You are on page 1of 7

Jenis Antibiotik

Meskipun ada lebih dari 100 macam antibiotik, namun umumnya mereka berasal
dari beberapa jenis antibiotik saja, sehingga mudah untuk dikelompokkan. Ada
banyak cara untuk menggolongkan antibiotik, salah satunya berdasarkan struktur
kimianya. Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Golongan Aminoglikosida
Diantaranya amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin,
paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin.
b. Golongan Beta-Laktam
Diantaranya golongan karbapenem (ertapenem, imipenem, meropenem), golongan
sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim),
golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin).
c. Golongan Glikopeptida
Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.
d. Golongan Poliketida
Diantaranya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin,
roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin,
oksitetrasiklin, klortetrasiklin).
e. Golongan Polimiksin
Diantaranya polimiksin dan kolistin.
f. Golongan Kinolon (fluorokinolon)
Diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin,
levofloksasin, dan trovafloksasin.
g. Golongan Streptogramin
Diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan kinupristin-dalfopristin.
h. Golongan Oksazolidinon
Diantaranya linezolid dan AZD2563.

i. Golongan Sulfonamida
Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim.
j. Antibiotika lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam
fusidat.
Berdasarkan mekanisme aksinya, yaitu mekanisme bagaimana antibiotik secara
selektif meracuni sel bakteri, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:
1. Mengganggu sintesa dinding sel, seperti penisilin, sefalosporin, imipenem,
vankomisin, basitrasin.
2. Mengganggu sintesa protein bakteri, seperti klindamisin, linkomisin,
kloramfenikol, makrolida, tetrasiklin, gentamisin.
3. Menghambat sintesa folat, seperti sulfonamida dan trimetoprim.
4. Mengganggu sintesa DNA, seperti metronidasol, kinolon, novobiosin.
5. Mengganggu sintesa RNA, seperti rifampisin.
6. Mengganggu fungsi membran sel, seperti polimiksin B, gramisidin.
Antibiotik dapat pula digolongkan berdasarkan organisme yang dilawan dan jenis
infeksi. Berdasarkan keefektifannya dalam melawan jenis bakteri, dapat
dibedakan antibiotik yang membidik bakteri gram positif atau gram negatif saja,
dan antibiotik yang berspektrum luas, yaitu yang dapat membidik bakteri gram
positif dan negatif.
Sebagian besar antibiotik mempunyai dua nama, nama dagang yang diciptakan
oleh pabrik obat, dan nama generik yang berdasarkan struktur kimia antibiotik
atau golongan kimianya. Contoh nama dagang dari amoksilin, sefaleksin,
siprofloksasin, kotrimoksazol, tetrasiklin dan doksisiklin, berturut-turut adalah
Amoxan, Keflex, Cipro, Bactrim, Sumycin, dan Vibramycin.
Setiap antibiotik hanya efektif untuk jenis infeksi tertentu. Misalnya untuk
pasien yang didiagnosa menderita radang paru-paru, maka dipilih antibiotik yang
dapat membunuh bakteri penyebab radang paru-paru ini. Keefektifan masingmasing antibiotik bervariasi tergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan
antibiotik mencapai lokasi tersebut.

Antibiotik oral adalah cara yang paling mudah dan efektif, dibandingkan dengan
antibiotik intravena (suntikan melalui pembuluh darah) yang biasanya diberikan
untuk kasus yang lebih serius. Beberapa antibiotik juga dipakai secara topikal
seperti dalam bentuk salep, krim, tetes mata, dan tetes telinga.
Penentuan jenis bakteri patogen ditentukan dengan pemeriksaan laboratorium.
Tehnik khusus seperti pewarnaan gram cukup membantu mempersempit jenis
bakteri penyebab infeksi. Spesies bakteri tertentu akan berwarna dengan
pewarnaan gram, sementara bakteri lainnya tidak.
Tehnik kultur bakteri juga dapat dilakukan, dengan cara mengambil bakteri dari
infeksi pasien dan kemudian dibiarkan tumbuh. Dari cara bakteri ini tumbuh dan
penampakannya dapat membantu mengidentifikasi spesies bakteri. Dengan kultur
bakteri, sensitivitas antibiotik juga dapat diuji.
Penting bagi pasien atau keluarganya untuk mempelajari pemakaian antibiotik
yang benar, seperti aturan dan jangka waktu pemakaian. Aturan pakai mencakup
dosis obat, jarak waktu antar pemakaian, kondisi lambung (berisi atau kosong)
dan interaksi dengan makanan dan obat lain.
Pemakaian yang kurang tepat akan mempengaruhi penyerapannya, yang pada
akhirnya akan mengurangi atau menghilangkan keefektifannya.
Bila pemakaian antibiotik dibarengi dengan obat lain, yang perlu diperhatikan
adalah interaksi obat, baik dengan obat bebas maupun obat yang diresepkan
dokter. Sebagai contoh, Biaxin (klaritromisin, antibiotik) seharusnya tidak
dipakai bersama-sama dengan Theo-Dur (teofilin, obat asma).
Berikan informasi kepada dokter dan apoteker tentang semua obat-obatan yang
sedang dipakai sewaktu menerima pengobatan dengan antibiotik.
Jangka waktu pemakaian antibiotik adalah satu periode yang ditetapkan dokter.
Sekalipun sudah merasa sembuh sebelum antibiotik yang diberikan habis,
pemakaian antibiotik seharusnya dituntaskan dalam satu periode pengobatan.
Bila pemakaian antibiotik terhenti di tengah jalan, maka mungkin tidak seluruh

bakteri mati, sehingga menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap


antibiotik tersebut. Hal ini dapat menimbulkan masalah serius bila bakteri yang
resisten berkembang sehingga menyebabkan infeksi ulang.
Efek Samping
Disamping banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dalam pengobatan infeksi,
antibiotik juga memiliki efek samping pemakaian, walaupun pasien tidak selalu
mengalami efek samping ini. Efek samping yang umum terjadi adalah sakit kepala
ringan, diare ringan, dan mual.
Dokter perlu diberitahu bila terjadi efek samping seperti muntah, diare hebat
dan kejang perut, reaksi alergi (seperti sesak nafas, gatal dan bilur merah pada
kulit, pembengkakan pada bibir, muka atau lidah, hilang kesadaran), bercak putih
pada lidah, dan gatal dan bilur merah pada vagina.
Resistensi Antibiotik
Salah satu perhatian terdepan dalam pengobatan modern adalah terjadinya
resistensi antibiotik. Bakteri dapat mengembangkan resistensi terhadap
antibiotik, misalnya bakteri yang awalnya sensitif terhadap antibiotik, kemudian
menjadi resisten.
Resistensi ini menghasilkan perubahan bentuk pada gen bakteri yang disebabkan
oleh dua proses genetik dalam bakteri:
1. Mutasi dan seleksi (atau evolusi vertikal)
Evolusi vertikal didorong oleh prinsip seleksi alam. Mutasi spontan pada
kromosom bakteri memberikan resistensi terhadap satu populasi bakteri. Pada
lingkungan tertentu antibiotika yang tidak termutasi (non-mutan) mati,
sedangkan antibiotika yang termutasi (mutan) menjadi resisten yang kemudian
tumbuh dan berkembang biak.
2. Perubahan gen antar strain dan spesies (atau evolusi horisontal)
Evolusi horisontal yaitu pengambil-alihan gen resistensi dari organisme lain.
Contohnya, streptomises mempunyai gen resistensi terhadap streptomisin
(antibiotik yang dihasilkannya sendiri), tetapi kemudian gen ini lepas dan masuk
ke dalam E. coli atau Shigella sp.
Beberapa bakteri mengembangkan resistensi genetik melalui proses mutasi dan

seleksi, kemudian memberikan gen ini kepada beberapa bakteri lain melalui salah
satu proses untuk perubahan genetik yang ada pada bakteri.
Ketika bakteri yang menyebabkan infeksi menunjukkan resistensi terhadap
antibiotik yang sebelumnya sensitif, maka perlu ditemukan antibiotik lain sebagai
gantinya. Sekarang penisilin alami menjadi tidak efektif melawan bakteri
stafilokokus dan harus diganti dengan antibiotik lain.
Tetrasiklin, yang pernah dijuluki sebagai "obat ajaib", kini menjadi kurang
bermanfaat untuk berbagai infeksi, mengingat penggunaannya yang luas dan
kurang terkontrol selama beberapa dasawarsa terakhir.
Keberadaan bakteri yang resisten antibiotik akan berbahaya bila antibiotik
menjadi tidak efektif lagi dalam melawan infeksi-infeksi yang mengancam jiwa.
Hal ini dapat menimbulkan masalah untuk segera menemukan antibiotik baru
untuk melawan penyakit-penyakit lama (karena strain resisten dari bakteri telah
muncul), bersamaan dengan usaha menemukan antibiotik baru untuk melawan
penyakit-penyakit baru.
Berkembangnya bakteri yang resisten antibiotik disebabkan oleh beberapa hal.
Salah satunya adalah penggunaan antibiotik yang berlebihan. Ini mencakup
seringnya antibiotik diresepkan untuk pasien demam biasa atau flu.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes menjelaskan, bahan
antibiotik pertama ditemukan Alexander Fleming pada 1928. Kemudian, pada
1940-an antibiotik mulai digunakan secara luas. Waktu itu, para ilmuwan dunia
memprediksi, dengan ditemukannya antibiotik, pada 1960-an dunia diprediksi
bersih dari penyakit infeksi.
Namun, bukannya penyakit infeksi teratasi, justru jenis bakteri baru muncul
akibat resistensi terhadap penggunaan antibiotik. Bahkan, pada 1990, kata
Fachmi, pernah terjadi post antibiotika era. Suatu keadaan yang antibiotik tidak
berfungsi lagi. Waktu itu, di antara 20 jenis antibiotik yang ada, hanya satu
yang bisa mengobati penyakit infeksi,jelasnya.

Pada 2001, World Health Organization (WHO) menyampaikan keprihatinan yang


tinggi terhadap perkembangan bakteri resisten. WHO pun menyatakan global
alert atau perang melawan bakteri resisten.
Fachmi juga mengungkapkan, penelitian di dua rumah sakit besar di Jawa Timur
dan Jawa Tengah pada 2001 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara
tidak bijak mencapai 80 persen. Kasus di RSU dr Soetomo, lanjut Kuntaman,
angka resisten terhadap antibiotik lini pertama (penyakit infeksi ringan) bisa
mencapai 90 persen dan lini kedua (infeksi sedang) mendekati 50 persen. Dalam
disertasinya yang dirilis beberapa waktu lalu, Kuntaman juga menyebutkan, angka
bakteri penghasil extended spectrum beta lactamase (ESBL, jenis bakteri yang
sulit diobati) mencapai 29 hingga 36 persen. Bandingkan dengan Belanda yang
angkanya kurang dari satu persen, sebut pria yang bekerja di laboratorium
mikrobiologi RSU dr Soetomo itu.
Karena itu, bila antibiotik tidak digunakan secara tepat, post antibiotika era
diprediksi bisa terjadi pada masa depan. Bayangkan saja, bila tidak ada satu pun
obat yang mampu mengatasi penyakit infeksi, ujarnya.
Menurut Fachmi, tingginya penggunaan antibiotik di rumah sakit akan
meningkatkan angka resistensi bakteri di tempat itu. Yang pada akhirnya
menyulitkan terapi, tegasnya. Bahkan, bakteri lebih mudah mutasi, yang berarti
lebih cepat resisten terhadap berbagai antibiotik.
Prof dr R Bambang Wirjatmadi MS MCN PhD SpGK, pengajar gizi Fakultas
Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, menjelaskan, antibiotik adalah obat yang
dapat digunakan untuk membunuh kuman, virus, cacing, protozoa, dan jamur.
Biasanya, jika mengalami sakit dan disebabkan beberapa hal tersebut, obatnya
antibiotik, ujar Bambang.
Tidak hanya itu. Antibiotik dibutuhkan saat seseorang sakit disertai demam. Jika
sakitnya tidak disertai demam, belum tentu mereka membutuhkan antibiotik.
Agar tidak sembarangan dalam penggunaannya, sebaiknya masyarakat
mengetahui jenis antibiotik. Di antaranya, tetracyclin yang digunakan untuk
infeksi, sakit gigi, dan luka. Jenis chloramphenicol digunakan untuk penyakit
tifus. Jenis griseofulvin digunakan untuk membunuh jamur serta combantrin
untuk membunuh cacing.
Ada juga narrow spectrum,yang berguna untuk membunuh jenis bakteri secara
spesifik. Antibiotik yang tergolong narrow spectrum adalah ampicillin dan
amoxycilin. Jenis kedua ialah broad spectrum untuk membunuh semua jenis

bakteri di dalam tubuh. Dianjurkan untuk menghindari mengonsumsi antibiotik


jenis ini, jelasnya.
Sebab, jenis antibiotik itu juga membunuh bakteri lainnya yang sangat berguna
untuk tubuh. Antibiotik yang termasuk kategori itu adalah cephalosporin.
Penyakit yang disebabkan virus tidak dapat diberikan antibiotik. Misalnya, sakit
flu atau pilek. Sebab, antibiotik tidak dapat membunuh virus karena virus dapat
mati sendiri, asal daya tahan tubuh penderita meningkat atau membaik. Meski
begitu, dalam perkembangannya, saat ini ada antibiotik yang dikembangkan untuk
membunuh virus.

You might also like