunggal dan keturunannya
(yang telah menyatakan menjadi WNI tunggal sebelum tahun 1962 dan yang
keturunan mereka, serta semua orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 1962)
tidak diperlukan SBKRI.
1992 - Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa anak2
keturunan dari orang Tionghoa pemegang SBKRI cukup menyertakan SBKRI
orang tua sebagai bukti mereka adalah WNI.
1996 - Penyertaan SBKRI tidak diberlakukan lagi atas Keputusan
Presiden. Namun tidak banyak yang tahu karena kurangnya sosialisasi.
Era Reformasi
1999 - Keputusan Presiden tahun 1996 itu diperkuat sekali lagi dengan
Instruksi Presiden tahun 1999.
Perkembangan terakhir
Pada tanggal 8 Juli 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia.
Di pasal 4 butir 2 berbunyi, "Bagi warga negara Republik Indonesia
yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Kartu Keluarga (KK),
atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan
tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu
Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran tersebut."
Sedangkan pasal 5 berbunyi, "Dengan berlakunya Keputusan Presiden
ini, maka segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu
mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak berlaku lagi."
Pada 1999, dikeluarkan Instruksi Presiden No 4/1999 tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden No 56/1996 yang menginstruksikan tidak
berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI.

2.3 Hak dan Kewajiban Warga Negara menurut UUD 1945
Semua persoalan warga Negara diatur dalam konstitusi Negara UUD
1945 dan berbasis pada filosofis Negara termasuk hak dan kewajiban warga
Negara. Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mencakup hak dan kewajiban warga
Negara antara lain pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33, dan 34.
Pasal 27 ayat 1 Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
Pasal 27 ayat 2 Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Pasal 27 ayat 3 Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan Negara
Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-
undang
Pasal 28A-28J mengenai Hak Asasi Manusia
Pasal 29 ayat2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu
Pasal 30 ayat 1 Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara
Pasal 31 ayat 1 Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan
Pasal 31 ayat 2 Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya
Pasal 34 ayat 1 Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
Negara.
Hak dan kewajiban ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan
tetapi sering terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang.
Sudah sangat jelas bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk
mendapatkan penghidupan yang layak, akan tetapi pada kenyataannya banyak
warga negara yang belum merasakan kesejahteraan dalam menjalani
kehidupannya. Semua itu terjadi karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih
banyak mendahulukan hak daripada kewajiban. Padahal menjadi seorang pejabat
itu tidak cukup hanya memiliki pangkat akan tetapi mereka berkewajiban untuk
memikirkan diri sendiri. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan
terjadi kesenjangan sosial yang berkepanjangan. Untuk mencapai keseimbangan
antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri.
Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan kewajibannya. Seorang pejabat
atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya. Seperti yang sudah
tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban
seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera.
Akan tetapi, hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang.
Apabila masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Karena para pejabat tidak
akan pernah merubahnya, walaupun rakyat banyak menderita karena hal ini.
Mereka lebih memikirkan bagaimana mendapatkan materi daripada memikirkan
rakyat. Para pejabat dan pemerintah hanya mengobar janji manis kepada rakyat
untuk mendapatkan haknya. Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak rakyat
yang belum mendapatkan haknya.
Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi harus bangun
dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak dan
tak lupa melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Sebagaimana
telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak
warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur
dalam undang-undang. Pasal ini mebcerminkan bahwa negara Indonesia bersifat
demokrasi.
Makna kedaulatan adalah kemandirian bangsa. Kemandirian hanya dapat
diperoleh jika suatu bangsa memiliki kedaulatan. Sebaliknya, kedaulatan hanya
dapat diwujudkan dan dipertahankan jika suatu bangsa tidak bergantung kepada
bangsa lain. Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang mandiri baik secara
politik, ekonomi, maupun budaya. Kemerdekaan dan kedaulatan menjadi tidak
bermakna jika suatu bangsa bergantung atau selalu dipaksa menuruti kehendak
bangsa lain. Namun demikian kemandirian tidak berarti mengucilkan diri dari
bangsa-bangsa lain. Kemandirian memiliki sisi dinamis antara interdependensi
dan independensi.
Kedaulatan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka adalah dasar pijakan untuk menjadi bangsa yang mandiri. Kemandirian
yang sudah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa bukanlah khayalan belaka
karena Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberikan kekayaan berlimpah.
Indonesia memiliki pulau serta wilayah darat yang sangat luas,yang subur dan
dipenuhi dengan kekayaan alam di dalamnya, lautan yang luas dipenuih hasil laut
baik perikanan maupun tambang.
Hak dan kewajiban ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan
tetapi sering terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang.
Sudah sangat jelas bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk
mendapatkan penghidupan yang layak, akan tetapi pada kenyataannya banyak
warga negara yang belum merasakan kesejahteraan dalam menjalani
kehidupannya. Semua itu terjadi karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih
banyak mendahulukan hak daripada kewajiban. Padahal menjadi seorang pejabat
itu tidak cukup hanya memiliki pangkat akan tetapi mereka berkewajiban untuk
memikirkan diri sendiri.

You might also like