You are on page 1of 14

1

ANATOMI MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH


Oleh : Ahmad Satiri
PENDAHULUAN
Lahirnya perbankan syariah dan bisnis syariah lainnya sebagai suatu entitas bisnis baru telah pula
menjadi trigger lahirnya instrumen pendukung eksistensinya. Dalam konteks hukum positif
perbankan syariah mulai dikenal sejak undang-undang nomor 7 tahun 1992 yang kemudian diubah
dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998, namun kedua undang-undang tersebut belum secara
spesifik mengatur mengenai perbankan syariah. Baru pada undang-undang nomor 21 tahun 2008,
ketentuan mengenai perbankan syariah telah diregulasi secara rinci dan lebih spesifik, bahkan
nomenklatur undang-undang itu sendiri adalah tentang perbankan syariah sebagaimana
dituangkan dalam judul undang-undang tersebut.
Dalam UU nomor 7 tahun 1992 kata bank syariah belum secara eksplisit diuraikan, pada UU ini baru
hanya menyebutkan bank dengan prinsip bagi hasil, yang selanjutnya diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tanggal 3 Oktober 1992. Baru pada PP inilah kata bank syariah
mulai dipakai sebagai nama resmi dari bank yang beroperasi berdasarkan ajaran Islam.
Keberhasilan bank syariah melewati masa krisis tahun 1998, telah menunjukkan bahwa sistem
perbankan syariah memiliki konsep stabilitas internal dengan sistem operasi utama berdasarkan
prinsip bagi hasil sehingga mampu mewujudkan suatu sistem perbankan yang lebih fair, lebih ajeg
dan bersifat win win solution.
Dalam gerak operasionalnya bank syariah berdiri pada dua kaki yang sama kuat, bahwa selain ia
harus sesuai dengan hukum positif perbankan nasional, ia juga harus memiliki kepatuhan terhadap
syariah (fiqh) melalui fatwa-fawa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Melalui undang-undang nomor 3 tahun 2006 sebagai perubahan pertama atas undang-undang
nomor 7 tahun 1989 memberikan wewang baru bagi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan
sengketa perdata dibidang ekonomi syariah, yang didalamnya termasuk bank syariah. Kewenangan
baru ini sedikit banyak telah melahirkan kontroversi, ada yang optimis dan tidak sedikit pula yang
bernada sinis, bahkan pesimis dengan kompetensi Para pengadil pada Pengadilan Agama apakah
mereka mampu memberikan solusi terbaik terhadap terhadap sengketa ekonomi syariah khususnya
dalam bidang perbankan
1
. Bagi kita adalah suatu keniscayaan untuk terus berpacu meningkatkan
kompetensi dan wawasan terkait dengan kewenangan baru ini. Karenanya pemakalah mencoba
mengulas sedikit aspek yang terkait dengan bank syariah.

1
Dalam salah satu artikel yang berjudul arah perkembangan hukum syariah yang ditulis oleh Dr.Dian
Ediana Rae, S.H.LL.M, halaman 12 menyatakan bahwa sengketa perdata perbankan syariah dibawah
Pengadilan Agama dikhawatirkan secara psikologis dan politis akan menghambat laju pertumbuhan bank
syariah (bulletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 6, No.1, April 2008)
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
2
Prof. Dr.H.Abdul Manan.,SH.SIP.,M Hum, menyatakan bahwa pemilihan lembaga Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan sengketa bisnis (ekonomi) syariah merupakan pilihan yang tepat dan
bijaksana. Karena hal ini akan menciptakan keselarasan antara hukum materiil yang berlandaskan
prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga
peradilan Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam,
2
RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
Bank syariah yang merupakan refleksi dari sistem perbankan berdasarkan berdasarkan syariah Islam
dalam prakteknya mengaplikasikan berbagai skim fiqh muamalah melalui fatwa-fatwa yang
diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional. Berbagai skim akad fiqh muamalah diintegrasikan dengan
produk-produk yang secara konvensional telah ada dalam sistem perbankan, kemudian dalam fatwa
DSN biasanya diberikan kriteria tertentu agar tidak melanggar aspek kesyariahannya.
Salah satu skim akad muamalah yang banyak digunakan dalam produk bank syariah adalah akad
mudharabah, karena begitu kompleksnya diskursus dan karakteristik skim ini dan untuk menentukan
focal point, karenanya perlu dirumuskan lingkup pembahasan dalam tulisan ini sebagai berikut :
a. Produk apa saja yang diimplementasikan berdasarkan akad mudharabah?
b. Bagaimana karekteristik skim mudharabah dalam penghimpunan dana (funding) dan pembiayaan
(financing)?
SISTEM OPERASIONAL BANK SYARIAH
Secara definitif dalam UU No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah dinyatakan bahwa : Bank
syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan menurut
jenisnya terdiri dari Bank Umum syariah dan bank pembiayaan syariah (pasal 7). Sedangkan apa
yang dimaksud dengan prinsip syariah pada pasal 12 diuraikan sebagai berikut; prinsip syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional telah menerbitkan lebih kurang 80 fatwa
terkait dengan bisnis syariah, sebagian besar dari fatwa tersebut terkait dengan operasional bank
syariah.
Diskursus mengenai sistem operasional bank syariah telah bergaung sejak lama, keinginan ummat
Islam indonesia untuk melakukan ajaran Islam secara kaffah termasuk dalam aspek muamalah-

2
Prof.Dr.H.Abdul Manan.,S.H.,S.Ip.,M.Hum, Penyelesaian sengketa ekonomi syariah; sebuah
kewenangan baru peradilan Agama, Mahkamah Agung : 2008, halaman 52.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
3
ditengah kegalauan akan status hukum bank konvensional yang melaksanakan operasinya dengan
sistem bunga.
Secara umum, sistem operasional bank syariah memiliki kesamaan dengan bank konvensional, ia
merupakan entitas bisnis yang berperan sebagai intermediary unit (unit perantara) antara pihak yang
memiliki dana (deposan, penabung ) dengan pihak yang membutuhkan dana (debitur). Namun dalam
UU Nomor 21 tahun 2008 memberikan keleluasaan operasional bank syariah disamping fungsi
bisnisnya bank syariah mempunyai fungsi sosial, bank syariah dapat melaksanakan fungsi sebagai
baitul maal dengan mengelola Zakat Infak dan Shodaqoh (pasal 4), namun demikian fungsi sosial
sebagai pengelola baitul maal pada bank syariah harus tetap mengacu kepada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan pasal 2 UU no 21 tahun 2008, yang dimaksud dengan kegiatan usaha dengan
prinsip syariah diantaranya adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan
(fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima
Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya
waktu (nasiah);
b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan;
c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain
dalam syariah;
d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Untuk lebih mempermudah pemahaman, penulis mencoba memberikan illustrasi dengan bagan
berikut
3
:

3
Bagan I diambil dari Leaflet yang ditebitkan oleh Bank Indonesia dalam file yang diunggah dengan
judul Arsitektur Perbankan Syariah
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Dalam struktur keorganisasian, bank syariah memiliki sedikit perbedaan dengan bank konvensional,
undang-undang mewajibkan bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS),
21 tahun 2008, menegaskan bahwa Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk
Bank konvensional yang mempunyai unit usaha syariah. DPS diangkat oleh RUPS atas rekomendasi
MUI (pasal 32 ayat 1). Sedangkan tugas utama DPS adalah memberikan nasihat dan saran kepada
direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah (pasal 32 ayat 3).
MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH
Mudharabah berasal dari kata
atau berjalan ini lebih tepatnya dalam proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan
usaha. Secara tehnis mudharabah dapat dimaknai dengan akad kerjasama usaha antara dua pihak,
dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selam keru
Tabungan
(muharabah, wadi'ah)
Deposito
(muharabah)
penghimpunan
dana
Dalam struktur keorganisasian, bank syariah memiliki sedikit perbedaan dengan bank konvensional,
an bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS),
21 tahun 2008, menegaskan bahwa Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk
Bank konvensional yang mempunyai unit usaha syariah. DPS diangkat oleh RUPS atas rekomendasi
Sedangkan tugas utama DPS adalah memberikan nasihat dan saran kepada
direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah (pasal 32 ayat 3).
MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH
dharb yang berarti memukul, atau berjalan. Pengertian memukul
atau berjalan ini lebih tepatnya dalam proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan
usaha. Secara tehnis mudharabah dapat dimaknai dengan akad kerjasama usaha antara dua pihak,
(shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selam keru
bank
pembiayaan
Bagi hasil (mudharabah,
musyarakah)
Jual beli (murabahah,
salam,
sewa menyewa (ijarah,
ijarah
bittamlik)
Jasa lainnya (hawalah, kafalah,
qard, dll)
penyaluran dana
4
Dalam struktur keorganisasian, bank syariah memiliki sedikit perbedaan dengan bank konvensional,
an bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS), pasal 32 UU no
21 tahun 2008, menegaskan bahwa Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di bank syariah dan
Bank konvensional yang mempunyai unit usaha syariah. DPS diangkat oleh RUPS atas rekomendasi
Sedangkan tugas utama DPS adalah memberikan nasihat dan saran kepada
direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah (pasal 32 ayat 3).
yang berarti memukul, atau berjalan. Pengertian memukul
atau berjalan ini lebih tepatnya dalam proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan
usaha. Secara tehnis mudharabah dapat dimaknai dengan akad kerjasama usaha antara dua pihak,
(shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selam kerugian itu
pembiayaan
Bagi hasil (mudharabah,
musyarakah)
Jual beli (murabahah,
salam, Istishna')
sewa menyewa (ijarah,
ijarah muntahiya
bittamlik)
Jasa lainnya (hawalah, kafalah,
penyaluran dana
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
5
bukan akibat kelalaian si pengelola, seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
4
Dalam aspek penghimpunan dana, produk tabungan, giro dan deposito dapat digunakan skim
mudharabah. Beberapa dasar hukum terkait dengan tiga produk tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Fatwa Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000, tentang Giro
2. Fatwa Nomor 02/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000, tentang Tabungan
3. Fatwa Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000, tentang Deposito
4. Pasal 19 ayat 1 huruf (a) dan (b) UU nomor 21 tahun 2008
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran
dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang telah diubah
dengan PBI nomor 9/19/PBI/2007 tanggal 17 Desember 2007 dan turunannya (SE BI)
6. Standar Akuntansi yang berlaku bagi bank syariah (PAPSI, AAOIFI dan PSAK No.59)
7. Kompilasi Hukum Ekonomi Syarah (KHES)
Bank syariah harus mampu secara simultan melaksanakan semua ketentuan yang berlaku baik
dalam hal aspek syariah maupun ketentuan lainnya yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang.
GIRO DENGAN AKAD MUDHARABAH
Giro merupakan produk penghimpunan dana yang banyak digunakan untuk kepentingan bisnis.
Secara definitif Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
5
Secara umum baik fatwa DSN maupun Peraturan Bank Indonesia memberikan ketentuan yang relatif
sama terkait dengan produk giro dengan akad mudharabah. Selengkapnya dapat penulis uraikan
sebagai berikut :
Ketentuan Giro Mudharabah dalam fatwa DSN nomor 01/DSN-MUI/IV/2000, sebagai berikut:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk didalamnya
mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang

4
Ahmad Asy Syarbasyi, al mujamu al i qtishad al Islami,sebagaimana dikutip oleh Muhmmad Syafii
Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, hal:95
5
Kamus Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta;hal.78
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
6
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
Pada awalnya PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi
bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengatur secara rinci tentang
karakteristik produk bank syariah dengan beberapa uraian ketentuan yang mirip dengan isi fatwa
DSN, namun dalam PBI nomor 9/19/PBI/2007 tanggal 17 Desember 2007 yang merupakan
perubahan dari PBI sebelumnya, hanya mengatur secara umum produk-produk apa saja yang dapat
diaplikasikan pada bank syariah, dengan ketentuan bahwa bank syarah harus mengacu kepada
ketentuan Fatwa-fatwa DSN yang terkait dengan skim syariah dimaksud.
TABUNGAN DENGAN SKIMMUDHARABAH
Tabungan dan deposito merupakan produk bank syariah yang berperan penting bagi kinerja
operasional bank pada umumnya, termasuk juga bank syariah. Dalam kamus perbankan yang
diterbitkan Bank Indonesia, tabungan dimaknai dengan : Simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro,
dan /atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dengan kemajuan teknologi, tabungan pada
saat ini dapat ditarik dengan menggunakan kartu bank, ATM, atau melalui telepon (phone banking)
6
.
Ketentuan Tabungan dengan prinsip Mudharabah terdapat pada fatwa DSN nomor 02/DSN-
MUI/IV/2000, sebagai berikut:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya
mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.

6
Ibid.,hal:212
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
7
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
DEPOSITO DENGAN SKIMMUDHARABAH
Definisi deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan perjanjian antara nasabah dan bank.
Yang lazim berlaku pada perbankan syariah, nisbah deposito lebih tinggi daripada nisbah bagi hasil
tabungan, karena simpanan deposito seharusnya hanya dapat diambil ketika jatuh tempo dan nilai
minimal yang relatif lebih besar dibandingkan dengan saldo minimal tabungan.
Sedangkan ketentuan mengenai akad mudharabah dalam produk deposito tertuang dalam fatwa
DSN nomor 3/DSN-MUI/2000 dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk didalamnya
mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
Nisbah yang dipakai pada setiap produk berbeda-beda dan tergantung pada fitur yang ditawarkan
oleh pihak bank dan biasanya dalam hal ini hampir tidak ada tawar menawar, kecuali nasabah
memiliki dana yang relatif besar dan baik dalam kondisi yang sangat membutuhkan dana tersebut.
Untuk deposito dengan skim mudharabah ini terbagi kepada dua jenis, yaitu mudharabah muthlaqah
(investasi tidak terikat) dan mudharabah muqayyadah (investasi terikat). Mudharabah muthlaqah
memberikan kewenangan penuh kepada bank selaku mudharib untuk melakukan berbagai bentuk
investasi yang dikehendaki oleh pihak bank. Sedangkan mudharabah muqayyadah, nasabah
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
8
memberikan batasan bagi bank mengenai sektor-sektor apa saja yang boleh dibiayai oleh bank
dengan dana mudharabah tersebut.
Dalam panduan yang diedarkan oleh Bank Indonesia dengan judul kodifikasi produk perbankan
syarah yang diterbitkan pada tahun 2008, dinyatakan bahwa bank syariah dapat menentukan biaya
biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening
antara lain biaya cek/bilyet giro, biaya meterai, cetak laporan transaksi, dan saldo rekening,
pembukaan dan penututupan rekening.
Yang patut diperhatikan bahwa, skim mudharabah dalam produk penghimpunan dana memberikan
keniscayaan bagi berkurangnya dana investasi nasabah, ketika terjadi kerugian yang dilakukan oleh
bank yang dilakukan bukan karena kelalaian oleh pihak bank. Namun sepanjang sejarah perbankan
syariah di Indonesia, hal ini belum pernah terjadi.
PEMBIAYAAN DENGAN SKIM MUDHARABAH
Aspek pembiayaan dalam produk perbankan syariah relatif lebih rumit dibandingkan dengan sektor
penghimpunan dana. Hal ini disebabkan karena sektor pembiayaan merupaka aktiva yang
menguntungkan sekaligus mengandung resiko, baik bagi bank, nasabah dan juga pemilik modal.
DSN mengeluarkan fatwa nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 4 April 2000, terkait dengan
ketentuan syariah mengenai pembiayaan mudharabah ini. Fatwa ini relatif berbeda dengan fatwa
yang lain, fatwa ini terdiri dari tiga bagian utama, pertama membahas mengenai ketentuan
pembiayaan, selanjutnya syarat dan rukun dan ditutup dengan beberapa ketentuan pembiayaan.
Selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut :
Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk
suatu usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan
suatu proyek (usaha),sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib
ataupengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai
dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi
mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
9
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika
mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib
tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga.
Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap
hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh
LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran
terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah
dikeluarkan.
Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib
untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk
aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara
bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat
keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu
kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai
kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
10
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak
boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian,
atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang
disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia
mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan
dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (muallaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum
tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat
amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau
pelanggarankesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara
kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ketentuan mengenai mudharabah tertuang dalam Bab VII
mulai dari pasal 187 sampai dengan pasal 210. KHES lebih rinci lagi memberikan acuan yang terkait
dengan skim mudharabah ini.
Dalam KHES syarat-syarat mudharabah diatur sebagai berikut (pasal 187):
1. Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk
melakukan kerjasama dalam usaha
2. Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang disepakati
3. Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad
KHES mengatur berbagai hak dan kewajiban bagi mudharib dan pemiliki modal, beberapa ketentuan
tersebut diuraikan denga beberapa pasal secara terpisah. Berikut ini diantara rambu-rambu yang
dituangkan dalam KHES sebagai berikut :
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
11
Hak dan Kewajiban serta larangan bagi mudharib
1. Mudharib berhak membeli barang dengan maksud menjualnya kembali untuk memperoleh
untung ( pasal 195 ayat 1).
2. Mudharib berhak menjual dengan harga tinggi atau rendah, baik dengan tunai maupun cicilan
(pasal 195 ayat 2)
3. Mudharib berhak menerima pembayaran dari harga barang dengan pengalihan piutang (pasal
195 ayat 3)
4. Mudharib tidak boleh menjual barang dalam jangka waktu yang tidak biasa dilakukan oleh para
pedagang (pasal 195 ayat 3)
5. Mudharib tidak boleh menghibahkan, menyedekahkan, dan atau meminjamkan harta
kerjasama, kecuali bila mendapat izin dari pemilik modal (pasal 196)
6. Mudharib berhak memberi kuasa kepada pihak lain untuk bertindak sebagai wakilnya untuk
membeli dan menjual barang jika sudah disepakati dalam akad mudharabah (pasal 197 ayat 1)
7. Mudharib berhak mendepositokan dan menginvestasikan harta kerjasama dengan sistem
syariah (pasal 197 ayat 2)
8. Mudharib berhak menghubungi pihak lain untuk melakukan jual-beli barang sesuai dengan
kesepakatan dalam akad. (pasal 197 ayat 3)
9. Mudharib berhak atas keuntungan sebagai imbalan pekerjaannya yang disepakati dalam akad
(pasal 198 ayat 1)
10. Mudharib tidak berhak mendapatkan imbalan jika usaha yang dilakukannya rugi (pasal 198 ayat
2)
11. Pemilik modal tidak berhak mendapatkan keuntungan jika usaha yang dilakukan oleh mudharib
merugi (pasal 199 ayat 2)
12. Mudharib tidak boleh mencampurkan kekayaanya sendiri dengan harta kerjasama dalam
melakukan mudharabah, kecuali bila sudah menjadi kebiasaan di kalangan pelaku usaha (pasal
200)
13. Mudharib dibolehkan mencampurkan kekayaannya sendiri dengan harta mudharabah jika
mendapat izin dari pemilik modal dalam melakukan usaha-usaha khusus tertentu (pasal 201)
14. Mudharib wajib menjaga dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemilik
modal dalam akad (pasal 204)
15. Mudharib wajib bertanggungjawab terhadap risiko kerugian dan atau kerusakan yang
diakibatkan oleh usahanya yang melampaui batas yang diizinkan dan atau tidak sejalan dengan
ketentuanketentuan yang telah ditentukan dalam akad (pasal 205 )
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
12
16. Mudharib wajib mengembalikan modal dan keuntungan kepada pemilik modal yang menjadi
hak pemilik modal dalam kerjasama mudharabah (pasal 207 ayat 3)
Hak dan Kewajiban serta larangan bagi Shahibuul maal
1. Pemilik modal berhak atas keuntungan berdasarkan modalnya yang disepakati dalam akad (pasal
199 ayat 1)
2. Pemilik modal tidak berhak mendapatkan keuntungan jika usaha yang dilakukan oleh mudharib
merugi (pasal 199 ayat 2)
3. Pemilik modal dapat memberhentikan atau memecat pihak yang melanggar kesepakatan dalam
akad mudharabah (pasal 207 ayat 1)
4. Pemilik modal berhak melakukan penagihan terhadap pihak pihak lain berdasarkan bukti dari
mudharib yang telah meningal dunia (pasal 210 ayat 1)
Ketentuan mengenai hasil usaha diuraikan dalam berapa KHES sebagai berikut :
1. Bahwa keuntungan yang dihasilkan dalam mudharabah menjadi milik bersama (pasal 195 ayat
1)
2. Baik mudharib maupun shahibul mal tidak berhak mendapat keuntungan apabila usha yang
dilakukan merugi (pasal 198 ayat 2 dan pasal 199 ayat 2)
3. Porsi/nisbah keuntungan antara mudharib dan shahibul maal dibagi secara proporsional atau
atas dasar kesepakatan semua pihak (pasal 202)
4. Apabila kerugian diakibatkan karena Mudharib melanggar atau melampaui batas yang diizinkan
atau tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan dalam akad, maka
kerugian itu ditanggung oleh Mudharib ( pasal 205)
5. Kerugian usaha dan kerusakan barang dagangan dalam kerjasama mudharabah yang terjadi
bukan karena kelalaian mudharib, dibebankan pada pemilik modal (pasal 208)
6. Kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya mudharib, dibebankan pada pemilik modal (pasal
210 ayat 2)
Prosesi pembiayaan relatif memakan waktu yang panjang serta harus sejalan dengan aturan aturan
terkait. Diawali dengan inisiasi dan solisitasi, kemudian analisa kelayakan pembiayaan dan proses
persetujuan melalui pejabat bank yang terkat. Selanjutnya diterbitkanlan surat pesetujuan prinsip
(offering letter) yang kemudian dilanjutkan dengan akad pembiayaan baik dilakukan secara notariil
maupun bawah tangan, hal ini sangat tergantung kepada kebijakan bank dan kesepakatan antara
bank dan nasabah tentu saja dengan mengindahkan segala ketentuan yang berlaku.
Akad pembiayaan pada bank syariah mengacu kepada ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Harus seusai dengan Hukum Positif, ketentuan syariah dan aspek ekonomi. Sekedar
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
13
gambaran umum dapat disampaikan struktur akad pembiayaan yang lazim digunakan dalam
perjanjian pembiayaan bank syariaah adalah sebagai berikut:
7
1. Definisi , termasuk istilah syariah.
2. Jangka Waktu pembiayaan
3. Jenis pembiayaan
4. Penggunaan fasilitas pembiayaan
5. Keuntungan dan pembayaran
6. Barang Agunan
7. Biaya yang dibebankan (Administrasi)
8. Pengutamaan pembayaran
9. Peristiwa cedera janji.
10.Hukum yang mengatur
Dari beberapa format perjanjian baik notariil maupun bawah tangan penulis menemukan Irah irah
pada kepala akta pembiyaan yaitu penggalan dari surah al Maidah ayat 1 yang artinya : hai orang-
orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.
PENUTUP
Perkembangan dunia bisnis syariah yang semakin pesat memerlukan perhatian khusus agar segala
perkembangan dan informasi yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban senantiasa
dapat sejalan dan selaras dengan perkembangan zaman yang terjadi. Salah satu skim muamalah yang
banyak diaplikasikan dalam sektor bisnis syariah adalah skim mudharabah. Ketika ia masuk menjadi
bagian dari entitas bisnis yang besar maka baik struktur, peran dan sistem kerjanya akan relatif
menjadi sedikit rumit karena ia harus sejalan dengan berbagai unsur sistem hukum yang berlaku,
baik secara subjek, objek, status, peran dan fungsi serta tujuan dari skim dimaksud. Pemahaman
yang komprehensif sangat diperlukan bagi kita yang menyandang peran sebagai ius curia novit.
Mudah mudahan sekelumit tulisan ini dapat bermanfaat. Wallahu alam bishhsawab..

7
Diambil dari materi pendidikan dan pelatihan BMI (tidak dipublikasikan)
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
14
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Kamil., Drs.,SH.,M.Hum, dan M Fauzan, SH.,MM.,MH, Kitab Undang-Undang Hukum
Perbankan dan Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2007
Gemala Dewi,S.H., LL.M, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah, Jakarta:
Prenada Media, cet ke2 2005
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke praktik, Jakarta : Gema Insani Press, cet ke-9,
2005
Sutan Remy Syahdeini,Prof.,Dr.,SH, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam tata hukum
Perbankan Indonesia, Jakarta;Pustaka utama Grafiti, 1999
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

You might also like