You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan masalah
kesehatan global. Data prevalensi, morbiditas dan mortalitas berbeda setiap
negara namun secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan
pada beberapa negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu dan bahanbahan biomasa lain. Prevalensi PPOK cenderung meningkat. Menurut the Latin
American Project for the Investigation of Obstructive Lung Dsease (PLATINO)
prevalensi PPOK stadium I dan yang lebih parah pada umur > 60 tahun antara
18,4%-32,1%. Di 12 negara Asia Pasifik prevalensi PPOK stadium sedang-berat
pada umur > 30 tahun 6,3%. Penyakit paru obstruktif kronik ke 4 di Amerika
Serikat. Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke 6 pada tahun 1990 dan
akan meningkat menjadi penyebab ke 3 pada tahun 2020 di seluruh dunia.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit sistemik. Banyak
bukti

yang

menunjukkan

PPOK

ada

hubungan

dengan

manifestasi

ekstrapulmonal (efek sistemik) terutama pada pasien dengan penyakit berat.


Weight loss sudah lama dikenal dalam perjalanan klinik penyakit PPOK. Pada
tahun 1960 an beberapa studi melaporkan bahwa berat badan (BB) rendah dan
penurunan berat badan merupakan faktor prediktif negatif survival pada PPOK
(Daniel Maranatha;2010).
Terminologi Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) telah mengalami

beberapa kali perubahan sejak dicetuskan kali pertama dalam forum internasional
yaitu : CIba Guest Symposium 1959. semula dikenal sebagai Chronic
pumonary emphysema and related conditions, kemudian menjadi Chronic airflow
limitation, lalu Chronic obstructive pulmonary disease, kemudian Chronic
Obstructive Airway Disease dan Chronic Airway Obstruction, kesemua ini
menunjukkan bahwa masih belum ada kesepakatan perihal kelainan yang
sebenarnya. Dalam International Classification of Disease yang telah
diperbaharui (ICD 9), PPOM meliputi penyakit dengan nomor 491-496 antara
lain: 491: Bronkitis kronis, 492: emfisema, 493: Asma Bronkiale, dan 496:
Chronic airway obstruction not otherwise specified (tambahan teradap ICD yang
lama). Walau asma tercantum di situ, namun PPOM dijabarkan sebagai: Keadaan
klinik dengan rasio FEV1/FVC yang abnormal, yang tidak reversible sepenuhnya
dengan bronkodilator dan dianggap sebagai keadaan yang terpisah dari asma
bronkial (walau tidak disangkal bahwa asma dapat berkembang menjadi PPOM)
(Hood Alsagaff dkk;2010).
Tujuan utama terapi PPOK adalah penanganan terhadap kegagalan
pernapasan, oleh karena cepat atau lambat, dalam perjalanan penyakitnya
kegagalan pernapasan selalu meenghantui. Maka tujuan terapi adalah: (1).
Mencegah agar PPOK tidak makin memburuk, (2). Mengatasi gangguan fungsi
paru sehingga dapat mengurangi keluhan-keluhan, (3). Meningkatkan kualitas
hidup penderita PPOK yang sudah cacat (Hood Alsagaff et al;2010).
Tidak ada obat-obat untuk PPOK yang telah terbukti mampu merubah
penurunan faal paru jangka panjang. Jadi obat-obatan digunakan untuk
mengurangi keluhan dan atau komplikasi. Bronkodilator yang sering digunakan

untuk pengobatan PPOK adalah Agonis Beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol),


Antikolinergik (Ipratropium bromide, Tiotropium bromide), Derivat Santin
(Sminofilin, Teofilin) (Daniel Maranatha;2010).
Dari data-data diatas maka referat ini dibuat bertujuan untuk mengetahui
bagaimana prinsip dalam pengobatan PPOK dengan golongan bronkodilator yang
tersebut diatas terkhusus pada Antikolinergis yaitu Tiotropium sebagai
Pengobatan PPOK. Maka penting hal ini dibahas dalam referat ini.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan PPOK
2. Untuk mengetahui bagaimana prinsip dalam mengobati PPOK.
3. Untuk mengetahui bagaimana farmakologi dari Tiotropium.
4. Untuk mengetahui Tiotropium sebagai Pengobatan PPOK.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

1.

DEFINISI
Menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI)
dan WHO, COPD sebagai penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan
udara yang progresif yang tidak sepenuhya dapat pulih kembali.
Keterbatasan jalan udara biasanya dapat progresif dan terisosiasi dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas.
Kondisipaling umum menyebabkan COPD adalah bronkitis kronik dan
emfisema (Elin Yulinah Sukandar et al ; 2009).

2.

INSIDEN
Insiden PPOK penduduk negeri Belanda ialah 10-15% pria dewasa,
5% wanita dewasa dan 5% anak-anak. Faktor risiko yang utama adalah
rokok. Perokok mempunyai 4 kali lebih besar daripada bukan perokok,
dimana faal paru cepat menurun. Penderita pria : wanita = 3-10:1.
Pekerjaan penderita seing berhubungan erat dengan faktor alergi dan
hiperaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan, Insiden PPOK 1 kali lebih
banyak daripada dipedesaan. Bila seseorang pada saat anak-anak sering
batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua sering timbul
emfisema (Daniel Maranatha;2010).

3.

EPIDEMIOLOGI
Akhir-akhir ini Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)

semakin menarik untuk

dibicarakan oleh karena angka prevalensi dan angka mortalitas yang


terus meningkat. Di AMerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi
gawat darurat mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan
di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai
penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah
penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vaskular. Biaya ini
mencapai $ 24 milyar pertahunnya. WHO memperkirakan bahwa
menjelang tahun 2020 prevlensi PPOK akan meningkat. Akibat sebagai
penyebab penyakit tersering peringkatnya akan meningkat dari ke
duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian akan
meningkat dari enam menjadi ke tiga. Berdasarkan survey kesehatan
rumah tangga Dep.Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronkial
menduduki peringkat ke enam. Merokok merupakan faktor risiko
terpenting penyebab PPOK di samping faktor risiko lainnya seperti
polusi

udara,

faktor

genetik

dan

lain-lainnya

(Bambang

et

Barmawi;2009) .

4.

PATOGENESIS
Merokok adalah faktor risiko utma PPOK walaupun partikel
noxious inhalasi lain dan berbagai gas juga memberi kontribusi.

Merokok menyebabkan inflamasi paru. Karena sebab yang belum


diketahui sampai sekarang beberapa perkok menunjukkan peningkatan
respon inflamasi normal, protektif dari paparan inhalasi yang akhirnya
menyebabkan kerusakan jaringan, gangguan mekanisme pertahanan
yang membatasi destruksi jaringan paru dan memutus mekanisme
perbaikan, ini membawa perubahan berupa lesi patologis yang khas
PPOK. Di samping inflamasi ada proses lain yang juga penting pada
patogenesis PPOK adalah ketidak seimbangan protease dan antiprotease
dan stres oksidatif (Daniel Maranatha;2010).
Secara umum telah diterima bahwa merokok merupakan faktor
risiko terpenting PPOK namun hanya 10-20% perokok mengalami
gangguan fungsi paru berat yang terkait PPOK. Hal ini menunjukkan ada
faktor lain yang ikut berperan. Faktorr genetik dipastikan berperan pada
kerentanan untuk PPOK pada perokok. Gen yang berimplikasi dalam
perkembangan PPOK terlibat dalam ketidak imbangan protease,
metabolisme material toksik tembakau, kliren mukosilier dan proses
inflamasi (Daniel Maranatha;2010).

5.

GAMBARAN KLINIS
Batuk, dahak dan sesak napas merupakan keluhan yang sering

dilaporkan penderita PPOK. Batuk biasanya timbul sebelum atau bersamaan


dengan sesak napas. Dahak umumnya tidak banyak hanya beberapa sendok
teh/hari, bersifat mukoid namun menjadi purulen pada keadaan infeksi. Jika
penyakit bertambah berat kelainan fisik bertambah jelas. Tampak Barrel

Chest,

Purse-lipped

breathing,

Badan

tambah

kurus

(Daniel

Maranatha;2010).
Akan dijumpai gejala-gejala dari kedua penyakit, emfisema dan
bronkitis kronis. Terdapat pula dispnea yang konstan (Elizabeth J.
Corwin;2009).

6.

PEMERIKSAAN FISIK
Tidak banyak abnormalitas yang dijumpai pada pemeriksaan fisik.

Wheezing tidak selalu ditemukan dan tidak berkorelasi dengan keparahan


obstruksi. Yang selalu dijumpai pada PPOK simptomatik adalah waktu
ekspirasi memanjang yang paling baik didengar didepan laring saat
maneuver forced expiratory. Ekspirasi yang > 4 detik suatu indikasi yang
bermakna dari obstruksi (Daniel Maranatha;2010).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda Hiperinflasi paru,
penggunaan otot napas sekunder, perubahan pola napas dan suara yang
abnormal (Hood Alsagaff et al;2010).

7.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.

Pemeriksaan Radiologis
Dibutuhkan x-foto toraks dalam proyeksi PA serta lateral, namun

perlu ditekankan bahwa korelasi kelainan foto toraks dengan gradasi


obstruksi jalan napas tidak besar. Pemeriksaan yang lebih canggih seperti
CT-scan tidak dibutuhkan (Hood Alsagaff et al;2010).
b.

Pemeriksaan Faal Paru

Spirometri merupakan tes paling penting untuk diagnosis dan


staging PPOK. Rasio FEV1/FVC menurun diagnostik untuk kelainan
obstruktif (Daniel Maranatha;2010).
c.

Pemeriksaan Laboatorium
Analissa gas darah dan elektrolit perlu dikerjakan pada penderita

PPOK dengan FEV1 kurang dari 1,5 liter atau EKG yang konsisten
dengan pembesaran ventrikel kanan. Eritrositosis sekunder yang
didapatkan dari kadar Hb dan hematokrit, mencerminkan keadaan
hipoksemia yang kronis. Pemeriksaan laboratorium patologi klinik
lainnya disesuaikan dengan keadaan (Hood Alsagaff et al;2010).

8.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis

banding

dari

PPOK

ialah

sebagai

berikut

(Daniel

Maranatha;2010):

9.

a.

Asma bronkial

b.

Gagal jantung kongestif

c.

Bronkiektasis

d.

Tuberkulosis

e.

Bronkiolitis obliteratif

f.

Diffuse panbronchiolitis

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita PPOK adalah sebagai

berikut (Elizabeth J. Corwin;2009):

a.

Hipertensi paru yang menyebabkan Kor Pulmonale

b.

Pneumothoraks

Serta penyulit yang dapat timbul akibat PPOK adalah Gagal napas, infeksi
berulang dan Kor Pulmonale (Daniel Maranatha;2010).

10. PENATALAKSANAN
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK adalah (Daniel Maranatha;2010):
a.

Mencegah progresi penyakit

b.

Menghilangkan gejala

c.

Memperbaiki exercise tolerance

d.

Memperbaiki status kesehatan

e.

Mencegah dan mengobati penyulit

f.

Mencegah dan mengobati eksaserbasi

g.

Menurunkan mortalitas

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan implementasi 4 komponen


program penatalaksanaan yaitu (Daniel Maranatha;2010):
a.

Menilai dan monitor perjalanan penyakit

b.

Mengurangi faktor-faktor risiko

c.

Penatalaksanaan PPOK stabil

d.

Penatalaksanaan eksaserbasi

11. PROGNOSIS
Bila sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya kurang memuaskan

dan mortalitas pada 2 tahun kurang lebih 50%. Namun disamping survival,
perlu diketahui pula morbiditas penderita PPOK. Sebagai ilustrasi bahwa
Inggris kehilangan 26 juta hari kerja orang /tahun oleh karena PPOK,
sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 3 juta hari orang/tahun (Hood
Alsagaff et al;2010).

B. FARMAKOLOGI TIOTROPIUM
1. FARMAKODINAMIK
Tiotropium

adalah

senyawa

amonium

kuartener

sintetis

dari

metilatropin. Bila diberikan parenteral, ipratropium dan tiotropium


menimbulkan bronkodilatasi, takikardi, dan penghambatan sekresi seperti
halnya atropin (Sulistia Gan Gunawan et al; 2011).
Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar
organ. Pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya atropin hanya menekan
sekresi air liur, mukus bronkus dan keringat, belum jelas mempengaruhi
jantung. Pada dosis lebih besar (0,5-1,0 mg) baru terlihat dilatasi pupil,
gangguan akomodasi dan hambatan N. Vagus sehingga terlihat takikardia.
Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk menghambat peristaltis usus
dan sekresi kelenjar di lambung. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini
mirip dengan denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan pada keadaan
ini biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata (Sulistia Gan Gunawan et
al; 2011).

2. FARMAKOKINETIK

10

Tiotropium bromida Kuarter ammoniewoye koneksi, cukup larut


dalam air. Tiotropium bromida memiliki farmakokinetiku linear terapi di
sekitar setelah di/dalam pendahuluan dan PM kering bubuk.
Hisap
Di inhalasi pengenalan ketersediaanhayati mutlak tiotropium bromida
adalah 19.5%, mencerminkan ketersediaanhayati tinggi obat, mencapai paruparu. (C)Max dalam plasma dicapai melalui 5 menit setelah menghirup.
Tiotropium bromida dioleskan kurang diserap dari saluran pencernaan.
Untuk alasan yang sama, makan tidak mempengaruhi penghapusan
tiotropium.

Konsumsi

tiotropium

bromida

solusi

dalam

bentuk

ketersediaanhayati mutlak adalah 2-3%.


Distribusi
Menghubungkan plasma darah 72%. (V)(d) 32 l kg. Dalam
kesetimbangan (C)Max dalam plasma pada pasien PPOK adalah 17-19 PG/ml
di 5 menit setelah inhalasi serbuk dalam dosis 18 mcg dan jatuh dengan
cepat. (C)SS dalam plasma 3-4 PG/ml.
Ianya menyerap melalui kumpulan.
Metabolisme
Tingkat biotransformasi tidak signifikan. Tiotropium bromida dibagi
oleh alkohol nefermentnym N-metilskopina ditienilglikoleva asam, tidak
muskarinovmi reseptor.

11

Metabolisme mungkin dalam aplikasi inhibitor CYP2D6 dan isoenzim


3A4 (hinidina, ketoconazole, gestodena). Dengan demikian, CYP2D6 1a2
3A4 dan termasuk dalam metabolisme obat. Tiotropium bromida bahkan
dalam konsentrasi sverhterapevtieskih menghambat 1a2 sitokrom P450
1A1, 1A2, 2B6, 2C9, 2C19, 2D6, 2E1 atau 3A4 di hati manusia Ca2.
Dalam menyimpulkan
Setelah pengenalan inhalasi Terminal t1/2 adalah 5-6 hari. Total ground
clearance ketika di/dengan pengenalan muda sehat relawan 880 mL/min,
Ketika variabilitas individu 22%. Tiotropium bromida setelah on/dalam
laporan, terutama, dengan air kencing dalam bentuk yang dimodifikasi
74%. Setelah dihirup bubuk ekskresi renal adalah 14%, sisa, tidak
vsosavshayasa dalam usus, kembali dengan kotoran. Ginjal klirens
tiotropium bromida melebihi QC, menunjukkan kanalzeva secreta obat.
Setelah lama diberikan 1 kali / hari pada pasien PPOK keseimbangan
farmakokineticeskih parameter dicapai melalui 2-3 Minggu, dengan tidak
lagi ada penumpukan.
Farmakokinetik dalam kasus-kasus klinis yang khusus
Pada pasien usia lanjut, penurunan ginjal clearance tiotropium bromida
(326 mL/menit pada pasien PPOK untuk 58 tahun, hingga 163 mL/menit
pada pasien PPOK, lebih tua dari 70 tahun), karena, Rupanya, penurunan
fungsi ginjal dengan usia. Setelah menghirup tiotropium bromida dengan
ekskresi urin berkurang dengan 14% (muda sehat relawan) hingga 7%

12

(pasien PPOK), Namun, pada pasien usia lanjut dengan PPOK tidak diamati
perubahan signifikan dalam konsentrasi dalam plasma darah, Jika kita
memperhitungkan

internasional-

dan

variabilitas

vnutriindividualnu

(setelah inhalasi serbuk peningkatan AUC0-4 pada 43%).


Jika salah satu ginjal setelah dihirup dan/dalam konsentrasi obat klirens
plasma dan ginjal. Dalam terang ginjal (QC 50-80 mL/min), sering diamati
pada pasien usia lanjut, meningkatkan konsentrasi tiotropium bromida dalam
plasma darah marginal (Setelah di/dalam peningkatan AUC 0-4 pada 39%).
Pada pasien PPOK dengan tingkat moderat atau kuat penurunan fungsi
ginjal (QC < 50 mL/min) Setelah / dalam pendahuluan, ada menggandakan
ipratropia bromida konsentrasi dalam plasma (82% peningkatan AUC0-4),
dibandingkan dengan konsentrasi dalam plasma, -setelah inhalasi serbuk
kering.
Diasumsikan menjadi, bahwa gagal hati tidak akan memiliki dampak
signifikan pada farmakokinetiku tiotropium bromida, karena. obat terutama
diekskresikan dalam urin dan pembentukan suatu obat aktif metabolit yang
tidak terkait dengan enzim.

3. MEKANISME KERJA
Tiotropium bromida merupakan agen aksi panjang yang memberikan
perlindungan terhadap bronkokonstriksi kolinergik selama lebih dari 24 jam.
Onset terjadi dalam 30 menit dan efek puncak tercapai dalam 3 jam. Zat ini
diberikan menggunakan HandiHaler , suatu alat napas beraktuator untuk

13

sekali isi serbuk-kering. Dosis yang direkomendasikan adalah inhalasi. Isi


satu kapsul satu kali sehari menggunakan alat inhalasi HandiHaler. Karena
efeknya yang lokal, tiotropium ditoleransi dengan baik. Efek antikolinergik
lain juga telah dilaporkan (Elin Yulinah Sukandar et al ; 2009).
Berbeda dengan ipratropium, tiotropium memiliki efek bronkodilator
yang menurunkan insiden eksaserbasi COPD dan berguna dalam membantu
rehabilitasi paru dengan meningkatkan toleransi fisik (Bertram G. Katzung;
2012).
Baik otot polos atau sel kelenjar sekresi pada saluran pernapasan
dipersarafi oleh vagus dan mengandung reseptor muskarinik. Bahkan pada
individu normal, pemberian atropin dapat menyebabkan bronkodilatasi dan
mengurangi sekresi. Efek tersebut lebih signifikan pada pasien dengan
gangguan saluran napas, walaupun obat antimuskarinik ini tidak sebaik
pemacu beta-adrenoseptor pada pengobatan asma. Keefektifan obat
antimuskarinik tak selektif dalam pengobatan penyakit paru obstruktif kronik
(COPD) bersifat terbatas karena autoinhibisi reseptor M2 pada saraf
parasimpatis pasca ganglion dapat melawan efek bronkodilatasiyan
disebabkan oleh respetor M3 pada otot-otot polos di saluran napas. Namun,
obat antimuskarinik ini cukup bermanfaat pada sebagian pasien asma dan
COPD (Bertram G. Katzung; 2012).

4. INDIKASI
Tiotropium

digunakan

sebagai

perawatan

bronkospasmus

yang

berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis

14

kronis dan emfisema.

5. KONTRA INDIKASI

Hipersensitif terhadap ipratropium bromida, atropin dan turunannya.


Peringatan Bronkospasmus akut : aerosol ipratropium tidak dianjurkan untuk
pengobatan bronkospasmus akut dimana terapi darurat diperlukan. Pasien
dengan risiko khusus : perhatian untuk pasien dengan glukoma sudut sempit,
hipertropi prostat atau kerusakan saluran urin. Reaksi hipersenstivitas : reaksi
hipersensitivitas segera akan terjadi setelah pemberian ipratropium seperti
urtikaria, angiodema, ruam, bronkospasmus, anafilaksis dan edema
orofaringeal. Kehamilan : Kategori B Laktasi : Belum diketahui apakah obat
ini didistribusikan ke dalam air susu. Anak-anak : keamanan dan efikasi
aerosol pada anak-anak belum diketahui. Sedangkan keamanan dan efikasi
penggunaan larutan pada anak di bawah 12 tahun belum diketahui. Perhatian
Pasien dengan risiko khusus : perhatian untuk pasien dengan glaukuma sudut
sempit, hipertropi prostat atau kerusakan saluran urin.

6. EFEK SAMPING
Efek samping antimuskarinik hampir semuanya merupakan efek
farmakodinamiknya. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan
miksi, meteorismus sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang
tua dapat terjadi efek sentral terutama berupa sindrom demensia.
Memburuknya retensi urin pada pasien hipertrofi prostat dan memburuknya

15

pengelihatan pada pasien glaukoma menyebabkan obat ini kurang diterima.


Efek sentral kurang pada pemberian antimuskarinik yang tergolong amonium
kuaterner. Walaupun demikian, selektivitas hanya berlaku pada dosis rendah
dan pada dosis toksisk semuanya dapat terjadi (Sulistia Gan Gunawan et al;
2011).

7. ANJURAN DOSIS dan PENGGUNAAN

1 kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi Handihaler.


Cara Penggunaan :
1

Sebelum menggunakan, buka kemasan sampai satu kapsul

terlihat jelas. Dorong kemasan sampai pada tanda STOP pada blister
untuk menghindari terpaparnya kapsul lain. Segera pakai kapsul yang
sudah terbuka/ jika tidak efikasinya akan berkurang.
2

Buka bagian penutup serbuk dari handihaler dengan cara

menariknya ke atas, kemudian buka bagian yang akan dimasukkan ke


dalam mulut. Masukkan kapsul ke dalam tabung. Tidak menjadi masalah,
bagian mana dari ujung kapsul yang akan dimasukkan ke dalam tabung.
Tutup bagian mulut tabung dengan rapat sampai terdengar bunyi klik
kemudian biarkan bagian penutup sebuk terbuka.
3

Pegang handihaler dengan kuat dengan bagian yang akan

dimasukkan ke dalam mulut menghadap ke atas, tekan bagian tombol


yang tajam dan lepaskan. Ini akan membuat lubang pada kapsul sehingga
obat akan dibebaskan.

16

Buang napas. Jangan bernapas ke bagian tabung yang akan

dimasukkan ke dalam mulut untuk beberapa saat.


5

Handihaler dimasukkan ke dalam mulut dan tutup bibir rapat-

rapat dan tempelkan pada bibir tabung.


6

Tegakkan kepala dan tarik napas perlahan-lahan dan dalam tapi

dengan kecepatan yang cukup untuk mendengar vibrasi kapsul. Tarik


napas sampai paru-paru penuh kemudian tahan napas sedemikian
sehingga terasa nyaman. Pada saat yang bersamaan, lepaskan handihaler
dari mulut. Bernapas seperti biasa.
7

Untuk memastikan pemakaian dosis tiotropium lengkap, ulangi

hal ini sekali lagi.


8

Setelah melengkapi dosis tiotropium dalam sehari, buka bagian

atas tabung. ambil kapsul yang telah digunakan dan buang. Tutup bagian
atas tabung dan penutup serbuk dan simpan.

C. TIOTROPIUM SEBAGAI TERAPI PPOK


Tiotropium adalah antkolinergik inhalasi long-acting yang telah berkembang
sebagai terapi Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan sudah diterapkan pada
pasien sejak tahun 2002. Penelitian tentang evaluasi keamanan penggunaan
tiotropium inhalasi (HandiHaler) masih dalam percobaan klinis tentang formulasi
yang terkandung dalam obat tersebut (Steven Kesten et al; 2009).
Pada PPOK tentu ada fase eksaserbasi akut yang berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas yang berkorelasi pada penyakit

17

kronik dan berkontribusi dalam peningkatan hal tersebut. Oleh karena itu,
pencegahan dan terapi dari eksaserbasi akut dari PPOK adalah tujuan utama
dalam manajemen PPOK. Cara Penggunaan tiotropium dalam mencegah
eksaserbasi akut dari PPOK sudah di investigasi dalam percobaan klinik secara
random dengan durasi terapi yang bervariasi dari 3 bulan sampai 4 tahun pada
pasien dengan PPOK sedang sampai berat dengan menggunakan placebo pada
kelompok kontrol. Secara keseluruhan dalam percobaan tersebut, tiotropium
memiliki keseragaman dalam mengurangi proporsi dari pasien yang mengalami
eksaserbasi minimal sekali eksaserbasi akut dan memperpanjang efek untuk tidak
terjadi eksaserbasi lagi setelah eksaserbasi pertama yang dikombinasikan dengan
placeebo. Pada percobaan jangka panjang (durasi > 6 bulan) tiotropium juga
mengurangi paparan pada insiden eksaserbasi PPOK (Donald P Tashkin; 2010).
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Eric Bateman dkk;2010 dalam
Efficacy and saety of tiotropium Respimat in COPD in two1-year randomizedd
studies, dilakukan 2 penelitian dalam setahun dengan evaluasi jangka panjang
yang menganalisa tentang efikasi dan keamanan tiotropium yang di bandingkan
dengan placebo pada dosis 5 atau 10 mikrogram, secara inhalasi. Studi ini
mempunyai kombinasi dari 4 co-primary endpoints yang meliputi (Trough FEV1
response, Mahler Transition Dyspnea Index [TDI] dan St Georges Respiratory
Questionnaire scores all at weak 48 dan COPD exacerbations per patient-year).
Tiotropium dengan dosis 5 g menunjukkan perkembangan berkelanjutan yang
relatif pada pasien dengan PPOK daripada yang menggunakan placebo dan hal
ini didapatkan sama pada pasien yang mendapatkan terapi tiotropium dengan
dosis 10 g tapi terdapat efek samping obat antikolinergik dengan frekuensi yang

18

rendah atau tidak bermakna (Eric Bateman et al;2010).


Tiotropium adalah agen antikolinergik yang menguntungkan yang digunakan
dan diterima di seluruh dunia sebagai lini pertama untuk terapi pasien dengan
PPOK derajat sedang sampai berat. Terapi dengan menggunakan Tiotropium
bromide secara luas dapat meningkatkan angka kualitas hidup dari pasien PPOK,
menurunkan angka dari eksaserbasi akut, menurunkan angka MRS (masuk rumah
sakit) akibat kambuhan dari PPOK sendiri, memperbaiki keadaan dispneu dan
menurunkan efek samping dalam penggunaan obat jenis beta blocker yang
bekerja jangka panjang. Pada dekade terakhir ini, banyak penelitian tentang
efektifitas dari tiotropium yang dikombinasikan dengan obat golongan LABA
(Salmeterol, Formoterol dan Indacaterol) hal ini menunjukkan bahwa tiotropium
lebih superior dalam mengontrol kekambuhan dalam eksaserbasi akut dari pasien
dengan PPOK (Adebaw M. Yohannes;2013).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ajun Chatterjee dkk;2012 pada
Observational study on the impact of initiating tiotropium alone versus
tiotropium with fluticasone propionate/salmeterol combination therapy on
outcomes and costs in chronic obstructive pulmonary disease, menunjukkan hasil
bahwa dengan monoterapi tiotropium atau kombinasi dengan fluticasone
propionate memiliki efek yang sama pada pasien dengan PPOK yakni mampu
menekan angka kekambuhan eksaserbasi akut PPOK. Dengan keuntungan bahwa
dengan monoterapi tiotropium saja dapat menekan biaya yang dikeluarkan oleh
pasien dalam mengatasi PPOK yang dialami oleh pasien tersebut daripada pada
pengobatan secara kombinasi yang membuat pengeluaran lebih banyak pada
pasien (Ajun Chatterjee et al;2012).

19

Dari sekian penelitian yang dilakukan tentang tioptropium sebagai terapi dari
PPOK, menunjukkan bahwa tiotropium mempunyai peran yang sangat penting
dalam menekan kejadian eksaserbasi akut dari pasien dengan PPOK yang sedang
sampai berat. Tiotropium juga menunjukkan efek samping antikolinergik yang
minimal dari obat yang lain yang segolongan dengannya. Sehingga
penggunaannya dalam terapi PPOK dapat sangat bermanfaat dari obat golongan
lain untuk terapi PPOK itu sendiri. Dalam penelitian yang membandingkan atau
menkombinasikan tiotropium dengan obat golongan lain dalam manajemen
PPOK juga menunjukkan perkembangan yang bermakna pada pasien PPOK
derajat sedang sampai berat dengan menurunkan angka eksaserbasi akut PPOK,
meningkatkan angka harapan hidup dari pasienserta memperbaiki status dispneu
pada pasien serta dapat menekan biaya yang dikeluarkan pasien dalam menangani
penyakitnya karena tiotropium dapat digunakan dalam monoterapi PPOK.

20

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
PPOK merupakan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara
yang progresif yang tidak sepenuhya dapat pulih kembali. Keterbatasan jalan
udara biasanya dapat progresif dan terisosiasi dengan respon inflamasi
abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Dengan terjadinya
keterbatasan pada fungsi paru ini sebagai organ yang memenuhi
kertecukupan oksigen bagi tubuh, maka dalam sirkulasi tubuh akan terjadi
hipoperfusi pada organ-organ penting lainnya seperti otak, jantung, paru,
ginjal dan GIT. Apabila kondisi ini mash tetap terjadi dan tidak segera diberi
terapi maka akan jatuh pada komplikasi-komplikasinya seperti Hipertensi
paru yang menyebabkan Kor Pulmonale dan Pneumothorak.
PPOK yang merupakan suatu proses yang kronis maka telah terjadi
kegagalan dalam proses pertukaran gas dalam paru, sehingga terapi dari
PPOK ini akan berlangsung lama. Oleh karena itu penting diberikannya
edukasi kepada setiap pada pasien yang mengalami PPOK mulai dari derajat
ringan sampai berat bahwa proses kesembuhan dari penyakit ini sangat sukit
dan memerlukan terapi jangka panjang. Serta kekambuhan seperti
eksaserbasi akut PPOK yang dapat terjadi kembali apabila pengobatan
terputus atau terhenti.
Dari penelitian yang telah dilakukan pada pasien-pasien PPOK
didapatkan bahwa tiotropium mempunyai peran yang penting dalam

21

mencegah terjadinya eksaserbasi akut dari PPOK ini dan meningkatkan


angka harapan hidup dari pasien yang telah mengalami PPOK dengan derajat
sedang sampai berat. Tiotropium juga menunjukkan efek samping
antikolinergik yang minimal dari obat yang lain yang segolongan dengannya.
Sehingga penggunaannya dalam terapi PPOK dapat sangat bermanfaat dari
obat golongan lain untuk terapi PPOK itu sendiri. Dalam penelitian yang
membandingkan atau menkombinasikan tiotropium dengan obat golongan
lain dalam manajemen PPOK juga menunjukkan perkembangan yang
bermakna pada pasien PPOK derajat sedang sampai berat dengan
menurunkan angka eksaserbasi akut PPOK, meningkatkan angka harapan
hidup dari pasienserta memperbaiki status dispneu pada pasien serta dapat
menekan biaya yang dikeluarkan pasien dalam menangani penyakitnya
karena tiotropium dapat digunakan dalam monoterapi PPOK

B. SARAN
Dari hasil penelitian yang kami kumpulkan kami meberikan saran agar dapat
dilakukan terus penelitian tentang bagaimana peranan tiotropium dalam
manajemen PPOK. Lebih diintensifkan dalam efek samping yang mungkin belum
muncul pada penggunaan tiotropium jangka panjang pada terapi PPOK.

22

Daftar Pustaka

1. Alsagaff, Hood et Mukty, Abdul H. 2010. Penyakit Obstruksi Saluran


Pernapasan; Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM); dalam
Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University
Press. (Halaman 231-232).
2. Bateman, Eric et al. 2010. Efficacy and saety of tiotropium Respimat in
COPD in two1-year randomizedd studies dalam International Journal
of COPD. USA : Dove Press (Halaman 197-208).
3. Chatterjee, Arjun et al. 2012. Observational study on the impact of initiating
tiotropium

alone

versus

tiotropium

with

fluticasone

propionate/salmeterol combination therapy on outcomes and costs in


chronic obstructive pulmonary disease dalam Respiratory Research.
USA : BioMed Central (Halaman 1-9).
4. Corwin, Elizabeth J. 2009. Penyakit Paru Obstruksi Kronis dalam Buku Saku
Patofisiologi edisi revisi 3. Jakarta : EGC (halaman 575-576).
5. Gunawan, Sulistia Gan et al. 2011. Antagonis Muskarinik dalam Farmakologi
dan Terapi edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. (Halaman 56-57).
6. Katzung, Bertram G. Et al. 2012. Obat Pengaktif Kolinoseptor & Penhambat
Kolinesterase dalm Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 10. Jakarta :
EGC (halaman 110-122).
7. Kesten, Steven et al. 2009. Tiotropium HandiHaler in the treatment of COPD:
A Safety Review dalam International Journal of COPD. USA: Dove
press. (Halaman 397-409).

23

8. Maranatha, Daniel.2010.Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK);dalam Buku


Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010 Departemen Ilmu Penyakti Paru FKUNAIR-RSUD Dr. Soetomo. Surabaya:Departemen Ilmu Penyakit Paru
FK-UNAIR. (Halaman 37).
9. Riyanto, Bambang Sigit et Hisyam, Barmawi. 2009. Obstruksi saluran
pernapasan Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing (Halaman 2225).
10. Sukandar, Elin Yukanah et al.2009. Paru Obstruktif Kronik (Chronic
Obstruvtive Pulmonary disease COPD) dalam ISO Farmakoterapi.
Jakarta:ISFI (Halaman 469-470).
11. Tashkin, Donal P. 2010. Preventing and managing exacerbations in COPD
critical appraisal of the role of tiotropium dalam International Journal
of COPD. USA : Dove Press (Halaman 41-53).
12. Yohannes, Adebaw M., Connolly, Martin J et Hanania, Nicola A. 2013. Ten
years on tiotropium: clinical impact and patient perspeectives dalm
International journal of COPD. USA : Dove Press (Halaman 117-125).

24

You might also like