Professional Documents
Culture Documents
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu
tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung
antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif
cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang
disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya
seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme
akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun
yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat
itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru
diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas
tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat
peradangan lainnya.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi
selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik
yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang
bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen
hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan
yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap
penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai
komplemen).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator
yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik
neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian
merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada
reaksi tipe I.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan
fase lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya
terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam
beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan
basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik
reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta
peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi
gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung,
kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin
hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada
bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak
dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin
membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan
sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi
histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi
lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui
reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel
termasuk limfosit.
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna.
Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi
alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit
melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah.
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat
menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel
basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel
mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated
upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell
factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat
menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi
antigen (lihat Gambar 12-7).
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi
eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan
komplemen C5a, LTB4 dan PAF.
Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada
alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta
SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit,
eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke
arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan
oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat
pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini
eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh
stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).
Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target
antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II)
atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi
hipersensitivitas tipe III)
Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)
merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia.
Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai
jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi
ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di
pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan
tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun
cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis,
artritis dan nefritis.