You are on page 1of 20

HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

A. ANATOMI
HIDUNG
Anatomi hidung terbagi menjadi bagian luar dan dalam. Bagian luar hidung dari atas
ke bawah tersusun atas:

Hidung Luar

Pangkal
Hidung
(bridge)

Batang
Hidung
(dorsum
nasi)

Puncak
hidung
(tip)

Ala Nasi

Kolumela

Lubang
Hidung
(nares
anterior)

Gambar Anatomi Hidung bagian luar

Pembentuk hidung bagian luar adalah kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.
Os Nasal

Tulang

Prosesus
Frontalis os
Maksila
Prosesus
Nasalis os
Frontal

Pembentuk
Hidung

Sepasang
Kartilago Nasalis
Lateralis Superior
Tulang Rawan

Sepasang Kartilago
Nasalis Lateralis
Inferior (Kartilago
Alar Mayor)

Tepi Anterior
Kartilago
Septum

Gambar Anatomi Tulang Pembentuk Hidung

Hidung bagian dalam berupa rongga atau terowongan sehingga disebut juga kavum
nasi, yang berjalan daari depan ke belakang. Kavum nasi terdiri dari vestibulum dan
2

septum nasi. Vestibulum adalah bagian dari kavum nasi yang terletak tepat di
belakang nares anterior sesuai dengan ala nasi. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Septum nasi adalah struktur yang terletak di bagian tengah kavum nasi yang
memisahkan kavum nasi menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

Kavum nasi mempunyai 4 dinding: medial, lateral, infeior, dan superior.


a) Dinding medial: septum nasi yang tersusun dari tulang dan tulang rawan.
Tulang :
1. Lamina perpendikularis os etmoid
2. Vomer
3. Krista nasalis os maksila
4. Krista nasalis os palatina
Tulang rawan:
1. Kartilago septum (lamina kuadranangularis)
2. Kolumela

b) Dinding lateral: terdapat 4 buah konka.


1. Konka inferior
Ukuran terbesar dan terletak paling bawah. Merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid.
2. Konka media
3. Konka superior
4. Konka suprema ( biasanya rudimenter )

c) Dinding Inferior: dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum
d) Dinding superior: atap hidung yang sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribiformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid. Tulang ini
berlubang-lubang (kribosa = saringan) sebagai tempat masuknya serabut saraf
olfaktorius.
3

e) Dinding posterior: atap rongga hidung yang dibentuk os sfenoid.

Gambar Dinding Kavum Nasi

Gambar Anatomi Hidung Bagian Dalam

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus: meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dan dasar
hidung dan dinding lateral hidung. Pada meatus inferior terdapat muara muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Meatus medius memiliki muara sinus frontal, sinus
maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.

Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior
oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid. (Ballenger JJ,1994
; Dhingra PL, 2007)

Nares Posterior
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior
bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os
vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus. (Ballenger JJ,1994). Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung
terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus
maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk
piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya
menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ;
Dhingra PL, 2007 ; Hilger PA,1997).

PERDARAHAN HIDUNG
Pendarahan bagian atas rongga hidung: a. Etmoid anterior dan posterior (cabang dari
a. Oftalmika dari a. Karotis interna)

Perdarahan bagian bawah rongga hidung: a. Palatina mayor, a. Sfenopalatina yang


keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dari belakang ujung
posterior konka media (cabang a. Maksilaris interna)

Perdarahan bagian depan hidung: canag-cabang a. Fasialis

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. Etmoid


anterior, a. Sfenopalatina, , a. Labialis superior, dan a. Palatina mayor yang disebut
Pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach terletak superfisial dan
mudah cedera karena trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Gambar Vaskularisasi Hidung

PERSARAFAN HIDUNG
Persarafan bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persafaran sensoris dari n.
Etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris yang berasal dari n.
Oftalmikus (N. V1)

Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. Maksila
melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina memberikan juga persarafan
vasomotor (otonom) untuk mukosa hidung. Terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media.
6

Fungsi penghidu berasal dari n. Olfaktorius. Saraf ini turu melalui lamina kribrosa
dari permukaan bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor olfaktorius pada
mukosa penghidu di daerah sepertiga atas hidung.

MUKOSA HIDUNG
Rongga hidung dilapisi mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia bersel goblet. Mukosa penghidu
terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa
dilapisi epitel torak berlapis semu tak bersilia. Epitelnya terdiri dari 3 macam sel yaitu
sel penunjang, sel basal, dan sel reseptor penghidu.

Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika
propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid.

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan khas. Arteriol terletak pada
bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara pararel dan
longitudinal. Arteriol memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler
dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid
vena yang besar yang dindingnya dilapisi jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian
ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darhnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.

Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupa jaringan kavernosa yang erektil
yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh
darah ini dipengaruhi oleh sarah otonom.

KOMPLEKS OSTEO-MEATAL
Pada 1/3 tengah dinding lateral hidung yaitu meatus medius, ada muara-muara saluran
dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior, daerah ini rumit dan
sempit disebut KOM. Terdiri dari:
7

1. Infundibulum etmoid
2. Resesus frontalis
3. Bula etmoid
4. Sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya
5. Ostium maksila
KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari
sinus-sinus yang letaknya anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.

Gambar Kompleks Ostiomeatal

SINUS PARANASAL
EMBRIOLOGI SINUS PARANASAL
Sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya
dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah terbentuk saat lahir, kemudian sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal
pada usia antara 15 -18 tahun.

Sebelum Lahir
Fetus 3-4 bulan

Saat Lahir

Setelah Lahir
8-10 tahun

15 18 tahun
8

Invaginasi
mukosa rongga sinus maksila & sinus
hidung sinus sinus

etmoid postero-superior

etmoid anterior sinus rongga

maksila & sinus terbentuk

frontal

Semua

sinus

hidung mencapai besar

sinus sfenoid

maksimal

etmoid

ANATOMI SINUS PARANASAL


Sinus : rongga atau kanal
Para : [Yun. melampaui] awalan yang berarti di samping, di sebelah atas, sebagai
tambahan pada
Nasal : hidung
Sinus Paranasal : rongga yang ada di sekitar hidung
Ada 4 pasang sinus paranasal yang ukuran dan bentuknya bervariasi, mulai dari yang
terbesar adalah sebagai berikut:
a. Sinus Maksila
b. Sinus Frontal
c. Sinus Etmoid
d. Sinus Sfenoid

Gambar Letak Sinus dari depan dan samping

Gambar Letak Sinus dari samping

10

Sinus paranasal adalah rongga tertutup dalam tulang frontal, maksila, etmoid, dan
sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil dari pneumatisasi (pembentukan ronggarongga kecil sel atau rongga dalam jaringan) tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai ostium ke dalam rongga hidung.

Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel torak berlapis bersilia bersel goblet. Lamina
proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan periosteum di
bawahnya. Mukus-mukus yang dihasilkan di dalam rongga ini terdorong ke dalam
hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel bersilia.

1) SINUS MAKSILA
Bentuk: piramid
Ukuran: Merupakan sinus yang terbesar. Saat lahir bervolume 6 8 ml, kemudian
berkembang mencapai ukuran maksimal 15 ml saat dewasa.
Batas:
-

Dinding anterior : permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina

Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila

Dinding medial : dinding lateral rongga hidung

Dinding superior : dasar orbita

Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum

Ostium: sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid
Segi klinik:
-

Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1, M2), kadang juga gigi taring (C) dan molar
M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis

Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi ke orbita

Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase
hanya tergantung gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid

11

anterior dan jika terjadi pembengkakan di sini dapat menghalangi drenase


sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis

2) SINUS FRONTAL
Letak: di os frontal
Bentuk: sinus frontal kanan dan kiri tidak simetris dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai 1
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukuran:

Tinggi : 2,8 cm

Lebar : 2,4 cm

Dalam : 2 cm

Ostium:
Ostiumnya terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid
Segi klinik:
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini

3) SINUS ETMOID
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat menjadi fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya
Letak: di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita.
Bentuk: piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Di dalamnya beronggarongga seperti sarang tawon.
Ukuran:

Anterior posterior : 4-5 cm

Tinggi : 2,4 cm

Lebarnya : 0,5 cm di anterior dan 1,5 cm di posterior

Dibagi jadi 2 berdasar letak:


12

Sinus etmoid anterior

Letaknya di depan lamina basalis

Bermuara ke meatus medius

Sel-selnya kecil dan banyak

Sinus etmoid posterior

Letaknya di depan lamina basalis

Bermuara di meatus superior

Sel-selnya lebih besar dan sedikit

Batas:

Atap (fovea etmoidalis) : lamina kribrosa

Dinding Lateral : lamina papirasea yang sangat tipis yang membatasi sinus
etmoid dengan rongga orbita

Bagian belakang sinus etmoid posterior : sinus sfenoid

Segi klinik:
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit disebut resesus frontal
yang berhubungan dengan sinus frontal dan terdapat juga suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus maksila. Pembekakan atau
peradangan di resesus frontal sinusitis frontal, di infundibulum sinusitis
maksila.
4) SINUS SFENOID
Letak: di dalam os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior
Bentuk: dibagi 2 oleh sekat yang disebut septum intersfenoid
Ukuran:

Lebar : 1,7 cm

Tinggi : 2 cm

Dalam : 2,3 cm

Volume : 5 -7,5 ml

Batas:

Superior : fosa serebri media dan kelenjar hipofisa

Inferior : atap nasofaring

13

Lateral : sinus kavernosus dan a. Karotis interna

Posterior : fosa serebri posterior di daerah pons

SISTEM MUKOSILIAR
Di dalam sinus terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus,
silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya
mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus:
a. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior akan bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara Tuba Eustachie
b. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip) tetapi
belum tentu ada sekret di rongga hidung.

Gambar arah drainase sinus

14

B. FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fugsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah:
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal
2) Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius
3) Fungsi fonetik untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas
5) Refleks nasal

FISIOLOGI HIDUNG
1) Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu uadara
yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37C. Fungsi pengatur suhu
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup berama udara akan disaring di
hidung oleh:
a) Rambut (vibrissae) di vestibulum nasi
b) Silia
c) Palut lendir

2) Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pata
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau

15

dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.

3) Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketikas berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilan
sehingga terdengar sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun
untuk aliran udara.

4) Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

FISIOLOGI SINUS PARANASAL


Sampai saat ini, belum ada kesepakatan pasti mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada
yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak memiliki fungsi apa-apa sebab
terbentuknya adalah sebagai akibat pertumbuhan tulang muka saja. Namun ada
beberapa teori yang menyatakan bahwa fungsi sinus paranasal adalah seperti berikut:
a. SEBAGAI PENGATUR KONDISI UDARA
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi.
Kelemahan teori:
1. Tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus & rongga hidung
2. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernapas sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus
3. Mukosa sinus tidak memiliki vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak
mukosa hidung

16

b.

SEBAGAI PENAHAN SUHU (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita, dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
Kelemahan teori:
Sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang
dilindungi

c. MEMBANTU KESEIMBANGAN KEPALA


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Kelemahan teori:
Sebenarnya sekalipun udara di dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan besar sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna

d. MEMBANTU RESONANSI SUARA


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara.
Kelemahan teori:
Ada pendapat, bahwa posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
sebagai resonator yang efektif
Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewanhewan tingkat rendah
e.

PEREDAM PERUBAHAN TEKANAN UDARA

Fungsi ini berjalan jika ada perubahan yang besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus

f.

MEMBANTU PRODUKSI MUKUS

Mukus yang dihasilkan sinus memang jumlahnya kecil dibanding mukus dari rongga
hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara
inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus meditus, tempat yang paling stategis

C. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan hidung dan sinus paranasal:
17

1. Inspeksi dari luar


2. Palpasi
3. Rinoskopi anterior
4. Rinoskopi posterior
5. Transiluminasi (untuk sinus paranasal)
6. Pemeriksaan radiologis
7. Sinoskopi
8. Uji Aliran Udara melalui hidung

HIDUNG
Pemeriksaan hidung dilakukan dimulai dari inspeksi bagian luar, dinilai:
1. apakah ada deviasi atau depresi tulang
2. apakah ada pembengkakan daerah hidung
Palpasi hidung, dinilai:
1. apakah ada krepitasi tulang hidung
2. apakah ada nyeri tekan pada peradangan hidung
Rinoskopi anterior: menggunakan spekulum hidung. Spekulum dimasukkan ke dalam
lubang hidung melalui nares anterior, dibuka setelah spekulum berada di dalam
hidung dan waktu mengeluarkan tidak ditutup di dalam untuk menghindari terjepitnya
bulu hidung. Pada keadaan edema mukosa perlu menggunakan kapas adrenalin
pantokain beberapa menit untuk mengurangi edema mukosa
dinilai:
1. vestibulum hidung
2. septum terutama bagian anterior
3. konka (inferior, media, superior)
4. meatus sinus paranasal
5. keadaan mukosa hidung
Rinoskopi posterior: menggunakan spatula lidah dan kaca nasofaringyang telah
dihangatkan untuk mencegah udara pernapasan mengembun pada kaca, dinilai:
1. bagian belakang septum
18

2. bagian belakang koana


3. konka (inferior dan media)
4. meatus (superior dan media)
5. torus tubarius
6. muara tuba Eustachius
7. fosa Rossenmuler

SINUS PARANASAL
Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan:
1.

Inspeksi
Yang diperhatikan dalam inspeksi adalah: pembengkakan pada muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan
mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata
atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid akut jarang
menyebabkan pembengkakan di luar kecuali bila telah terbentuk abses.

2.

Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis
maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal yaitu
pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di
daerah kantus medius.

3.

Transiluminasi
Manfaat transiluminasi terbatas sifatnya, hanya dapat dipakai untuk memeriksa
sinus maksila dan sinus frontal bila pemeriksaan radiologis tidak tersedia. Pada
hasil pemeriksaan tampak gelap di infraorbita dapat berarti antrum terisi pus atau
mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma. Pada hasil pemeriksaan tampak
terang jika terdapat kista pada sinus maksila.

4.

Pemeriksaan radiologik
Posisi untuk pemeriksaan sinusitis biasanya posisi Waters, PA dan lateral. Posisi
Waters terutama untuk melihat kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid.
Posisi anteroposetrior untukmenilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontal, sfenoid dan etmoid.

5. Sinoskopi

19

Adalah pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop yang


dimasukan melalui lubang hidung yang dibuat di meatus inferior atau fosa kanina.
Dapat dinilai sekret, polip, jaringan granulasi, masa tumor atau kista, keadaan
mukosa dan ostium.

20

You might also like