You are on page 1of 20

Laporan Pendahuluan

ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN HIRSCHPRUNG


I.

Pengertian
Penyakit Hirschprung adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus
(Ariff Mansjoer, dkk. 2000). Dikenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun 1886.
Zuelser dan Wilson , 1948 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit
tidak ditemukan ganglion parasimpatis.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi
usus spontan ( Betz & Sowden, 2000)
Hisprung adalah tidak adanya sel-sel ganglion dalam relitum atau bagian
relitosigmoid Kolon. (Betz, Cecily. L, 2002). Penyakit Hirschsprung disebut juga
kongenital aganglionik megakolon. Dilihat dari namanya penyakit ini merupakan keadaan
usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada
bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan
(ganglion), maka terjadi kelumpuhan usus besar dalam menjalanakan fungsinya
sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena
berbeda-beda untuk setiap individu.

II.

Anatomi Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3
bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian
proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan
oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian
posterior (Yamada,1999; Shafik,2000). (Gambar 1)
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu
masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal
dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia luar. Spinkter ani
eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan (Shafik,2000) . (Gambar 2 )

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis


(a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a.uterina) yang
merupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior
adalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum
bagian distal dan daerah anus (Yamada,2000; Shafik,2000). (Gambar 3.)

Gambar 3. Pendarahan anorektal


Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf parasimpatis
(n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut syaraf ini
membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3
dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf
simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus
(parasimpatis). Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan
n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis) (Yamada,2000; Shafik,2000; Wexner dkk,2000;
Neto dkk,2000). (Gambar 4)

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Gambar 4. Innervasi daerah perineum (laki-laki)


Sistem syaraf autonomic intrinsic pada usus terdiri dari 3 pleksus:
1. Pleksus aurbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus meissner : terletak di sub-mukosa

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut.
(Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990). (Gambar 5)

Gambar 5. Skema syaraf autonom intrinsik usus


III.

Klasifikasi
Penyakit hirschprung segmen pendek. Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai
sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus penyakit hirschsprung

dan lebih sering

ditemukan pada anak laki- laki dibanding anak perempuan.

Penyakit hirschprung segmen panjang. Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan


dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak baik laki
laki maupun perempuan.
IV.

Etiologi
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding
usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah
rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh
usus sampai pilorus.
Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada anak dengan Down
Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi,
kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Secara umum faktor pencetus terjadinya Hirschprung adalah: herediter, kekurangan


gizi sebelum dan selama hamil, trauma (jatuh, pijat saat hamil), paparan virus TORCH
dari binatang peliharaan (kucing, unggas), polusi udara, asap rokok, gaya hidup ibu yang
kurang baik (perokok, konsumsi obat-obatan dan jamu secara sembarangan, alkohol dan
narkoba).
V.

Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen
aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga
pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum
tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden,
2002:197).
Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah
tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu
karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S &
Wilson, 1995 : 141 ).
Aganglionic mega colon atau hirschprung dikarenakan karena tidak adanya
ganglion parasimpatik disubmukosa (meissher) dan mienterik (aurbach) tidak ditemukan
pada satu atau lebih bagian dari kolon menyebabkan peristaltik usus abnormal.
Peristaltik usus abnormal menyebabkan konstipasi dan akumulasi sisa pencernaan di
kolon yang berakibat timbulnya dilatasi usus sehingga terjadi megakolon dan pasien
mengalami distensi abdomen. Aganglionosis mempengaruhi dilatasi sfingter ani interna
menjadi tidak berfungsi lagi, mengakibatkan pengeluaran feses, gas dan cairan
terhambat. Penumpukan sisa pencernaan yang semakin banyak merupakan media
utama berkembangnya bakteri. Iskemia saluran cerna berhubungan dengan peristaltik
yang abnormal mempermudah infeksi kuman ke lumen usus dan terjadilah enterocolitis.
Apabila tidak segera ditangani anak yang mengalami hal tersebut dapat mengalami
kematian (kirscher dikutip oleh Dona L.Wong,1999:2000)

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

VI.

Manifestasi Klinis
Akibat dari kelumpuhan usus besar dalam menjalankan fungsinya, maka tinja
tidak dapat keluar. Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan tinja pertamanya
(mekonium) dalam 24 jam pertama. Namun pada bayi yang menderita penyakit
Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau bahkan tidak dapat keluar sama sekali. Selain
itu perut bayi juga akan terlihat menggembung, disertai muntah. Jika dibiarkan lebih
lama, berat badan bayi tidak akan bertambah dan akan terjadi gangguan pertumbuhan.
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia
gejala klinis mulai terlihat :
(1). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda
klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap
501 kasus , sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4%
untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis
merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini,
yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea,
distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir
1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat
pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997;
Swenson dkk,1990). (Gambar 6)

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

(2). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita
biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit
untuk defekasi. (Gambar 7)

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Menurut Betz, Cecily. L (2002) manifestasi klinis Hisprung dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

Masa Neo Natal


1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
2. Muntah berisi empedu
3. Enggan minum.
4. Distensi abdomen.
5. Dilakukan colok anus dengan jari kelingking, tinja keluar menyemprot dan bila
tidak ada tinja akan keluar udara seperti suara balon yang dilepas ikatannya.

Masa Bayi dan Kanak-kanak


1. Konstipasi berulang
2. Diare berulang (enterokolitis)
3. Tinja seperti pita, berbau busuk
4. Distensi abdomen
5. Gagal tumbuh

VII.

Komplikasi.
Menurut Corwin (2001:534) komplikasi penyakit hirschsprung yaitu gangguan
elektrolit dan perforasi usus apabila distensi tidak diatasi.
Menurut Mansjoer (2000:381) menyebutkan komplikasi penyakit hirschprung
adalah:
a.

Pneumatosis usus
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.

b.

Enterokolitis nekrotiokans
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.

c.

Abses peri kolon


Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.

d.

Perforasi
Disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama.

e.

Septikemia
Disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin karena
iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dindinng usus.

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Sedangkan komplikasi yang muncul pasca bedah antara lain:


a.

Gawat pernafasan (akut)


Disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru paru sehingga
mengganggu ekspansi paru.

b.

Enterokolitis (akut)
Disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran endotoxin.

c.

Stenosis striktura ani


Gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan kontraksi dan
relaksasi karena ada colostomy sehingga terjadi kekakuan ataupun penyempitan.

VIII.

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan:
a

Daerah transisi

Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit

Entrokolitis padasegmen yang melebar

Terdapat retensi barium setelah 24 48 jam


Pada bayi baru lahir, barium enema tidak selalu memperlihatkan gambaran

yang jelas dari penyakit apabila seluruh kolon tidak mempunyai sel ganglion. Hal ini
terjadi meskipun pengeluaran barium terlambat 24 jam setelah pemeriksaan
diagnostik.
2. Biopsi isap rektum
Hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentata untuk menghindari
daerah normal hipogang lionosis dipinggir anus. Biopsi ini dilakukan untuk
memperlihatkan tidak adanya sel sel ganglion di sub mukosa atau pleksus saraf
intermuskular.
3. Biopsi rektum
Biopsi rektum dilakukan dengan cara tusukan atau punch atau sedotan 2 cm diatas
garis pektinatus memperlihatkan tidak adanya sel sel ganglion di sub mukosa atau
pleksus saraf intermuskular.
4.

Biopsi otot rektum


Pengambilan otot rektum, dilakukan bersifat traumatik, menunjukan aganglionosis
otot rektum.

5. Manometri anorektal
Dilakukan dengan distensi balon yang diletakan di dalam ampula rektum. Balon akan
mengalami penurunan tekanan di dalam sfingter ani interna pada pasien yang
normal. Sedangkan pada pasien yang megacolon akan mengalami tekanan yang luar
Setiyo adi nugroho
Jurusan keperawatan
FKUB

biasa.
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang
menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi
pembusukan.
7. Foto rontgen abdomen
Didasarkan pada adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang melebar
normal dan colon distal tersumbat dengan diameter yang lebih kecil karena usus
besar yang tanpa ganglion tidak berelaksasi. Pada pemeriksaan foto polos abdomen
akan ditemukan usus melebar / gambaran obstruksi usus letak rendah.
IX.

Penatalaksanaan.
1. Konservatif.
Pada neonatus dilakukan pemasangan sonde lambung serta pipa rektal untuk
mengeluarkan mekonium dan udara.
2.

Tindakan bedah sementara.


Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa
kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini
dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis
sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah :
menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan
mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga
memungkinkan dilakukan anastomose (Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).

3.

Tindakan bedah defenitif.


a.

Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan
operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit
Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi
dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari
linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga
dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang
ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun
1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya
menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior
(Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Corcassone,1996; Swenson,2002).

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan


biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan
cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum
diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi
terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah
direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan
pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan
0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end
dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai,
usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan
reperitonealisasi,

dan

kavum

abdomen

ditutup

(Kartono,1993;

Swenson

dkk,1990).
b.

Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini
adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian
posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering
terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung
rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan
beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
1)

Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem


melalui

sayatan

endoanal

setinggi

1,5-2,5

cm,

untuk

mencegah

inkontinensia;
2)

Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk


melakukan anastomose side to side yang panjang;

3)

Modifikasi

Ikeda:

Ikeda

membuat

klem

khusus

untuk

melakukan

anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;


4)

Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal


dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung,
yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps
dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya.
Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis
(Kartono,1993).

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

c.

Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959
untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave
tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum
yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik
masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut (Reding dkk,1997;
Swenson dkk,1990)

d.

Prosedur Rahbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot
levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting
melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis (Swenson dkk,1990).

X.

Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung
dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan
fungsi spinkter. Sedangkan tujuan utama dari setiap operasi definitif pull-through adalah
menyelesaikan secara tuntas penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu
menguasai dengan baik fungsi spinkter ani dan kontinen (Swenson dkk,1990). Beberapa
hal dicatat sebagai factor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi diantaranya :
usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang
digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian
antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan prosedur Swenson, sedangkan
apabila dikerjakan dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan
tak satu kasuspun mengalami kebocoran. Manifestasi klinis yang terjadi akibat
kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvik, abses
intraabdominal, peritonitis, sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini
kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal (Kartono,1993; Swenson
dkk,1990; Swenson,2002).
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein,
stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga


spinkterektomi posterior (Lister,1996; Teitelbaum dkk,1999; Swenson,2002).
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat
kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat enterokolitis mencapai
1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur
Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk
prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat
dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan
resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan
wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab / prosedur operasi yang telah
dikerjakan. Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga
perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi,
penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna
sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang (Kartono,1993;
Swenson dkk,1990; Cilley dkk,2001).
Sedangkan fungsi spinkter ani pasca bedah yang merupakan pokok bahasan
utama dari penelitian ini dapat dikatakan sebagai parameter utama keberhasilan operasi
tarik terobos, disamping komplikasi utama yang disebutkan diatas. Namun hingga saat
ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima universal untuk menilai fungsi
anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai
peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis
hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus
tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk
menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan (Heikkinen
dkk,1997; Lister,1996; Heij dkk,1995). Swenson memperoleh angka 13,3% terjadinya
kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang
sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka
0%. Hal ini dapat dimengerti jikalau kita mencermati perbedaan prosedur operasi yang
dipergunakan. Jika memakai prosedur Swenson asli (I), maka kita melakukan reseksi
rektum 2 cm diatas anal verge, yang tentunya tidak sama struktur anatominya antara
neonati dan anak yang sudah agak besar. Pada anak yang sudah agak besar,
pemotongan 2 cm dari anal verge dapat mencederai spinkter ani interna sehingga
inkontinensia dapat terjadi. Oleh sebab itu Swenson menganjurkan pemotongan rektum
pada level yang berbeda: 2 cm di anterior dan 0,5-1 cm di posterior (Swenson II).
Disamping itu penyebab lain kecipirit pada prosedur Swenson disebabkan oleh stenosis
Setiyo adi nugroho
Jurusan keperawatan
FKUB

sirkuler yang terjadi. Pemotongan rektum yang terlalu tinggi memang dapat
menyelamatkan fungsi spinkter ani, namun menyebabkan obstipasi berulang. Hal ini
terlihat pada prosedur Rehbein dimana reseksi dan anastomose kolorektal dilakukan
intraabdominal, memberikan hasil kontinensia yang sangat memuaskan namun tinggi
angka obstipasi sehingga kurang disukai ahli bedah. Sedangkan prosedur Duhamel
modifikasi merupakan prosedur yang paling logis dalam mengatasi masalah
inkontinensia dan obstipasi. Pemotongan rektum 2 cm dari anal verge pada lingkaran
posterior tidak akan mencederai spinkter ani interna, sedangkan mengatasi sisa kolon
aganglionik yang terlalu panjang adalah dengan membelah septum sepanjang mungkin.
Hal ini dapat menerangkan mengapa dengan prosedur Duhamel modifikasi, diperoleh
angka stenosis, kecipirit dan obstipasi kronik yang rendah (Kartono,1993).
XI.

Asuhan Keperawatan.

A.

Pengkajian.
1. Identitas.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan
bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan
yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama
banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
2. Riwayat Keperawatan.
a.

Keluhan utama.
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir),
perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.

b.

Riwayat penyakit sekarang.


Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat
lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi
sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa
konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi
usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare,
distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.

c.

Riwayat penyakit dahulu.


Tidak

ada

penyakit

terdahulu

Hirschsprung.
d.

Riwayat kesehatan keluarga.

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

yang

mempengaruhi

terjadinya

penyakit

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
e.

Riwayat kesehatan lingkungan.


Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan.

f.

Imunisasi.
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung.

g.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.

h.

Nutrisi.

3. Pemeriksaan fisik.
a.

Sistem kardiovaskuler.
Tidak ada kelainan.

b.

Sistem pernapasan.
Sesak napas, distres pernapasan.

c.

Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada
anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan
merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara
dan mekonium atau tinja yang menyemprot.

d.

Sistem genitourinarius.

e.

Sistem saraf.
Tidak ada kelainan.

f.

Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Gangguan rasa nyaman.

g.

Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.

h.

Sistem integumen.
Akral hangat.

i.

Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

B.

Masalah pemenuhan kebutuhan dasar (pohon masalah).


Anak dibawah 1
tahun

Kongenital
Dinding usus
Tidak ada sel ganglion parasipatis aurbach dan meissner

Masalah perawatan kurang


pengetahuan

Penebalan serabut saraf dan hipertropi serabut otot

Post op kolostomi

Dilatasi kolon proksimal di area penyempitan

Tindakan operasi kolostomi

Penyakit hirschsprung megakolon aganglinik

Penyakit hirschsprung segmen pendek

Penyakit hirschsprung segmen panjang

70 % lebih banyak pada anak laki-laki

Jumlah pada anaklaki-laki dan perempuan sama


Segmen aganglionik melebihi sigmoid, seluruh
kolon / usus halus

Segmen aganglionik dari anus sampai sigmoid

Gerakan peristaltik tidak ada

Gangguan pasase usus

Masa neonatal

Masalah keperawatan
perubahan pola
eleminasi usus

Gejala dan tanda :


Kegagalan pengeluaran
mekonium 24 48 jan seletah
lahir.
Obstruksi usus parsial/komplit
Muntah : cairan empedu/feses
Distensi abdomen
Konstipasi
Diare
Menolak minum
Berat badan menurun

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Masa bayi dan anak

Gejala dan tanda :


Konstipasi.
Feses bentuk kecil seperti
peluru.
Diare dan muntah
Masa fekal dapat diraba.
Nutrisi tidak adekuat
Anemia
Kegagalan pertumbuhan
Kehilangan jaringan
subkutan.

Msl kolaborasi resti tjd


hipokalemia, hiponatremia,
hipoproteinemia
Msl keperawatan, kekurangan
volume cairan dan elektrolit.
Msl keperawatan, perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan
Msl. Kolaborasi, resti gagal
tumbuh

C.

Diagnosa Keperawatan
1.

Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis


usus dan tidak adanya daya dorong.

2.

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake yang inadekuat.

3.

Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.

4.

Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi


abdomen.

5.

Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status


kesehatan anak.

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

D.

Perencanaan Keperawatan

Diagnosa
Keperawatan
Gangguan
eliminasi
BAB
:
obstipasi
berhubungan
dengan
spastis usus
dan
tidak
adanya daya
dorong.

Perencanaan Keperawatan
Intervensi

Tujuan dan
criteria hasil
Pasien
tidak 1.
Monitor
mengalami
cairan
yang
ganggguan
keluar
dari
eliminasi
kolostomi
dengan kriteria 2.
Pantau
defekasi
jumlah
cairan
normal,
tidak
kolostomi
distensi
abdomen.
3.
Pantau
pengaruh
diet
terhadap
pola
defekasi

Gangguan
nutrisi kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan intake
yang
inadekuat.

Kebutuhan
1.
Berikan
nutrisi terpenuhi
nutrisi parenteral
dengan kriteria
sesuai
dapat
kebutuhan.
mentoleransi
2.
Pantau
diet
sesuai
pemasukan
kebutuhan
makanan selama
secara
perawatan
parenteal atau 3.
Pantau atau
per oral.
timbang
berat
badan.
Kekurangan
Kebutuhan
1.
Monitor
cairan tubuh cairan
tubuh
tanda-tanda
berhubungan
terpenuhi
dehidrasi.
muntah dan dengan kriteria
diare.
tidak
2.
Monitor
mengalami
cairan
yang
dehidrasi, turgor
masuk
dan
kulit normal.
keluar.
3.
Berikan
caiaran
sesuai
kebutuhan
dan
yang
diprograrmkan
Gangguan
rasa nyaman
berhubungan
dengan
adanya
distensi
abdomen.

Kebutuhan rasa 1.
nyaman
terpenuhi
dengan kriteria 2.
tenang,
tidak
menangis, tidak
mengalami
gangguan pola
tidur
3.

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

Rasional

Mengetahui warna dan


konsistensi feses dan
menentukan
rencana
selanjutnya
Jumlah cairan yang
keluar
dapat
dipertimbangkan untuk
penggantian cairan
Untuk mengetahui diet
yang
mempengaruhi
pola
defekasi
terganggu.
Memenuhi kebutuhan
nutrisi dan cairan
Mengetahui
keseimbangan
nutrisi
sesuai kebutuhan 13003400 kalori
Untuk
mengetahui
perubahan berat badan
Mengetahui kondisi dan
menentukan
langkah
selanjutnya
Untuk
mengetahui
keseimbangan
cairan
tubuh
Mencegah
terjadinya
dehidrasi

Kaji terhadap Mengetahui


tingkat
tanda nyeri
nyeri dan menentukan
langkah selanjutnya
Berikan
Upaya dengan distraksi
tindakan
dapat mengurangi rasa
kenyamanan : nyeri
menggendong,
Mengurangi
persepsi
suara
halus, terhadap nyeri yamg
ketenangan
kerjanya pada sistem
Berikan obat saraf pusat
analgesik sesuai
program

Daftar Pustaka
Kuzemko, Jan, 1995, Pemeriksaan Klinis Anak, alih bahasa Petrus Andrianto,
cetakan III, EGC, Jakarta.
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Mansjoer, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Betz, cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. Jakarta : EGC.
Hidayat, Alimul Aziz. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, buku 2. Jakarta :
Salemba Medika
Budi, irawan. 2003. Pengamatan Fungsi Anorektal Pada Penderita Penyakit
Hirschsprung

Pasca

Operasi

Pull-Throug.

(http//library.usu.ac.id/download/bedah-budi irawan.pdf).

Setiyo adi nugroho


Jurusan keperawatan
FKUB

(online).

You might also like