Di sebuah ruangan kecil seorang ustadz menjelaskan kepada orang-orang yang tengah belajar darinya
bahwa doa qunut hukumya sunnah (mustahab).
"Apa dalilnya?" tanya salah seorang yang hadir di situ. Mendengar pertanyaan seperti itu, si Ustdaz menjelaskan bahwa yang ia bawakan hanya fatwa-fatwa dari seorang mujtahid (baca; marja') yang siap pakai saja. Ia merasa tidak berkompeten untuk menjelaskan dalil-dalil dari setiap fatwa, karena itu adalah urusan para mujtahid. Tetapi ia berusaha meyakinkan si penanya bahwa setiap fatwa yang ia bawakan pasti mempunyai dasar dan dalil syar'i. Lalu ia lebih lanjut menjelaskan bahwa mengetahui dalil sebuah hukum tidak semudah yang dibayangkan si penanya, karena banyak tahapan-tahapan ijtihadi-argumentatif yang harus dilalui sehingga sampai pada kesimpulan bahwa fatwa ini dalilnya ini, misalnya. Dan tahapan-tahapan yang harus dilalui itu membutuhkan waktu, keahlian (malakah) dan penguasaan sejumlah disiplin ilmu agama yang cukup. Tidak sekadar membuka kitab hadis Bulughul Maram (apalagi lewat terjemahannya), lalu menyimpulkan sebuah hukum dari satu atau dua hadis dari kitab itu. Memperoleh hukum atau fatwa harus dengan ijtihad bukan dengan ra'yu. Ilustrasi di atas menggambarkan satu dari beberapa kasus yang sering terjadi di majlis-majlis ta'lim di negeri kita ini. Khususnya dari kalangan pengikut mazhab pembaharu seperti Persis dan Muhammadiyah. Tetapi kasus ini amat jarang terjadi di kalangan kaum Nahdhiyyin. Untuk itu, perlu dipertegas apakah setiap muslim harus mengetahui dalil-dalil untuk semua hukum syariat dan semua urusanh 'ubudiyyah ? Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan masalah ijtihad dalam kaitannya dengan keberagamaan kaum muslimin di Indonesia.