You are on page 1of 24

REFERAT

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


Oleh
M. Rezha Remontito, S.Ked
Inez Saraswati, S.Ked
Siti Soraya M, S.Ked
Resti Luthvia A, S.Ked

09180110
1018011066
0918011021
1018011126

Pembimbing
dr. Cecep Sulaiman Iskandar, Sp. PD

SMF PENYAKIT DALAM RSUD JENDRAL A. YANI METRO


KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Rasa nyeri di dada adalah perasaan sakit terasa sesak di dada yang
merupakan salah satu gejala dari penyakit yang dalam waktu singkat dapat
mengakibatkan kematian seperti jantung, paru-paru dan abdomen.
Persarafan dari rasa nyeri di dada dipengaruhi oleh saraf intercostales (T1T12), nervus intercostales, nervus parasympathicus. Nervus intercostales
merupakan saraf sensorik dan motorik yang mengusai otot-otot dada dan perut.
Rasa nyeri pada organ-organ dalam juga dipengaruhi oleh system saraf
otonomnya seperti rasa nyeri di jantung (dipengaruhi Th1-Th4), nyeri perut dan
nyeri yang ditimbulkan dari paru-paru.
Penyebab Nyeri Dada
1.

Jantung
a. Miokardium(iskemia, infark, miokarditis)
b. Perikardium(perikarditis)
c. Katup(prolaps katup mitral,insufiensi aorta/stenosis)
2.
Struktur Intratoraks yang Lain
a. Saluran bronkopulmonal dan pleura (pneumonia, pleuritis, tumor
pneumothoraks)
b. Esofagus (refluks esofagitis, hiatus hernia, tumor,spasme)
c. Aorta (Aneurisma)
d. Mediastinum (emfisema, tumor atau infeksi nodus limfatikus dan
struktur mediastinum yang lain)
e. Diafragma (tumor, radang)
3.
Jaringan Leher dan Dinding Dada
a. Kulit dan Kelenjar mammae (herpes zooster, mastitis)
b. Otot (mialgia intercostal)
c. Medula spinalis dan serabut saraf (radang dan lesi kompresi)
d. Tulang (trauma, neoplasma, artritis)
4.
Struktur Abdomen
a. Lambung dan duodenum (ulkus danneoplasma lambung)
b. Hepar dan saluran empedu (kolesititis)
c. Pankreas (pankreatitis)
d. Peritonium
e. Limpa
f. Ginjal
g. Usus Besar
2

Penyakit Refluks Gastroesofagus/ Gastro esophageal reflux (GERD)


didefinisikan sebagai gejala atau kerusakan mukosa esofagus akibat masuknya isi
lambung ke esofagus. Hal ini biasanya disebabkan oleh perubahan sementara atau
permanen pada barrier antara esofagus dan perut. Perubahan pada barrier ini dapat
disebabkan karena tidak berfungsinya lower esophageal sphincter (LES), efek
iritan dari refluxate, klirens esofagus yang abnormal, hiatal hernia dan penundaan
pengosongan lambung.
Perhatian terhadap Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dewasa ini
terus meningkat sebagai salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang sering
ditemukan. Di negara barat sekitar 7% dari populasi mengalami heart burn setiap
hari dan sekitar 50% mengalami masalah ini sekali dalam sebulan. Insidensi
terjadinya GERD, terutama di Indonesia meningkat dengan berubahnya gaya
hidup dan juga persepsi dokter dalam memahami manifestasi klinis GERD dan
juga adanya perkembangan dalam fasilitas untuk mendiagnosa seprti endoskopi.
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki insidensi yang sangat tinggi
dalam terjadinya GERD

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3

2.1 DEFINISI
Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and
classification of gastroesophageal reflux disease : a global evidence-based
consensus), penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease /
GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang
mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau
komplikasi (Vakil dkk, 2006). Komplikasi yang berat yang dapat timbul adalah
Barrets esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus (Vakil dkk,
2006), (Makmun, 2009).
GERD terdiri dari dua tipe, yakni : NERD ( Non-erosive Reflux disease )
dan ERD ( Erosive Reflux Disease )6

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah
dibandingkan dengan di negara-negara Barat (1 dari 5 orang dewasa mengalami
gejala sekali dalam seminggu serta 40% gejala tersebut sekali dalam sebulan).
Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan
menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di
Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%;
Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki
menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga
mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di
Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (20002001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh
dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo melaporkan bahwa terjadi peningkatan
prevalensi GERD dari 5,7 % pada tahun 1997 menjadi 25,18 % pada tahun 2002
dan didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang
menjalani endoskopi atas dasar dispepsia.3

Gambar 2.1. Prevalensi GERD pada Studi berbasis Populasi di Asia.

2.3 ETIOLOGI
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan
fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan
esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower
Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus,
resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum,
baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan
cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung
merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak
asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan
kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang
peranan penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6
mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks
bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan
inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran
sfingter yang terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan
bahwa radang kardia oleh infeksi kuman Helicobacter pylori
mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat keadaan.Faktor
hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.5
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam
mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan
bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari
asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2

tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu


menelan dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang
alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang
dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih
tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke
lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi
pada malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi
tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses menelan boleh
dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak
berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya
kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan tersebut.5
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan
refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa
jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah
keluhan pada pasien GERD.5
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan
dari pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor
penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi
refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah
kemungkinan refluks tadi.5
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila1:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun
waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.
2.4 ANATOMI SISTEM PENCERNAAN
Pada kedua ujung esophagus terdapat otot sfingter, sfingter esophagus
bagian atas (Upper Esophageal Sphincter/UES) pada otot cricopharingeus dan
sfingter esophagus bagian bawah (Lower Esophageal Sphincter/LES) pada
gastroesophageal junction (GEJ). Dalam keadaan normal berada dalam keadaan
tonik atau kontraksi kecuali waktu menelan. Sfingter esophagus bagian bawah
bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke esophagus.11

Dinding esophagus seperti juga bagian lain dari saluran cerna, terdiri dari
4 lapisan yaitu : mukosa, submokasa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa
terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring, epitel
ini mengalami perubahan mendadak pada berbatasan esophagus lambung (garis
Z) dan menjadi epitel selapis toraks. Mukosa esophagus dalam keadaan normal
bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam. Lapisan
submukosa mengandung sel-sel sekretori yang menghasilkan mucus. Mukus
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melinduni mukosa dari
cedera akibat zat kimia.12
Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular.
Otot pada 5% bagian atas esophagus merupakan otot rangka sedangkan otot
pada separuh bagian bawah merupakan otot polos. Bagian yang diantaranya itu
terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda dengan saluran cerna
lainnya, bagian luar esophagus tidak memiliki lapisan serosa maupun selaput
peritoneum, melainkan lapisan luar yang terdiri dari lapisan ikat jarang yang
menghubungkan esophagus dengan struktur-struktur yang berdekatan.12
Persarafan esophagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis dari
sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus vagus yang
dianggap merupakan saraf motorik esophagus. Fungsi serabut simpatis kurang
diketahui. Selain persarafan ekstrinsik tersebut terdapat jala-jala serabut saraf
intramural intrinsic diantara lapisan otot sirkular dan otot longitudinal (pleksus
Aurbach atau Myenterikus) dan berperan untuk mengatur peristaltik esophagus
normal.12
Distribusi darah esophagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai
oleh cabang-cabang arteri tiroidea inferior dan subclavia. Bagian tengah disuplai
oleh cabang-cabang segmental aorta dan arteri bronchial. Sedangkan bagian
subdiafragma disuplai oleh arteri gastrika sinistra dan frenika inferior. Aliran
darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena-vena esophagus daerah leher
mengalirkan darah ke vena azygous dan hemiazygous dan dibawah diafragma,
vena esofagia masuk ke dalam vena gasrika sinistra.12

Gambar 2.2 anatomi esofagus

Gambar 2.3 histologi esofagus

2.5 FISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN


Transpor dan pencampuran makanan dalam saluran pencernaan melalui
beberapa proses antaralain :
a. Mengunyah
Mengunyah makanan bersifat penting untuk pencernaan semua makanan.
Mengunyah akan membantu pencernaan makanan karena enzim-enzim
pencernaan hanya akan bekerja pada permukaan partikel makanan. Selain itu,
menggiling makanan hingga menjadi partikel-partikel dengan konsistensi sangat
halus akan mencegah ekskoriasi traktus gastrointestinal dan meningkatkan

kemudahan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus halus dan


kemudian ke semua segmen usus berikutnya.7
b. Menelan
Pada umumnya, menelan dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter, yang
mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal, yang bersifat involunter dan
membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus, dan (3) tahap
esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan dari faring
ke lambung.13
- Tahap esofageal dari penelanan.
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan dari faring ke
lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut.
Normalnya esofagus memperlihatkan dua tipe peristaltik : peristaltik primer
dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari
gelombang peristaltik yang dimulai di faring dan menyebar ke esofagus
selama tahap faringeal dari penelanan.13 Gelombang ini berjalan dari faring ke
lambung dalam waktu sekitar 8 sampai 10 detik. Makanan yang ditelan
seseorang dalam posisi tegak biasanya dihantarkan ke ujung bawah esofagus
bahkan lebih cepat dari gelombang peristaltik itu sendiri, sekitar 5-8 detik,
akibat adanya efek gravitasi tambahan yang menarik makanan ke bawah. Jika
gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan yang telah
masuk esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder
yang dihasilkan dari peregangan esofagus oleh makanan yang tertahan, dan
terus berlanjut sampai semua makanan dikosongkan ke dalam lambung.
Gelombang sekunder ini sebagian dimulai oleh sirkuit saraf mienterikus
esofagus dan sebagian oleh refleks-refleks yang dihantarkan melalui seratserat aferen vagus dari esofagus ke medula dan kemudian kembali lagi ke
esofagus melalui serat-serat eferen vagus. 13
Susunan otot faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah otot lurik.
Karena itu, gelombang peristaltik di daerah ini hanya diatur oleh impuls saraf
rangka dalam saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada duapertiga bagian
bawah esofagus, ototnya merupakan otot polos, namun bagian esofagus ini
juga secara kuat diatur oleh saraf vagus yang bekerja melalui hubungannya
dengan sistem saraf mienterikus. Sewaktu saraf vagus yang menuju esofagus
terpotong, setelah beberapa hari pleksus saraf mienterikus esofagus menjadi
cukup terangsang untuk menimbulkan gelombang peristaltik sekunder yang
kuat bahkan tanpa bantuan dari refleks vagal. Karena itu, sesudah paralisis
refleks penelanan, makanan yang didorong dengan cara lain ke dalam
esofagus bagian bawah tetap siap untuk masuk ke dalam lambung.13
Relaksasi reseptif dari lambung. Sewaktu gelombang peristaltik esofagus
berjalan ke arah lambung, timbul suatu gelombang relaksasi, yang
9

dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus, mendahului peristaltik.


Selanjutnya, seluruh lambung dan sedikit lebih luas bahkan duodenum
menjadi terelaksasi swaktu gelombang ini mencapai bagian akhir esofagus
dan dengan demikian mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan
yang didorong ke bawah esofagus selama proses menelan.13
-

Fungsi sfingter esofagus bagian bawah ( sfingter gastroesofageal)


Pada ujung bawah esofagus,meluas dari sekitar dua sampai lima
sentimeter diatas perbatasan dengan lambung, otot sirkular esofagus berfungsi
sebagai sfingter esofagus bagian bawah atau sfingter gastroesofageal. Secara
anatomis,sfingter ini tidak berbeda dengan bagian esofagus yang lain. Secara
fisiologis normalnya sfingter tetap berkonstriksi secara tonik (dengan tekanan
intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30 mmHg), berbeda dengan
bagian tengah esofagus antara sfingter bagian atas dan bagian bawah, yang
normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltik penelanan
melewati esofagus, relaksasi reseptif akan merelaksasi sfingter esofagus
bagian bawah medahului gelombang peristaltik dan mempermudah dorongan
makanan yang ditelan ke dalam lambung. Sangat jarang, sfingter tidak
berelaksasi dengan baik, mengakibatkan keadaan yang disebut akalasia.13
Isi lambung bersifat sangat asam dan mengandung banyak enzim
proteolitik. Mukosa esofagus, kecuali pada seperdelapan bagian bawah
esofagus, tidak mampu menahan kerja pencernaan yang lama dari sekresi
getah lambung. Konstriksi tonik dari sfingter esofageal bagian bawah akan
membantu untuk mencegah refluks yang bermakna dari isi lambung ke dalam
esofagus kecuali pada keadaan abnormal.13

Pencegahan tambahan terhadap refluks dengan penutupan seperti katup di


ujung distal esofagus. Faktor lain yang mencegah refluks adalah mekanisme
seperti katup pada bagian esofagus yang pendek yang terletak tepat di bawah
diafragma sebelum mencapai lambung. Peningkatan tekanan intraabdominal akan
mendesak esofagus pada titik ini ke dalam pada saat yang bersamaan ketika
tekanan ini meningkatkan tekanan intragastrik. Jadi, penutupan seperti katup ini,
pada esofagus bagian bawah akan mencegah tekanan abdominal yang tinggi yang
berasal dari desakan isi lambung ke dalam esofagus. Kalau tidak, setiap kali kita
berjalan, batuk atau bernafas kuat, kita mungkin mengeluarkan asam ke dalam
esofagus.

2.6 PATOGENESIS
Esofagus dan Gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada
10

individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya
aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrogard yang terjadi
pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui
LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg)1
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:1
1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES (Lower esophageal sphincter) yang
tidak adekuat
2. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
3. Meningkatnya tekanan intra abdomen
Terjadinya aliran balik/ refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh
gangguan motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah . Pada bagian ujung
ini terdapat otot pengatur ( sfingter ) disebut LES , yang fungsinya mengatur arah
aliran pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah dari atas kebawah menuju usus
besar. Pada GERD akan terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan
kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan/ asam
lambung, dari bawah keatas ataupun sebaliknya. 5

11

Gambar 2.4 Patogenesis Terjadinya GERD


Faktor faktor yang mempengaruhi LES 5 :
Hormon

Menaikkan tekanan
Gastrin

Menurunkan tekanan
Secretin

Motilin

Colesistokinin
Somastotatin
Glukagon
Polipeptida
Progesteron
Lemak

Substance P

Makanan

Protein

Coklat
Lain-lain

Histamin

Pepermint
Kafein

Antasida

Rokok

Meticlopramid

Kehamilan

Domperidone

Prostaglandin

Cisapride

Morpin

2.7 MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri / rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah, rasa nyeri biasanya dideskripsikan
sebagai rasa terbakar (heart burn), bercampur dengan gejala disfagia, mual atau
regurgitasi dan rasa pahit di lidah.1
Heart burn kadang-kadang dijumpai pada orang sehat, namun bila terjadi
berulang-ulang, hal ini mempunyai nilai ramal diagnostik 60%. Yang dimaksud
dengan heart burn adalah rasa panas/ membakar yang dirasakan di daerah
12

epigastrium dan bergerak naik ke daerah retrosternal sampai ke tenggorok.


Keluhan ini terutama timbul malam hari pada waktu berbaring atau setelah
makan. Keluhan bertambah pada waktu membungkuk, atau setelah minum
minuman beralkohol. Sebaliknya antasida dapat mengurangi rasa sakit tadi.
Rasa tidak enak pada retrosternal ini mirip dengan keluhan pada serangan
angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi
karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barretts esophagus .
Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi
ulserasi esofagus yang berat.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang
atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (Non Cardiac
Chestpain), suara serak (hoarseness) , mulut terasa asam , laringitis, batuk karena
aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma. Gejala GERD biasanya
berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang
bersifat mengancam nyawa.

Gambar 2.5 manifestasi GERD


GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena
gejala-gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur,

13

penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas


sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup
yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan
pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis
kronik.

2.8 DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

Endoskopi saluran cerna bagian atas


Merupakan standart baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya
mucosal break di esofagus, jika tidak ditemukan keadaan ini disebut sebagai
non erosive refluks disease (NERD). Pada kebanyakan kasus hasil
pemeriksaan ini normal, atau bisa tampak esofagitis / eppitellium barret, yang
merupakan suatu keadaan praganas dan predisposisi adenokarsinoma di
sepertiga bawah esofagus. Biopsi diperlukan untuk memastikan diagnosis,
menyingkirkan etiologi radang lainnya seperti kandidiasis atau virus (herper
simpleks, Cytomegalo virus), selanjutnya endoskopi menetapkan tempat asal
perdarahan, striktur dan berguna pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopik)1
Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles1

Derajat
Kerusakan

Gambaran Endoskopi

Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 mm

Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa


saling berhubungan

Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh


lumen

Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi


seluruh lumen esofagus)

Pemeriksaan radiologi

14

Pada pemeriksaan ini diberikan kontras barium, diamati secara fluoroskopi


jalannya barium dalam esofagus, peristaltik terutama bagian distal, bila
ditemukan refluks barium dari lambung kembali ke esofagus maka hal itu
dinyatakan sebagai GERD. Sering tidak menunjukkan kelainan pada kasus
esofagitis ringan. Namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai
nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada :
1. Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala
disfagia
2. Hiatus hernia1

Pemantauan PH 24 jam
Pengukuran PH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. PH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES
dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. 1

Tes Provokatif
- Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transanal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCL 0,1 M
dalam waktu kurang dari 1 jam. Bila larutan ini menimbulkan nyeri dada
seperti yang biasa dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. 1
- Tes farmakologik/edrofonium
Menggunakan obat edrophorium yang disuntikkan IV untuk menentukan
adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak
peristaltik esofagus secara manometri untuk memastikan nyeri dada berasal
dari esofagus.1

Manometri esofagus
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata.1

American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah


mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang
ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk, 2007)
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi
empiris (termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat.
Endoskopi saat pasien masuk dilakukan jika pasien menunjukkan
gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk Barrets esophagus, atau
15

pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence


: IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi
dugaan Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD.
Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan
untuk mengevaluasi displasia. (Level of Evidence : III)
c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu
untuk konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala
menetap (baik khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan
mukosa; juga dapat digunakan untuk memantau pengendalian refluks
pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of
Evidence : III)
d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi
penempatan probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum
dilakukannya pembedahan anti refluks. (Level of Evidence : III)

2.9 PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan
terapi endoskopik. Tujuan terapi GERD adalah menghilangkan gejala,
menyembuhkan esofagitis (jika terjadi) dan untuk mencegah terjadinya
komplikasi.1
Sasaran terapinya adalah asam lambung, lapisan mukosa lambung. Strategi
terapinya dengan menurunkan sekresi asam di lambung, mengurangi keasaman
pada lambung, melapisi mukosa lambung, menaikkan pH dan mengurangi
terjadinya reflux, mempercepat pengosongan lambung, memperkuat LES, faktor
barier antirefluks terpenting.
Terapi untuk GERD dapat dibedakan menjadi terapi tanpa nonfarmakologi
atau modifikasi gaya hidup, terapi farmakologis atau medikamentosa, terapi
bedah,terapi endoskopik.
Berikut ini merupakan terapi non farmakologi :
Modifikasi Gaya Hidup
o Mengurangi berat badan pada pasien yang kegemukan

16

o menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra


abdomen.
o Meninggikan posisi kepala saat tidur
o menghindari makan sebelum tidur, dengan tujuan untuk meningkatkan
bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung
ke esofagus.
o Berhenti merokok dan konsumsi alkohol, karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi selsel epitel.
o Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di
makan, karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung.
o Menghindari makanan seperti coklat, pepermint, teh, kopi, dan
minuman bersoda, karena dapat menstimulasi sekresi asam.
o Menghindari konsumsi obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES
seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium,
agonis beta adrenergik, progesteron.1
Berikut ini merupakan terapi medikamentosa :

Gambar 2.6 Alur pengobatan pasien diduga GERD


Tatalaksana GERD dengan 2 pendekatan yaitu step up dan step down,
1. Metode step up menggunakan obat yang tergolong kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan
prokinetik, bila gagal diberikan golongan obat penekan sekresi asam
17

yang lebih kuat dengan terapi lebih lama (penghambat pompa proton/
PPI ).
2. Metode step down pengobatan dimulai dengan PPI dan apabila
berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antasid.

Gambar 2.7 Strategi pengobatan GERD


Berikut ini adalah obat yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa :

Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman, dapat memperkuat tekanan
sfingter esofagus bagian bawah tapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis

Antagonis reseptor H2
Sebagai penekan sekresi asam, golongan ini efektif dalam pengobatan
GERD jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus,
golongan ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi.
(1) Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
(2) Ranitidin : 4 x 150 mg
(3) Famotidin : 2 x 20 mg
(4) Nizatidin : 2 x 150 mg

Obat-obat prokinetik :
(1) Metoklopramid : 3 x 10 mg
(2) Domperidon : 3 x 10-20 mg
(3) Cisapride : 3 x 10 mg

Sukralfat ( aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat )


Obat ini tidak punya efek langsung terhadap asam lambung, obat ini
bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai
buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu, cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
18

Dosis 4x1 gram.

Penghambat pompa proton / PPI


Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD, obat ini
bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi
enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung.
- Omeprazole : 2 x 20 mg.
- Lansoprazole : 2 x 30 mg.
- Pantoprazole : 2 x 40 mg.
- Rabeprazole : 2 x 10 mg.
- Esomeprazole : 2 x 40 mg.
Table 2 : Efektifitas terapi obat-obatan

Golongan obat
Antasid
Prokinetik
Antagonis
reseptor H2
Antagois
reseptor H2 +
prokinetik
Antagonis
reseptor H2
dosis tinggi
Penghambat
pompa proton
Pembedahan

Mengurangi
gejala
+1
+2
+2

Penyembuhan
lesi esofafitis
0
+1
+2

Mencegah
komplikasi
0
0
+1

Mencegah
kekambuhan
0
+1
+1

+3

+3

+1

+1

+3

+3

+2

+2

+4

+4

+3

+4

+4

+4

+3

+4

Berikut ini merupakan terapi bedah:

Pembedahan antirefluks, yaitu fundus lambung dibungkus mengelilingi


esofagus (fundoplikasi), meningkatkan tekanan sfingter bagian bawah dan
sebaiknya dipertimbangkan pada kasus resisten dan kasus refluks esofagitis
dengan komplikasi yang tidak secara penuh responsif terhadap terapi medis atau
pada pasien dengan terapi medis jangka panjang yang tidak menguntungkan dan
gagal. Juga diindikasikan apabila terjadi striktur yang berulang.

19

Gambar 5: nissen fundoplication


Berikut ini merupakan terapi endoskopi :
-

Penggunaan energi radiofrekwensi

Plikasi gastrik endoluminal

Implantasi endoskopik, yaitu dengan menyuntikkan zat implan di


bawah mukosa esofagus bagian distal, sehingga lumen esofagus
bagian menjadi lebih kecil

Indikasi terapi endoskopi pada GERD


Penderita GERD yang tidak memerlukan terapi pembedahan yang
mengalami keadaan :
-

Peristaltik yang buruk dengan refluks yang banyak

Pasien muda yang gagal dengan terapi medikamentosa

Volume refluxate

2.10 KOMPLIKASI GERD


Komplikasi yang sering ditumbulkan pada GERD, antara lain :
a. Esofagitis dan sekuelenya antaralain striktur, Barret Esofagus,
adenocarcinoma. Esofagitis yang berkepanjangan dan parah dapat
menyebabkan pembentukan striktur, yang biasanya berlokasi di distal
esophagus, yang menghasilkan disfagia, dan membutuhkan dilatasi
esophagus yang berulang dan fundoplikasi. Esofagitis yang berlangsung
lama juga bisa menyebabkan perubahan metaplasia dari epitelskuamosa

20

yang disebut dengan Barret Esofagus, yaitu suatu precursor untuk


terjadinya adenocarsinoma esophagus.
b. Extra esophagus, GERD dapat menimbulkan gejala pernapasan dengan
kontak langsung terhadap refluks dari isi lambung dengan saluran
pernapasan (aspirasi atau mikro aspirasi). Seringnya, terjadi interaksi
antara GERD dan penyakit primer saluran pernapasan, dan terciptalah
lingkaran setan yang semakin memperburuk kedua kondisi tersebut. Terapi
untuk GERD harus lebih intens (biasanya melibatkan PPI) dan lama (biasanya 3
sampai 6 bulan)

2.11 PROGNOSIS10
Prognosis GERD sangat baik, sekitar 80-90% yang terkena dapat sembuh
dengan bantuan terapi farmakologi, tetapi tidak terlalu jelas berapa lama untuk
sembuh.

21

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Gastroesofageal reflux (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi
disfungsisfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan
regurgitasi isilambung ke dalam esofagus.
2. Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah gejala-gejala atau
kerusakan jaringan yang terjadi sekunder akibat refluks isi lambung
3. Diagnosis ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada pemeriksaan fisik tidak banyak yang khas. Namun
terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu
menegakkan diagnosis.
4. Pilihan terapi GERD termasuk perubahan gaya hidup, terapi farmakologi
dan operasi antirefluks.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati
S, editor, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h.
1803;2007
2. Gleadle Jonathan, Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik, Penerbit
Erlangga. 2007
3. Waleleng BJ, Simadibrata MK, Syam AF, The Pathophysiology of
Gastro-esofageal reflux disease Diunduh dari : www.ina-ghic.or.id
pada tanggal 15- Oktober- 2013
4. Peter J Kahrilas MD, Gastroesofageal Reflux Disease Diunduh
dari :www.NEJM.com pada tanggal 15-Oktober-2013
5. Hadi, Sujono, Gastroenterologi, ed VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
h 113;2002
6. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009
7. P Gorecki, M.D. Definition, Epidemiologi, and pathogenesis GERD,
Diunduh dari www.ncbi.nlm.nih.gov pada tanggal 16-Oktober-2013
8. Diunduh dari http://www.direct-healthcare.com pada tanggal 17Oktober-2013
9. http://www.webgerd.com/SurgeryEndoscopy.htm diunduh pada
tanggal 16 Oktober 2013
10. http://www.medindia.net/patients/patientinfo/gerd-treatment.htm
diunduh pada tanggal 25 agustus 2009
11. Wilson LM, Lindseth GN. Gangguan esofagus. Dalam: Price
SA,Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta : EGC ; 2006. h. 404-16.
12. Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The
Esophagus. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson
Textbook of pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia : Sounders ; 2004.
h.1217-27.
13. Guyton and Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC; 2000. hal 1050-2

23

24

You might also like