You are on page 1of 27

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................................... 2


BAB I
Pendahuluan ..............................................................................................................................3
BAB II
Epidemilogi............................................................................................................................... 4
Etiologi ......................................................................................................... 4
Patologi ..................................................................................................................................... 5
Klasifikasi ................................................................................................................................. 6
Tingkatan Pra Maligna 8
Pembagian Tingkat Keganasan......................................................................................... 9
Gambaran Klinik .....................................................................................................................12
Diagnosis ................................................................................................................................ 13
Penanganan.............................................................................................................................. 17
Karsinoma Serviks Uteri dalam Kehamilan ........................................................................... 19
Pengamatan Lanjut ................................................................................................................. 22
Prognosis .................................................................................................................................22
BAB III
Kesimpulan ..............................................................................................................................24
Daftar Pustaka .........................................................................................................................25

Page 1 of 27

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas kehendakNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas mata kuliah ilmu kebidanan
dan kandungan semester VIII TA 2008/2009.
Pada makalah ini dibahas mengenai karsinoma serviks yang merupakan kanker
genital yang paling banyak diderita perempuan Indonesia dan menduduki peringkat pertama
diantara tumor ganas lainnya . Makalah ini membahas mengenai etiologi, klasifikasi,
patologi, gejala klinis, diagnosis, penanganan, sampai prognosis dari kanker serviks.
Diharapkan kita dapat memahami benar tentang penyakit ini agar dapat mendiagnosis secara
dini sehingga dapat mengurangi angka kematian perempuan akibat kanker serviks.
Kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada seluruh
dosen Obstetri dan Gynekologi yang telah memberikan pengajaran ilmu yang sangat berarti
bagi kami.
Kami merasa masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Maka dari itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya kesempurnaan dari
penulisan ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan masukan ilmu yang berharga bagi
mahasiswa yang membacanya.

Jakarta, Maret 2009

Tim Penulis
Page 2 of 27

BAB I
PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negaranegara sedang berkembang. Setiap tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks
baru di seluruh dunia, 77 % di antaranya ada di negara-negara sedang berkembang. Di
Indonesia diperkirakan sekitar 90-100 kanker baru di antara 100.000 penduduk pertahunnya,
atau sekitar 180.000 kasus baru pertahun, dengan kanker serviks menempati urutan pertama
di antara kanker pada wanita.
Penyakit ini berawal dari infeksi virus yang merangsang perubahan perilaku sel epitel
serviks. Pada saat ini sedang dilakukan penelitian vaksinasi sebagai upaya pencegahan dan
terapi utama penyakit ini di masa mendatang.
Risiko terinfeksi virus HPV dan beberapa kondisi lain seperti perilaku seksual,
kontrasepsi, atau merokok akan mempromosi terjadinya kanker serviks. Mekanisme
timbulnya kanker serviks ini merupakan suatu proses yang kompleks dan sangat bervariasi
hingga sulit untuk dipahami.
Insiden dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah kanker
payudara. Sementara itu, di negara berkembang masih menempati urutan pertama sebagai
penyebab kematian akibat kanker pada wanita usia reproduktif. Hampir 80% kasus berada di
negara berkembang. Sebelum tahun 1930, kanker serviks merupakan penyebab utama
kematian wanita dan kasusunya turun secara drastic semenjak diperkenalkannya teknik
skrining pap smear oleh Papanicolau. Namun, saying hingga saat ini program skrining belum
lagi memasyarakat di negara berkembang, hingga mudah dimengerti mengapa insiden kanker
serviks masih tetap tinggi.
Hal terpenting menghadapi penderita kanker serviks adalah menegakkan diagnosis
sedini mungkin dan memberikan terapi yang efektif sekaligus prediksi prognosisnya. Saat ini
pilihan terapi sangat bergantung pada luasnya penyebaran penyakit secara anatomis dan
senantiasa berubah seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran. Penentuan pilihan terapi
dan prediksi prognosisnya atau untuk membandingkan tingkat keberhasilan terapi baru harus
berdasarkan pada perluasan penyakit. Secara universal disetujui penentuan luasnya
penyebaran penyakit melalui system stadium.

Page 3 of 27

BAB II
ISI

EPIDEMIOLOGI
Diantara tumor ganas, kanker serviks uterus masih menduduki peringkat pertama di
Indonesia. Selama kurun waktu 5 tahun (1975-1979) penulis menemukan di RSUGM/RSUP
Sardjito 179 di antara 263 kasus (68,1%). Soeripto dkk menemukan frekuensi relatif
karsinoma serviks di Propinsi D.I.Y 25,7% dalam kurun 1970-1973 dan 20% dalam kurun
1980-1982 diantara 5 jenis kanker terbanyak pada wanita sebagai peringkat pertama.
Sedangkan di Amerika Serikat karsinoma serviks adalah kanker genital kedua paling sering
pada perempuan dan bertanggung jawab untuk 6% dari semua kanker pada perempuan
(CancerNet,2001).Umur penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50 tahun. Periode
laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9%
dari wanita berusia < 35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat
didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS terdapat pada wanita di bawah usia 35 tahun.
Mempertimbangkan keterbatasan yang ada, kita sepakat secara nasional melacak (mendeteksi
dini) setiap wanita sekali saja setelah melewati usia 30 tahun dan menyediakan sarana
penanganannya untuk berhenti sampai usia 60 tahun. Yang penting dalam pelacakan ini
adalah cakupannya (coverage). Bahkan direncanakan melatih tenaga sukarelawati (dukun,
ibu-ibu PKK di Dasawisma) untuk mengenali bentuk porsio yang mencurigakan untuk dapat
di Pap smear oleh dokter / bidan / di puskesmas / puskesling (puskesmas keliling)
sebagaimana disarankan oleh WHO (down-staging concept). Menurut Martin dan Dajoux,
dari 1000 serviks uterus ternyata hanya 48 yang betul-betul normal, 950 mengandung
kelainan jinak dan 2 tumor ganas.
ETIOLOGI
Sebab langsung dari kanker serviks belum diketahui. Ada bukti kuat kejadiannya
mempunyai hubungan erat dengan sejumlah faktor ekstrinsik, diantaranya yang penting :
jarang ditemukan pada perawan (virgo), insidensi lebih tinggi pada mereka yang kawin
daripada yang tidak kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama (coitarche) dialami pada
usia amat muda (<16 tahun), insidensi meningkat dengan tingginya paritas, apa lagi bila jarak
Page 4 of 27

persalinan terlampau dekat, mereka dari golongan sosial ekonomi rendah, hygiene seksual
yang jelek, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas), jarang
dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat (sirkumsisi), sering ditemukan pada wanita
yang mengalami infeksi virus HPV (Human Papilloma Virus) tipe 16 atau 18, infeksi HIV,
infeksi chlamydia, kebiasaan merokok, faktor makanan, kontrasepsi hormonal, terpajan oleh
obat hormonal diethylstilbestrol (DES), dan riwayat keluarga yang menderita kanker serviks.
Ada kemungkinan faktor genetic yang berhubungan dengan HLA-B7.
Faktor resiko mayor untuk kanker serviks adalah infeksi dengan HPV yang ditularkan
secara seksual. Penelitian epidemiologi di seluruh dunia menegaskan bahwa infeksi HPV
adalah faktor penting dalam perkembangan kanker serviks (Bosch et al, 1995). Lebih dari 20
tipe HPV yang berbeda mempunyai hubungan dengan kanker serviks. Penelitian
memperlihatkan bahwa perempuan dengan HPV-16, 18, dan 31 mempunyai angka neoplasia
intraepithelial cervical (CIN) yang lebih tinggi. Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa
perempuan dengan HPV strain 18 memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dan prognosis
yang lebih buruk.
PATOLOGI
Karsinoma serviks timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan
endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai squamo-columnar junction (SCJ).
Histologik antara epitel gepeng berlapis (squamous complex) dari porsio dengan epitel
kuboid / silindris pendek selapis bersilia dari endoserviks kanalis serviks. Pada wanita muda
SJC ini berada di luar ostium uteri eksternum, sedang pada wanita berumur > 35 tahun, SCJ
berada di dalam kanalis serviks. Maka untuk melakukan pap smear yang efektif, yang dapat
mengusap zona transformasi, harus dikerjakan dengan skraper dari Ayre atau cytobrush sikat
khusus. Pada awal perkembangannya kanker serviks tak memberi tanda-tanda dan keluhan.
Pada pemeriksaan dengan speculum, tampak sebagai porsio yang erosif (metaplasi skuamosa)
yang fisiologik atau patologik.
Tumor dapat tumbuh : 1.) eksofitik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai
masa proliferatif yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis; 2.) endofitik mulai dari SCJ
tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung untuk mengadakan infiltrasi menjadi ulkus;
3.) ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks dengan
melibatkan awal forniks vagina untuk menjadi ulkus yang luas.
Page 5 of 27

Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasi (erosio) akibat saling
desak mendesaknya kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan masuknya mutagen, porsio
yang erosif (metaplasia skuamosa) yang semula faali/fisiologik dapat berubah menjadi
patologik (displastik-diskariotik) melalui tingkatan CIN-I, II, III dan CIS untuk akhirnya
menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi mikro invasif atau invasif, proses keganasan akan
berjalan terus.
Periode laten (dari CIN-I s/d CIS) tergantung dari daya tahan tubuh penderita.
Umumnya fase prainvasif berkisar antara 3-20 tahun (rata-rata 5-10 tahun). Perubahan epitel
displastik serviks secara kontinu yang masih memungkinkan terjadinya regresi spontan
dengan pengobatan / tanpa diobati itu dikenal dengan unitarian concept dari Richart.
Histopatologik sebagian terbesar (95-97%) berupa epidermoid atau squamous cell carcinoma,
sisanya adenokarsinoma, clearcell carcinoma / mesonephroid carcinoma, dan yang paling
jarang adalah sarkoma.
KLASIFIKASI
Terminologi yang semula banyak digunakan dalam pelaporan mengacu pada
klasifikasi Papanicolaou (Papaniculaou & Traut 1943) yang dinyatakan dalam kelas I - kelas
V yaitu:
Kelas I: Tidak ditemukan sel atipik atau sel abnormal
Kelas II: Sitologi atipik tetapi tidak ditemukan keganasan
Kelas III: Sitologi sugestif tetapi tidak konklusif keganasan
Kelas IV: Sitologi sangat sugestif keganasan
Kelas V: Sitologi konklusif keganasan
Namun klasifikasi ini banyak ditinggalkan karena:
1. Tidak mencerminkan pengertian neoplasia serviks/vagina
2. Tidak memiliki padanan dengan terminologi histopatologi
3. Tidak mencantumkan diagnosis non kanker
4. Interpretasinya tidak seragam
Page 6 of 27

5. Tidak menunjukkan pernyataan diagnosis


Penamaan dan klasifikasi dari karsinoma serviks telah berubah sejak abad ke 20.
System klasifikasi WHO menjelaskan lesi, penamaan mild, moderate, atau severe dysplasia
atau carcinoma in situ (CIS). Selain itu, dikembangkan klasifikasi CIN (Cervical
Intraepithelial Neoplasia untuk membantu penanganan. Klasifikasi mild dysplasia sebagai
CIN 1, moderate dysplasia sebagai CIN 2, dan severe dysplasia dan CIS sebagai CIN 3.

Kanker serviks secara rutin disaring dengan uji pulasan Papanicolaou (Pap). Table 1-4
memperlihatkan terminologi baru Bethesda untuk klasifikasi hasil uji Pap dan dibandingkan
dengan system klasifikasi neoplasia intraepithelial servikal (CIN) yang terdahulu.
Terminology Pulasan Papanicolaou (Pap) dan Klasifikasi
KLASIFIKASI UJI PAP SISTEM BETHESDA (PEMAKAIAN TERBARU)

ASCUS: sel skuamosa atipikal yang tidak dapat ditentukan secara signifikan. (Sel
skuamosa adalahsel datar, tipis, yang membentuk permukaan serviks).

LSIL: tingkat rendah (perubahan dini dalam ukuran dan bentuk sel) lesi intraepithelial
skuamosa. Lesi mengacu pada daerah jaringan abnormal; intraepithelial berarti bahwa
sel abnormal hanya terdapat pada permukaan lapisan sel-sel.

HSIL: lesi skuamosa intraepithelial tingkat tinggi. Tingkat tinggi berarti bahwa
terdapat perubahan yang lebih jelas dalam ukuran dan bentuk abnormal sel-sel

Page 7 of 27

(prakanker) yang terlihat berbeda dengan sel normal.


PERBANDINGAN TERMINOLOGI ANTARA SISTEM BETHESDA TERBARU
DENGAN NEOPLASIA INTRAEPITHELIAL SERVIKAL (CIN) (PEMAKAIAN
TERBARU DAN YANG LEBIH LAMA)

Dysplasia ringan dapat juga diklasifikasikan sebagai LSIL atau CIN 1.

Dysplasia sedang dapat juga diklasifikasikan sebagai HSIL atau CIN 2.

Dysplasia berat dapat juga diklasifikasikan sebagai HSIL atau CIN 3.

Karsinoma in situ (CIS) dapat juga diklasifikasikan sebagai HSIL atau CIN 3.

TINGKATAN PRA-MALIGNA
Pada umumnya secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah : a.)
ke arah forniks dan dinding vagina, b.) kea rah korpus uterus, dan c.) ke arah parametrium
dan dalam tingkatan yang lanjut menginfiltrasi septum rektovaginal dan kandung kemih.
Melalui pembuluh getah bening dalam parametrium kanan dan kiri sel tumor dapat
menyebar ke kelenjar iliak luar dan iliak dalam (hipogastrika). Penyebaran

melalui

pembuluh darah (bloodborne metastasis) tidak lazim. Karsinoma serviks umumnya terbatas
pada daerah panggul saja. Tergantung dari kondisi imunologik tubuh penderita CIS akan
berkembang menjadi mikro invasif dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman
invasi < 1 mm dan sel tumor belum terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor
sudah terdapat > 1 mm dari membrana basalis, atau < 1 mm tetapi sudah tampak berada
dalam pembuluh limfa atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin telah
menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak sebagai karsinoma.
Tumor yang demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor
menjadi invasif, penyebaran secara limfogen menuju kelenjar limfa regional dan secara
perkontinuitatum (menjalar) menuju forniks vagina), korpus uterus, rectum, dan kandung
kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula rektum atau
kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar limfa regional
melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak, obturator, hipogastrika, prasakral,
Page 8 of 27

praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut melalui trunkus limfatikus di kanan dan
vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati, ginjal, tulang, dan otak.
Biasanya penderita sudah meninggal lebih dahulu disebabkan oleh perdarahanperdarahan yang eksesif dan gagal ginjal menahun akibat uremia oleh karena obstruksi ureter
di tempat ureter masuk ke dalam kandung kemih.
Table 1-1. Hubungan tingkat klinik dengan kelenjar daerah yang mengandung tumor
Tingkat

Persentase mengandung tumor :

I-B

10 20 %

II

30 %

III

60 %

IV

> 80 %

STADIUM
Stadium (tingkat keganasan) dibagi menurut klasifikasi FIGO 2000 sebagai berikut :
Table 1-2. Tingkat keganasan klinik menurut FIGO, 1978
Stadium

Kriteria

Carsinoma In Situ (CIS) atau karsinoma intraepitel: membrana basalis masih


utuh

Karsinoma masih terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke korpus


uteri.

Ia

Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik, lesi yang
dapat dilihat secara langsung walau dengan invasi yang sangat superficial
dikelompokkan sebagai stadium Ib. kedalaman invasi ke stroma tidak lebih
dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih dari 7 mm.

Page 9 of 27

Ia1

Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebar tidak lebih
dari 7 mm

Ia2

Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5 mm dan
lebar tidak lebih dari 7 mm

Ib

Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari Ia

Ib1

Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm

Ib2

Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm

II

Telah melibatkan vagina, tetapi belum sampai 1/3 bawah atau infiltrasi ke
parametrium belum mencapai dinding panggul

IIa

Telah melibatkan vagina, tetapi belum melibatkan parametrium

IIb

Infiltrasi ke parametrium, tetapi belum mencapai dinding panggul

III

Telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan sampai dinding
panggul. Kasus dengan hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal dimasukkan
dalam stadium ini, kecuali kelainan ginjal dapat dibuktikan oleh sebab lain

IIIa

Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum mencapai


dinding panggul

IIIb

Perluasan sampai dinding panggul atau adanya hidronefrosis atau gangguan


fungsi ginjal

IV

Perluasan ke luar organ reproduktif

IVa

Keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum

IVb

Metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul

Page 10 of 27

Table 1-3. Pembagian tingkat keganasan menurut system TNM


Tingkat

Kriteria

Tak ditemukan tumor primer

T1S

Karsinoma pra-invasif, ialah CIS (Carcinoma In Situ)

T1

Karsinoma terbatas pada serviks, walaupun adanya perluasan ke korpus uteri.

T1a

Pra-klinik adalah karsinoma yang invasif dibuktikan dengan pemeriksaan


histologik

T1b

Secara klinis jelas karsinoma yang invasif.

T2

Karsinoma telah meluas sampai di luar serviks, tetapi belum sampai dinding
panggul, atau karsinoma telah menjalar ke vagina, tetapi belum sampai 1/3
bagian distal.

T2a

Karsinoma belum menginfiltrasi parametrium.

T2b

Karsinoma telah menginfiltrasi parametrium.

T3

Karsinoma telah melibatkan 1/3 bagian distal vagina atau telah mencapai
dinding panggul (tak ada celah bebas antara tumor dengan dinding panggul).

NB:

Adanya hidronefrosis atau gangguan faal ginjal akibat stenosis ureter karena
infiltrasi tumor, menyebabkan kasus dianggap sebagai sebagai T3 meskipun
pada penemuan lain kasus itu seharusnya masuk kategori yang lebih rendah
(T1 atau T2)

T4

Karsinoma telah menginfiltrasi mukosa rectum atau kandung kemih, atau


meluas sampai di luar panggul. Ditemukannya edema bullosa tidak cukup
bukti untuk mengklasifikasi sebagai T4.

Page 11 of 27

T4a

Karsinoma melibatkan kandung kemih atau rectum saja dan dibuktikan secara
histologik.

T4b

Karsinoma telah meluas sampai di luar panggul.

NB:

Pembesaran uterus saja belum ada alasan untuk memasukkannya sebagai T4

NX

Bila tidak memungkinkan untuk menilai kelenjar limfa regional. Tanda - / +


ditambahkan

untuk

tambahan

ada/tidak

adanya

informasi

mengenai

pemeriksaan histologik, jadi: NX + atau NX -.


N0

Tidak ada deformitas kelenjar limfa pada limfografi.

N1

Kelenjar limfa regional berubah bentuk sebagaimana ditunjukkan oleh caracara diagnostic yang tersedia (misalnya limfografi, CT-scan panggul).

N2

Teraba massa yang padat dan melekat pada dinding panggul dengan celah
bebas infiltrate diantara massa ini dengan tumor.

M0

Tidak ada metastasis berjarak jauh.

M1

Terdapat metastasis berjarak jauh, termasuk kelenjar limfa di atas bifurkasio


arteri iliaka komunis.

GAMBARAN KLINIK
Keputihan merupakan gejala yang sering ditemukan. Getah yang keluar dari vagina
ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian,
pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera sehabis sanggama
(disebut perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75-80%).
Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah makin lama akan lebih
sering terjadi, juga di luar sanggama (perdarahan spontan). Perdarahan spontan umumnya
terjadi pada tingkat klinik yang lebih lanjut (II atau III), terutama pada tumor yang bersifat
eksofitik. Pada wanita usia lanjut yang sudah tidak melayani suami secara seksual, atau
wanita yang sudah menopause bilamana mengidap kanker serviks sering terlambat datang
berobat ke dokter. Perdarahan spontan saat defekasi akibat tergesernya tumor eksofitik dari
Page 12 of 27

serviks oleh skibala, memaksa mereka datang ke dokter. Adanya perdarahan spontan
pervaginam saat defekasi, perlu dicurigai kemungkinan adanya karsinoma serviks tingkat
lanjut. Adanya bau busuk yang khas memperkuat dugaan adanya karsinoma. Anemia akan
menyertai sebagai akibat perdarahan pervaginam yang berulang. Rasa nyeri akibat infiltrasi
sel tumor ke serabut saraf, memerlukan anestesi umum untuk dapat melakukan pemeriksaan
dalam yang cermat, khususnya pada lumen vagina yang sempit dan dinding yang sklerotik
dan meradang. Gejala lain yang dapat timbul ialah gejala-gejala yang disebabkan oleh
metastasis jauh. Sebelum tingkat akhir (terminal stage), penderita meninggal akibat
perdarahan yang eksesif, kegagalan faal ginjal (CRF = Chronic Renal Failure) akibat infiltrasi
tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih, yang menyebabkan obstruksi total.
DIAGNOSIS
Membuat diagnosis karsinoma serviks uteri yang klinis sudah agak lanjut tidaklah
sulit. Yang menjadi masalah ialah, bagaimana mendiagnosis dalam tingkat yang sangat awal,
misalnya dalam tingkat pra-invasif, lebih baik bila dapat menangkapnya dalam tingkatan pramaligna (dysplasia / diskariosis serviks).
Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes Papanicolaou (tes Pap) sangat bermanfaat
untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya melebihi 90% bila dilakukan dengan
baik. Sitodiagnosis didasarkan pada kenyataan, bahwa sel-sel permukaan secara terus
menerus dilepaskan oleh epitel dari permukaan traktus genitalis. Sel-sel yang dieksfoliasi
atau dikerok dari permukaan epitel serviks merupakan mikrobiopsi yang memungkinkan kita
mempelajari proses dalam keadaan seha dan sakit. Sitologi adalah cara skrining sel-sel
serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian diseleksi. Kanker hanya dapat
didiagnosis secara histologik. Sitodiagnosis yang tepat tergantung pada sediaan yang
representatif, fiksasi dan pewarnaan yang baik, serta tentu saja interpretasi yang tepat. Enam
puluh dua persen kesalahan disebabkan karena pengambilan sampel yang tidak adekuat dan
23 % karena kesalahan interpretasi. Supaya ada pengertian yang baik antara dokter dan
laboratorium, maka informasi klinis penting sekali. Dokter yang mengirim sediaan harus
memberikan informasi klinis yang lengkap, seperti usia, hari pertama haid terakhir, macam
kontrasepsi (bila ada), kehamilan, terapi hormon, pembedahan, radiasi, kemoterapi, hasil sitologi sebelumnya, dan data klinis yang meliputi gejala dan hasil pemeriksaan ginekologik.
Page 13 of 27

Sediaan sitologi harus meliputi komponen ekto- dan endoserviks. NIS lebih mungkin terjadi
pada SSK sehingga komponen endoserviks menjadi sangat penting dan harus tampak dalam
sediaan. Bila komponen endoserviks saja yang diperiksa kemungkinan negatif palsu dari NIS
kira-kira 5%. Untuk mendapatkan informasi sitologi yang baik dianjur-kan melakukan
beberapa prosedur. Sediaan harus diambil sebelum pemeriksaan dalam; spekulum yang
dipakai harus kering tanpa pelumas. Komponen endoserviks didapat dengan menggunakan
ujung spatula Ayre yang tajam atau kapas lidi, sedangkan komponen ektoserviks dengan
ujung spatula Ayre yang tumpul. Sediaan segera difiksasi dalam alkohol 96% selama 30
menit dan dikirim (bisa melalui pos) ke laboratorium sitologi terdekat.
Pap smear :

Hasil pemeriksaan sitologi Pap smear normal :

Page 14 of 27

Hasil pemeriksaan sitologi Pap smear abnormal :

Kolposkopi
Tes diagnostik lain ialah kolposkopi, dengan bantuan kolposkop bila sarana
memungkinkan. Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, suatu alat
yang dapat disamakan dengan sebuah mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di
dalamnya (pembesaran 6-40 kali). Kalau pemeriksaan sitologi menilai perubahan morfologi
sel-sel yang mengalami eksfoliasi, maka kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan
vaskular serviks yang mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang
terjadi di jaringan serviks. Hampir semua NIS terjadi di daerah transformasi, yaitu daerah
yang terbentuk akibat proses metaplasia. Daerah ini dapat dilihat seluruhnya dengan alat
kolposkopi, sehingga biopsi dapat dilakukan lebih terarah. Jadi tujuan pemeriksaan
kolposkopi bukan untuk membuat diagnosis histologik tetapi menentukan kapan dan di mana
biopsi harus dilakukan. Pemeriksaan kolposkopi dapat mempertinggi ketepatan diagnosis
sitologi menjadi hampir mendekati 100%.

Page 15 of 27

Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal jika sambungan skuamosa-kolumnar (SSK)
terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSK tidak terlihat seluruhnya atau hanya terlihat
sebagian sehingga kelainan di dalam kanalis servikalis tidak dapat dinilai, maka contoh
jaringan diambil secara konisasi. Biopsi harus dilakukan dengan tepat dan alat biopsi harus
tajam sehingga harus diawetkan dalam larutan formalin 10 %. Dikenal ada beberapa prosedur
biopsy, yaitu:

Cone biopsy (atau cold cone biopsy atau cold knife cone biopsy): prosedur yang
menggunakan laser atau scalpel bedah untuk mengambil jaringan.

Loop electrosurgical excision procedure (LEEP): prosedur yang menggunakan kabel


yang berbentuk ikal untuk mengambil jaringan.

Endocervical curettage: prosedur yang menggunakan instrument kecil berbentuk sendok,


yang disebut kuret untuk mengikis jaringan dari dalam serviks.

Konisasi (Cone biopsy atau cold cone biopsy atau cold knife cone biopsy)
Konisasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks sedemikian rupa
sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut (konus), dengan kanalis servikalis sebagai
sumbu kerucut. Untuk tujuan diagnostik, tindakan konisasi harus selalu dilanjutkan dengan
kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi. Jika
karena suatu hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan tes Schiller.
Pemeriksaan ini dikerjakan dengan sebelumnya memulas porsio dengan larutan lugol dan
jaringan yang akan diambil hendaknya pada batas antara jaringan normal (berwarna coklat
Page 16 of 27

tua karena menyerap Iodium) dengan bagian porsio yang pucat (jaringan abnormal yang tidak
menyerap Iodium). Kemudian jaringan direndam dalam larutan formalin 10% untuk dikirim
ke Laboratorium Patologi Anatomi. Konisasi diagnostik dilakukan pada keadaan-keadaan
sebagai berikut :
1.

Proses dicurigai berada di endoserviks.

2.

Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi.

3.

Diagnostic mikroinvasi ditegakkan atas dasar specimen biopsy.

4.

Ada kesenjangan antara hasil sitologi dan histopatologik.


Perlu disadari mengerjakan biopsy yang benar dan tidak mengambil bagian yang

nekrotik. Pada tingkat klinik 0, Ia, Ib-occ, penentuan tingkat keganasan secara klinis
didasarkan atas hasil pemeriksaan histologik. Oleh karena itu untuk konfirmasi diagnosis
yang tepat sering diperlukan tindak lanjut seperti kuretase endoserviks (ECC = Endo-Cervical
Curretage) atau konisasi serviks.
Imaging studies x-ray dada, CT scan, MRI, dan PET untuk mengetahui adanya
penyebaran sel-sel kanker.
PENANGANAN
Terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup
melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim kanker / onkologi).
Pada tingkat klinik (CIS) tidak dibenarkan dilakukan elektrokoagulasi atau
elektrofulgerasi, bedah krio (cryosurgery) atau dengan sinar laser, kecuali bila yang
menangani seorang ahli dalam kolposkopi dan penderitanya masih muda dan belum
mempunyai anak. Dengan biopsy kerucut (conebiopsy) meskipun untuk diagnostic, acapkali
menjadi terapeutik. Ostium uteri internum tidak boleh sampai rusak karenanya. Bila penderita
telah cukup tua, atau sudah mempunyai cukup anak, uterus tidak perlu ditinggalkan, agar
penyakit tidak kambuh (relapse) dapat dilakukan histerktomi sederhana (simple vaginal
hysterectomy).

Page 17 of 27

Pada kasus tertentu dimana operasi merupakan suatu kontraindikasi aplikasi radium
dengan dosis 6500 7000 rads/cGy di titik A tanpa penambahan penyinaran luar, dapat
dilakukan.
Pada tingkat klinik Ia, umumnya dianggap dan ditangani sebagai kanker yang invasif.
Bilamana kedalaman invasi kurang dari atau hanya 1 mm dan tidak meliputi area yang luas
serta tidak melibatkan pembuluh limfa atau pembuluh darah, penanganannya dilakukan
seperti pada CIS di atas.
Pada klinik Ib dan IIa dilakukan histerektomi radikal dengan limfadenektomi panggul.
Pasca bedah biasanya dilanjutkan dengan penyinaran, tergantung ada/tidak adanya sel tumor
dalam kelenjar limfa regional yang diangkat.
Pada tingkat IIb, III, dan IV tidak dibenarkan melakukan tindakan bedah, untuk ini
primer adalah radioterapi. Sebaiknya kasus dengan karsinoma serviks selekasnya dikirim ke
pusat penanggulangan kanker, dimana berkumpul para pakar onkologi yang berpengalaman
dan tersedianya sarana yang mutakhir. Bilamana diperlukan penyinaran pasca bedah, maka di
Yogyakarta (RSUP Dr. Sardjito) dilakukan radiasi luar dengan Cobalt-60 dosis 5000 rads
(fraksi 200 rads/hari selama 25 hari (5 minggu) karena sabtu dan minggu tak ada penyinaran,
disusul 2 minggu kemudian dengan radiasi dalam dengan aplikasi radium 2 kali (interval 1-2
minggu) @ 750 R (=Roentgen) di titik A (= setinggi 2 cm dari oue dan sejauh 2 cm dari
sumbu uterus) dan titik B (= setinggi titik A sejauh 3 cm ke lateral di daerah obturator), atau
menggunakan metode Fletchner dengan afterloading memakai bola-bola dari Cesium-137
(brachytherapy). Di Jakarta dengan tersedianya pesawat Linac (Lnear Accelerator) di RSCM,
RSPP, dan RSPAD Gatot Soebroto tekhnik penyinaran sudah lebih canggih, karena penetrasi
sinar jauh lebih dalam disbanding dengan sinar yang dikeluarkan oleh sumber Cobalt-60
apalagi Cesium-137. Penggunaan radiosensitizers dan radio-enchancers masih dalam taraf
eksperimental.
Pada tingkat klinik IVa dan IVb penyinaran hanya bersifat paliatif. Pemberian
khemoterapi dapat dipertimbangkan. Pada penyakit yang kambuh satu tahun sesudah
penanganan lengkap, dapat dilakukan operasi jika terapi terdahulu adalah radiasi dan
prosesenya masih terbatas pada panggul. Bilamana proses sudah jauh atau operasi tak
mungkin dilakukan, harus dipilih kemoterapi bila syarat-syaratnya terpenuhi. Untuk ini tak
digunakan sitostatika tunggal, tetapi berbentuk regimen yang terdiri dari kombinasi beberapa
Page 18 of 27

sitostatika (polikemoterapi). Jika terapi terdahulu adalah operasi, sebaiknya dilakukan


penyinaran bila prosesnya masih terbatas dalam panggul (lokoregional), sedangkan kalau
penyinaran tak mungkin dikerjakan atau prosesnya sudah lanjut penyebarannya, maka dipilih
polikemoterapi bila syarat-syaratnya terpenuhi. Penyinaran ulang pada kasus-kasus yang
sebelumnya pernah mendapat radiasi, dengan mesin Linac dan ditangan yang ahli, hasilnya
tidak selalu mengecewakan. Penggunaan imunoterapi masih dalam taraf eksperimen.
Gambaran klinik dan penanganan adenokarsinoma serviks uterus pada umumnya
tidak berbeda dengan karsinoma epidermoid.

KARSINOMA SERVIKS UTERI DALAM KEHAMILAN


Tumor ganas di serviks tidak menghalangi untuk adanya kehamilan. Terdapat kirakira 1 diantara 3000 kehamilan. Tidak ada perbedaan antara karsinoma serviks dalam dan di
luar kehamilan, mengenai perjalanan penyakitnya, dalam rasio kesembuhan pada tingkat
klinik yang sama. Untuk penanganan primer dipilih pembedahan, karena penyinaran
mempunyai efek samping yang merugikan penderita yang berusia muda.
Kanker serviks memberi pengaruh yang tidak baik pada kehamilan, persalinan, dan
nifas. Selain kemandulan, sering pula terjadi abortus akibat infeksi, perdarahan, dan
hambatan dalam pertumbuhan janin karena neoplasma tersebut. Apabila penyakit ini tidak
diobati, pada kira-kira dua pertiga diantara para penderita, kehamilannya dapat mencapai
cukup bulan. Kematian janin dapat pula terjadi.
Karena serviks kaku oleh jaringan kanker, persalinan kala satu menjadi hambatan.
Ada kalanya tumornya lunak dan hanya terbatas pada bagian serviks, sehingga pembukaan
dapat menjadi lengkap dan anak lahir spontan. Selain itu, dapat pula terjadi ketuban pecah
dini dan inersia uteri. Dalam masa nifas sering terjadi infeksi.
Dahulu disangka bahwa kehamilan menyebabkan tumor bertumbuh lebih cepat dan
menyebabkan prognosis menjadi lebih buruk. Akan tetapi, bahwa kehamilan sendiri tidak
mempengaruhi kanker serviks.
Diagnosis
Page 19 of 27

Tumor yang sudah lanjut mudah dikenal. Lain halnya dengan tumor stadium dini,
lebih-lebih tumor yang belum memasuki jaringan dibawah epitel (preinvasive carcinoma,
karsinoma in situ). Oleh karena itu dibeberapa negara pemeriksaan sitologi vaginal
merupakan pemeriksaan rutin pada setiap perempuan hamil, yang kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan biopsy apabila diperoleh hasil yang mencurigakan. Diagnosa karsinoma
in situ dalam kehamilan sangat sulit karena dalam kehamilan dapat terjadi perubahanperubahan pada epitel serviks, yang secara mikroskopis hamper tidak dapat dibedakan dari
tumor tersebut. Untuk membuat diagnosis yang pasti perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti
berulang kali, bahkan kepastian baru diperoleh setelah bayi lahir. reversible, sedang
karsinoma in situ ada setelah bayi lahir. Apabila terdeteksi pada pemeriksaan prenatal, maka
diagnosisnya lebih dini.
Diagnosis Definitif ditegakkan berdasarkan :
-

Biopsi punch dari lesi serviks yang luas. Namun, masih kontroversi, apakah
masih dilakukan bila telah ada bukti kanker serviks invasif dari pemeriksaan
kolposkopi, dan apakah dilakukan pada semua lesi servikal yang dapat
dideteksi dengan kolposkopi

Evaluasi yang tepat dari apusan abnormal

Evaluasi kolposkopi.

Biopsy kerucut (cone biopsy), dilakukan pada keadaan khusus (trimester


kedua dan diagnosis tidak dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan lain).

Stadium
Dinilai berdasarkan kategori FIGO (2000) berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan
pencitraan. Pada kehamilan penentuan diagnosis lebih rumit karena adanya keterbatasan
pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukan (MRI). Evaluasi klinik pada saat hamil kurang
akurat untuk menentukan diagnosis kanker serviks.
Penanganan
Penatalaksanaan merupakan multidisiplin yang meliputi obstetric, onkologi
ginekologi, radiology, neonatology, dan patologi.
Page 20 of 27

Modalitas penatalaksanaan yang dipilih harus sepengetahuan ibu (penderita), terutama


mengenai resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin. Secara umum,
penatalaksanaan bergantung pada stadium kanker dan usia kehamilan.
Dalam menghadapi perempuan hamil dengan kanker serviks perlu dibedakan tiga hal,
yakni tuanya kehamilan, umur penderita, dan jumah anak. Dalam trimester pertama penderita
harus diobati, baik dengan penyinaran maupun dengan operasi radikal. Penyinaran dengan
sinar Rontgen sebanyak 2000 rad pada seluruh pelvis biasanya menyebabkan hasil konsepsi
mati akibat abortus. Selanjutnya penyinaran dilakukan sampai dosis lengkap. Kemudian
setelah terjadi involusi uteri, penderita diberi penyinaran dengan radium.
Dalam trimester kedua segera dilakukan histerotomi untuk mengosongkan rahim,
yang kemudian disusul dengan penyinaran; atau segera dilakukan operasi radikal apabila
kanker tersebut masih dalam tingkat dini.
Lain halnya dengan trimester ketiga. Apabila kehamilan sudah mencapai 36 minggu
atau lebih, segera dilakukan seksio sesarea dan kemudian diberi penyinaran atau lakukan
operasi. Akan tetapi, apabila kehamilan sudah mendekati 36 minggu, tetapi belum mencapai
36 minggu, sedapat-dapatnya seksio sesarea ditunda sampai berat badan jnin ditaksir 2500
gram. Penundaan satu sampai dua minggu pada umumnya masih dianggap cukup aman.
Dalam hal ini hendaknya diperhitungkan sungguh-sungguh jumlah anak yang hidup serta
keinginan suami istri.
Dalam menghadapi kemungkinan karsinoma in situ, atau apabila diagnosis sudah
pasti, hendaknya kehamilan dibiarkan sampai cukup bulan, asal dilakukan pemeriksaan ulang
secara teratur supaya segera diketahui apabila terjadi perubahan ke arah karsinoma invasif.
Partus spontan dapat diharapkan. Sikap demikian cukup aman karena perubahan dari
karsinoma in situ ke karsinoma invasif sering memakan waktu beberapa tahun.
Perempuan muda yang masih sangat menginginkan pertambahan anak dapat dibiarkan
hamil lagi setelah dilakukan konisiasi atau amputasi porsio lebih dahulu. Apabila tidak
demikian sebaiknya dilakukan histerektomi setelah anak lahir.
Prognosis

Page 21 of 27

Kehamilan tidak mempengaruhi luaran dari perempuan dengan kanker serviks.


Prognosis kemudian lebih buruk pada perempuan yang diagnosis kanker serviks ditegakkan
pada periode 12 bulan pascapersalinan dibandingkan yang ditegakkan selama kehamilan.
PENGAMATAN LANJUT
Tiap 3 bulan selama 2 tahun pertama dan kemudian tiap 6 bulan, tergantung dari
keadaan. Jangan dilupakan meraba kelenjar inguinal dan supraklavikular, perabaan abdomen,
perabaan abdomino-rektal, pemeriksaan sitologik puncak vagina dan foto roentgen thoraks
(setiap 6 bulan). Kolposkopi sangat penting untuk meneliti puncak vagina, untuk menemukan
bentuk-bentuk pra-maligna. Rektoskopi, sistoskopi dan pemeriksaan lain seperti renogram,
IVP (Intravenous Pielography) dan CT-scan panggul atau limfografi dilakukan menurut
indikasi. Dewasa ini MRI dapat pula digunakan.
PROGNOSIS
Faktor-faktor yang menentukan prognosis ialah: 1.) umur penderita, 2.) keadaan
umum, 3.) tingkat klinik keganasan, 4.) cirri-ciri histologik sel tumor, 5.) kemampuan ahli
atau tim ahli yang menangani, 6.) sarana pengobatan yang ada.
Table 1-4. Angka Ketahanan Hidup (AKH) 5 tahun menurut data internasional adalah
sebagai berikut:
Tingkat

AKH 5 tahun

T1S

Hampir 100%

T1

70 85%

T2

40 60%

T3

30 40%

T4

< 10%

Sumber: UICC / Clinical Oncology; Springer-Verlag, New York, Heidelberg, Berlin; 1973, p:218

Uji Pap telah menurunkan angka kematian akibat kanker serviks secara signifikan di
Amerika Serikat angka kematian menurun 70% dari tahun 1950-1970 dan 40% dari tahun
1970-1995. Rekomendasi terbaru dari American College of Obstetricians and Gynecologist
Page 22 of 27

dan the American Cancer Society adalah untuk melakukan pemeriksaan pelvis dan penapisan
pulasan pap setiap tahun bagi semua perempuan yang telah aktif secara seksual atau telah
mencapai usia 18 tahun. Setelah tiga kali atau lebih secara berturut-turut hasil pemeriksaan
tahunan ternyata normal, uji Pap dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang atas
kebijaksanaan dokter. Walaupun deteksi kanker serviks pada stadium yang sangat dini (dan
dapat disembuhkan) dapat dilakukan dengan menggunakan uji pulasan Pap, banyak
perempuan yang tidak melakukannya. Diperkirakan sekitar sepertiga perempuan yang
memenuhi syarat tidak melakukan pulasan Pap. Tujuh puluh persen perempuan dengan
kanker serviks invasif yang baru didiagnosis, tidak melakukan pulasan Pap selama 5 tahun
terakhir (American Cancer Society,2001). Puncak insidens karsinoma in situ adalah usia 20
hingga 30 tahun pada perempuan keturunan Afrika-Amerika maupun Kaukasian. Perempuan
yang lebih tua dari 65 tahun dilaporkan 25% menderita karsinoma servikal invasif dan 40%
hingga 50% kematian terjadi akibat karsinoma serviks (CancerNet,2001).
RESIDIF DAN PENANGANANNYA
Kasus kekambuhan merupakan keadaan tanpa harapan karena 80 100% penderita
akan meninggal kurang dari setahun semenjak kekambuhan dan sampai saat ini belum ada
terapi pilihan yang efektif untuk mengatasinya. Secara keseluruhan kelangsungan hidup lima
tahun kasus berulang kurang dari 5% dan hampir 90% terjadi dalam 2 tahun pertama. Kasus
berulang setelah menjalani operasi radikal dapat dicoba dengan pengobatan radiasi.
Kasus berulang setelah mendapat terapi radiasi dapat dilakukan operasi atau
kemoterapi terutama untuk lesi kambuh berada di luar lapangan radiasi sebelumnya.
Pembedahan dilakukan bila lesi soliter seperti pada paru-paru atau daerah sentral (central
recurrence) dan masih memberikan hasil yang cukup baik. Jenis pembedahan yang dapat
dilakukan seperti eksenterasi pelvic asalkan fasilitas perawatan pascaoperatif di daerah pelvis
dapat diobati dengan radiasi.
Akhir-akhir ini ada upaya lain untuk meningkatkan kualitas hidup penderita
pascaeksenterasi dengan membentuk urinary conduit dan rekonstruksi vagina. Pemberian
kemoterapi pada kasus berulang yang sebelumnya telah radiasi atau operasi tidak
memberikan hasil yang baik.

Page 23 of 27

BAB III
KESIMPULAN
Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negaranegara sedang berkembang. Setiap tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks
baru di seluruh dunia, 77 % di antaranya ada di negara-negara sedang berkembang. Meskipun
data mengenai pengetahuan ini belum lengkap, namun diketahui bahwa kanker serviks
mempunyai perkembangan yang bertahap dan bukan secara eksplosif. Keadaan dini yang
mendahului keganasan dapat terdiri dari displasia dan karsinoma in-situ atau dikenal juga
sebagai tingkat pra-kanker. Jika penyakit dapat dideteksi pada tingkat ini, maka perjalanan
penyakit selanjutnya menjadi kanker invasif dapat dicegah.
Karsinoma serviks jarang ditemukan pada perawan (virgo), insidensi lebih tinggi pada
mereka yang kawin daripada yang tidak kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama
(coitarche) dialami pada usia amat muda (<16 tahun), insidensi meningkat dengan tingginya
paritas, apa lagi bila jarak persalinan terlampau dekat, mereka dari golongan sosial ekonomi
rendah, hygiene seksual yang jelek, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan
(promiskuitas), jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat (sirkumsisi), sering
ditemukan pada wanita yang mengalami infeksi virus HPV (Human Papilloma Virus) tipe
16 atau 18, infeksi HIV, infeksi chlamydia, kebiasaan merokok, faktor makanan, kontrasepsi
hormonal, terpajan oleh obat hormonal diethylstilbestrol (DES), dan riwayat keluarga yang
menderita kanker serviks.
Keputihan merupakan gejala yang sering ditemukan. Getah yang keluar dari vagina
ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian,
pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera sehabis sanggama
(disebut perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75-80%).
Hingga saat ini piliha terapi masih terbatas pada operasi, radiasi, dan kemoterapi, atau
kombinasi dari beberapa modalitas terapi ini.

Page 24 of 27

DAFTAR PUSTAKA

Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta: PT Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.2008.

Saifuddin, Abdul Bari. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.2008.

Price & Wilson. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi
6. Jakarta: EGC. 2006.

M. Farid Aziz, dkk. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Edisi Pertama.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2006.

www.pap-smear.info/pap-smear-pictures.shtml

http://www.obgyn-unsri.org

www.sh.lsuhsc.edu/.../PapSmear.htm

http://www.nytco.com/

www.cermin dunia kedokteran.com

http://www.ridgeviewmedical.org/HealthInformation

www.gfmer.ch

http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/298/19/2336

www.wikipedia.com

Page 25 of 27

DAFTAR PUSTAKA

1. Aziz, M.farid .Buku Acuan ONKOLOGI GINEKOLOGI . Edisi 4 Cetakan 1. 2006.


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo (BP-SP)
2. Arif Mansjoer dkk.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 , Jilid 1. EGC : Jakarta
3. Liewellyn, Derek dan Jones. 2001. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
4. Olivera J, et all. 2009, Human Papiloma Virus, The New England Journal of
Medicine. 361;19 : 1899-1901
5. Norwitz, E., Schorge, J. Kanker Serviks. At a Glance Obstetri & Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta : Erlangga 2008; 62-63.
6. Wiknjosastro, H.,et all. (editor). Serviks Uterus. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono. 2009;380-387.
7. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi 7nd ed , Vol. 1. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007 : 189-1
8. Cunningham FG. Mcdonald PC. Karsinoma serviks. Obstetric Williams. Edisi 21.
Vol 2. Jakarta. EGC. 2007;1622-1625.
9. Sogukopinar, N., et all. 2003, Cervical Cancer Prevention and Early Detection,
Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. Vol 4;15-21.
10. American Cancer Society. 2012. Cervical Cancer. At lanta. American Cancer
Society.
11.
12. Setiawan, et al. Kamus Kedokteran Dorland Ed 29. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta:
2002. Hal 1051.
13. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi 7nd ed , Vol. 1. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2007 : 189-1
14. American Cancer Society. 2012. Cervical Cancer. At lanta. American Cancer Society.
15. Sogukopinar, N., et all. 2003, Cervical Cancer Prevention and Early Detection, Asian Pacific
Journal of Cancer Prevention. Vol 4;15-21.
16. Martaadisoebrata, D. Carcinoma cervix. Ginekologi. Bandung : Elstar Offset. 1981; 127
140.

Page 26 of 27

17. Wiknjosastro, H.,et all. (editor). Serviks Uterus. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono. 2009;380-387.
18. Cunningham FG. Mcdonald PC. Karsinoma serviks. Obstetric Williams. Edisi 21. Vol 2.
Jakarta. EGC. 2007;1622-1625.
19. Norwitz, E., Schorge, J. Kanker Serviks. At a Glance Obstetri & Ginekologi. Edisi kedua.
Jakarta : Erlangga 2008; 62-63.
20. Olivera J, et all. 2009, Human Papiloma Virus, The New England Journal of Medicine.
361;19 : 1899-1901
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMe0907480
21. Heffner, LJ., Schust, DJ. Kanker serviks. At a Glance Sistem Reproduksi. Edisi Kedua. Jakarta
: Erlangga 2008; 94-95.

22. Arif Mansjoer dkk.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 , Jilid 1. EGC : Jakarta
23. Aziz, M.farid .Buku Acuan ONKOLOGI GINEKOLOGI . Edisi 4 Cetakan 1. 2006.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo (BP-SP)
24. Liewellyn, Derek dan Jones. 2001. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
25.

Page 27 of 27

You might also like