You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN
Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia.
Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU no 13 tahun 1998 tentang Kesehatan
dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Dikatakan lansia apabila sudah berumur lebih dari 55 sesuai umur pensiun pegawai negeri di
Indonesia. Untuk negara-negara yang sudah maju dengan keadaan ekonomi, keadaan gizi dan
kesehatan yang telah baik, batas umur 65 tahun baru dikatakan lansia ( Siregar, 2011).
Menurut Maryam et al ( 2008 ), lansia dibagi dalam 5 klasifikasi, meliputi :
1. Pralansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2. Lansia yaitu seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun atau lebih
3. Lansia beresiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih
4. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan
yang dapat menghasilkan barang/jasa
5. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Menjadi lansia tidak bisa dihindari karena merupakan tahapan dalam proses
kehidupan manusia. Menurut Maryam et al ( 2008 ) lansia memiliki karakteristik antara lain :
1. Berusia lebih dari 60 tahun
2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan
biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif.
3. Lingkungan tempat tinggal bervariasi.
Aging
Menjadi tua merupakan kodrat yang harus dijalani oleh semua insan di dunia. Namun,
seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, proses penuaan dapat diperlambat
atau dicegah. Menjadi tua atau aging adalah suatu proses menghilangnya kemampuan
jaringan secara perlahan-lahan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan
struktur, serta fungsi normalnya. Akibatnya tubuh tidak dapat bertahan terhadap kerusakan
atau memperbaiki kerusakan tersebut. Proses penuaan ini akan terjadi pada seluruh organ

tubuh meliputi organ dalam tubuh, seperti jantung, paru-paru, ginjal, indung telur, otak dan
lain-lain, juga organ terluar dan terluas tubuh, yaitu kulit.
Patogenesis Proses Penuaan
Proses penuaan berlangsung perlahan-lahan. Batas waktu yang tepat antara
terhentinya pertumbuhan fisik dan dimulainya proses penuaan tidak jelas, tetapi umumnya
sekitar usia pertengahan dekade kedua mulai terlihat tanda penuaan. Berbagai teori tentang
proses penuaan telah dikemukakan, antara lain :
a) Teori Replikasi DNA
Teori ini mengemukakan bahwa proses penuaan merupakan akibat akumulasi terhadap
kesalahan dalam masa replikasi DNA, sehingga terjadi kematian sel. Kerusakan DNA
akan menyebabkan pengurangan kemampuan replikasi ribosomal DNA (rDNA) dan
mempengaruhi masa hidup sel. Sekitar 50% rDNA akan menghilang dari sel jaringan
pada usia kira-kira 70 tahun.
b) Teori Kelainan Alat
Terjadinya proses penuaan adalah karena kerusakan sel DNA yang mempengaruhi
pembentukan RNA sehingga terbentuk molekul-molekul RNA yang tidak sempurna ini
dapat menyebabkan terjadinya kelainan enzim-enzim intraseluler yang mengganggu
fungsi sel dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel/organ yang bersangkutan. Pada
jaringan yang tua terdapat peningkatan enzim yang tidak aktif sebanyak 30% - 70%. Bila
jumlah enzim menurun sampai titik minimum, sel tidak dapat mempertahankan
kehidupan dan akan mati.
c) Teori Ikatan Silang
Proses penuaan merupakan akibat dari terjadinya ikatan silang yang progresif antara
protein-protein intraselular dan intraselular serabut-serabut kolagen. Ikatan silang
meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini mengakibatkan penurunan
elastisitas dan kelenturan kolagen di membrane basalis atau di substansi dasar jaringan
penyambung. Keadaan ini akan mengakibatkan kerusakan fungsi organ.
d) Teori Pace Maker / Endokrin

Teori ini mengatakan bahwa proses menjadi tua diatur oleh pace maker, seperti kelenjar
timus, hipotalamus, hipofise, dan tiroid yang menghasilkan hormon-hormon dan secara
berkaitan mengatur

keseimbangan hormonal dan regenerasi sel-sel tubuh manusia.

Proses penuaan terjadi akibat perubahan keseimbangan sistem hormonal atau penurunan
produksi hormon-hormon tertentu.
e)

Teori Radikal Bebas


Teori radikal bebas dewasa ini lebih banyak dianut dan dipercaya sebagai mekanisme
proses penuaan. Radikal bebas adalah sekelompok elemen dalam tubuh yang mempunyai
elektron yang tidak berpasangan sehingga tidak stabil dan reaktif hebat. Sebelum
memiliki pasangan, radikal bebas akan terus menerus menghantam sel-sel tubuh guna
mendapatkan pasangannya termasuk menyerang sel-sel tubuh yang normal. Teori ini
mengemukakan bahwa terbentuknya gugus radikal bebas ( hydroxyl, superoxide,
hydrogen peroxide dan sebagainya ) adalah akibat terjadinya otooksidasi dari molekul
intraselular karena pengaruh sinar UV. Radikal bebas ini akan merusak enzim
superoksida-dismutase ( SOD ) yang berfungsi mempertahankan fungsi sel sehingga
fungsi sel menurun dan menjadi rusak. proses penuaan pada kulit yang dipicu oleh sinar
UV ( photoaging ) merupakan salah satu bentuk implementasi dari teori ini.

Aging Pada Tulang Rahang


Jaringan tulang, membentuk tulang tengkorak, merupakan bahan yang luar biasa.
Secara garis besar, dibedakan menjadi dua jenis. Yang pertama adalah tulang kortikal atau
tulang kompak, yang merupakan jaringan yang lebih padat walaupun dipenetrasi oleh
pembuluh darah melalui jaringan kanalikuli. Biasa ditemukan pada batang tulang yang
panjang. Yang kedua adalah tulang trabekular atau kanselus. Berpori dan biasanya ditemukan
dekat permukaan sendi, pada ujung tulang yang panjang dan dalam tulang vertebra (
Ruimerman, 2005 ).
Tulang merupakan struktur yang unik terbuat dari sel dan matriks ekstraseluler ( ECM
). ECM tersusun dari protein kolagen dan non-kolagen. Fiber kolagen disusun di dalam
bundel, yang pada gilirannya disusun dalam orientasi yang spesifik. Fiber ini kemudian
dimineralisasi dengan kalsium fosfat dan hidroksi apatit. Tulang tengkorak menyimpan 99%
dari total kalsium tubuh dan 80% total fosfat tubuh.

Matriks organik tulang dominan

tersusun oleh kolagen tipe I ( 95% ) disusul oleh proteoglycan sulfat, asam glikoprotein dan
osteocalcin ( Lau dan Adachi, 2011 ).
Kehilangan gigi dan berikut kehilangan tulang alveolar diketahui sebagai faktor
etiologi penuaan yang signifikan dari penampilan wajah. Protesa lepasan telah digunakan
pada pasien yang kehilangan tulang alveolar, untuk mempertahankan bentuk wajah. Namun,
seiring usia pasien dan proses fisiologis dari resorpsi tulang yang terus berjalan, posisi gigi
tiruan juga akan bergeser menciptakan gigitan edge to edge atau penampilan pseudo kelas III.
Dengan terus berlangsungnya resorpsi tulang, dimensi vertikal berkurang, dan mandibula
berputar ke depan dan ke atas sewaktu menutup mulut. Hal ini sering menciptkan penampilan
sedih bila dilihat dari depan dan dari samping dagu cenderung terlihat lebih dekat dengan
ujung hidung. Pada pasien dengan atrofi tulang yang ekstrim terutama pada mandibula,
kehilangan tulang alveolar secara total membutuhkan gigi tiruan yang didukung tulang basal
yang telah diketahui turun sampai di bawah level tuberkel. Pada kondisi atrofi yang ekstrim
ketebalan mandibula akan berkurang sampai 4-5mm, terutama di daerah bikuspid. Pada
keadaan ini, mandibula dapat fraktur patologis secara spontan. Pada pasien dengan atrofi
mandibula yang ekstrim, perlekatan otot bergerak ke arah atas dan pada beberapa kasus
hanya ada sedikit atau tidak ada perlekatan mukosa pada tulang krestal ( Balshi, 1996 ).
Menurut Karaagaclioglu et al, penurunan ketinggian mandibula sejalan dengan dengan
penambahan umur dimana progres dari resorpsi mandibula pada pasien edentulus lebih cepat
pada orang tua dibandingkan dengan orang muda.
Pada usia lanjut, ukuran tulang berkurang secara drastis. Pada kasus kehilangan gigi,
prosesus alveolar teresorbsi dan sebagai konsekuensi, bagian kepala dari tulang berada di
bawah garis obelik. Kanalis mandibula, dengan foramen mentalis yang terbuka, dekat dengan
batas alveolar. Ramus berada pada arah obelik, dengan sudut kira-kira 140o, dan kepala
kondilus lebih atau kurang bengkok ke arah belakang ( Elsabaa, 2012 ).
Remodeling tulang alveolar
Tulang mandibula manusia dewasa merupakan tulang yang mempunyai variasi
anatomi yang banyak. Variasi ini muncul bukan karena sebuah hasil penuaan ( aging ).
Setelah pertumbuhan telah selesai, faktor tunggal yang penting yang mengatur bentuk
morfologi tulang berkaitan dengan ada atau tidak adanya gigi. Setelah pencabutan gigi, ada
fase remodeling yang dapat mengakibatkan kehilangan pada ketinggian rahang terutama pada
mandibula.
4

Menurut Kingsmill, remodeling tulang alveolar setelah pencabutan dipengaruhi


banyak faktor baik faktor lokal maupun sistemik memainkan peran penting pada struktur
mandibula seperti pada tulang secara umum. Faktor lokal yang mempengaruhi remodeling
tulang alveolar setelah pencabutan adalah :
a) Faktor fungsi.
Banyak fungsi yang berubah yang timbul akibat kehilangan gigi. Tekanan
pengunyahan menurun dengan penurunan jumlah gigi dan pasien dengan gigi tiruan
hanya dapat mengunyah dengan tekanan 1/8 atau 1/6 dari tekanan pengunyahan
normal menggunakan gigi asli.
b) Faktor anatomis
a.

Ukuran tulang
Ukuran asli dari mandibula dan kedalaman soket ekstraksi mempengaruhi
resorpsi tulang.

b.

Tipe tulang
Tulang kortikal dan kanselus diperkirakan merespon berbeda terhadap pengaruh
lokal dan sistemik. Pada manusia, jumlah, pengaturan, dan distribusi dari tulang
kanselus bervariasi secara luas pada edentulous mandibula.

c.

Asal tulang
Jaringan tulang pada lokasi yang berbeda dalam tubuh bervariasi pada laju
remodeling dan juga terhadap tekanan mekanis.

d.

Komposisi tulang
Tulang alveolar lebih rapuh dibandingkan tulang yang lain yang dikarenakan
tingginya konsentrasi glikosaminoglikan.

e.

Sel tulang
Aging sel tulang berpengaruh pada fungsi yang mengalami defektif.

c) Faktor psikologikal
a.

Suplai darah

Tulang alveolar mempunyai aktivitas metabolik yang tinggi. Tulang basal lebih
tinggi derajat mineralisasinya. Pola suplai darah pada mandibula berubah dari
sebagian sentrifugal menjadi sentrifugal utama.
b.

Penggantian tulang
Terletak pada peranan dari osteoblas, osteoklas, osteosit dan banyak faktor lain.

d) Faktor inflamasi
Asam arachinoida dilepaskan sebagai respon kerusakan jaringan yang dimetabolisme
dengan 2 jalan, yang menghasilkan produk ( prostaglandin dan leukotrin ) yang
berperan pada resorpsi tulang.
a.

Kesehatan periodontal yang ada


Kehilangan gigi umumnya terjadi karena hasil baik langsung maupun tidak
langsung dari inflamasi kronis dari penyakit periodontal.

b.

Trauma
Banyaknya kerusakan tulang yang terjadi selama proses pencabutan gigi dapat
berdampak pada remodeling tulang.

Sedangkan faktor sistemik yang mempengaruhi remodeling tulang adalah :


a) Faktor nutrisi dan metabolise kalsium
Pada pasien dengan gizi yang buruk, perubahan tulang mandibula menjadi nyata.
b) Umur
Pertambahan umur diketahui berdampak pada perubahan tulang mandibula dan
menambah kesulitan pada perawatan ortodonsi, ekstraksi dan operasi yang lain yang
dikarenakan pertambahan mineral di tulang.
c) Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai beberapa pengaruh pada tulang mandibula. Pada individu
yang edentulus, ketinggian mandibula lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan
wanita walaupun tidak ada perbedaan yang signifikan ketika masih ada gigi.
Aging pada Pengecapan
Pengecapan merupakan salah satu dari fungsi lidah. Struktur reseptor dasar untuk
mengecap dinamakan taste buds yang merupakan organ reseptor yang terletak di lubang dan

alur yang sempit dalam mulut, tenggorokan, faring, pipi, palatum lunak, dan terutama terletak
pada permukaan dorsal pada punggung lidah.
Taste bud pada permukaan dorsal lidah paling banyak. Di sini taste bud terdapat di
antara 4 jenis papila lidah,yaitu :
a) Papila fungiformis yang terletak pada bagian paling anterior dari lidah dan secara
umum mengandung satu sampai beberapa taste bud per papila. Papila ini disarafi oleh
chorda tympani yang merupakan cabang dari nervus fasial. Papila ini terlihat sebagai
titik merah pada lidah yang dikarenakan papila ini kaya akan pembuluh darah. Jumlah
total papila fungiformis pada lidah adalah sekitar 200. Papila pada bagian depan lidah
mempunyai lebih banyak taste bud ( 1-18 ) dibandingkan pada daerah tengah ( 1-9 ).
Bila dikalkulasikan ada 1120 taste bud papila fungiformis.
b) Papila foliata terletak pada pangkal lidah sedikit anterior dari garis sirkumvaliata.
Papila ini lebih sensitif untuk rasa asam. Disarafi oleh nervus glossopharyngeal. Ratarata jumlah papila ini adalah 5.4 untuk setiap sisi lidah, 117 taste bud per papila
foliata dengan total 1280 taste bud papila foliata.
c) Papila sirkumvaliata merupakan papila yang terendam dengan sebuah palung yang
memisahkan mereka dari dinding sekitar. Taste bud berada pada tingkatan dalam
palung dari papila. Terletak pada garis sirkumvaliata dan merasakan rasa asam/pahit
pada bagian 2/3 posterior lidah. Disarafi oleh nervus glossopharyngeal. 3-13 papila
sirkumvaliata per lidah dengan 252 taste bud per papila dengan total 2200 taste bud
papila sirkumvaliata.
d) Papila filiformis, merupakan mekanis dan tidak ada pengecapan.
Manusia mempunyai 9.000 10.000 taste bud yang biasanya ditemukan pada lidah
yang disebut dengan papila fungiformis. Sensitivitas pengecapan tergantung pada umur. Pada
orang yang lebih tua, regenerasi sel taste bud berjalan lambat dan pengecepan menjadi
berkurang. Pada reseptor pengecapan, ada empat jenis rasa, yaitu asin, asam, manis dan pahit
( Hughes, 2003 ).
Pengaruh penuaan pada persepsi rasa telah diteliti dalam berbagai studi. Kebanyakan
penelitian ini terbatas pada beberapa aspek ( ambang batas, intensitas atas ambang batas,
preferensi )atau jumlah senyawa basa. Sebagai hasilnya, sulit untuk menentukan kepentingan
relatif dan keterkaitan struktural dari perbedaan yang ditemukan. Penelitian yang dilaporkan
di sini, hanya untuk menjawab dua pertanyaan, apakah kehilangan pengecapan dengan
7

penuaan dapat ditemukan dan jika ditemukan, apakah kehilangan pengecapan itu umum,
penyebab yang dasar atau gabungan beberapa penyebab. Yang dimaksud dengan penyebab
dasar adalah kualitas pengecapan asin, manis, asem, dan pahit. Kebanyakan penelitian
menyatakan bahwa terjadi penurunan sensitivitas rasa dengan bertambahnya umur ( Mojet et
al, 2001 ).
Defisiensi pengecapan dapat disebabkan oleh umur, obat, penyakit dan trauma.
Sebagai contoh, pada penuaan, terjadi penurunan jumlah papila yang mengandung taste bud
dan penurunan sensitivitas pada berbagai rasa. Namun, orang tua tetap dapat merasakan
permen dan merasakan makanan. Peranan saliva dalam pengecapan adalah sangat penting
karena saliva membantu menglarutkan rasa dan mengantarkan pada taste pore. Akan sulit
untuk mengecap ketika mulut kering. Beberapa obat menurunkan laju alir saliva dan akan
menyebabkan pasien komplain mulut kering. Pasien yang menerima perawatan radioterapi
untuk kanker rongga mulut menyebabkan defisiensi rasa yang berat karena perawatan
menghasilkan atrofi kelenjar ludah dan menurunkan papila lidah. Pasien ini akan mengeluh
rasa sakit dan kehilangan pengecapan.
Penyebab kelainan pengecapan :

Trauma akut, rasa terbakar pada permukaan lidah

Banyak jenis obat menyebabkan kekeringan dari mulut

Defisiensi vitamin A

Xerostomia
Menurut Kemmet dan Brotherson, banyak orang tidak menyadari bahwa penciuman

dan pengecapan mereka sangat berhubungan. Kehilangan rasa pengecapan dan penciuman
dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang lain pada individu lanjut usia. Pada umur 30,
seseorang mempunyai 245 taste bud pada setiap papila di lidah. Pada umur 70, jumlah taste
bud berkurang menjadi kira-kira 88. Rasa pengecapan berubah secara perlahan. Pengecapan
manis dan asin pertama kali yang terpengaruh. Untuk orang yang lebih tua, rasa bumbu akan
menjadi hambar. Penggunaan herbal daripada garam dapat meningkatkan rasa makanan tanpa
meningkatkan sodium, terutama pada orang yang lebih tua yang mempunyai gangguan
hipertensi. Rasa yang kurang akan membuat orang tua malas untuk makan yang dapat
menyebabkan nutrisi yang buruk. Satu cara untuk mengatasi kehilangan pengecapan akibat

sakit dan penuaan adalah meningkatkan konsentrasi penampilan, suhu dan rasa dalam
menyiapkan makanan ( Kemmet et al, 2008 ).
Aging pada Saliva
Saliva membantu mempertahankan pH mulut normal dan menyediakan penampungan
dari ion kalsium dan fosfat untuk meremineralisasi gigi. Saliva melindungi mukosa mulut dan
gigi terhadap substansi yang berbahaya, melumasi mulut untuk mengunyah, menelan dan
berbicara, dan menurunkan trauma jaringan. Saliva mengandung enzim, immunoglobulin A,
lactoferin, histatin dan defensin, yang menyediakan aktivitas antimikroba. Saliva juga
berperan sebagai pelarut untuk menambah pengecapan dan memudahkan tahap awal
pencernaan. Penurunan dari laju saliva ( hiposalivasi ) menyebabkan mulut kering (
Xerostomia ), yang umum terjadi pada orang tua. Pada umumnya pasien dengan xerostomia
pasti mengalami hiposalivasi. Laju saliva yang tidak distimulasi pada populasi secara umum
adalah 0,3mL/menit. Sedangkan untuk yang distimulasi adalah 1-3 mL/menit. Dengan
volume rata-rata saliva yang dihasilkan perhari adalah 0,5 1,5 liter setiap hari. Fungsi saliva
diperkirakan menurun karena usia, tetapi sekarang disetujui bahwa produksi saliva dan
komposisinya terpengaruh dengan usia pada orang yang sehat. Disfungsi saliva pada usia tua
merupakan konsekuensi dari penyakit sistemik, medikasi dan radioterapi kepala dan leher,
juga akan menurunkan fungsi yang ada. Pendekatan perawatan pada saat sekarang untuk
menangani xerostomia adalah dengan menghilangkan simptom dan kondisi yang dihasilkan.
Termasuk di dalamnya adalah stimulasi pengunyahan dan farmakologi, terapi pengganti (
bahan pembasah mulut ) dan pencegahan efek pada kesehatan oral akibat hiposalivasi (
Gupta, 2006 ).
Saliva di rongga mulut mempunyai beberapa fungsi, yaitu ( Almeida et al, 2008 ) :
a. Pengecapan
Saliva pertama kali dibentuk di dalam asini adalah isotonik terhadap plasma. Namun,
ketika mengalir melalui duktus, saliva menjadi hipotonik. Hipotonis saliva ini ( kadar
glukosa, sodium, klorida dan urea yang rendah ) akan membuat taste bud merasakan rasa
yang berbeda. Gustin, protein saliva, berperan dalam pertumbuhan dan maturasi dari taste
bud.

b. Proteksi dan Pelumas


Saliva membentuk lapisan seromukos yang melindungi dan melumasi mukosa mulut
terhadap iritasi. Hal ini terjadi karena adanya mucin ( protein dengan kadar karbohidrat yang
tinggi ) bertanggung jawab untuk melumasi , pelindung terhadap dehidrasi dan
mempertahankan viskoelastisitas saliva, yang juga mengatur perlekatan mikroorganisme pada
permukaan jaringan mulut yang berfungsi mengontrol kolonisasi bakteri dan jamur. Sebagai
tambahan, juga melindungi jaringan terhadap serangan proteolitik mikroorganisme.
Pengunyahan, berbicara dan penelanan juga dibantu oleh protein ini.
c. Pengenceran dan pembersihan
Gula dalam bentuk bebas ada pada saliva yang distimulasi maupun tidak distimulasi
dengan konsentrasi 0,5 sampai 1 mg/100mL. Konsentrasi gula yang tinggi biasanya terjadi
makan dan minum. Ada hubungan antara konsentrasi glukosa di darah dan di saliva, terutama
pada pasien diabetes, tetapi karena tidak selalu begitu, maka saliva tidak digunakan untuk
memeriksa gula darah. Sebagai tambahan, saliva juga berperan sebagai pembersih mekanis
terhadap sisa yang ada di mulut seperti bakteri dan selular dan debris makanan. Saliva
berperan untuk menghilangkan karbohidrat yang berlebihan, kemudian, membatasi
ketersediaan gula buat mikroorganisme. Lebih banyak saliva, maka kemampuan untuk
membersihkan dan mengencerkan akan semakin tinggi. Maka karena itu, perubahan status
kesehatan menyebabkan penurunan saliva akan menyebabkan gangguan pembersihan mulut.
d. Kapasitas buffer
Saliva berperan sebagai sistem buffer untuk melindungi mulut, sebagai berikut :

Saliva mencegah kolonisasi dari mikroorganisme patogen dengan menolak


mereka mengoptimalkan kondisi lingkungan

Saliva

menetralkan

dan

membersihkan

asam

yang

diproduksi

oleh

mikroorganisme penghasil asam kemudian mencegah demineralisasi enamel


Perlu untuk menekan ketebalan biofilm dan jumlah bakteri yang ada untuk
menentukan efisiensi dari buffer saliva. Sialin, sebuah senyawa pepsin dari saliva memainkan
peranan penting dalam meningkatkan pH biofilm setelah terpapar fermentasi karbohidrat.
Urea merupakan buffer yang ada di saliva yang memproduksi asam amino dan katabolisme
protein yang menyebabkan peningkatan secara cepat dari pH biofilm yang mengeluarkan
10

amonia dan karbondioksida ketika dihidrolisa oleh bakteri. Anak-anak dengan gagal ginjal
kronis terdapat karies yang lebih sedikit dibandingkan anak yang sehat, dikarenakan
peningkatan level dari urea saliva. Amonia, sebuah produk dari urea dan metabolisme asam
amino, berpotensi beracun terhadap jaringan gingiva. Merupakan faktor penting pada saat
permulaan gingivitis karena meningkatkan permeabelitas dari epitel sulkular terhadap bahan
beracun atau substansi antigen lainnya pada saat pembentukan kalkulus. Sistem asam
karbonat-bikarbonat merupakan yang paling penting pada saliva yang distimulasi sedangkan
pada saliva yang tidak distimulasi, adalah sistem buffer fosfat.
e. Keutuhan dari enamel gigi
Saliva memainkan peranan fundamental dalam mempertahankan keutuhan fisikkhemis dari enamel gigi dengan mengatur proses remineralisasi dan demineralisasi. Faktor
utama mengatur stabilitas hidroksiapatit enamel adalah konsentrasi aktif dari kalsium bebas,
fosfat dan fluride dalam campuran dan pH saliva. Konsentrasi yang tinggi dari kalsium dan
fosfat dalam saliva menjamin pertukaran ion langsung pada permukaan gigi yang dimulai
pada saat erupsi gigi menghasilkan maturasi pasca erupsi. Remineralisasi dari gigi karies
sebelum menjadi kavitas terjadi adalah mungkin, terutama disebabkan adanya ion kalsium
dan fosfat dalam saliva. Konsentrasi dari kalsium saliva bervariasi dan tidak tergantung oleh
diet. Namun, penyakit seperti kista fibrous dan beberapa obat seperti pilocarpine
menyebabkan peningkatan level kalsium. Tergantung pada pH, kalsium saliva dapat
diionisasi atau ditautkan. Kalsium yang terionisasi penting untuk membangun keseimbangan
antara kalsium fosfat dari enamel dan cairan yang berdekatan. Kalsium yang tidak terionisasi
dapat dikaitkan pada ion inorganik, pada ion organik yang kecil dan pada makro molekul.
Adanya flouride dalam saliva, bahkan pada tingkat yang rendah, menentukan stabilitas
mineral gigi. Konsentrasi flouride dalam saliva berhubungan dengan konsumsinya. Flouride
tergantung pada lingkungan, terutama pada air minum. Sumber lain juga penting, seperti odol
dan produk lain yang digunakan untuk mencegah karies. Kehadiran dari ion flouride dalam
cairan menurunkan kehilangan mineral karena ion ini mengurangi hidroksiapatit gigi yang
terlarut, membuat gigi lebih tahan terhadap demineralisasi juga mengurangi produksi asam.
f. Pencernaan
Saliva bertanggung jawab terhadap pencernaan tahap awal, mendukung pembentukan
bolus makanan. Aksi ini terjadi karena adanya enzim pencernaan amylase ( Ptyalin ) dalam
komposisi saliva. Fungsi biologisnya adalah untuk membagi pati makanan menjadi maltosa,
11

maltotriase dan dekstrin. Enzim ini dijadikan indikator yang bagus berfungsinya kelenjar
saliva secara baik.

12

BAB II
PEMBAHASAN

Masalah yang Dihadapi Prostodontis dalam merawat pasien lanjut usia


Tujuan dari perawatan prostodontik bagi pasien lansia adalah untuk memelihara
kesehatan dan fungsi sistem pengunyahan dengan menetapkan ukuran pencegahan tanpa
melibatkan pengobatan yang berlebihan. Sebelum dimulai perawatan penting untuk
menetapkan

suatu

mempertimbangkan

cara

hidup

perawatan

optimal
yang

dalam

sesuai

menjaga

dengan

kebersihan

tingkat

kerjasama

mulut

dan

pasien

Damayanti,2009).
Seorang prostodontis memainkan peran strategis dalam mengevaluasi, memperbaiki
dan menurunkan kegagalan perawatan prostetik pada pasien lansia dengan memhami
berbagai perubahan oral yang terjadi pada pasien lansia ( Banasr,2008 ).Seorang prostodontis
dalam memberikan perawatan gigi tiruan pada pasien lansia harus mempertimbangkan
perubahan-perubahan fisiologis dalam rongga mulut, yaitu ( Damayanti,2009 ) :

Perubahan mukosa mulut


Mukosa mulut manusia dilapisi oleh sel epitel yang berfungsi terutama sebagai
barier terhadap pengaruh-pengaruh dari lingkungan dalam dan luar mulut.
pertambahan usia menyebabkan sel epitel pada mukosa mulut mengalami
penipisan, bekurangnya keratinisasi, berkurangnya kapiler dan suplai darah,
penebalan serabut kolagen pada lmina propia. Akibatnya secara klinis, mukosa
mulut memperlihatkan kondisi yang menjadi lebih pucat, tipis keringm dengan
proses penyembuhan yang melambat. Hal ini menyebabkan mukosa mulut lebih
mudah mengalami iritasi terhadap tekanan ataupun gesekan, yang diperparah
dengan berkurangnya aliran saliva.

Perubahan ukuran lengkung rahang


Kebanyakan proses penuaan disertai dengan perubahan-perubahan osteoporosis
pada tulangnya, penelitian pada inklinasi aksila gigi pada tengkorak manusia yang
kemudian diikuti oleh hilangnya gigi, merupakan salah satu pertimbangan dari
awal berkurangnya tinggi tulang alveolar. Umumnya gigi-gigi rahang atas arahnya
13

ke bawah dan keluar, maka pengurangan tulangnya pada umumnya juga terjadi ke
arah atas dan dalam. Karena itu lempeng korikalis tulang bagian luar lebih tipis
daripada bagian dalam. Resorbsi bagian luar lempeng kortikalis tulang berjalan
lebih banyak dan lebih cepat. Dengan demikian, lengkung maksila akan berkurang
menjadi lebih kecil dalam seluruh dimensi dan juga permukaan landasan gigi
menjadi berkurang. Pada rahang bawah, inklinasi gigi anterior umumnya ke atas
dan ke depan dari bidang oklusal, sedangkan gigi-gigi posterior lebih vertikal atau
sedikit miring ke arah lingual. Permukaan luar lempeng kortikalsi tulang lebih
tebal dari permukaan lingual, kecuali pada daerah molar, juga tepi bawah
mandibula merupakan lapisan kortikalis yang paling tebal. Sehingga arah tanggul
gigitan pada mandibula terlihat lebih ke lingual dan ke bawah pada daerah anterior
dan ke bukal pada daerah posterior. Resorbsi pada tulang alveolar mandibula
terjadi ke arah bawah dan belakang, kemudian ke depan. Terjadi perubahanperubahan pada otot sekitar mulut, hubungan jarak antara mandibula dan maksila
serta perubahan ruangan dari posisi mandibula dan maksila.

Resorbsi tulang alveolar


Tulang akan mengalami resorbsi dimana atropi selalu berlebihan. Resorbsi yang
berlebihan dari tulang alveolar mandibula menyebabkan foramen mentale
mendekati puncak linggir alveolar. Puncak tulang alveolar yang mengalami
resorbsi berbentuk konkaf atau darat seperti ujung pisau. Resorbsi berlebihan pada
puncak tulang alveolar mengakibatkan bentuk linggir yang datar akibat hilangnya
lapisan kortikalis tulang. Resorbsi linggi yang berlebihan dan berkelanjutan
merupakan masalah karena menyebabkan fungsi gigi tiruan lengkap kurang baik
dan terjadinya ketidakseimbangan oklusi. Faktor resiko utama terjadinya resorbsi
ini adalah tingkat kehilangan tulang sebelumnya, gaya oklusal berlebihan.
Resorbsi residual alveolar ridge sudah banyak dikemukakan dalam teori-teori dan
hasil penelitian. Resorbsi pada rahang bawah besarnya 4 kali rahang aas. Menurut
Atwood, kecepatan resorbsi tulang alveolar bervariasi antar individu. Resorbsi
paling besar terjadi pada enam bulan pertama sesudah pencabutan gigi anterior
atas dan bawah. Pada rahang atas, sesudah 3 tahun, resorbsi sangat kecil
dibandingkan rahang bawah.

14

Perubahan aliran saliva


Kelenjar saliva berfungsi memproduksi saliva untuk mempertahankan kesehatan
mulut. pertambahan usia menyebabkan perubahan dan kemunduran fungsi
kelenjar saliva. Bukti terakhir menunjukkan bahwa penuaan itu sendiri tidak
menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Meskipun demikian, banyak pasien
lansia menerima pengobatan atau mengalami penyakit sistemik yang juga
mempengaruhi fungsi saliva dan mungkin mengarah pada mulut kering (
xerostomia). Berkurangnya fungsi pengecapan juga cenderung menambah
masalah pada pemakaian gigi tiruan. Pengurang aliran saliva mengganggu retensi
gigi tiruan, karena mengurangi ikatan adhesi saliva di antara dasar gigi tiruan dan
jaringan lunak dan menyebabkan iritasi mukosa. Keadaan ini menyebabkan
kemampuan pemakaian gigi tiruan berkurang sehingga kemampuan mengunyah
berkurang, kecekatan gigi tiruan berkurang, kepekaan pasien terhadap gesekangesekan dari gigi tiruan bertambah.

Kelainan yang timbul pada linggir alveolar pada pasien lansia


Menurut Dabas et al, ada beberapa kondisi linggir yang tersisa yang akan sulit dalam
pembuatan gigi tiruan apabila tidak ditangani dengan benar. Beberapa kondisi linggir tersebut
adalah :

Linggir flabby atau hiperplasia

Linggir maksila yang displaceable

Pasien dengan resorbsi linggir alveolar yang parah ( linggir datar )

Linggir mandibula yang unemployed

Pada kondisi-kondisi ini, seorang prostodontis hanya memiliki jaringan yang minimal
yang dapat digunakan untuk mendapatkan retensi, stabilisasi dan dukungan yang diperlukan (
Dabas et al,2013 ).
Perawatan linggir flabby atau hiperplasia
Menurut Damayanti ( 2009 ), jaringan flabby merupakan respon dari jaringan ikat
yang mengalami hiperplasia yang awalnya diakibatkan oleh trauma atau luka yang tidak
dapat ditoleransi yang terjadi pada residual ridge. Makin tebal jaringan hiperplastik yang
terbentuk, makin besar pula derajat flabby mukosa.

15

Etiologi dari linggir flabby adalah multifaktorial, yang diikuti dengan faktor-faktor
pendukung yang penting, yaitu :

Perubahan pada soket tulang alveolar pasca pencabutan

Trauma dari pemakaian gigi tiruan

Penurunan sisa alveolar secara bertahap

Perubahan dalam profil jaringan lunak dan fungsi sendi temporomandibula

Perubahan dalam perbandingan relatif dari kedua rahang

Kebiasaan-kebiasaan dan lamanya pemakaian gigi tiruan

Berbagai macam tekanan yang menyimpang, yang jatuh pada jaringan


pendukuang adalah penyebab yang utama ( contohnya gigi asli anterior rahang
bawah berlawanan dengan gigi tiruan rahang atas ), terutama pula parafungsional
yang dilakukan oleh mandibula

Tekanan-tekanan yang berlebihan pada segmen tertentu dari lengkung gigi


disebabkan karena tidak adanya keseimbangan kontak dalam posisi eksentrik
rahang

Cara perawatan linggir flabby ini agak kontroversial, namun dapat digolongkan dalam
dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa lebih baik jaringan fibrosa diambil
secara bedah pada setiap kasus, bila kesehatan pasien memungkinkan. Pendekatan cara ini
menghasilkan prosesus alveolaris yang padat dan lebih kecil. Pendapat lain mempunyai
pandangan yang berlawanan, mengganggap bahwa tindakan bedah hendaknya sejauh
mungkin dihindari karena jaringan fibrosa dapat berfungsi sebagai bantalan yang mengurangi
trauma pada jaringan tulang di bawahnya. Bila jaringan lunak diambil, harus diganti dengan
bahan landasan gigi tiruan yang lebih tebal dan berat berikut sulkusnya menjadi makin
dangkal.
1. Pembedahan
Pembedahan dilakukan pada pasien dengan linggir flabby yang sudah sangat
esktrim. Mengurangi linggir yang atrofi dengan pembedahan menyebabkan linggir
yang rendah dan datar atau linggir yang tajm dengan lapisan mukosa yang tipis.
Jaringaan yang diperoleh kurang memberikan bentuk yang menguntungkan
kecuali kalau dilakukan vestibuloplasty dahulu untuk memperluas sulkus. Sebab
tindakan bedah sering mengakibatkan hilangnya sulkus labialis. Pemotongan
hanya dilakukan pada daerah ridge yang bergerak saja. Setelah dilakukannya
16

pemotongan mukosa yang berbentuk baji, diperlukan pemotongan submukosa


crestal untuk memungkinkan terjadinya aposisi bagian tepi luka. Pembedahan
pada jaringan flabby ini sangat terbatas. Selain itu dapat juga dilakukan
penyuntikan pada linggir flabby dengan suatau bahan agar diperoleh linggir yang
rigid. Bahan tersebut antara lain yaitu sclerosing solution dan bahan
hidroksiapatit.
2. Perawatan gigi tiruan lengkap dengan linggir flabby
Hampir semua kasus flabby dapat dibuatkan gigi tiruan dengan baik tanpa
tindakan bedah. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan gigi tiruan
lengkap pada penderita linggir flabby antara lain yaitu teknik pencetakan. Tujuan
utama pencetakan adalah untuk memperoleh retensi, kestabilan dan dukungan
bagi gigi tiruan yang berguna untuk menjaga kesehatan jaringan di dalam rongga
mulut. Masalah dalam mencetak pasien tidak bergigi umumnya dan pasien dengan
jaringan flabby khususnya selain terletak pada teknik mencetak juga terletak pada
konstruksi sendok cetak dan bahan cetak. Apapun jenis cetakan yang akan dibuat,
sendok cetak merupakan bagian terpenting dari prosedur pembuatan cetakan.
Sendok cetak tidak boleh menyebabkan distorsi atau perubahan bentuk pada
jaringan dan struktur yang harus berkontak dengan tepi-tepi serta permukaan poles
gigi tiruan. Sendok cetak perorangan dibuat dengan tepi-tepi yang dapat
disesuaikan sehingga dapat mengendalikan jaringan lunak di sekitar cetakan tetapi
tidak menimbulkan distorsi.
Pada kasus linggir flabby memerlukan modifikasi yang cukup sederhana pada
desain sendok cetak yang memungkinkan operator untuk mendapatkan retensi dan
stabilisasi yang cukup pada landasan gigi tiruan yang berlawanan dengan gaya
tilting yang meningkat akibat jaringan yang mudah bergerak ini.

Perawatan Pasien dengan resorbsi linggir alveolar yang parah ( linggir datar )
Pada kasus rahang bawah dengan lingir datar karena mengalami resorbsi, perlekatan
otot-otot terletak pada puncak lingir sehingga dengan mudah melepaskan gigi tiruan.
Pembuatan gigi tiruan lengkap pada rahang bawah yang berlingir datar mempunyai
suatu masalah tersendiri dalam mencapai hasil yang baik dan memuaskan. Kesulitankesulitan terutama ditemukan dalam memperoleh retensi, stabilisasi dan dukungan
gigi tiruan lengkap.
17

Pada kasus resorbsi lingir alveolar yang kontinyu, otot-otot wajah (bibir dan pipi)
akhirnya tidak ditopang dan cenderung untuk jatuh ke dalam rongga mulut (collaps).
Pada waktu yang bersamaan lidah membesar untuk mengisi ruang yang sebelumnya
ditempati oleh gigi dan tulang alveolar. Selanjutnya akan terbentuk suatu ruangan di
dalam rongga mulut pada pasien yang tidak bergigi yang disebut ruangan gigi tiruan.
Resorbsi lingir alveolar akan mengurangi jumlah perlekatan mukoperiosteum pada
tulang sehingga vestibulum bukal dan lingual berkurang. Perubahan-perubahan ini
mempersulit operator untuk membedakan batas-batas anatomis dan fungsional dari
rongga mulut.
Resorbsi tulang rahang bawah akan menyebabkan lingir menjadi datar karena ikatanikatan otot berada pada puncak lingir. Kondisi-kondisi tersebut di atas sangat
berpengaruh terhadap gigi tiruan lengkap rahang bawah dimana dengan berkurangnya
vestibulum bukal dan lingual, operator sulit membedakan batas-batas anatomis dan
fungsional dari rongga mulut.
Terdapat beberapa cara untuk mengatasi masalah pada rahang bawah dengan lingir
datar pada pembuatan gigi tiruan lengkap. Misalnya dengan melakukan pendalaman
sulkus lingual dan vestibuloplasty dengan metode operasi sehingga didapatkan suatu
bentuk lingir baru yang memberikan dukungan yang baik. Tetapi seringkali kerugian
diderita oleh pasien karena terjadi berbagai efek samping setelah menjalani prosedur
operasi yaitu post operative defiguration, anasthesia dan neuralgia pains.
Selain vestibuloplasty juga dapat dibuat implant denture pada pasien dengan lingir
datar. Tetapi metode ini dilakukan pada pasien-pasien yang betul-betul memenuhi
indikasi baik lokal maupun umum. Disamping itu, tahap operasi yang dilakukan pada
proses pembuatan implan ini juga dapat menyebabkan berbagai efek samping dan
kegagalan, misalnya mental nerve traumatization dan fraktur rahang.
Melihat berbagai efek samping yang dapat terjadi pada metode yang telah dijelaskan
di atas, maka untuk mendapatkan suatu gigi tiruan lengkap rahang bawah yang baik
dan memuaskan dapat dilakukan suatu teknik pencetakan khusus dengan memahami
dan mencari berbagai kemungkinan retensi dari letak otot-otot sekitar gigi tiruan.
Pengaruh utama dari resorbsi lingir alveolar rahang bawah terhadap gigi tiruan
lengkap adalah retensi saat pemakaian gigi tiruan tersebut. Dimana bentuk tulang
lingirnya memberikan sedikit kemungkinan untuk retensi. Ikatan otot-otot yang
terletak pada puncak lingir menyebabkan daya melepaskan besar sekali.
18

Pengaruh terhadap retensi dan stabilisasi gigi tiruan seperti yang telah dijelaskan
diatas, sangat berkaitan dengan teknik pencetakan yang dilakukan. Sebuah gigi tiruan
yang baik akan mempunyai retensi yang baik bila dihasilkan dari cetakan yang baik.
Tetapi bentuk dan ukuran lingir mempengaruhi retensi dan stabilisasi gigi tiruan
lengkap. Dengan adanya perubahan-perubahan yang radikal pada lengkung mandibula
yang tidak bergigi akibat resorbsi maka teknik pencetakan yang biasa dilakukan pada
pembuatan gigi tiruan lengkap tidak akan menghasilkan suatu hasil yang diharapkan.
Ini merupakan suatu kesulitan tersendiri dimana pada lingir rahang bawah yang datar
harus dengan suatu teknik pencetakan yang khusus untuk memperoleh hasil yang
terbaik.

19

BAB III
KESIMPULAN

Dengan bertambahnya usia, seseorang akan mengalami proses penuaan ( aging ).


Proses ini terjadi pada seluruh organ tubuh. Proses aging pada tulang dan saliva akan
berakibat dalam pembuatan gigi tiruan. Seorang prostodontis akan menemui masalahmasalah

dalam

memberikan

perawatan

kepada

pasien

lansia,

sehingga

harus

mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada rongga mulut pasien lansia.


Pada proses aging, tulang akan mengalami resorpsi yang berlebihan sehingga akan
didapatkan kelainan dari linggir alveolar yang ada pada pasien lansia. Linggir datar dan
flabby merupakan kelainan pada linggir alveolar yang paling sering dijumpai pada lansia,
dimana untuk merawat kasus linggir datar dan flabby membutuhkan modifikasi perawatan
sehingga dapat didapatkan hasil gigi tiruan yang baik.
Saliva juga memainkan peranan penting dalam suatu perawatan gigi tiruan. Dengan
proses aging, terjadi penurunan dari laju aliran saliva. Saliva menjadi lebih sedikit sehingga
fungsi saliva dalam rongga mulut juga akan mengalami penurunan.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Almeida PDV, Gregia AMT, Machado MAN, Lima AAS, Azevedo LR. Saliva
Composition and Functions:A Comprehensive Review. J Cont Dent Prac. Vol 9(3): 111.2008.
2. Balshi TJ. Advanced Bone Loss Accentuates Aging. Pros Insight. Vol 9(2);pp : 1-4.
1996.
3. Banasr FH. Prosthetic Status and Needs of Saudi Geriatric Edentulous Patients in Jeddah.
Cairo Dent J. Vol 24(3) : 537-43. 2008.
4. Dabas N, Dabas A, Yadav H. Management of the Mandibular Compromised Ridge: A
Literature Review and Case Report. World J of Dent. Vol 4(1): 67-71. 2013.
5. Damayanti L. Perawatan Pasien Lansia Dengan Flat Ridge/Flabby Tissue. Bandung:
UnPad. 2009.
6. Eslabaa HM. Development and Growth of the Mandible. Oral Biology. 2012
7. Gupta A, Epstein JB, Sroussi H. Hyposalivation ini Elderly Patients. J Can Dent Assoc.
Vol 72(9):841-6. 2006.
8. Hughes HK. Taster Status & Taste Perception. Critical Literature Review. 2003.
9. Karaagaclioglu L, Ozkan P. Changes in Mandibular Ridge Height in Relation to Aging
and Length of Edentulism Period. Int Jour of Prost. Vol 7(4); pp: 368-71. 1994.
10. Kemmet D, Brotherson S. Making Sense of Sensory Losses as We Age. NDSU. 2008.
11. Kingsmill VJ. Post-extraction remodeling of the Adult Mandible. Crit Rev Oral Biol
Med. Vol : 10(3) : 384-404. 1999.
12. Lau AN, Adachi JD. Geriatric Rheumatology: A Comprehensive Approach.
Chap2;pp11-6. Spinger Science+Business Media,LLC. 2011.
13. Maryam et al. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Penerbit Salemba
Medika. 2008.
14. Mojet J, Hazelhof EC, Heidema J. Taste Perception with Age : Generic or Specific
Losses in Threshold Sensitivity to the Basic Tastes?. Chem Senses. Vol 26 : 845-60.
2001.
15. Ruimerman R. Modeling and Remodeling in Bone Tissue. Eindhoven : Techinsche
Universiteit Eindhoven. 2005

21

You might also like