You are on page 1of 43

Pengantar Arsitektur 1

Rumah Adat Bali






Oleh :
Kelompok 8
1. Muhajir Agus Beta Kaprawijoyo
2. Putri Kumalasari Adinegoro
3. Remicha Dwigamie
4. Wina Tristiana
2TB02


Jurusan Teknik Sipil dan Arsitektur
Universitas Gunadarma
2011
2

Arsitektur Tradisional Bali

Arsitektur Tradisional Bali merupakan kombinasi dari hubungan keseimbangan antara Bhuwana
Agung (alam semesta, dunia yang lebih besar,) dan Bhuwana Alit (manusia, miniatur kecil).
Arsitektur Tradisional Bali mendapat pengaruh campuran budaya Hindu, Cina Buddha, dan
kebudayaan Megalitik. Beberapa bagian dari gaya Eropa juga dapat ditemukan dalam Arsitektur
Bali.

Nawa Sanga

Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi kehidupan keseharian
masyarakat Bali. Seperti halnya dengan mata angin arah utara selatan yang di sebut Kaja
Kelod, dan timurbarat yang disebut kangin kaluh. Hal ini sangat penting karena orientasi
orang Bali terhadap Gunung Agung dan arah terbit matahari menjadi pedoman bagi perletakan
pola perumahan pada umumnya. Utara melambangkan dewa Wisnu, selatan dewa Brahma,
timur dewa Iswara dan barat dewa Mahadewa.



3

Metodologi Arsitektur Bali

Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan Asta Kosala Kosali yang memuat
tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau
pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah
harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu
sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang mempunyai kewenangan membantu
membangun rumah atau pura.

Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran
atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati
rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal
dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia
dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk
ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.

Pola Ruang Rumah Tinggal

Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakan satu
kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri
dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung Agung.

Hal ini terjadi karena
hirarki yang ada
menuntut adanya
perbedaan strata dalam
pengaturan ruang-ruang
pada rumah tinggal
tersebut.

Seperti halnya tempat
tidur orang tua dan
anak-anak harus
terpisah, dan juga
hubungan antara dapur
dan tempat pemujaan
keluarga. Untuk
4

memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan
sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur dan barat. Bagi mereka
arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal,
sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut
pamerajan.

Sebuah rumah tradisional Bali terdiri bangunan yang memiliki fungsi berbeda. Yaitu:

ANGKUL-ANGKUL
Angkul-angkul adalah gerbang/pintu masuk dengan atap sebagai penghubung kedua
sisinya. Angkul-angkul memiliki atap piramida yang terbuat dari rumput kering. Angkul-
angkul biasanya lebih tinggi dari dinding yang mengelilingi rumah.

ALING-ALING
Aling aling adalah semacam tembok sekat dari batu setinggi kurang lebih 150 cm ,
yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga untuk memasuki rumah harus
menyamping ke arah kiri dan saat keluar nanti melalui sisi kanan dari arah masuk. Ini
mempunyai tujuan agar pandangan dari luar tidak langsung bisa melihat apa yang ada di
dalam.


angkul - angkul dan aling - aling



5

METEN / BALE DAJA
Bale Meten terletak di bagian Utara (dajan natah umah) atau di sebelah barat tempat
suci/ Sanggah. Bale Meten ini juga sering disebut dengan Bale Daja, karena tempatnya
di zona utara (kaja). Fasilitas desain interiornya adalah 2 buah bale yang terletak di kiri
dan kanan ruang. Bentuk bangunan Bale Meten adalah persegi panjang, dapat
menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang berjumlah 8 (sakutus), dan 12
(saka roras). Fungsi Bale Meten adalah untuk tempat tidur orang tua atau Kepala
Keluarga di bale sebelah kiri. Sedangkan di bale sebelah kanan difungsikan untuk ruang
suci, tempat sembahyang dan tempat menyimpan alat- alat upacara.

Sebagaimana dengan bangunan Bali lainnya, bangunan Bale Meten adalah rumah
tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah
halaman (75-100 cm). Bangunan ini adalah bangunan yang memiliki tempat tertinggi
pada seluruh bale dalam satu pekarangan disamping untuk menghindari terjadinya
resapan air tanah.

BALE SAKEPAT
Bale Sakepat adalah bangunan dengan jumlah tiang empat dan dipergunakan untuk
kamar tidur anak.

BALE SAKENEM / DEMI ENEM
Jumlah tiangnya enam. Fungsinya sama dengan Bale Sakepat.

BALE DANGIN / BALE GEDE
Bale Dangin terletak di bagian Timur atau dangin natah umah, sering pula disebut
dengan Bale Gede apabila bertiang 12. Fungsi Bale Dangin ini adalah untuk
tempat upacara dan bisa difungsikan sebagai tempat tidur. Fasilitas pada bangunan
Bale Dangin ini menggunakan 1 bale- bale dan kalau Bale Gede menggunakan 2 buah
bale-bale yang terletak di bagian kiri dan kanan. Bentuk Bangunan Bale Dangin adalah
segi empat ataupun persegi panjang, dan dapat menggunakan saka/tiang yang
terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem), 8 (sakutus/astasari), 9
(sangasari) dan 12 (saka roras/Bale Gede). Bangunan Bale Dangin adalah rumah tinggal
yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman namun
lebih rendah dari Bale Meten.
6


bale gede

PAMERAJAN
Pamerajan adalah kuil yang didedikasikan untuk berdoa kepada Tuhan dan leluhur
keluarga. Terletak di daerah Utama (sisi timur laut) dari rumah, seperti yang diceritakan
pada konsep Tri Mandala.



7

BALE DAUH
Bale Dauh ini terletak di bagian
Barat (Dauh natah umah), dan
sering pula disebut dengan Bale
Loji, serta Tiang Sanga. Fungsi
Bale Dauh ini adalah untuk tempat
menerima tamu dan juga
digunakan sebagai tempat tidur
anak remaja atau anak muda.
Fasilitas pada bangunan Bale Dauh
ini adalah 1 buah bale-bale yang
terletak di bagian dalam. Bentuk
Bangunan Bale Dauh adalah persegi panjang, dan menggunakan saka atau tiang
yang terbuat dari kayu. Bila tiangnya berjumlah 6 disebut sakenem, bila berjumlah
8 disebut sakutus/astasari, dan bila tiangnya bejumlah 9 disebut sangasari.
Bangunan Bale Dauh adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai
yang lebih rendah dari Bale Dangin serta Bale Meten.

PAON
Dapur (Paon) terletak di sisi selatan rumah milik daerah Nista, karena merupakan
tempat di mana keluarga menyimpan peralatan untuk menyembelih hewan dan
menebang pohon, termasuk pisau, kapak, dll. Paon terdiri dari dua bagian, bagian
pertama disebut Jalikan, yaitu area terbuka yang digunakan untuk memasak dengan
oven kayu api. Bagian kedua adalah sebuah ruangan di mana makanan dan peralatan
memasak lainnya disimpan.


paon
8


JINENG / LUMBUNG
Jineng / Lumbung adalah gudang beras. Gudang ini
terletak di belakang Demi Enem, didekat Paon
(dapur). Jineng / Lumbung diposisikan lebih tinggi
dari bangunan lainnya.










Konsep Teknik Konstruksi Dan Material

Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan
Tri Angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai Nista, Madya dan Utama.

Nista menggambarkan suatu hirarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan
dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan
diatasnya. Atau bilah dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu
gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan
dimensi ruang yang akan dibuat. Pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam
penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau merupakan plesteran akhir. Nista juga
digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu.

Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan
pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.

Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang
diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat
tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang
digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
9


Penerapan konsep Tri Angga pada pola ruang pemukiman, yaitu di teritorial rumah tinggal dan
bangunan arsitektur adalah sebagai berikut:

Dalam tata ruang area rumah tinggal, utama angga adalah pelataran pemerajan atau
tempat sembahyang yang dianggap suci, madya angga adalah lokasi massamassa
bangunan tempat tinggal, nista angga adalah teba, yaitu area kandang hewan, tempat
pembuangan sampah/kotoran rumah tangga lainnya.
Pada bangunan, utama angga atau yang dianggap kepala adalah bagian atap (rab),
madya angga adalah badan bangunan (pengawak), dan nista angga adalah kaki
bangunan (bebataran).

Pada bidang vertikal, seperti pada bangunan dan manusia, dengan mudah dilihat bahwa utama
angga adalah bagian atas (kepala), madya angga adalah bagian tengah (badan), dan nista angga
adalah bagianbawah (kaki).



Tetapi pada bidang horisontal, pembagian zone utama, madya dan nista didasari bukan oleh
sumbu hierarki yang vertikal, tetapi oleh tata nilai ritual dan orientasi kosmologis. Ada tiga buah
sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara
lain:

Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)

Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) berorientasi pada lintasan
10

terbit dan terbenamnya matahari dengan arah kangin sebagai nilai utama (arah
terbitnya matahari) dan arah kauh sebagai nilai nista (arah terbenamnya matahari),
sedangkan nilai Madya ada di tengahnya.

Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut).
Segala sesuatu yang dikategorikan bersifat suci dan bernilai sakral akan menempati letak
di baian Kaja (utara) mengarah ke gunung seperti : letak pura, arah sembahyang, arah
tidur dan sebagainya. Sebaiknya, segala sesuatu yang dikategorikan kurang suci dan
bernilai profan, akan menempati letak bagian kelod (selatan), seperti : letak kuburan,
letak kandang, tempat pembuangan sampah/ kotoran,dan sebagainya

Zone yang dianggap bernilai utama adalah arah kaja (menghadap gunung) dan kangin (Timur
sebagai arah terbitnya mataharisumber kehidupan), dan zone yang dianggap nista atau
bernilai rendah adalah arah kelod (menghadap laut) dan kauh (Barat).

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa
Sanga atau Sanga Mandala yang akan dibahas pada subbab berikutnya. Transformasi fisik dari
konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal
di Bali.










Catuspatha

Catuspatha adalah konsep ruang kosong di tengah-tengah pertemuan sumbu orientasi
kosmologis (kaja-kelod) dan tata nilai ritual (kangin-kauh) pada pola ruang masyarakat
tradisional Bali. Area pertemuan sumbu kaja-kelod dan kangin-kauh di tengah-tengah dibiarkan
kosong karena nilai pusat dianggap kosong (pralina) sebagai simbol pusat kekuatan yang Maha
11

Sempurna.

Penerapan konsep catuspatha pada pola ruang area rumah tinggal tradisional Bali adalah
adanya ruang kosong (halaman tengah/inner court) di tengah-tengah sebagai area pertemuan
sumbu kaja-kelod-kangin-kauh, yang pada area rumah tinggal disebut natah. Karena area pusat
ini dinilai paling tinggi sebagai simbol yang Maha Sempurna, maka semua bangunan di zone
arah kaja-kelod-kangin-kauh dibuat menghadap area tengah. Di masing-masing sudut
perempatan, disediakan tanah kosong (Karang Tuang) seluas satu persil, yang berfungsi sebagai
ruang terbuka hijau. Konsep ruang ini pada umumnya diterapkan pada pola ruang Desa.


aplikasi konsep catuspatha pada bangunan rumah tinggal bali madya

Konsep Orientasi Kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala

Konsep sangamandala adalah pengembangan dari kombinasi konsep Tri Angga dan
Catuspatha. Konsep sangamandala adalah pembagian ruang ke dalam 9 zone yang lahir dari
aplikasi konsep Tri Angga dalam bidang vertikal dan horisontal, di mana ruang di tengah-tengah
sebagai pusat dan simbol sumber kekuatan dibiarkan kosong (konsep catuspatha). Konsep Tri
Angga membagi bidang atau sumbu vertikal orientasi kosmologis kaja-kelod dalam 3 zone
ruang: utama, madya dan nista, sementara bidang atau sumbu horisontal orientasi tata nilai
sakral kangin-kauh juga dibagi dalam 3 zone ruang: utama, madya dan nista. Kombinasi
pembagian bidang vertikal dan horisontal ke dalam 3 zone ruang yang hirarkis, secara
keseluruhan, menghasilkan 9 zone ruang.
12


Kesembilan bagian tersebut merangkum semua kegiatan sosial, ekonomi, spiritual, budaya dan
keamanan, yang menjadi satu-kesatuan utuh dan saling berhubungan pada masing-masing
anggota keluarga di rumah tersebut. Artinya seluruh kegiatan keluarga dapat dilakukan dalam
satu lingkungan rumah di dalam penyengker yang cukup luas.



penjabaran konsep zoning sanga mandala dalam rumah

13

Konsep ruang Sanga mandala adalah konsep ruang yang dibagi menjadi sembilan bagian area
(pah pinara sanga sesa 1, 2, 3, dst.), artinya ruang dibagi sembilan dan disisakan satu, dua, atau
tiga bagian, dan seterusnya pada bagian luar sebelah kiri. Bagian ini dikelompokkan menjadi 3
bagian besar, yaitu: Nista, Madya dan Utama.

aplikasi konsep ruang sanga mandala pada rumah tinggal tradisional bali madya

a. Nista, merupakan area tiga kelompok ruang yang berada di sebelah kiri, meliputi bangunan
kandang dan angkul-angkul, serta sebagian bale dauh dan paon.

b. Madya merupakan area ruang untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti untuk
melakukan upacara adat dan keagamaan. Kelopok ruang madya yang merupakan ruang bagian
tengah, meliputi bangunan tempat suci Penunggun Karang, natah (halaman), jineng (lumbung)
dan bangunan angkul-angkul (pintu keluar-masuk halaman).

c. Utama merupakan area ruang tempat suci (sanggah/ merajan).

Gambar ini memperlihatkan pembagian area berdasarkan tata nilai ruang: Nista, Madya,
Utama. Area utama terletak pada tiga area di pojok kanan atas area mandya berada di tengah
dan area nista berada pada pojok kiri bawah. Sesa 1, 2, 3, dst berada pada area paling kiri.

14




Konsep Proporsi dan Skala Manusia

Perumahan tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat serta
pantangan-pantangan. Dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan dimensi pekarangan
dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuh penghuni/kepala keluarga, seperti
tangan, kaki dan lainnya. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak,
Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.


ukuran tubuh manusia sebagai dasar pengukuran lingkungan buatan




15

Aspek-Aspek Arsitektur Bali

1. Aspek Sosial
Dalam pandangan masyarakat Bali konsep teritorial memiliki dua pengertian, yaitu: pertama,
territorial sebagai satu kesatuan wilayah tempat para warganya secara bersama-sama
melaksanakan upacara-upacara dan berbagai kegiatan sosial yang ditata oleh suatu sistem
budaya dengan nama desa adat; dan kedua, desa sebagai kesatuan wilayah administrasi
dengan nama desa dinas atau perbekalan. (Depdikbud, 1985). Sistem kemasyarakatan
(organisasi) desa dengan desa adat di Bali adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari
desa adat serta merupakan persekutuan hidup sosial, dalam keadaan senang maupun susah,
berdasarkan persekutuan hidup setempat atau kesatuan wilayah (Agung, 1984: 18-29;
Covarrubias, 1986: 39-70). Banjar sebagai lembaga tradisional merupakan bagian desa juga
memiliki tiga unsur, hanya saja unsur kahyangan tiga berupa fasilitas lingkungan berupa Bale
banjar yang dilengkapi Pura Banjar, sebagai tempat pertemuan, kegiatan sosial, upacara dan
orientasi warga banjar. (Adhika, 1994:2). Dari kesatuan wilayah, tidak ada ketentuan satu desa
dinas terdiri beberapa desa adat atau sebaliknya, tapi menunjukkan variasi. Variasinya cukup
beraneka ragam dan kompleks, antara lain: 1). Satu desa dinas terdiri dari satu desa adat, 2).
Satu desa dinas mencakup beberapa desa adat, 3). Satu desa adat mencakup beberapa desa
dinas, 4). Kombinasi 2 dan 3. Untuk memproleh pengertian tentang komunitas masyarakat Bali,
maka penggambaran tentang ciri-cirinya akan diperinci menurut aspek-aspek sebagai berikut:
legitimasi, atribut- atribut dan ciri khusus.

a. Legitimasi
Disamping adanya pengakuan formal, maka legitimasi suatu komunitas berkembang pula
dikalangan warga menurut persepsinya dengan ciri: 1). Adanya perasaan cinta dan terkait
kepada wilayah tersebut, 2). Adanya rasa kepribadian kelompok, 3). Adanya pola hubungan
yang bersifat intim dan cendrung bersifat suka rela, 4). Adanya suatu tingkat penghayatan dari
sebagian besar lapangan kehidupannya secara bulat. Beberapa syarat pokok terbentuknya desa
adat, yaitu: 1). Adanya wilayah dengan batas-batas tertentu yang disebut dengan palemahan
desa atau tanah desa, 2). Adanya warga desa yang disebut pawongan desa. Sistem
kemasyarakatan di Bali mewajibkan kepada orang yang telah makurenan (berumah tangga) dan
bertempat tinggal di wilayah suatu desa adat untuk menjadi krama banjar (Anonim, 1983), 3).
Adanya pura sebagai pusat pemujaan warga desa yang disebut kahyangan tiga, 4). Adanya
suatu pemerintahan adat yang berlandasan pada aturan-aturan adat tertentu/awig-awig desa.
(Bappeda, 1982:31).

b. Atribut Desa Adat
Atribut pokok dari suatu komunitas kecil yang terwujud sebagai desa adat di Bali tersimpul
16

dalam konsepsi Tri Hita Karana sebagai berikut:

y Kahyangan Tiga, yang terdiri dari tiga pura sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu
pura puseh, Bale Agung dan pura dalem. Untuk satuan banjar yang merupakan sub
bagian desa terdapat fasilitas umum berupa Bale Banjar yang dilengkapi Bale Kulkul
dan pura banjar.

y Pawongan Desa, yaitu seluruh warga desa yang bersangkutan. Sebagai warga inti
adakah setiap pasangan suami istri yang telah berkeluarga. Menurut jumlah
anggotanya, banjar di Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: banjar besar, bila
jumlah anggotanya lebih dari 50 kuren (kepala keluarga), banjar kecil bila anggotanya
lebih sedikit dari 50 kuren. Besaran yang efektif dalam desa adat di Bali adalah sekitar
200 KK setiap banjar. Maka bila rata-rata masing-masing KK ada lima orang maka
setiap banjar (penyatakan) terdiri sekitar seribu jiwa. Penelitian Prof. Antonic
terhadap desa-desa adat dan dinas di Bali menyimpilkan besaran efektif untuk sebuah
desa adalah lima ribu jiwa.

y Palemahan Desa, yaitu wilayah desa yang merupakan tempat perumahan warga desa.
Perumahan berada pada kedua belah sisi megikuti pola jalan, Bale Banjar sebagai
fasilitas sosial umumnya terletak pada posisi yang strategis, seperti pada satu sudut
persilangan atau pertigaan jalan di tengah tengah lingkungan bajar (Putra, 1988).

Disamping atribut pokok tersebut, masih perlu dikemukakan beberapa fasilitas dan pelayanan
desa yang menjadi simbol suatu komunitas masyarakat Bali yang terwujud sebagai Desa adat,
yaitu:

y Balai Pertemuan (Banjar) tempat terselenggaranya rapat-rapat desa,
y Kuburan desa yang biasanya terletak berdekatan dengan pura dalem,
y Perempatan Desa merupakan tempat yang dianggap keramat dan juga sebagai
tempat upacara,
y Tata susunan perumahan yang mengikuti konsep Tri Mandala, yaitu: Utama, Madya,
dan Nista. Desa adat sebagai suatu komunitas dengan fokus fungsinya dibidang adat
dan agama, seperti; upacara Odalan, Galungan, Nyepi (Tawur Kesanga), sedangkan
dalam skala banjar adat, seperti; pemeliharaan pura, upacara perkawinan, kematian
dan membangun rumah.

Dalam menjalankan fungsinya itu, tiap-tiap desa adat mempunya kedudukan yang otonom,
dalam arti tiap desa adat berdiri sendiri menuruti aturan- aturan (awig-awig desa). Bidang
17

pemerintahan berada di tangan urusan desa dinas, menangani fungsi, antara lain: administrasi
pemerintahan, pembangunan desa, upacara nasional serta keamanan desa. Dalam hal
kedinasan itu, desa dinas membawahi sejumlah banjar dinas.

2. Aspek Simbolik
Aspek simbolik pada perumahan adalah berkenaan dengan orientasi kosmologis. Kegiatan
masyarakat Bali pada umumnya dapat dibagi atas dua kegiatan, yaitu: kegiatan yang bersifat
sakral (berkaitan dengan kegiatan keagamaan), dan kegiatan yang bersifat profan (berkaitan
dengan kegiatan sosial masyarakat). Penempatan kegiatan tersebut dibedakan berdasarkan
orientasi kesakralannya. Elemen-elemen ruang yang dijadikan indikator kesakralan perumahan
adalah:

y Sumbu perumahan berupa jalan utama (arah kaja- kelod) atau ruang utama pada
perumahan,
y Lokasi pura puseh (pura leluhur),
y Lokasi pura dalem (pura kematian), dan
y Bale Banjar.

Orientasi arah sakral pada tingkat perumahan dapat mengarah:

y Ke arah gunung atau tempat yang tinggi dimana arwah leluhur bersemayam.
y Sumbu jalan (kaja-kelod) yang menuju ke dunia leluhur yang bersemayam di gunung
(kaja).
y Mengarah ke elemen-elemen alam lainnya.
y Arah kaja kangin yaitu arah ke gunung Agung.

Sanga Mandala yang dilandasi konsep Nawa Sanga adalah konsep tradisional yang didasarkan
pada orientasi kosmologis masyarakat Bali sebagai pengejawantahan cara menuju ke
kehidupan harmonis. Nawa sanga menunjuk ke arah delapan penjuru angin ditambah titik
pusat di tengah. Dari kesembilan orientasi ini yang paling dominan adalah orientasi dengan
gunung-laut dan sumbu terbit-terbenamnya matahari. Daerah yang paling sakral selalu
ditempatkan pada arah gunung (kaja-kangin), sedang daerah yang sifatnya profan ditempatkan
pada arah yang menuju ke laut (kelod-kauh). Berdasarkan urut-urutan tingkat kesakralan, dari
paling sakral ke paling profan elemen bangunan rumah diurutkan sebagai berikut: Sanggah
(pura rumah tangga), pengijeng, Bale adat bale gede, meten, bale (ruang serba guna), pawon
(dapur), jineng (lumbung), kandang ternak, teben (halaman belakang).

3. Aspek Morpologis
18

Kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) peruntukan, yaitu:
peruntukan inti, peruntukan terbangun, dan peruntukan pinggiran (lihat Gambar. 7).
Peruntukan inti pada perumahan yang berpola linear terletak pada sumbu jalan menyatu
dengan peruntukan terbangun, atau pada jalan utama yang menuju ke pura desa. Pada
perumahan yang berpola perempatan (Catur patha) peruntukan inti berada pada persimpangan
jalan tersebut. Peruntukan inti umumnya bangunan yang memiliki fungsi sosial, seperti; Jineng
(lumbung desa), Bale banjar dan Wantilan (Parimin, 1968:91). Peruntukan terbangun adalah
merupakan wilayah lama, berupa bangunan perumahan yang dibangun pada awal
terbentuknya rumah tersebut, biasanya berada disekitar peruntukan inti. Peruntukan pinggiran
adalah wilayah yang terletak di luar wilayah terbangun, tetapi masih dibawah kontrol desa
adat. Beberapa desa adat peruntukan pinggiran terletak pura desa /dalem.

4. Aspek Fungsional
Aspek fungsional adalah fungsi elemen ruang dalam kaitannya dengan orientasi kosmologis,
yang tercermin pada komposisi dan formasi ruang. Dari konsep Sanga Mandala yang bersifat
abstrak diterjemahkan ke dalam kosep fisik, baik dalam skala rumah dan perumahan. Pada
skala rumah, tiap segmen peruntukan didasarkan atas tingkat sakral dan profan. Elemen ruang
yang paling sakral seperti Merajan (pura rumah tangga) ditempatkan pada segmen sakral
(utama), yaitu kaja-kangin. Meten (tempat tidur), dan tempat bekerja ditempatkan pada
segmen madya, kandang ternak atau kotoran ditempatkan pada segmen nista. Dalam skala
permukiman, penerapan konsep Sanga Mandala , ada 3 macam pola tata ruang, yaitu:

a. Pola Perempatan (Catus Patha)
Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-selatan)
dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga Mandala, pada
daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura desa. Letak Pura Dalem
(kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh (barat daya) yang mengarah ke
laut. Peruntukan perumahan dan Banjar berada pada peruntukan madya (barat-laut).

b. Pola Linear
Pada pola linear konsep Sanga Mandala tidak begitu berperan. Orientasi kosmologis lebih
didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara- selatan) dan sumbu kangin-kauh (timur-barat).
Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk Pura (pura bale agung
dan pura puseh). Sedang di ujung selatan (kelod) diperuntukan untuk Pura Dalem
(kematian) dan kuburan desa.Diantara kedua daerah tersebut terletak perumahan
penduduk dan fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang terletak di plaza umum,
seperti dijelaskan Gambar 9. Pola linear pada umumnya terdapat pada perumahan di
daerah pegunungan di Bali, dimana untuk mengatasi geografis yang berlereng diatasi
19

dengan terasering.

c. Pola Kombinasi
Pola kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha) dengan pola
linear. Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun demikian sistem linear.
Peruntukan pada fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza) yang ada di tengah-
tengah perumahan. Lokasi bagian sakral dan profan masing-masing terletak pada ujung
utara dan selatan perumahan. Jelasnya lihat Gambar 10. Pola tata ruang yang
dikemukakan di atas merupakan penyederhanaan daripada pola tata ruang yang pada
kenyataannya sangat bervariasi. Setiap daerah perumahan di Bali mempunyai pola
tersendiri yang disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan pada uraian Aspek Sosial.
Dari ilustrasi tersebut perumahan tradisional Bali dapat diklasifikasikan dalam 2 type,
yaitu:

1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk asli Bali yang kurang
dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan ini terletak di daerah
pegunungan yang membentang membujur di tangah- tangah Bali, sebagian
beralokasi di Bali Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola perumahan Bali Aga
dicirikan dengan adanya jalan utama berbentuk linear yang berfungsi sebagai
ruang terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama desa. Contoh
perumahan Bali Aga: Julah (di Buleleng), Tenganan, Timbrah dan Bugbug (di
Karangasem).
2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan tradisional yang banyak dipengaruhi
oleh Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type ini tersebar di dataran bagian selatan
Bali yang berpenduduk lebih besar diabndingkan type pertama. Ciri utama
perumahan ini adalah adanya Pola perempatan jalan yang mempunyai 2 sumbu
utama, sumbu pertama adalah jalan yang membujur arah Utara- Selatan yang
memotong sumbu kedua berupa jalan membujur Timur-Barat.

20


gambar 7. morfologi perumahan tradisional bali.


gambar 8. pola perempatan (catus patha) perumahan tradisional bali.

21


gambar 9. pola linear perumahan tradisional bali


gambar 10. pola kombinasi perumahan tradisional bali




22

Pondasi
Pondasi pada rumah tradisional Bali menggunakan pondasi setempat/menerus (batu kali) ,
bahan materialnya terdiri dari batu bata atau batu gunung, yang disusun rapi sesuai dengan
dimensi ruang yang akan dibuat, lalu diberi finishing berupa plesteran akhir.
Lantai
Lantai rumah tradisional bali menggunakan keramik dan ada juga yang tidak menggunakan
keramik, melainkan langsung menyentuh tanah.
Dinding
Pada zaman dahulu bangunan rumah golongan masyarakat biasa menggunakan popolan (speci
yang terbuat dari lumpur tanah liat) untuk dinding bangunannya. Kekuatan bahan ini cukup
baik dan mampu bertahan hingga puluhan tahun. Golongan raja dan brahmana menggunakan
tumpukan bata. Untuk tempat suci/tempat pemujaan milik satu keluarga maupun milik suatu
kumpulan kekerabatan, digunakan bahan sesuai kemampuan ekonomi masing-masing keluarga.
Dan ada juga aturan tentang dinding yang lain, yaitu menggunakan kayu yang jenisnya
dibedakan sesuai dengan peruntukan bangunan tersebut (bangunan ibadah, rumah, dan
dapur).

Pintu Dan Jendela
Pintu dan jendela pada rumah bali menggunakan bahan kayu yang jenisnya dibedakan sesuai
dengan peruntukan bangunan tersebut (sama dengan dinding).
Tiang Penyangga
Tiang penyangga di dalam rumah tradisional bali memiliki formasi yang berbeda sesuai dengan
bale bale yang ada. Contohnya:
y Bale Sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan
konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-
kuda.
y Bale Sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam
deretan 2 x 3 kolom.
y Bale Tiang Sanga adalah sebuah bale dengan tiang penyangga berjumlah sembilan dan
biasanya dalam formasi 3 x 3.
y Bale Sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua belas
dan biasanya dengan formasi 3 x 4.
y Sedangkan Wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2 x 8 atau 2 x 12
sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.



23

Ornamen
Umumnya bangunan arsitektur tradisional daerah Bali identik dengan hiasan, berupa ukiran,
peralatan serta pemberian warna dengan warna keemasan/prada atau warna yang beragam
karena dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Biasanya mulai dari dinding, tiang, plafon dipenuhi
ukiran berbagai corak dan cerita, sesuai fungsi bangunan tersebut. Terkadang ragam hias ini
mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian
komunikasi.

FLORA
Bentuknya yang mendekati keadaan sebenarnya ditampilkan sebagai latar belakang hiasan-
hiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan relief. Ceritera-ceritera pewayangan,legenda
dan kepercayaan, yang dituangkan ke dalam lukisan atau pahatan relief umumnya dilengkapi
dengan latar belakang berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang menunjang penampilannya.
Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk simbolis atau pendekatan
bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatraan dengan macam-
macam ungkapan masing-masing.
Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan atau peralatan dan perlengkapan
bangunan dari jenis-jenis flora dinamakan sesuai jenis dan keadaannya.
1. Keketusan
Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang dipolakan
berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. Keketusan
wangga melukiskan bunga-bunga besar yang mekar dari jenis berdaun lebar dengan
lengkung-lengkung keindahan. Keketusan wangga umumnya ditatahkan pada
bidang-bidang luas atau peperadaan lukisan cat perada warna emas pada lembar-
lembar kain hiasan. Keketusan bunga tuwung, hiasan berpola bunga terung
dipolakan dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau bertumpuk menyerupai
bentuk bunga terung. Keketusan bun-bunan, hiasan berpola tumbuh-tumbuhan jalar
atau jalar bersulur, memperlihatkan jajar-jajar jalaran dan sulur-sulur di sela-sela
bunga-bunga dan dedaunan.


24

2. Kekerangan
Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan atau rancangan yang
berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada dengan penekanan pada bagian-
bagian keindahan.
Karang simbar, suatu hiasan rancangan yang mendekati atau serupa dengan
tumbuh-tumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang namanya simbar
manjangan. Karang simbar dipakai untuk hiasan-hiasan sudut bebaturan di
bagian atas pada pasangan batu atau tatahan kertas pada bangunan pada
bangunan bade wadah, bukur atau hiasan-hiasan sementara lainnya


pura bukit dharma
Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan kelopak
dan seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-sudut bebaturan
atau hiasan penjolan bidang-bidang.

pura kediri
25

Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk
kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk lain
dipakai bersayap garuda. Karangan suring yang diukir dalam-dalam,
memungkinkankan karena tiang tugeh bebas beban.

Bentuk-bentuk karangan yang lain mengambil bentuk-bentuk binatang atau jenis
fauna yang dikarang keindahannya.
3. Pepatraan
Mewujudkan gubahan-
gubahan keindahan
hiasan dalam patern-
patern yang disebut Patra
atau Pepatraan.
Pepatraan yang juga
banyak didasarkan pada
bentuk-bentuk keindahan
flora menamai pepatraan
dengan jenis flora yang
diwujudkan Pepatraan yang memakai nama yang memungkinkan kemungkinan
negara asalnya ada pula yang merupakan perwujudan jenis-jenis flora tertentu.
Ragam hias yang tergolong pepatraan merupakan pola yang berulang yang dapat
pula diwujudkan dalam pola berkembang. Masing-masing Patra memiliki identitas
yang kuat untuk penampilannya sehingga mudah diketahui. Dalam penterapannya
dapat bervariasi sesuai kreasi masing-masing seniman Sangging yang merancang
tanpa meninggalkan pakem-pakem identitasnya.
Patra Wangga
Kembang mekar atau kuncup dengan daun-daun lebar divariasi lengkung-
lengkung keserasian yang harmonis. Batang-batang bersulur di selas-sela bawah
bunga dan daun-daun. Patra Wangga juga tergolong kekerasan yang merupakan
sebagian dari suatu flora dengan penampilan bagian-bagian keindahannya.

26



Patra Sari
Bentuknya menyerupai flora dari jenis berbatang jalar melingkar-linggar balik
berulang. Penonjolan sari bunga merupakan identitas pengenal sesuai namanya,
Patra Sari. Daun-daun dan bunga-bunga dilukiskan dalam patern-patern yang
diperindah. Patra sari dapat digunakan pada bidang-bidang lebar atas, daun
umumnya untuk bidang-bidang sempit tidak banyak dapat divariasi karena
lingkar-lingkar batang jalar, daun-daun sari kelopak dan daun bunga merupakan
pola-pola tetap sebagai identitas.

pura bukit dharma
27

Patra Bun-Bunan
Dapat bervariasi dalam berbagi jenis flora yang tergolong bun-bunan (tumbuh-
tumbuhan berbatang jalar). Dipolakan berulang antara daun dan bunga di
rangkai batang jalar. Dapat pula divariasi dengan julur-julur dari batang jalar.
Patra Pidpid
Juga melukiskan flora dari jenis daun bertulang tengah dengan daun-daun
simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun yang dilukiskan
penempatannya pada bidang-bidang sempit.
Patra Punggel
Mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan lengkung-lengkung
daun muda pohon paku. Bagian-bagiannya ada yang disebut batu pohon kupil
guling, util sebagai identitas Patra Punggel. Pola patern patra punggel
merupakan pengulangan dengan lengkung timbal balik atau searah pada
gegodeg hiasan sudut-sudut atap berguna. Dapat pula dengan pola
mengembang untuk bidang-bidang lebar atau bervariasi/ combinasi dengan
patra lainnya.
patra punggel
Patra Punggel merupakan
patra yang paling banyak
digunakan. Selain bentuknya
yang murni sebagai Patra
Punggeh utuh. Patra Punggel
umumnya melengkapi segala
bentuk kekarangan (patra-
patra dari jenis fauna) sebagai
hiasan bagian (lidah naga
patra punggel api-apian), ekor
singa, dan hiasan-hiasan.
Untuk patra tunggal puncak
atap yang disebut Bantala pada atap yang bukan berpuncak satu. Untuk hiasan
28

atap berpuncak satu dipakai bentuk Murdha dengan motif-motif Kusuma Tirta
Amertha Murdha Bajra yang masing-masing juga dilengkapi dengan patra
punggel sebagai hiasan bagian dari Karang Goak di sudut-sudut alas Murdha.
Patra Samblung
Pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk patern yang
disebut Patra Samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak
daun dan daun-daun dihias lengkung-lengkung harmonis.
Serupa dengan Patra Samblung ada patra Olanda, Patra Cina, Patra Bali masing-
masing dengan nama kemungkinan negara asalnya. Ada pula patra Banci yang
bervariasi dari gabungan patra yang dirangkai dalam satu kesatuan serasi dengan
mewujudkan identitas baru.
Patra Pae
Mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan sejenis kapu-kapu yang dipolakan dalam
bentuk berulang berjajar memanjang.

pura kediri
Patra Ganggong
Menyerupai bentuk tumbuh-tumbuhan ganggang air yang dipolakan dalam
bentuk berulang berjajar memanjang.
pura bukit dharma
29

Patra Batun Timun
Bentuk dasar serupa biji mentimun yang dipolakan dalam susunan diagonal
berulang. Sela-sela susunan dihias dengan bentuk-bentuk para mas-masan
setengah bidang.
Patra Sulur
Melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur bercabang-
cabang tersusun, berulang. Patra sulur dipolakan pula dalam bentuk tiga jalur
batang jalar teranyam berulang.

pura bukit dharma

Arti dan Maksud
Ragam hias dalam bangunan-bangunan tradisional mengandung arti dan maksud-maksud
tertentu. Penyajian keindahan, ungkapan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi
merupakan maksud dan arti ragam hias pada bangunan-bangunan, peralatan dan
perlengkapan.
1. Ragam hias untuk keindahan
Umumnya ragam hias dimaksudkan untuk memperindah penampilan suatu
bangunan yang dihias. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat mempertinggi nilai
suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu bangunan lebih indah dan
menyegarkan pandangan.
30

2. Ragam hias untuk ungkapan simbolis
Dari berbagai macam, bentuk dan penempatan ragam hias dapat mengungkapkan
simbol-simbol yang terkandung padanya. Warna-warna juga merupakan simbol arah
orientasi, merah untuk warna kelod, kuning untuk warna kauh atau barat putih
untuk warna kangin atau timur, hitam untuk warna kaja dan penyatuan dua
bersisian untuk arah sudut.
3. Ragam hias sebagai alat komunikasi
Dengan bentuk hiasan yang dikenakan pada upacara atau bangunan-bangunan
tertentu dapat diketahui apa yang diinformasikan oleh hiasan yang dikenakan.
Hiasan serba putih pada wade wadah yang menunjukkan fungsinya.
FAUNA
Dijadikan materi hiasan dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan atau pepulasan.
Penterapannya, merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya. Pada beberapa bagian
keadaan sebenarnya divariasi dengan bentuk-bentuk penyesuaian untuk menampilkan
keindahan yang harmonis dengan pola hias keseluruhan.
Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk kekarangan yang
merupakan pola tetap, relief yang bercariasi dari berbagai macam binatang. Hiasan fauna
pada penempatannya umumnya disertai atau dilengkapi dengan jenis-jenis flora yang
disesuaikan.
Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil jenis-jenis kera dan
ceritera ramayana. Parung-patung sebagai souvenir umumnya mengambil bentuk-bentuk
garuda, naga, singa, kuda, kera, sapi dan binatang ternak lainnya.
Ukiran fauna pada bidang-bidang relief di dinding, panil atau bidang-bidang ukiran lainnya
umumnya menterapkan ceritra-ceritra rakyat legenda tantri dari dunia binatang.
Penampilan fauna dalambentuk-bentuk patung-patung bercorak expresionis pada
kekarangan bercorak abstrak dan realis pada relief.
Fauna sebagai hiasan dan juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual ditampilkan dalam
bentuk-bentuk patung yang disebut Pratima, patung sebagai bagian dari bangunan
berbentuk Bedawang Nala. Fauna sebagai corak magic, lengkap dengan huruf-huruf
simbol mantra-mantra Fauna sebagai elemen bangunan yang juga berfungsi sebagai
ragam hiasan di kenakan sebagai sendi alas tiang dengan bentuk-bentuk garuda, singa
bersayap atau bentuk-bentuk lainnya.
31

Ragam hias dari jenis-jenis fauna ditampilkan sebagai materi hiasan dalam berbagai
macam dengan namanya masing-masing. Bentuk-bentuk penampilannya berupa patung.
Kekarangan atai relief-relief yang dilengkapi pepatraan dari berbagai jenis flora.
1. Kekarangan
Penampilannya expresionis, meninggalkan bentuk sebenarnya dari fauna yang
diexpresikan secara abstrak. Kekarangan yang mengambil bentuk-bentuk binatang gajah
atau asti, burung goak dan binatang-binatang khayal primitif lainnya dinamai dengan
nama-nama binatang yang dijadikan bentuknya.

Karang Boma
Berbentuk kepala raksasa yang
dilukiskan dari leher ke atas lengkap
dengan hiasan dan mahkota,
diturunkan dari ceritra Baomantaka.
Karang Boma ada yang tanpa tangan
ada pula yang lengkap dengan tang
dari pergelangan ke arah jari dengan
jari-jari mekar. Karang Boma
umumnya dilengkapi dengan patra
bun-bunan atau patra punggel.
Ditempatkan sebagai hiasan di atas
lubang pintu dari Kori Agung.




Karang Sae
Berbentuk kepala kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan gigi-gigi runcing.
Karang sae umumnya dilengkapi dengan tangan-tangan seperti pada karang
boma. Penampilannya dilengkapi dengan hiasan flora patra punggel dan patra
bun-bunan. Hiasan karang sae ditempatkan di atas pintu Kori atau pinti rumah
tinggal dan juga pada beberapa tempat lainnya.

Karang Asti
Disebut pula karang gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya mengambil
bentuk gajah yang diabtrakkan sesuai dengan seni hias yang diexpresikan dengan
32

bentuk kekarangan. Karang asti yang melukiskan kepala gajah dengan belalai dan
taring gadingnya bermata bulat. Hiasan flora Patra Punggel melegkapi ke arah
sisi pipi asti. Sesuai kehidupannya gajah di tanah karang asti ditempatkan sebagai
hiasan pada sudut-sudut bebaturan di bagian bawah.

pure kediri
Karang Goak
Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Disebut pula karang
manuk karena serupa pula dengan kepala ayam dengan penekanan pada
paruhnya. Karang goak dengan paruh atas bertaring dan gigi-gigi runcing mata
bulat. Sesuai dengan kehidupan manuk atau gagak sebagai binatang bersayap,
hiasan Karangmanuk yang juga disebut Karang Goak ditempatkan pada sudut-
sudut bebaturan di bagian atas. Karang Goak sebagai hiasan bagian pipi dan
kepalanya dilengkapi dengan hiasan patra punggel. Karang Goak umumnya
disatukan dengan karang Simbar dari jenis flora yang ditempatkan di bagian
bawah Karang Goak.
33


pura kediri


Karang Tapel
Serupa dengan Karang Boma dalam bentuk yang lebih kecil hanya dengan bibir
atas. Gigi datar taring runcing mata bulat dengan hidung kedepan, lidah terjulur
yang diambil dari jenis-jenis muka yang galak. Hiasan kepala dan pipi
mengenakan Patra Punggel. Ke arah bawah kepala karang simbar dari jenis flora
yang disatukan. Karang tapel ditempatkan sebagai hiasan peralihan bidang di
bagian tengah.

34



Karang Bentulu
Bentuknya serupa dengan Karang Tapel lebih kecil dan lebih sederhana.
Tempatnya di bagian tengah atau bagian pada peralihan bidang di bidang
tengah. Bentuknya abstrak bibir hanya sebelah atas gigi datar taring runcing
lidah terjulur. Hanya bermata satu di tengah tanpa hidung. Hiasan kepala dan
pipi Patra Punggel yang disatukan merupakan suatu bentuk kesatuan Karang
Bentulu.



Bentuk-bentuk karangan lainnya. Karang Simbar dari jenis flora, Karang Batu dari jenis
bebatuan, Karang Bunga dari bunga jenis flora sebagai hiasan-hiasan sudut, tepi atau
peralihan bidang yang berdekatan atau melengkapi kekarangan dari jenis fauna.
Patung
Untuk patung-patung hiasan permanen umumnya mengambil bentuk-bentuk dewa-dewa
dalam imajinasi manifestasinya, manusia dari dunia pewayangan, raksasa dalam expresi
wajah dan sifatnya dan binatang dalam berbagai bentuknya. Benda-benda souvenir dari
kerajinan seni ukir ada pula yang mengambil bentuk-bentuk binatang yang umumnya realis
naturalis.
35

Patung-patung dari jenis-jenis fauna yang dijadikan hiasan atau sebagai elemen bangunan
umumnya merupakan patung-patung expresionis yang dilengkapi dengan elemen-elemen
hiasan dari jenis-jenis pepateraan.
Patung-patung dari jenis raksasa untuk elemen-elemen hiasan yang seakan yang seakan
berfungsi untuk menertibkan. Patung-patung modern ada pula yang kembali ke bentuk-
bentuk primitip untuk elemen penghias atau taman atau ruang. Penempatannya pada
bangunan sebagai sendi alas tiang tugeh yang menyangga konstruksi puncak atap.
Sesungguhnya tiang tugeh bebas beban sehingga memungkinkan ukiran patung Garuda
sebagai alas penyenggahnya. Untuk fungsinya sebagai penyanggah tiang tugeh bahannya
dari kayu yang diselesaikan tanpa atua dengan pewarnaan. Sesuai dengan penempatannya
sebagai sendi tugeh umumnya merupakan Garuda tunggal yang besarnya sekitar empat kali
tebal tiang.
Patung Garuda yang difungsikan sebagai hiasan ruang umumnya lengkap dengan pijakan
Naga atau Kura-kura dan naga serta awatara Wisnu sebagai pengendaraannya. Patung
garuda sebagai hiasan simbolis pada bangunan Padmasana ditempatkan pada bagian sisi
ulu batur sari dengan sikap tegak terbang. Di atas Patung garuda dilengkapi dengan Patung
Angsa, juga dalam posisi terbang melayang. Masing-masing dengan filosofi yang
mendukung perwujudan Padmasana. Patung Garuda Wisnu juga diwujudkan untuk pratima
yang disakralkan berfungsi ritual. Untuk benda-benda souvenir sebagai kerajinan seni ukur
Patung Garuda diwujudkan dalam berbagai variasi dan dimensi dari sebesar biji catur
sampai setinggi orang tanpa atau dengan pewarnaan.

Patung Singa
Wujudnya singa bersayap yang juga disebut
Singa Ambara Raja. Dalam keadaan sebenarnya
tidak bersayap. Patung Singa bersayap untuk
keagungan keadaan sebenarnya tidak bersayap.
Patung singa difungsikan juga untuk sendi alas
tugeh seperti patung Garuda. Bahannya dari
kayu jenis kuat, keras dan awet. Patung singa
digunakan pula untuk sendi alas tiang pada
tiang-tiang struktur atau tiang-tiang jajar dengan
bahan dari batu padas keras, atau batu karang
laut yang putih masif dan keras. Patung singa
bersayap juga dibuat sebagai kerajinan seni ukur
untuk benda-benda souvenir dari ukuran kecil untuk hiasan meja sampai ukuran
36

besar untuk hiasan ruang. Bahannya dari batu padas kelabu atau kayu jenis keras
yang awet, tanpa atau dengan pewarnaan. Patung-patung singa bersayap ada
pula yang disakralkan untuk Pratima sebagai simbol-simbol pemujaan. Untuk
petualangan sebagai tempat-tempat pembakaran mayat dalam upacara ngaben
selain patung lembu, patung singa juga dipakai dengan perwujudan dan hiasan
sementara yang ikut terbakar bersama pembakaran mayat di badan Petualangan
Patung Singan.

Patung Naga
Perwujudan Ular Naga
dengan mahkota kebesaran
hiasan gelung kepala,
bebadong leher anting-
anting telingan rambut
terurai, rahang terbuka
taring gigi runcing lidah api
bercabang. Patung Naga
sikap tegak bertumpu pada
dada, ekor menjulang ke
atas gelang dan permata di ujung ekor. Patung naga sebagai penghias bangunan
ditempatkan sebagai pengapit tangga menghadap ke depan lekuk-lekuk ekor
mengikuti tingkat-tingkat tangga ke arah atas. Pemakaian patung Naga.

Dalam fungsinya sebagai hiasan dan stabilitas losofis, Patung Naga yang
membelit Bedawang kura-kura raksasa ditempatkan pada dasar Padmasana (gb.
107 a.b) Bedawang Naga juga sebagai dasar Meru seperti tumpang 11 di Pura
Kehen Bangli. Untuk bale wadah pada upacara Ngaben bagi satria tinggi juga
memakai Bedawang Naga sebagai dasar Bade wadah yang disebut Naga Badha.
Untuk fungsi ritual Patung Naga bersayap juga digunakan untuk pratima sebagai
simbol pemujaan yang disakralkan. Sebagai benda-benda souvenir kerajinan seni
ukur juga membuat patung-patung Naga dalam ukuran kecil atau besar yang
umumnya disatukan dengan patung Garuda atau Garuda Wisnu yang berpijak
pada belitan Bedawang Naga.





37

Patung Kura-Kura
Perwujudan melukiskan Kura-
kura raksasa yang disebut
Bedawang, sebagai simbol
kehidupan dinamis yang
abadi. Keempat kakinya
berjari lima kuku runcing
menerkam tanah. Kepalanya
berambut api hidung
mancung, gigi kokoh datar
bertaring runcing mata bulat.
Wajah angker memandang ke
arah atas depan
berpandangan dengan Naga yang membelitnya. Kepala Naga di atas kepala
bedawang dalam posisi berpandangan galak dinamis. Pemakaian Bedawang
tidak berdiri sendiri, selalu merupakan kesatuan berbelit dengan Naga atau
Bedawang Naga sebagai pijakan Garuda yang dikendarai awataran Wisnu.
Garuda dan Bedawang merupakan kesatuan dalam mitologi yang membawakan
filosofi kehidupan ritual.

Patung Kera
Perwujudannya merupakan kera-kera
yang diekspresikan dilukiskan dalam
ceritera ramayana. Patung-patung
anoman (gb. 207/atas), Subali, Sugriwa
merupakan patung-patung kera yang
banyak dipakai hiasan sebagai bagian
dari bangunan seperti pemegang alas
tiang jajar bangunan pelinggih. Untuk
hiasan terlepas pada bangunan juga
banyak digunakan patung kera dalam
bentuk realis dengan bahan kayu atau
sabut kelapa untuk dibuat benda-benda
souvenir.




38

Arti Dan Makna

Ragam hias dari jenis-jenis fauna selain fungsinya sebagai hiasan juga mengandung arti dan
maksud-maksud tertentu untuk beberapa macam hiasan. Pemakaian bahan proses pembuatan
dan bentuk-bentuk penampilan membawakan identitas pemakaiannya sebagai ragam hias.
Penghias ruang menonjolkan bentuk-bentuk keindahan yang disempurnakan ataupun di
abstrakkan. Singa bersayap, Garuda bertangan, Gajah bermata bulat dengan deretan ggi rata
kura-kura berambut api bentuk-bentuk perwujudan lainnya sesungguhnya tidak ada fauna yang
sama seperti itu. Variasi penampilannya untuk keindahan komposisi expresi dan keserasian.
Pepatraan dari jenis-jenis flora yang melengkapi jenis-jenis fauna untuk keharmonisan kesatuan
penampilan beberapa bagian bentuk hiasan. Untuk keindahan karakter penampilan sikap-sikap
fauna sebagai ragam hias diexpresikan dengan kesan galak, angker atau agung mempesona.

FAUNA SEBAGAI SIMBOL RITUAL
Penampilannya dalam huungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan simbol-simbol filosofis
yang dijadikan landasan jalan pikiran. Bedawang naga sebagai stabilitas gerak dinamis
kehidupan di bumi dijadikan dasar padmasana atau bade wadah. Garuda wisnu sebagai simbol
kesetiaan keyakinan dan ketangguhan. Singa ambara atau singa bersayap sebagai simbol
ketangkasan dan kekuasaan. Angsa dan burung merak pada patung Saraswati masing-masing
sebagai simbol kesucian dan keindahan abadi.

FAUNA SEBAGAI MEDIA EJUKATIF
Ragam hias dari jenis-jenis fauna yang ditirukan dari bagian-bagian ceritra tantri sebagai
legenda yang telah memasyaratkan mengandung arti dan maksud ejukatif konstruktif.
Penampilan singa dan lembu dari persahabatan jadi permusuhan akibat fitnah anjing ki Patih
Sembade. Mengajarkan agar kita jangan muda diadu dengan cara berbagai bentuk fitnah.
Penampilan cangak meketu sebagai Padandabaka atau bangau yang menyamar sebagai
pendeta menipu ikan-ikan untuk dijadikan mangsanya membawa maksud untuk mengingatkan
agar kita waspada terhadap segala bentuk penipuan yang berpura-pura baik. Waspada seperti
kepiting yang tenang dengan mata menonjol siap menghukum penipu menyepit leher bangau.

Atap
Seperti untuk bahan atap digunakan ijuk bagi yang mampu sedangkan yang kurang mampu bisa
menggunakan alang-alang atau genting.
39


Tangga
Dalam Asta Kosala-Kosali yang diyakini masyarakat, terdapat hitungan berulang pada jumlah
anak tangga. Hitungannya adalah sebagai berikut, dimulai dari bawah keatas; undag, gunung,
rubuh atau ada juga hitungan undag, watu, gunung, runtuh. Undag diperuntukkan bagi
bangunan rumah dan kadang-kadang dipergunakan juga hitungan watu, gunung untuk
bangunan yang diagungkan dan runtuh dihindari karena bangunan tidak akan memberikan
kebahagiaan.

Jenis Kayu Dan Filosofisnya Yang Digunakan Dalam Pembuatan
Rumah Tradisional Bali

Rumah tradisional masyarakat Bali memiliki peranan yang sangat penting di dalam kehidupan.
Bagi masyarakat Bali, mendirikan sebuah rumah sangat mementingkan keseimbangan dan
keselarasan dengan alam. Dalam pembuatan rumah tradisonal Bali ini, para undagi biasanya
akan menggunakan kayu-kayu yang berbeda sesuai dengan tempatnya dalam rumah tersebut.
hasil wawancara penulis dengan nara sumber, dapat penulis paparkan bahwa ada beberapa
jenis kayu yang penting dalam pembuatan rumah. Adapun jenis kayu tersebut adalah:

Kayu yang digunakan untuk Pura (Parhayangan)

Kayu yang digunakan untuk pelinggih atau Parhayangan adalah kayu yang dianggap
spesial bagi masyarakat Bali, karena ada makna terpenting yang terkandung kayu
tersebut. kayu yang sering digunakan adalah kayu cempaka (Michelia champaca L.),
kayu majegau (Dysoxylum caulostachyumMiq.), dan kayu cendana (Santalum album L.).
(Klasifikasi terlampir.)

Kayu cempaka (Michelia champaca L.) banyak digunakan dalam pembuatan pelinggih
karena kayu ini memiliki aroma yang wangi. Kemudian bunga dari bunga ini biasanya
digunakan untuk keperluan upacara keagamaan. Selain itu, kayu cempaka ini
merupakan kayu peragan bhatara Siwa. Biasanya yang diguanakan adalah jenis cempaka
kuning, dan kayu yang pohonnya yang sudah usianya lebih dari 10 tahun. Menurut
klasifikasi kayu menurut masyarakat Bali, kayu cempaka ini termasuk kayu golongan
arya, artinya kayu ini biasanya digunakan dalam membuat lambang atau ige-ige.

Kayu cendana juga sangat disakralkan oleh masyarakat Bali, dimana kayu cendana
(Santalum album L.) ini digunakan dalam pembuatan pelinggih karena kayu ini
40

menghasilkan aroma yang sangat wangi, sehinngga kayu ini bagus untuk digunakan di
tempat-tempat suci. Selain digunakan dalam pembuatan pelinggih, kayu cendana ini
juga dapat digunakan dalam pembuatan pratima, dimana kayu ini merupakan peragan
dari bhatara Paramasiwa. Dalam klasifikasi kayu menurut orang Bali, kayu cendana ini
termasuk golongan kayu prabu, artinya kayu ini biasanya digunakan untuk membuat
langit-langitdalam suatu pelinggih.

Jenis kayu yang tidak kalah penting yang diguankan dalam pembuatan pelinggih adalah
kayu majegau (Dysoxylum caulostachyum Miq.). Dimana kayu ini banyak digunakan
karena kayu ini memiliki aroma yang sangat wangi. Kayu ini digolongkan kedalam jenis
kayu Demung. Dimana kayu ini biasanya digunakan untuk membuat sesaka. Kayu
majegau ini dalam pembuatan pretima, merupakan peragandari Sadasiwa.

Kayu yang digunakan untuk perumahan (Bale Pesarean)

Kedudukan Bale Pesarean dalam sistem perumahan di Bali lebih rendah dibandingkan
dengan kedudukan Parhayangan atau Pelinggih. Sehingga jenis kayu yang digunakan
pun berbeda. Adapun jenis-jenis kayu yang dapat digunakan dalam pembuatan bale
pesarean adalah jenis kayu jati (Tectona grandis L.), kayu nangka (Artocarpus integra
merr.), sentul, dan lainnya.

Kayu jati (Tectona grandis L.) digunakan karena memiliki struktur kayu yang sangat kuat,
sehingga kokoh untuk menopang bangunan. Selain itu, kayu jati ini juga terkenal sebagai
kayu yang awet, dan tahan terhadap serangan rayap. Kayu jati ini termasuk golongan
kayu patih, artinya kayu ini biasanya digunakan dalam pembuatan saka.

Sama halnya dengan kayu jati, kayu nangka (Artocarpus integra merr.) juga banyak
digunakan dalam pembuatan bale pesarean, mengingat kayu nangka ini memiliki
struktur yang sangat kuat dan tidak terlalu berat seperti kayu jati, sehingga biasanya
digunakan dalam membuat langit-langit (kayu prabu). Sama halnya dengan kayu jati dan
kayu nangka, kayu sentul juga banyak digunakan dalam pembuatanbale pesarean,
mengingat kayu ini memiliki struktur yang kuat dan tahan terhadap serangan rayap.
Kayu sentul ini digolongkan kedalam golongan kayu pangalasan.

Kayu yang digunakan untuk dapur (Paon)

Dapur (paon) yang merupakan bagian dari suatu perumahan memiliki tempat tersendiri
dan juga dalam pembuatannya menggunakan kayu yang berbeda dengan kayu yang
41

digunakan dalam membuat pelinggih maupun bale pesarean. Jenis kayu yang biasanya
digunakan adalah jenis kayu wangkal(Abizia procera Roxb.), kayu juwet (Syzygium
cumini Linn.), kayu klampuak (Syzygium zollingeriamun(Miq.) Amsh.). (Klasifikasi
terlampir.)

Kayu ini dapat digunakan karena kayu ini memiliki struktr kayu yang sangat kuat dan
tahan lama. Kayuwangkal digolongkan kedalam kayu prabu, dan digunakan dalam
membuat langit-langit atau atap. Kayu klampuak termasuk golongan jenis kayu patih
dimana digunakan dalam membuat saka atau tiang penyangga. Dan kayu juwet
termasuk kedalam golongan kayu mantri,, dan digunakan dalam membuatlambang atau
ige-ige.

Dari semua paparan mengenai jenis kayu yang digunakan dala pembuatan perumahan
tradisional Bali, pada umumnya masyarakat Bali memilih kayu berdasarkan wangi dari
kayu, kekokohan kayu tersebut, serta faktor agama yang sangat memiliki peranan
penting.

Kondisi Anjungan Bali Di TMII

Anjungan Bali tampil dalam bentuk lingkungan perumahan tradisional Bali di atas tanah seluas
8.000 m2, ditata berdasar pola arsitektur tradisional yang bersumber pada Lontar Astha Kosala-
Kosali yang di dalamnya mengandung falsafah tri hita karana. Bangunan model puri, dibatasi
tembok keliling (penyengker).

Pintu gerbang berupa candi bentar diapit patung Hanoman dan Hanggada dari epos Ramayana
sebagai penolak bala. Di depan candi bentar terdapat bale benggong yang berfungsi sebagi
tempat istirahat dan bersantai sambil melihat suasana sekitar, karena itu letaknya lebih tinggi
dan berbentuk panggung. Kemudian ada bangunan sanggah penunggu karang tempat
persembahan sesaji kepada Banaspati agar wilayah jaba tengahterlindung dari marabahaya.
Di sisi timur terdapat bale wantilan/pengambuhan sebagai tempat kegiatan masyarakat, seperti
rapat bulanan, pertemuan muda-mudi, latihan menggamel dan menari sekaligus sebagai
tempat pentas. Di sisi barat terdapat bale paruman sebagai tempat musyawarah keluarga dan
untuk mempersiapkan sesaji menjelang upacara keagamaan. Bale paruman di Anjungan Bali
difungsikan sebagai tempat penjulan benda-benda kerajinan khas Bali.

Sebagai pemisah ruang jaba dengan ruang dalam berdiri kori agung, yaitu sebuah pintu untuk
para tamu agung. Di sisi kanan-kiri kori agung terdapat patung Laksmana dan Rama sebagai
lambang keramahtamahan dan kebijaksanaan. Pada bagian atas pintu terdapat patung Kala
42

Boma dengan wujud menyeramkan sebagai lambang kesuburan. Di balik kori agung terdapat
bale aling-aling; dulu berfungsi sebagai tempat membaca Weda tetapi sekarang menjadi
tempat belajar.

Di sebelah kiri bale aling-aling berdiri bale rangki untuk menyimpan perlengkapan upacara. Di
sebelah kanan berdiri bale gede sebagai tempat pelaksanaan upacara manusa yadnya, yaitu
upacara yang berkait dengan daur hidup manusia. Di sisi selatan berdiri bale gedong, tempat
tidur anak gadis yang belum menikah dan untuk menyimpan benda pusaka, seperti keris dan
tombak, serta barang berharga lainnya. Di sebelahnya ada bale dauh atau bale singgasari
sebagai tempat jejaka atau anak laki-laki yang belum menikah.

Bangunan lain adalah bale loji, digunakan sebagai tempat istirahat setelah bekerja dan menjadi
tempat menginap tamu ketika berlangsung upacara keagamaan.

Bale jineng memiliki tiga bagian: bagian atas digunakan untuk menyimpan padi, bagian tengah
untuk istirahat para petani, dan bagian bawah untuk menyimpan peralatan pertanian.

Tempat memasak disebut bale poan/pratenan. Pada bagian ini terdapatsanggah pengijeng,
yaitu tempat persembahan sesaji kepada Dewa Gede Pengadangan yang dilakukan setiap hari
sebelum memulai kegiatan sehari-hari. Di sisinya terdapat patung Moangse, raksasa berkepala
singa, dan patung Guakse, raksasa berkepala gagak.

Setiap bangunan puri selalu dilengkapi merajan atau sanggah yang tidak setiap orang boleh
masuk. Merajandikelilingi penyengker. Pintu masuk berupa kori gelung, yang di depannya
berdiri patung Duara Kala, terdiri dari Kalan Taka dan Bojan Taka. Di belakang kori gelung
terdapat tembok aling-aling sebagai penolak bala agar orang yang masuk ke ruang itu
berpikiran suci. Di ruang merajan tedapat bangunan balai piasan, padma sari,rong telu atau
sanggah kamulan, sanggah nerurah agung, dan sanggah pangaruman.










43

Sumber:

http://www.google.com
http://kratonpedia.com/article-
detail/2011/7/1/89/Rumah.Adat.Bali,.Warisan.Arsitek.Tempo.Dulu.html
http://www.isi-dps.ac.id/berita/keketusan-pepatraan-dan-kekarangan
http://3.bp.blogspot.com/_aFqmPJpwxu0/S_ID0fhRQyI/AAAAAAAAAI8/eGVdyK8KUF8/s1600/H
anoman+Putih+1.jpg
http://vano-architect.blogspot.com/2010/09/estetika-arsitektur-bali.html

You might also like