Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan masalah
kesehatan global. Data prevalensi, morbiditas dan mortalitas berbeda setiap
negara namun secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan
pada beberapa negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu dan bahanbahan biomasa lain. Prevalensi PPOK cenderung meningkat. Menurut the Latin
American Project for the Investigation of Obstructive Lung Dsease (PLATINO)
prevalensi PPOK stadium I dan yang lebih parah pada umur > 60 tahun antara
18,4%-32,1%. Di 12 negara Asia Pasifik prevalensi PPOK stadium sedang-berat
pada umur > 30 tahun 6,3%. Penyakit paru obstruktif kronik ke 4 di Amerika
Serikat. Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke 6 pada tahun 1990 dan
akan meningkat menjadi penyebab ke 3 pada tahun 2020 di seluruh dunia.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit sistemik. Banyak
bukti
yang
menunjukkan
PPOK
ada
hubungan
dengan
manifestasi
beberapa kali perubahan sejak dicetuskan kali pertama dalam forum internasional
yaitu : CIba Guest Symposium 1959. semula dikenal sebagai Chronic
pumonary emphysema and related conditions, kemudian menjadi Chronic airflow
limitation, lalu Chronic obstructive pulmonary disease, kemudian Chronic
Obstructive Airway Disease dan Chronic Airway Obstruction, kesemua ini
menunjukkan bahwa masih belum ada kesepakatan perihal kelainan yang
sebenarnya. Dalam International Classification of Disease yang telah
diperbaharui (ICD 9), PPOM meliputi penyakit dengan nomor 491-496 antara
lain: 491: Bronkitis kronis, 492: emfisema, 493: Asma Bronkiale, dan 496:
Chronic airway obstruction not otherwise specified (tambahan teradap ICD yang
lama). Walau asma tercantum di situ, namun PPOM dijabarkan sebagai: Keadaan
klinik dengan rasio FEV1/FVC yang abnormal, yang tidak reversible sepenuhnya
dengan bronkodilator dan dianggap sebagai keadaan yang terpisah dari asma
bronkial (walau tidak disangkal bahwa asma dapat berkembang menjadi PPOM)
(Hood Alsagaff dkk;2010).
Tujuan utama terapi PPOK adalah penanganan terhadap kegagalan
pernapasan, oleh karena cepat atau lambat, dalam perjalanan penyakitnya
kegagalan pernapasan selalu meenghantui. Maka tujuan terapi adalah: (1).
Mencegah agar PPOK tidak makin memburuk, (2). Mengatasi gangguan fungsi
paru sehingga dapat mengurangi keluhan-keluhan, (3). Meningkatkan kualitas
hidup penderita PPOK yang sudah cacat (Hood Alsagaff et al;2010).
Tidak ada obat-obat untuk PPOK yang telah terbukti mampu merubah
penurunan faal paru jangka panjang. Jadi obat-obatan digunakan untuk
mengurangi keluhan dan atau komplikasi. Bronkodilator yang sering digunakan
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan PPOK
2. Untuk mengetahui bagaimana prinsip dalam mengobati PPOK.
3. Untuk mengetahui bagaimana farmakologi dari Tiotropium.
4. Untuk mengetahui Tiotropium sebagai Pengobatan PPOK.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
DEFINISI
Menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI)
dan WHO, COPD sebagai penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan
udara yang progresif yang tidak sepenuhya dapat pulih kembali.
Keterbatasan jalan udara biasanya dapat progresif dan terisosiasi dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas.
Kondisipaling umum menyebabkan COPD adalah bronkitis kronik dan
emfisema (Elin Yulinah Sukandar et al ; 2009).
2.
INSIDEN
Insiden PPOK penduduk negeri Belanda ialah 10-15% pria dewasa,
5% wanita dewasa dan 5% anak-anak. Faktor risiko yang utama adalah
rokok. Perokok mempunyai 4 kali lebih besar daripada bukan perokok,
dimana faal paru cepat menurun. Penderita pria : wanita = 3-10:1.
Pekerjaan penderita seing berhubungan erat dengan faktor alergi dan
hiperaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan, Insiden PPOK 1 kali lebih
banyak daripada dipedesaan. Bila seseorang pada saat anak-anak sering
batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua sering timbul
emfisema (Daniel Maranatha;2010).
3.
EPIDEMIOLOGI
Akhir-akhir ini Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
udara,
faktor
genetik
dan
lain-lainnya
(Bambang
et
Barmawi;2009) .
4.
PATOGENESIS
Merokok adalah faktor risiko utma PPOK walaupun partikel
noxious inhalasi lain dan berbagai gas juga memberi kontribusi.
5.
GAMBARAN KLINIS
Batuk, dahak dan sesak napas merupakan keluhan yang sering
Chest,
Purse-lipped
breathing,
Badan
tambah
kurus
(Daniel
Maranatha;2010).
Akan dijumpai gejala-gejala dari kedua penyakit, emfisema dan
bronkitis kronis. Terdapat pula dispnea yang konstan (Elizabeth J.
Corwin;2009).
6.
PEMERIKSAAN FISIK
Tidak banyak abnormalitas yang dijumpai pada pemeriksaan fisik.
7.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Pemeriksaan Radiologis
Dibutuhkan x-foto toraks dalam proyeksi PA serta lateral, namun
Pemeriksaan Laboatorium
Analissa gas darah dan elektrolit perlu dikerjakan pada penderita
PPOK dengan FEV1 kurang dari 1,5 liter atau EKG yang konsisten
dengan pembesaran ventrikel kanan. Eritrositosis sekunder yang
didapatkan dari kadar Hb dan hematokrit, mencerminkan keadaan
hipoksemia yang kronis. Pemeriksaan laboratorium patologi klinik
lainnya disesuaikan dengan keadaan (Hood Alsagaff et al;2010).
8.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis
banding
dari
PPOK
ialah
sebagai
berikut
(Daniel
Maranatha;2010):
9.
a.
Asma bronkial
b.
c.
Bronkiektasis
d.
Tuberkulosis
e.
Bronkiolitis obliteratif
f.
Diffuse panbronchiolitis
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita PPOK adalah sebagai
a.
b.
Pneumothoraks
Serta penyulit yang dapat timbul akibat PPOK adalah Gagal napas, infeksi
berulang dan Kor Pulmonale (Daniel Maranatha;2010).
10. PENATALAKSANAN
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK adalah (Daniel Maranatha;2010):
a.
b.
Menghilangkan gejala
c.
d.
e.
f.
g.
Menurunkan mortalitas
b.
c.
d.
Penatalaksanaan eksaserbasi
11. PROGNOSIS
Bila sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya kurang memuaskan
dan mortalitas pada 2 tahun kurang lebih 50%. Namun disamping survival,
perlu diketahui pula morbiditas penderita PPOK. Sebagai ilustrasi bahwa
Inggris kehilangan 26 juta hari kerja orang /tahun oleh karena PPOK,
sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 3 juta hari orang/tahun (Hood
Alsagaff et al;2010).
B. FARMAKOLOGI TIOTROPIUM
1. FARMAKODINAMIK
Tiotropium
adalah
senyawa
amonium
kuartener
sintetis
dari
2. FARMAKOKINETIK
10
Konsumsi
tiotropium
bromida
solusi
dalam
bentuk
11
12
(pasien PPOK), Namun, pada pasien usia lanjut dengan PPOK tidak diamati
perubahan signifikan dalam konsentrasi dalam plasma darah, Jika kita
memperhitungkan
internasional-
dan
variabilitas
vnutriindividualnu
3. MEKANISME KERJA
Tiotropium bromida merupakan agen aksi panjang yang memberikan
perlindungan terhadap bronkokonstriksi kolinergik selama lebih dari 24 jam.
Onset terjadi dalam 30 menit dan efek puncak tercapai dalam 3 jam. Zat ini
diberikan menggunakan HandiHaler , suatu alat napas beraktuator untuk
13
4. INDIKASI
Tiotropium
digunakan
sebagai
perawatan
bronkospasmus
yang
14
5. KONTRA INDIKASI
6. EFEK SAMPING
Efek samping antimuskarinik hampir semuanya merupakan efek
farmakodinamiknya. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan
miksi, meteorismus sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang
tua dapat terjadi efek sentral terutama berupa sindrom demensia.
Memburuknya retensi urin pada pasien hipertrofi prostat dan memburuknya
15
terlihat jelas. Dorong kemasan sampai pada tanda STOP pada blister
untuk menghindari terpaparnya kapsul lain. Segera pakai kapsul yang
sudah terbuka/ jika tidak efikasinya akan berkurang.
2
16
atas tabung. ambil kapsul yang telah digunakan dan buang. Tutup bagian
atas tabung dan penutup serbuk dan simpan.
17
kronik dan berkontribusi dalam peningkatan hal tersebut. Oleh karena itu,
pencegahan dan terapi dari eksaserbasi akut dari PPOK adalah tujuan utama
dalam manajemen PPOK. Cara Penggunaan tiotropium dalam mencegah
eksaserbasi akut dari PPOK sudah di investigasi dalam percobaan klinik secara
random dengan durasi terapi yang bervariasi dari 3 bulan sampai 4 tahun pada
pasien dengan PPOK sedang sampai berat dengan menggunakan placebo pada
kelompok kontrol. Secara keseluruhan dalam percobaan tersebut, tiotropium
memiliki keseragaman dalam mengurangi proporsi dari pasien yang mengalami
eksaserbasi minimal sekali eksaserbasi akut dan memperpanjang efek untuk tidak
terjadi eksaserbasi lagi setelah eksaserbasi pertama yang dikombinasikan dengan
placeebo. Pada percobaan jangka panjang (durasi > 6 bulan) tiotropium juga
mengurangi paparan pada insiden eksaserbasi PPOK (Donald P Tashkin; 2010).
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Eric Bateman dkk;2010 dalam
Efficacy and saety of tiotropium Respimat in COPD in two1-year randomizedd
studies, dilakukan 2 penelitian dalam setahun dengan evaluasi jangka panjang
yang menganalisa tentang efikasi dan keamanan tiotropium yang di bandingkan
dengan placebo pada dosis 5 atau 10 mikrogram, secara inhalasi. Studi ini
mempunyai kombinasi dari 4 co-primary endpoints yang meliputi (Trough FEV1
response, Mahler Transition Dyspnea Index [TDI] dan St Georges Respiratory
Questionnaire scores all at weak 48 dan COPD exacerbations per patient-year).
Tiotropium dengan dosis 5 g menunjukkan perkembangan berkelanjutan yang
relatif pada pasien dengan PPOK daripada yang menggunakan placebo dan hal
ini didapatkan sama pada pasien yang mendapatkan terapi tiotropium dengan
dosis 10 g tapi terdapat efek samping obat antikolinergik dengan frekuensi yang
18
19
Dari sekian penelitian yang dilakukan tentang tioptropium sebagai terapi dari
PPOK, menunjukkan bahwa tiotropium mempunyai peran yang sangat penting
dalam menekan kejadian eksaserbasi akut dari pasien dengan PPOK yang sedang
sampai berat. Tiotropium juga menunjukkan efek samping antikolinergik yang
minimal dari obat yang lain yang segolongan dengannya. Sehingga
penggunaannya dalam terapi PPOK dapat sangat bermanfaat dari obat golongan
lain untuk terapi PPOK itu sendiri. Dalam penelitian yang membandingkan atau
menkombinasikan tiotropium dengan obat golongan lain dalam manajemen
PPOK juga menunjukkan perkembangan yang bermakna pada pasien PPOK
derajat sedang sampai berat dengan menurunkan angka eksaserbasi akut PPOK,
meningkatkan angka harapan hidup dari pasienserta memperbaiki status dispneu
pada pasien serta dapat menekan biaya yang dikeluarkan pasien dalam menangani
penyakitnya karena tiotropium dapat digunakan dalam monoterapi PPOK.
20
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
PPOK merupakan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara
yang progresif yang tidak sepenuhya dapat pulih kembali. Keterbatasan jalan
udara biasanya dapat progresif dan terisosiasi dengan respon inflamasi
abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Dengan terjadinya
keterbatasan pada fungsi paru ini sebagai organ yang memenuhi
kertecukupan oksigen bagi tubuh, maka dalam sirkulasi tubuh akan terjadi
hipoperfusi pada organ-organ penting lainnya seperti otak, jantung, paru,
ginjal dan GIT. Apabila kondisi ini mash tetap terjadi dan tidak segera diberi
terapi maka akan jatuh pada komplikasi-komplikasinya seperti Hipertensi
paru yang menyebabkan Kor Pulmonale dan Pneumothorak.
PPOK yang merupakan suatu proses yang kronis maka telah terjadi
kegagalan dalam proses pertukaran gas dalam paru, sehingga terapi dari
PPOK ini akan berlangsung lama. Oleh karena itu penting diberikannya
edukasi kepada setiap pada pasien yang mengalami PPOK mulai dari derajat
ringan sampai berat bahwa proses kesembuhan dari penyakit ini sangat sukit
dan memerlukan terapi jangka panjang. Serta kekambuhan seperti
eksaserbasi akut PPOK yang dapat terjadi kembali apabila pengobatan
terputus atau terhenti.
Dari penelitian yang telah dilakukan pada pasien-pasien PPOK
didapatkan bahwa tiotropium mempunyai peran yang penting dalam
21
B. SARAN
Dari hasil penelitian yang kami kumpulkan kami meberikan saran agar dapat
dilakukan terus penelitian tentang bagaimana peranan tiotropium dalam
manajemen PPOK. Lebih diintensifkan dalam efek samping yang mungkin belum
muncul pada penggunaan tiotropium jangka panjang pada terapi PPOK.
22
Daftar Pustaka
alone
versus
tiotropium
with
fluticasone
23
24