You are on page 1of 15

Carpal Tunnel Syndrome (CTS)

A. Definisi

Carpal Tunnel Syndrome atau Sindroma Terowongan Karpal (STK) adalah neuropati
akibat jebakan saraf medianus yang disebabkan oleh penekanan saraf medianus saat melalui
terowongan karpal dengan gejala berupa parestesia, rasa tebal serta nyeri pada daerah yang
dipersarafi saraf medianus dan pada tahap lanjut akan mengakibatkan kelemahan otot thenar.
Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang
dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan
nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras
dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan
palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut.
Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur
yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus.
B. Anatomi
Tulang pergelangan tangan memiliki kontur yang cekung pada permukaan fleksor dan
ditutupi oleh fleksor retinakulum. Tulang pergelangan tangan membentuk lantai dan dinding
dari terowongan karpal, dengan fleksor retinakulum yang keras sebagai atapnya. Fleksor
retinakulum, atau ligamen karpal transversal, melekat pada tuberkulum dari tulang skafoid,
daerah punggung trapesium, dan ulnaris dari hamatum dan pisiformis. Panjang fleksor dari jarijari dan jempol melewati terowongan karpal. Nervus medianus duduk jauh di bawah fleksor
retinakulum. Fleksor retinakulum menjadi dangkal ke fleksor otot digitorum superficialis perut
hanya sekitar 5 cm proksimal pada ligamentum karpal transversal.

Gambar 1. Anatomi Carpal Tunnel

Nervus medianus terdiri dari serat sensorik 94% dan hanya 6% serabut motorik pada
permukaan terowongan karpal. Namun, cabang motorik menyajikan banyak variasi anatomi,
yang menciptakan variabilitas yang besar patologi dalam kasus CTS.
C. Etiologi
Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita lanjut usia.
Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulang-ulang pada pergelangan tangan
dengan bertambahnya resiko menderita gangguan pada pergelangan tangan termasuk STK.
Penekanan pada saraf medianus dapat disebabkan oleh semua proses yang mencapai
saluran karpal. Tenosinovitis lokal pada tendo eksor jari tangan sering merupakan penyebab
sindroma saluran karpal, terutama pada perempuan berusia pertengahan. Edema prahaid atau
selama kehamilan juga dapat menimbulkan gejala ini. Gejala dapat dicetuskan oleh aktivitas
yang memerlukan eksi, pronasi, dan supinasi berulang pergelangan tangan, seperti menyulam,
mengemudi, menjalankan komputer dan register kassa, dan bermain squash atau golf.
Pada kasus yang lain etiologinya adalah :
Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy, misalnya
HMSN ( hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.
Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan tangan dan
tangan .Sprain pergelangan tangan. Trauma langsung terhadap pergelangan tangan.
Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan yang
berulang-ulang.
Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
Metabolik: amiloidosis, gout.
Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus, hipotiroidi,
kehamilan.
Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
Penyakit kolagen vaskular : artritis reumatoid, polimialgia reumatika, skleroderma,
lupus eritematosus sistemik.
Degeneratif: osteoartritis.
Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk dialisis,
hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
D. Epidemiologi

Penyakit ini biasanya timbul pada usia pertengahan. Wanita lebih banyak menderita
penyakit ini daripada pria. Umumnya pada keadaan awal bersifat unilateral tetapi kemudian bisa
juga bilateral. Biasanya lebih berat pada tangan yang dominan. Pada beberapa keadaan tertentu,
misalnya pada kehamilan, prevalensinya sedikit bertambah.
Prevalens STK pada populasi umum adalah sekitar 1%. Predominan pada wanita,
dengan rasio pria berbanding wanita sebesar 1:3-5. Rentang usia tertinggi antara 40-60 tahun,
puncak prevalens pada usia 55 tahun, jarang terjadi sebelum usia 20 tahun dan di atas usia 80
tahun. Sekitar 50% biasanya bilateral, bila unilateral maka yang sering terkena adalah sisi yang
dominan.
Di Indonesia prevalensi CTS karena faktor pekerjaan masih belum diketahui dengan
pasti.1 Prevalensi STK bervariasi. Di Mayo Clinic, pada tahun 1976-1980 insidensnya 173 per
100.000 pasien wanita/tahun dan 68 per 100.000 pasien pria/tahun. Di Maastricht, Belanda,
16% wanita dan 8 % pria dilaporkan terbangun dari tidurnya akibat parestesi jari-jari. 45%
wanita dan 8% pria yang mengalami gejala ini terbukti menderita STK setelah dikonfirmasi
dengan pemeriksaan elektrodiagnostik 1. Pada populasi Rochester, Minnesota, ditemukan ratarata 99 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Sedangkan Hudson dkk menemukan bahwa 62%
entrapment neuropathy adalah STK.
E. Patofisiologi
1) Gerakan berulang dengan kontraksi sangat kuat. Gerakan berulang apalagi dilakukan sangat
kuat menimbulkan pembengkakan sarung tendon menimbulkan tekanan pada tendon
pergelangan tangan. Kegagalan memulihkan tekanan menyebabkan peradangan sebagai
reaksi jaringan terhadap cedera. Peradangan meliputi tendon, sarung tendon, perlekatan
tendon pada sendi dan bursae yang disebut tendosynovitis. Selain itu gerakan tersebut
meregangkan dan memanjangkan tendon, menekan mikrostruktur dan merobek amat halus,
serat tendon dapat tergelincir dari perlekatannya. Tekanan di dalam tunnel meningkat; n.
medianus lebih tertekan, lalu menjadi iskemik.
2) Tekanan mekanik pada tendon akibat kontraksi muskulus yang kuat, sering akibat
penggunaan perkakas tangan yang keras bertepi tajam, atau karena pegangan perkakas
pendek. Makin kuat perkakas digunakan akan makin kuat pula dipegangnya, yang
menyebabkan tekanan mekanik makin besa menekan jaringan lunak palmar tangan yang
akhirnya menekan ramus superficialis n. medianus.

3) Sikap kerja kaku dan aneh menimbulkan tekanan mekanik muskuler, menyebabkan kontraksi
muskuler dosis rendah (low level) berkepanjangan, meningkatkan tekanan intramuskuler,
dapat menghambat aliran darah ke dalam sel muskuler. Hal ini memicu nyeri lokal kronik.
4) Getaran lokal berfrekuensi bebas menjalar ke pergelangan tangan dari perkakas keras seperti
gerinda, chainsaw, pneumatic hammer, vibrator (sering dipakai membongkar-perbaikan
jalan). Getaran ini merangsang kontraksi tendon, mengurangi kelenturan, mencederai saraf
perifer, menyebabkan mati rasa jari-jari atau mengurangi sensasi tangan sebagai akibat
konstriksi vaskuler atau vasospasme mikrosirkulasi ke saraf perifer. Cedera mikroskopik,
mikrosikulasi, arteriosklerosis lokal menyebabkan pembengkakan lokal berisi cairan dan
fibrin yang menekan n. medianus.
5) Sarung tangan karet sempit akan menekan jaringan lunak pergelangan tangan.

Gambar 2. Skema patofisiologi CTS


F. Gejala Klinik
Pada kerusakan nervus medianus, terjadi kelumpuhan otot-otot eksor, pronator lengan
bawah dan tangan, dan otot tenar. Akibatnya, pronasi lengan bawah melemah, begitu pula eksi,
abduksi tangan. Letak jempol menjadi sebidang dengan jejari lainnya hingga tangan
menyerupai tangan kera. Fleksi dan oposisi jempol tidak mungkin; kekuatan menggenggam,
terutama jempol dan telunjuk melemah. Sensibilitas kulit palma manus dan sisi palma kulit
jejari dari jempol hingga separuh radial jari manis berkurang. Keadaan seperti ini dapat
dijumpai pada sindrom terowongan karpal di mana nervus medianus tertekan ke bawah
ligamentum transversale pada pergelangan tangan.
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja. Diawali dengan
gangguan sensasi rasa, seperti parestesia, mati rasa (numbness), sensasi rasa geli (tingling) pada
ibu jari, telunjuk dan jari tengah (persarafan n. medianus). Timbul nyeri pada jari-jari tersebut,

dapat terjadi nyeri pada tangan dan telapak tangan. Mati rasa dan sensasi geli makin menjadi
pada saat mengetuk, memeras, menggerakkan pergelangan tangan. Nyeri bertambah hebat pada
malam hari sehingga terbangun dari tidur malam (nocturnal pain). Kadang pula pergelangan
tangan serasa diikat ketat (tightness) dan kaku gerak (clumsiness). Selanjutnya kekuatan tangan
menurun, kaku dan terjadi atrofi thenar.
Dapat pula dijumpai pembengkakan dan kekakuan pada jari-jari, tangan dan
pergelangan tangan terutama di pagi hari. Gejala ini akan berkurang setelah penderita mulai
mempergunakan tangannya. Hipesetesia dapat dijumpai pada daerah yang impuls sensoriknya
diinervasi oleh nervus medianus.
Pada tahap yang lebih lanjut penderita mengeluh jari-jarinya menjadi kurang trampil
misalnya saat menyulam atau memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan juga dapat
dijumpai, sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang dialami penderita sewaktu
mencoba memutar tutup botol atau menggenggam. Pada penderita STK pada tahap lanjut dapat
dijumpai atrofi otot-otot thenar dan otot-otot lainnya yang diinnervasi oleh nervus melanus.
Gejala klinis CTS menurut Grafton (2009) adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Mati rasa, rasa terbakar, atau kesemutan di jari-jari dan telapak tangan.
Nyeri di telapak, pergelangan tangan, atau lengan bawah, khususnya
selama penggunaan.
Penurunan cengkeraman kekuatan.
Kelemahan dalam ibu jari
Sensasi jari bengkak, ( ada atau tidak terlihat bengkak)
Kesulitan membedakan antara panas dan dingin.

G. Diagnosis
Gangguan sensorik pada ibu jari (I), jari II, III. dan separuh jari IV. Bila curiga adanya
gangguan saraf medianus, pikirkan ibu jari dan jari otot tenar.
Diagnosa STK ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala di atas juga didukung oleh
beberapa pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan fisik
Harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan perhatian khusus pada fungsi,
motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosa STK adalah :
a. Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan jarijarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa STK. Harus
diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit Raynaud.

b. Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar.
c. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat

dinamometer. Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari
dipertemukan dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari
tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta penderita melakukan gerakan yang
rumit seperti menulis atau menyulam.
d. Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya
dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik
timbul gejala-gejala seperti STK, maka tes ini menyokong diagnosa STK.
e. Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60

detik timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat
bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa STK.

Gambar 3. Tes Phallen


f.

Torniquet test. Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan tensimeter di atas


siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala
seperti STK, tes ini menyokong diagnosa.

g. Tinel's sign. Tanda Tinnel, yaitu sensasi nyeri pada jari-jari yang diinduksi oleh ketukan

saraf medianus pada tingkat pergelangan tangan bagian palmar, hasilnya mungkin positif,
tetapi spesisitasnya hanya 54% dan sensitivitasnya 50%. Tes ini mendukung diagnosa bila
timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan
perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.

Gambar 4. Tes Tinnel


h. Pressure test. Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu jari.

Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong
i.

diagnosa.
Luthy's sign (bottle's sign). Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya
pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan

rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnosa.


j. Pemeriksaan sensibilitas. Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif
dan menyokong diagnosa.
k. Pemeriksaan fungsi otonom. Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang
kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan
mendukung diagnosa STK.
2. Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)
a. Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang positif dan
berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai
kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31 % kasus STK.
b. Kecepatan Hantar Saraf(KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada yang lainnya
KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang, menunjukkan adanya
gangguan pada konduksi safar di pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif
dari masa laten motorik.
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah ada
penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto palos leher berguna untuk menyingkirkan adanya

penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif
terutama yang akan dioperasi.
4. Pemeriksaan laboratorium
Bila etiologi STK belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa adanya gerakan
tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah , kadar
hormon tiroid ataupun darah lengkap.
Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH), yaitu (1) Gejala sugestif:
parestesia, hipoestesia, nyeri atau rasa tebal yang mengenai paling tidak sebagian dari distribusi
saraf medianus pada tangan; (2) Ditemukan satu/lebih hasil pemeriksaan tanda Tinel, tanda
Phalen atau penurunan/hilangnya sensasi terhadap pin prick pada distribusi saraf medianus di
tangan, atau pada hasil elektrodiagnostik didapatkan disfungsi saraf medianus saat melalui
terowongan karpal; dan (3) Adanya bukti hubungan akibat kerja. Elektrodiagnostik berguna
untuk konfirmasi diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita STK dan untuk
menyingkirkan neuropati lainnya.
Menurut Phalen (1966), pasien dinyatakan menderita STK bila memiliki satu atau lebih
dari 3 pemeriksaan fisik yaitu: gangguan sensibilitas (parestesi, hipestesi) sesuai distribusi saraf
medianus, tanda Tinel positif dan tes Phalen positif. Gejala lainnya seperti atrofi thenar dan
kelemahan muncul sebagai keluhan terakhir dalam perjalanan penyakit STK.

H. DIAGNOSA BANDING
1. Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang hila leher diistirahatkan dan
bertambah hila leher bergerak. Oistribusi gangguan sensorik sesuai dermatomnya.
2. lnoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otot-otot thenar.
Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan bawah.
3. Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di telapak tangan
daripada STK karena cabang nervus medianus ke kulit telapak tangan tidak melalui
terowongan karpal.
4. de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus abduktor pollicis longus dan
ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang repetitif. Gejalanya adalah
rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di dekat ibu jari. KHS normal.

Finkelstein's test : palpasi otot abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif ibu jari, positif bila
nyeri bertambah.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan STK dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu terapi operatif dan nonoperatif. Terapi operatif biasanya diberikan pada penderita STK berat dengan gejala yang terus
menerus, gangguan sensorik berat, dan/atau kelemahan motorik thenar. Terapi nonoperatif
diberikan pada penderita STK ringan sampai sedang dengan gejala yang intermiten. Terapi
nonoperatif dapat berupa penggunaan splint, terapi latihan (exercises), terapi ultrasound,
modifikasi aktivitas, obat-obatan oral dan vitamin. Penelitian dilakukan untuk mengetahui
karakteristik penderita, manifestasi klinis dan program rehabilitasi medik yang diberikan pada
kasus STK baru di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik RS Dr. Kariadi Semarang.
a.

Terapi Non-Operatif
1. Program Rehabilitasi
a) Terapi Fisik
Terapi fisik dapat membantu dengann melakukan latihan khusus untuk membuat
pergelangan tangan dan tangan lebih kuat. Ada juga berbagai jenis pengobatan yang
dapat membuat terowongan karpal sindrom lebih baik dan membantu meringankan
gejala. Pijat, yoga, ultrasound, chiropractic manipulation, dan akupunktur hanya
beberapa pilihan seperti yang telah ditemukan cukup membantu. Penggunaan modalitas
(dalam terapi ultrasound tertentu) dapat memberikan bantuan jangka pendek pada
beberapa pasien. Selain itu, yoga dan teknik mobilisasi tulang karpal memiliki beberapa
bukti yang lemah untuk mengurangi gejala dalam jangka pendek. Bersepeda stasioner,
bersepeda, atau olahraga lain apapun yang menempatkan ketegangan pada pergelangan
tangan mungkin harus dihindari.
b) Terapi Okupasi
Bebat pergelangan tangan dengan pergelangan tangan dalam ekstensi netral atau
sedikit (untuk dikenakan pada malam hari selama minimal 3-4 minggu) memiliki
beberapa bukti untuk keberhasilannya. Tentu saja, memerlukan biaya rendah dan
memiliki risiko efek samping yang sangat rendah dan karena itu dapat dianggap sebagai
terapi awal. Tidak ada bukti menunjukkan bahwa peregangan / penguatan program

khusus untuk tangan dan pergelangan tangan berguna untuk mengobati sindrom carpal
tunnel. Pijat dan / atau teknik nerve-glide tidak terbukti bermanfaat. Penilaian ergonomis
tempat kerja, peralatan, dan / atau posisi ergonomis tampaknya tidak memberikan
manfaat apapun.
2. Pengobatan konservatif
Kebanyakan individu dengan sindrom terowongan karpal ringan sampai sedang
(CTS, menurut data elektropsikologi) berespon terhadap pemberian manajemen
konservatif, biasanya terdiri dari belat pergelangan tangan pada malam hari selama
minimal 3 minggu.
Injeksi steroid ke dalam terowongan karpal telah terbukti memberikan manfaat
jangka panjang dan bisa dicoba jika pengobatan konservatif gagal. Suntikan juga
mungkin bermanfaat sebelum manajemen bedah atau dalam kasus-kasus di mana operasi
secara relatif kontraindikasi (misalnya, karena kehamilan). Pengukuran melalui
ultrasound pada saraf medianus dapat membantu memprediksi respon terhadap injeksi
steroid.
Obat anti-inflammatory drugs (NSAID) dan atau diuretik mungkin bermanfaat
dalam populasi tertentu (misalnya pasien dengan retensi cairan atau dengan fleksor
tendinitis pergelangan tangan). Suplemen vitamin B-6 atau B-12 dari tidak terbukti
bermanfaat.
Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu
penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan pemberian
piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat
bahwa pemberian piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila
diberikan dalam dosis besar.
Kurangnya latihan aerobik (bersama dengan peningkatan BMI) tampaknya
menjadi faktor risiko untuk pengembangan CTS dan harus ditangani.
b. Terapi Operatif
Pasien yang kondisinya tidak membaik setelah pengobatan konservatif dan pasien
yang dari awal berada dalam kategori carpal tunnel syndrome (CTS) yang berat (yang
ditetapkan oleh pengujian elektropsikologi) harus dipertimbangkan untuk operasi.

Gambar 5. Pembedahan ligamentum transversalis


Pembedahan ligamentum transversalis memberikan tingkat keberhasilan awal yang
tinggi (lebih dari 90%), dengan tingkat komplikasi yang rendah, namun, dikatakan bahwa
tingkat keberhasilan jangka panjang mungkin jauh lebih rendah daripada yang diperkirakan
sebelumnya (sekitar 60% sampai 5 tahun). Tingkat keberhasilan juga jauh lebih rendah
untuk individu dengan hasil elektrofisiologik normal.
Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi
konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot
thenar. Pada CTS bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang paling
nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral. Penulis lain menyatakan bahwa
tindakan operasi mutlak dilakukan bila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot
thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan operasi adalah hilangnya sensibilitas yang
persisten.
Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka dengan anestesi lokal,
tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara endoskopik. Operasi endoskopik
memungkinkan mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi
karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering menimbulkan komplikasi
operasi seperti cedera pada saraf. Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau
anomaly maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi secara terbuka.
Pengobatan Lainnya. Teknik dan perangkat untuk meregangkan atau memanipulasi
terowongan karpal cukup menjanjikan tapi masih tidak diterima secara luas.
J. Komplikasi

Carpal tunnel syndrome dapat terus meningkatkan kerusakan saraf median, sehingga
menyebabkan kerusakan permanen dan cacat. Beberapa individu dapat berkembang menjadi
kronis dan nyeri pada pergelangan tangan (dengan atau tanpa distrofi refleks simpatis).
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya sensibilitas yang
persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi yang paling berat adalah reflek
sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia dan ganggaun
trofik. Sekalipun prognosa STK dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik ,tetapi
resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik
konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.
K. Prognosis
Pada kasus STK ringan, dengan terapi konservatif pacta umumnya prognosa baik.
Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya melakukan pada
penderita yang sudah lama menderita STK penyembuhan post ratifnya bertahap. Perbaikan
yang paling cepat dirasakan adalah hilangnya rasa nyeri yang kemudian diikuti perbaikan
sensorik. Biasanya perbaikan motorik dan otot- otot yang mengalami atrofi baru diperoleh
kemudian. Keseluruhan proses perbaikan STK setelah operasi ada yang sampai memakan waktu
18 bulan.
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini:
1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap nervus medianus
terletak di tempat yang lebih proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi STK yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema,
perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.
Carpal tunnel syndrome (CTS) tampaknya menjadi progresif dari waktu ke waktu
(meskipun dengan fluktuasi yang cukup besar dari minggu ke minggu) dan dapat menyebabkan
kerusakan permanen nervus medianus. Keberhasilan manajemen konservatif dapat mencegah
perkembangan tidak jelas. Awalnya, sekitar 90% dari ringan sampai sedang kasus CTS berespon
terhadap manajemen konservatif. Seiring waktu, bagaimanapun, sejumlah pasien pada akhirnya
juga membutuhkan pembedahan. Pasien dengan CTS sekunder yang didasari kelainan patologi

(misalnya, diabetes, patah tulang pergelangan tangan) cenderung memiliki prognosis yang
kurang baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki penyebab yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rambe, Aldi S. 2004. Sindroma Terowongan Karpal. Bagian Neurologi FK USU. Diakses
dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234 56789/3459/1/penysaraf -aldi2.pdf pada bulan
Agustus 2014
2. Tana, Lusianawaty. Sindrom terowongan karpal pada pekerja: pencegahan dan
pengobatannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RIJ Kedokter Trisakti
September-Desember

2003,

Vol.22

No.3.

Diakses

dari

www.univmed.org/wp-

content/uploads/2011/02/Lusianawaty.pdf pada bulan Agustus 2014


3. Isselbacher, Kurt J. et al. 2000. Sindroma Saluran Karpal. Dalam: Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi ke-13. EGC: Jakarta
4. Carpal
Tunnel
Syndrome.

Diakses

dari

http://www.medic8.com/healthguide/articles/carpaltunnel.html pada bulan Agustus 2014


5. Graber, Mark A. 2006. Rematologi. Dalam: Buku Saku Dokter Keluarga. Edisi ke-3. EGC:
Jakarta
6. Lusan Maria T. Tamba, Handojo Pudjowidyanto. Karakteristik Penderita Sindroma
Terowongan Karpal (STK) di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik RS Dr. Kariadi
Semarang 2006. Dalam Media Medika Indosiana. Volume 43, Nomor 1, Tahun 2008.
Diakses dari http://eprints.undip.ac.id/14055/1/vol_43_no_1_2008_hal_10_16.pdf pada
bulan Agustus 2014
7. Nigel L Ashworth. Carpal Tunnel Syndrome In: Robert H Meier Chief Editor: Medscape
Reference: Updated: Mar 5, 2013. Diakses dari http://emedicine.medscape.com pada bulan
Agustus 2014
8. W. Aryawan, Kartiena A. Darmadi. 2002. Peran Ergonomi dalam Pencegahan Sindrom
Carpal Tunnel Akibat Kerja. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran No. 136, 2002. PPS K3
Hiperkes Medis Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. Diakses dari
http://datastudi.files.wordpress.com/2010/02/kesehatan-kerja-datastudi.pdf.

pada

bulan

Agustus 2014
9. Markam, Sumarno. 2002. Gangguan Beberapa Saraf Perifer. Dalam: Neurologi Praktis.
Cetakan I. Widya Medika: Jakarta
10. Weiner, Howard L. 2000. Gangguan Radiks dan Saraf Tepi. Dalam Buku Saku Neurologi.
Edisi ke-5. EGC: Jakarta

11. Bahrudin

M..

Carpal

tunnel

syndrome

(CTS).

Diakses

dari

http://digilib.umm.ac.id/files/disk1/417/jiptumm-gdl-drmochbahr-20844-1-carpalt-e.pdf pada
bulan Agustus 2014
12. Carpal Tunnel Syndrome. Diakses dari www.whooila.com pada bulan Agustus 2014

You might also like