You are on page 1of 56

Laporan Akhir Tugas

Kunjungan Laboratorium
Anindya Aulia Pratiwi, 1006704474

Departemen Teknik Metalurgi dan Material


Fakultas Teknik
Universitas Indonesia

Laboratorium Metalografi dan HST


Laboratorium metalografi dan HST merupakan salah satu laboratorium yang ada di
Departemen Teknik Metalurgi dan Material. Pada laboratorium ini dilakukan suatu pengamatan
metalografi untuk mengetahui sifat dari material tersebut. Pengamatan metalografi yang
dilakukan pada laboratorium ini menggunakan optical microscope (OM). Terdapat dua macam
sampel yang digunakan saat mengamati material untuk struktur mikro, yaitu material yang telah
dilakukan perlakuan panas dan yang tidak diberi perlakuan apapun. Sebelum dilakukannya
pengamatan metalografi, perlu dilakukan preparasi material terlebih dahulu. Preparasi yang
dilakukan mencakup mounting, grinding, polishing, dan etching. Sampel uji yang diberikan
perlakuan panas adalah S45C, sedangkan sampel uji tanpa diberi perlakuan panas adalah besi
tuang nodular. Selain pengamatan struktur mikro, pada laboratorium ini juga dilakukan
pengamatan struktur mikro dimana sampelnya berupa baja karbon yang telah diuji tarik. Berikut
ini akan dijelaskan mengenai preparasi yang dilakukan untuk mrngamati struktur mikro:
a. Mounting
Mounting dilakukan untuk memudahkan dalam penanganan sampel selama dilakukannya
pengujian dikarenakan biasanya digunakan sampel yang berukuran kecil atau memiliki
bentuk yang tidak beraturan. Sampel yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak
beraturan akan sulit untuk ditangani, khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan
pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran
metal tipis, potongan yang tipis dan lain-lain. Untuk memudahkan penanganannya, maka
spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum
syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah :

Inert (tidak bereaksi dengan spesimen maupun zat etsa)

Sifat eksotermis rendah

Viskositas rendah

Penyusutan linear rendah

Sifat adhesi baik

Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel

Kemampuan alir baik, menembus pori, celah dan bentuk kompleks sampel

Bersifat konduktif (untuk etsa elektrolitik dan sampel untuk pengujian SEM

Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis reagen etsa yang
akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Terdapat
dua metode untuk melakukan mounting, yaitu cold mounting dan hot mounting. Perbedaan
kedua metode ini terletak pada perlakuan yang diberikan selama pembuatan mounting

dilakukan. Pada saat melakukan hot mounting, diberikan suatu penekanan dan panas sehingga
dibutuhkan suatu alat yang khusus. Sedangkan pada cold mounting, tidak adanya pemberian
penekanan dan panas sehingga alat yang digunakan sederhana dan mudah digunakan.
Tentunya dengan penggunaan alat yang sederhana, cold mounting memiliki harga yang lebih
murah. Namun, jika kita melakukan hot mounting maka pengerjaannya akan menjadi lebih
cepat.

Gambar 1 Hasil mounting

Mulai

Menyiapkan cetakan

Meletakkan sampel pada dasar cetakan

Menyiapkan resin sebanyak 1/3 bagian cetakan

Mencampur resin dengan 15 tetes hardener

Menuangkan campuran resin +


hardener

Menunggu resin mengeras selama 2530 menit

Mengeluarkan resin dari cetakan

Selesai
Gambar 2 Flowchart proses castable mounting

b. Grinding
Grinding dilakukan untuk meratakan dan menghaluskan permukaan sampel dengan cara
menggosokan sampel pada kain abrasive atau amplas. Sampel yang baru dipotong atau yang
sudah terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Oleh karena itu, permukaan yang kasar ini
harus diratakan untuk memudahkan pengamatan struktur. Pengamplasan dimulai dari kertas
dengan kekasaran tinggi (nomor mesh rendah) hingga kertas amplas yang makin halus
(nomor mesh tinggi). Ukuran grit kekasaran kertas amplas yang pertama kali dipakai,

tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan sampel karena alat potong
yang digunakan.
Tabel 1 Penggunaan ukuran kertas amplas dengan alat potong yang digunakan
Jenis Alat Potong

Ukuran Kertas Amplas Pertama

Gergaji Pita

60 120

Gergaji Abrasif

120 240

Gergaji Kawat/Intan kecepatan rendah

320 400

Pada saat pengamplasan dilakukan, hal yang harus diperhatikan adalah sampel harus dialiri
dengan air. Air yang mengalir ini berfungsi untuk sebagai pemindah geram, memperkecil
kerusakan akibat panas yang dapat merubah struktur mikro spesimen, dan memperpanjang
pemakaian kertas amplas. Selain itu, arah pengamplasan juga harus diperhatikan. Ketika
melakukan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau 900 terhadap arah
sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan goresan pada tahap sebelumnya.

Gambar 3 Alat grinding

Mulai

Memotong kertas amplas membentuk


lingkaran

Memasang kertas amplas pada mesin


amplas

Menyalakan mesin kemudian


menuangkan air ke permukaan kertas
amplas

Meletakkan sampel pada permukaan


kertas amplas sembari dipegang

Menambah kecepatan putaran

Mengubah arah pengampelasan

Mengganti kertas amplas dengan grit yang


lebih tinggi

Selesai
Gambar 4 Flowchart proses grinding

c. Polishing
Permukaan sampel yang akan diamati dibawah mikroskop harus benar-benar rata.
Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan
sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop akan dipantulkan secara
acak oleh permukaan sampel.

Gambar 5 Pantulan di permukaan halus

Gambar 6 Pantulan di permukaan kasar

Oleh karena itu, setelah dilakukan pengampelasan sampai halus, pada permukaan sampel
harus dilakukan pemolesan. Pemolesan sendiri bertujuan untuk memperoleh permukaan
sampel yang rata dan bebas goresan dengan refleksifitas yang tinggi. Seperti pengampelasan,
pemolesan juga dilakukan mulai dari pemolesan yang lebih kasar ke yang lebih halus.
Pemolesan yang kasar, dilakukan dengan menggunakan partikel alumina atau intan
dengan besar partikel adalah sekitar 5m. Pemolesan kasar ini dilakukan untuk
menghilangkan goresan yang masih tersisa dan untuk meminimalisir sisa daerah yang
terdeformasi dari amplas halus. Sedangkan untuk pemolesan yang halus, digunakan alumina
atau intan yang ukurannya kurang dari 1m. Pemolesan halus dilakukan untuk
menghilangkan goresan yang amat halus dan daerah deformasi yang dihasilkan selama proses
pemolesan kasar. Hasil yang ditunjukkan oleh permolesan halus adalah permukaan yang
bebas goresan dan siap untuk di etsa.

Gambar 7 Mesin poles

Mulai
Memasang kain poles
pada mesin

Menuangkan alumina
ke kain poles
Menyalakan mesin poles
dengan kecepatan
rendah
Meletakkan sampel pada
permukaan kain poles

Melakukan pemolesan
dengan memutar sampel
pada porosnya

Menambahkan alumina

Melakukan pemolesan
hingga permukaan
sampel mengkilat

Selesai
Gambar 8 Flowchart proses polishing

d. Etching
Etsa merupakan suatu proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif
dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik
maupun tidak, ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati terlihat dengan
jelas dan tajam. Etsa dilakukan setelah dipastikan bahwa permukaan spesimen sudah
mengkilat, dapat memantulkan cahaya dengan baik dan sudah tidak memiliki goresan.
Etsa perlu dilakukan agar kita dapat melihat dengan jelas butir-butir atau fasa tertentu
pada material. Sampel individu yang akan diamati adalah BTN atau Besi Tuang Nodular,
dimana material ini termasuk material ferrous dan memiliki beberapa fasa stabil seperti
pearlit, ferit, dan grafit.

Terdapat dua jenis metoda untuk melakukan etsa, namun pada percobaan ini jenis
metode etsa yang digunakan adalah etsa kimia. Etsa kimia dilakukan dengan memberikan
reagen-reagen tertentu pada permukaan spesimen. Nantinya, permukaan yang bereaksi
dengan reagen akan menghasilkan warna yang berbeda untuk diamati melalui mikroskop
nanti. Dikarenakan material yang kita gunakan adalah baja, maka reagen yang digunakan
adalah Nital 3% yang digunakan untuk mendapatkan fasa ferit, pearlit dan memisahkan grafit
pada BTN.
Proses etsa kimia memiliki beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
etsa yang berlebihan dimana fasa/butir di permukaan material tersebut menjadi hangus. Pada
prinsipnya, etsa menggunakan metode oksidasi, sehingga butir-butir/fasa akan membentuk
oksida dengan warna spesifik supaya mudah diamati. Etsa yang teralu lama juga tidak boleh
diakukan karena dapat merusak permukaan spesimen.

Mulai

Membersihkan sampel
dengan air/alkohol

Meneteskan zat etsa

Membersihkan sampel
dengan alkohol dan
dikeringkan

Selesai
Gambar 9 Flowchart proses etching

Setelah preparasi telah selesai dilakukan, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan
pengamatan struktur mikro. Struktur mikro yang didapatkan dari hasil percobaan kemudian
dibandingkan dengan yang ada pada literatur. Berikut ini adalah perbandingan hasil percobaan
dengan literatur:
a. Hasil struktur mikro sampel uji tanpa perlakuan panas

Cementite

Ledeburite

Pearlite
Cementite

Pearlite

Ferrite
A

Ferrite
A

Grafit
Ledeburite
Grafit

FOTO HASIL PERCOBAAN


SAMPEL : Besi Tuang Nodular
PERBESARAN: 500x
ETSA: 3% Nital 8 detik
KETERANGAN: Bentuk bulat grafit kurang

FOTO LITERATUR[4]
Paduan: Besi tuang nodular as-cast
PERBESARAN: 500 x
ETSA: 4% Nital

sempurna. Grafit ditandai dengan bentuk bulat


berwarna hitam, ferrite berwarna putih yang KETERANGAN:
mengelilingi

grafit, pearlite adalah yang sempurna.

Terlhat

Bentuk

grafit

bulat

jelas

bahwa

ferrite

berwarna hitam, ledeburite bulatan kecil mengelilingi grafit


berwarna putih, dan cementite bidang putih
yang berukuran kecil.

Dikarenakan besi tuang memiliki kadar karbon yang cukup tinggi, maka kekerasan yang
dimiliki juga sangat tinggi. Seperti yang telah diketahui bahwa semakin banyak karbon yang
terkandung dalam material, maka materal itu memiliki sifat kekerasan yang tinggi. Namun, jika
dibandingkan dengan besi tuang kelabu yang memiliki bentuk grafit yang runcing, besi tuang
nodular memiliki sifat mekanis yang lebih baik. Hal ini dikarenakan dengan bentuk grafit yang
runcing, stress konsentrasinya akan lebih besar.

Fasa yang terdapat dalam BTN yaitu ferrit, pearlite ditambah dengan nodular grafit. Selain tu
juga terdapat fasa ledeburite dan cementite namun dalam jumlah yang sangat sedikit. Adanya
elemen Si dalam BTN, membuat dekomposisi Cementite Fe3C menjadi Fe dan C.
Jika melihat foto struktur mikro yang didapat dan dibandingkan dengan foto pada literatur
(etsa nital), maka terlihat adanya perbedaan. Terlihat jelas bahwa pada foto strutkur mikro
diliteratur ferrite mengelilingi nodular, sedangkan pada foto strutkur mikro yang didapat dari
percobaan, ferrite tidak terlihat jelas mengelilingi nodular hanya terdapat sedikit pada daerah
samping nodular (tidak seutuhnya mengelilingi). Selain itu, bentuk nodular pada foto struktur
mikro literatur juga terlhat bulat sempurna.

b. Hasil sampel uji dengan perlakuan panas

Pearlite

Pearlite

Ferrite

Ferrite

FOTO HASIL PERCOBAAN

FOTO LITERATUR [6]

SAMPEL : S45C

Paduan: AISI 1045

PERBESARAN: 500x

PERBESARAN: 250 x

ETSA: 3% Nital 8 detik

ETSA: Nital 2%

Keterangan: fasa pearlite ditandai dengan Keterangan: fasa pearlite ditandai dengan
warna htam dan fasa ferrite dtandai dengan warna htam dan fasa ferrite dtandai dengan
warna putih

warna putih

10

Sampel uji yang telah diberikan perlakuan panas kemudian didinginkan dengan menggunakan
media quench. Media quench yang digunakan merupakan variabel penentu fasa yang terbentuk. Hal
ini dapat dilihat pada diagram CCT atau TTT, dimana laju pendinginan yang berbeda akan
menghasilkan fasa yang berbeda. Pada praktikum ini media quench yang digunakan adalah udara.

Gambar 10 Diagram CCT baja


Jika diurutkan laju pendinginan berdasarkan media quench yang digunakan (antara air, oli,
dan udara), maka air memiliki laju pendinginan yang paling tinggi. Oleh karena itu, pada foto
struktur mikro akan terbentuk fasa martensit. Seperti yang telah diketahui bahwa martensit
merupakan fasa yang memiliki kekerasan yang sangat tinggi. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan
menghitung kekerasan rata-rata sampel dengan melakukan pengujian kekerasan dengan Brinell.
Lain halnya dengan sampel pengujian struktur mikro, dalam melakukan pengamatn struktur
makro tidak diperlukan preparasi sampel terlebih dahulu. Sampel yang diamati merupakan sampel
baja karbon setelah dilakukan uji tarik. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui jenis patahan
yang terjadi pada material dimana dapat menentukan apakah material tersebut getas ataukah ulet.
Berikut ini adalah hasil pengamatan struktur makro yang dibandingkan dengan literatur:

11

Foto Percobaan

Foto Literatur

Sampel : Baja Karbon patahan tarik

Sampel : baja karbon

Perbesaran : 7 x

Perbesaran : 7 x

Keterangan : Merupakan perpatahan ulet

Keterangan : buram dan terdapat fibrous pada


perpatahan

Sampel foto percobaan struktur makro yang didapatkan adalah yang telah dilakukan
pengujian tarik. Jika dianalisa, hasil perpatahan sampel tersebut merupakan perpatahan ulet, ada
beberapa hal yang menunjang pernyataan tersebut:

Hasil perpatahan yang terjadi terlihat gelap dan berserabut


Dari foto struktur makro terlhat bahwa pada permukaan sampel tidak rata dan berserabut.
Selain itu juga terlihat bahwa permukaannya berwarna gelap.

Terdapat necking dan hasil cup & cone


Bentuk perpatahnnya termasuk dalam golongan cup&cone. Sehingga dapat dipastikan
bahwa selama pengujian tarik terjadi necking yang berarti bahwa terdapat deformasi pada
material.

Perpatahan ulet, terjadi melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama dimulai dari necking,
kemudian pembentukan pori atau lubang kecil pada material yang ada di tengah maupun di
permukaan, setelah itu penyebaran pori atau lubang (cavities propagation), dan akhirnya
bergabung membentuk pori yang lebih besar. Penyebaran crack kemudian berlanjut hingga pada
akhirnya terjadi perpatahan akibat tidak mampu lagi menahan beban yang ada.

12

Gambar 11 Mekanisme perpatahan ulet

Kesimpulan

1. Preparasi Material
-

Mounting
Proses preparasi paling awal adalah mounting yang bertujuan untuk memudahkan

proses preparasi selanjutnya untuk sampel yang berukuran kecil atau dengan bentuk yang
tidak beraturan. Hal yang harus diperhatikan pada mounting adalah:

Rasio dari resin dan hardener,

Kecepatan pada proses pengadukan,

Kebersihan sampel dan cetakan

Cara penuangan resin kedalam cetakan

Posisi sampel sebelum penuangan resin harus tetap (tidak mudah geser)

Grinding
Pengamplasan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang rata dan halus

agar memudahkan pengamatan sampel. Pengamplasan dimulai dari kertas amplas yang kasar
(mesh rendah) hingga yang halus (mesh tinggi). Adapun hal-hal yang harus diperhatikan
dalam pengamplasan adalah:

Kertas amplas yang digunakan dari grit 240 - 1500

Setiap pergantian grit amplas arah dari pengamplasan harus diputar 45o atau 90o untuk
menghilangkan goresan sebelumnya.

Tekanan yang diberikan oleh tangan harus merata saat memegang mounting

Pada saat proses amplas, air harus selalu dituangkan secara kontinu ke mesin amplas
sebagai pengalir geram dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas.

13

Polishing
Pemolesan adalah persiapan sampel yang bertujuan untuk mendapatkan permukaan

sampel yang mengkilap dan dapat memantulkan cahaya dengan baik agar dapat diamati
dibawah mikroskop. Pemolesan dilakukan dengan menggunakan mesin poles dengan media
poles alumina yang dituangkan keatas kain beludru. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pemolesan, yaitu:

Jenis zat poles dapat berupa alumina, silika, atau intan.

Jenis kain pemoles dapat berupa beludru.

Kecepatan poles dan waktu polesnya.

Saat proses poles, air harus dialirkan pada permukaan mesin poles. Air berfungsi
sebagai pemindah geram dan juga menjaga agar zat poles tidak cepat kering. Namun
penggunaan air juga tdak boleh terlalu banyak.

Spesimen harus selalu digoyangkan pada sumbunya untuk mencegah terjadinya efek
ekor komet yang akan mengganggu saat analisa foto mikro.

Etching
Etsa adalah proses korosi terkendali yang digunakan utuk mengikis permukaan material

dan memperlihatkan batas-batas butir pada struktur material tersebut. Hal yang penting dalam
proses etsa adalah:

Kebersihan sampel
Sampel harus dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran dan lemak-lemak yang
menempel pada permukaannya dengan mencuci permukaannya dengan sabun.

Zat etsa
Zat etsa yang digunakan harus sesuai dengan material yang akan di etsa serta
ketersediaan alkohol sangatlah penting.

Waktu pengetsaan
Waktu etsa juga sangat penting untuk diperhatikan. Jangan terlalu cepat karena
mungkin saja permukaan sampel belum terkorosi dan menyebabkan tidak munculnya
fasa-fasa yang ingin diamati pada mikroskop. Etsa juga tidak boleh terlalu lama
karena akan menyebabkan over etsa.

Pembersihan dan pengeringan


Setelah etsa dilakukan, spesimen harus segera dibersihkan dan dikeringkan untuk
menghindari over etsa.

14

2. Pembuatan Foto dan Analisis Struktur Makro dan Mikro


-

Pengamatan Struktur Mikro


Pengamatan struktur mikro memberikan gambaran dari struktur material yang kasat

mata. Pada pengamatan struktur mikro ini dapat terlihat butir, batas butir, serta fasa-fasa yang
terdapat pada material tersebut. Untuk mendapatkan foto mikro yang baik, material tersebut
harus memiliki permukaan yang rata dan halus sehingga dapat memantulkan cahaya dengan
baik. Untuk mendapatkannya dibutuhkan proses poles dan etsa yang baik. Kebersihan sampel
juga akan mempengaruhi kualitas foto akhir dari struktur mikro.
-

Pengamatan Stuktur Makro


Pada pengamatan struktur makro kali ini, yang diamati adalah bentuk perpatahan dari

baja karbon yang telah dilakukan pengujian tarik. Perpatahan yang didapat memiliki jenis
perpatahan ulet. Perpatahan ulet ditandai dengan permukaan perapatahan yang gelap dan
berserat. Selain itu, diketahui juga bahwa perpatahannya adalah cup&cone sehingga diketahui
selama pengujian tarik terjadi deformasi karena adanya necking. Tidak terlihat perbedaan
yang terlalu jauh maupun terlalu dekat antara diameter di daerah necking dan daerah yang
tidak terdeformasi plastis. Hal ini menunjukkan bahwa sampel bersifat ulet, sehingga sampel
kemungkinan memiliki kandungan karbon yang medium.
-

Percobaan HST
Berbagai media quench memiliki laju pendinginan yang berbeda-beda. Pada percobaan

ini digunakan media quench berupa udara. Hasil percobaan kemudian dibandingkan dengan
literature yang menggunakan media quench berupa oli dan air. Dari ketiga media quench
tersebut, yang memiliki laju pendinginan paling tinggi adalah air, kemudian oli, dan terakhir
udara. Semakin cepat pendinginan yang terjadi, maka semakin banyak pula martensite yang
terbentuk dan semakin keras material tersebut.

15

Laboratorium Destructive Testing

Berbeda dengan yang dilakukan di laboratorium metalografi dan HST, di laboratorium ini
dilakukan beberapa pengujian merusak dimana diberikan beban ke sampel yang akan diuji. Beban
yang diberikan adalah beban tarik dan beban impak. Selain itu juga dilakukan pengujian keras dan
pengujian aus. Dilakukannya pengujian ini adalah untuk mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh
material. Namun sama halnya dengan pengujian di laboratorium metalografi dan HST, pengujian
yang dilakukan di laboratorium ini juga untuk mengkarakterisasi material.
a. Pengujian tarik
Pengujian tarik merupakan pengujian yang bertujuan untuk mengetahui kekuatan bahan
terhadap gaya tarik. Pengujian ini dilakukan dengan menarik spesimen dengan beban kontinu
dan mengukur pertambahan panjanganya hingga terjadinya perpatahan. Dalam pengujian ini,
bahan uji akan ditarik sampai putus. Standar pengujian tarik logam diatur dalam ASTM E 8
(Standard Test Methods for Tension Testing of Metallic Material). Pada pengujian ini,
spesimen yang digunakan merupakan material Fe dan Al. Spesimen ini berbentuk dog bone,
dimana pada bagian tengah diameternya lebih kecil dibandingkan diameter ujungnya. Hal ini
dimaksudkan agar perpatahan terjadi pada daerah gauge length.
Sebelum melakukan pengujian, yang pertama dilakukan adalah preparasi sampel seperti
pengukuran diameter awal (do), menentukan gauge length sepanjang 50 mm, dan
menandainya dengan spidol agar nantinya dapat diketahui pertambahan panjang yang terjadi
setelah material ditarik oleh Universal testing machine (Servopulser Shimadzu kapasitas 30
ton). Berikut ini adalah langkah-langkah pengujian:

Gambar 12 Langkah-langkah pengujian tarik

Setelah pengujian telah selesai dilakukan, akan diperoleh kurva beban yang diberikan
(applied load) dan

pertambahan panjang (elongation) dari sampel hingga terjadinya

perpatahan. Dengan melakukan pengolahan data lebih lanjut, akan diperoleh grafik
engineering stress-strain dan grafik true stress-strain dari kedua spesimen. Dari grafik
tersebut, kita dapat menentukan modulus elastisitas, kekuatan luluh, kekuatan tarik
maksimum, kekuatan putus, persentase elongasi, dan persentase reduksi luas penampang.
Setiap spesimen memiliki nilai yang berbeda untuk setiap variabel di atas, hal ini dikarenakan
adanya perbedaan struktur kristal, komposisi, ukuran dan orientasi butir, serta proses fabrikasi
logam. Data pengamatan dan hasil penghitungan dapat dilihat pada lampiran. Berikut ini
adalah hasil grafik yang didapatkan dari hasil penghitungan:

17

Grafik P vs dL

Grafik P vs dL
6000

P (Kg)

5000
4000
3000

Al

2000

Fe

1000
0
0

10

15

20

dL (mm)
Gambar 13 Grafik beban vs elongasi

Dari grafik beban (P) versus elongasi (dL) terlihat bahwa spesimen yang mengalami
elongasi paling besar adalah Fe (19,6%) dan disusul oleh Al (10,2%). Pada pengujian ini
perpatahan tidak terjadi di tengah, hal ini dapat diperkirakan terjadi karena mikrostruktur
spesimen tidak seragam. Selain itu, dapat juga disebabkan karena adanya retak mikro pada
spesimen. Retak tersebut akhirnya menjadi pusat konsentrasi tegangan dan menjadi tempat
perpatahan. Adanya perbedaan hasil pengujian dengan literatur dimungkinkan karena adanya
ketidakmurnian spesimen, adanya cacat mikro, dan adanya asumsi saat membaca grafik
sehingga terjadi kesalahan dalam mengolah data.
Berdasarkan kekuatannya, spesimen Fe mampu menahan beban sampai 5312 kg dan
spesimen Al 1745 kg. Jadi, urutan kekuatan logam dari yang mempunyai kekuatan paling
tinggi adalah Fe yang diikuti dengan Al. Hasil dari pengujian ini sudah sesuai dengan
literatur.

18

Grafik vs

Grafik vs
600
Stress (Mpa)

500
400
300

Fe

200

Al

100
0
0

0,1

0,2

0,3

0,4

Strain
Gambar 14 Grafik stress vs strain

Keterangan:
: batas elastis
: UTS
: titik putus

Dari Gambar 14, kita dapat mengetahui beberapa informasi mengenai sifat mekanis dari
kedua sampel pengujian, diantaranya:
Ultimate Tensile Strength (UTS)
Dari grafik dapat dilihat bahwa Fe mempunyai nilai UTS yang lebih besar daripada
sampel Al, yaitu 548,448 Mpa dimana spesimen Al memiliki UTS sebesar 241,531 MPa.
Hal ini berarti Fe mampu menahan tegangan tarik paling besar sebelum mengalami
perpatahan dan Fe memiliki kekuatan yang lebih besar daripada Al. Dalam
kenyataannya, UTS tidak boleh dilewati karena dapat menurunkan sifat mekanik material
yang akhirnya menyebabkan kegagalan. Urutan modulus elastisitas ini sudah sesuai
dengan literatur. Adanya perbedaan nilai, kemungkinan disebabkan karena adanya unsur
paduan dalam spesimen, adanya cacat mikro, dan kesalahan dalam mengolah data.
Titik Luluh (Yield Point)
Titik luluh paling tinggi berdasakan grafik dimiliki oleh Fe yang kemudian diikuti
oleh Al. Fe memiliki kandungan karbon di dalamnya, sehingga hanya Fe yang
mengalami upper dan lower yielding point. Karbon yang bertindak sebagai atom
interstisi berinteraksi dengan dislokasi yang menyebabkan terjadinya upper dan lower

19

yielding point. Perbedaan titik luluh ini disebabkan karena adanya perbedaan struktur
kristal. Material dengan struktur kristal BCC seperti Fe umumnya memiliki titik luluh
yang lebih tinggi daripada material dengan struktur kristal FCC seperti Al.
Modulus Elastisitas
Nilai modulus elastisitas adalah ukuran kekakuan suatu material, semakin besar harga
modulus ini maka

semakin kecil regangan elastis yang terjadi atau semakin kaku.

Nilainya dapat diperoleh dengan persamaan:

dimana adalah tegangan dan adalah regangan.


Nilai modulus elastisitas berdasarkan percobaan ini pada spesimen Fe adalah sebesar
51,618 GPa dan untuk Al sebesar 33,21 GPa. Berdasarkan nilai modulus elastisitasnya,
maka dapat disimpulkan bahwa Fe merupakan logam yang paling kaku dibandingkan Al.
Modulus elastisitas ditentukan oleh gaya ikatan antar atom, sehingga untuk merubah
modulus elastisitas suatu material harus merubah struktur dari material tersebut. Urutan
modulus elastisitas ini sudah sesuai dengan literatur.
Necking
Pada grafik terlihat bahwa setelah melewati UTS, tegangan akan menurun dan
akhirnya material putus. Peristiwa yang terjadi di antara titik UTS dan titik putus adalah
necking, dimana terjadi perubahan diameter dan adanya pertambahan panjang yang
signifikan pada material. Mekanismenya ditandai saat material mulai mengalami
penciutan akibat adanya deformasi yang terlokalisasi. Kedua spesimen uji tarik
menunjukkan adanya fenomena necking yang menandakan bahwa kedua spesimen ini
ulet. Dari literatur diketahui bahwa pada material ulet, nilai tegangan putus berbeda
(lebih kecil) dengan nilai tegangan maksimumnya.
Ductility
Keuletan merupakan gambaran sifat kemampuan logam dalam menahan deformasi
hingga terjadinya perpatahan. Dari pengolahan data diketahui bahwa spesimen Fe
memiliki elongasi yang lebih besar dibandingkan Al, dimana elongasi Fe sebesar 27,2%,
19,6% dan elongasi Al adalah 10,2%. Dari hasil penghitungan dan hasil praktikum, telah
sesuai dengan literature dimana nilai elongasi Fe lebih besar dibandingkan Al.

20

Grafik T vs T

Grafik T VS T
800

600
400

Fe

200

Al

0
0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

T
Gambar 15 Grafik T vs T

Gambar 15 menunjukkan hubungan antara tegangan yang diberikan pada benda uji pada
kondisi regangan yang sebenarnya dialami (menggunakan luas penampang sebenarnya).
Grafik ini diolah dengan menggunakan luas area dan panjang sebenarnya dari spesimen
selama pembebanan. Pada daerah sebelum UTS, tidak terlihat perbedaan yang signifikan
denga grafik tegangan-regangan sesungguhnya. Namun, setelah daerah setelah UTS terlihat
perbedaan yang jelas karena telah terjadi peristiwa necking yang membuat luas area spesimen
berubah.
Hasil yang bisa diperoleh dari grafik ini sama seperti grafik tegangan-regangan rekayasa
yaitu:
1. UTS paling besar adalah Fe
2. Yield point paling besar adalah Fe
3. Ductility paling besar adalah Fe

Bentuk perpatahan akibat uji tarik juga nantinya akan diamati. Dengan mengamati
bentuk permukaan patahan, kita dapat menentukan sifat material tersebut apakah ulet atau
getas.

21

Gambar 16 Hasil pengujian tarik sampel Fe

Gambar 17 Hasil pengujian tarik sampel Al

Dari hasil pengujian yang dilakukan, didapatkan bahwa kedua sampel terdapat deformasi
plastis. Terlihat bahwa kedua material ini mengalami necking terlebih dahulu sebelum
mengalami perpatahan. Adanya peristiwa necking sebelum patah menandakan perpatahan
yang terjadi pada semua spesimen adalah perpatahan ulet. Mekanisme perpatahan terjadi
melalui beberapa tahap, yaitu necking (penciutan), pembentukan pori (cavity) pada material
(di tengah ataupun permukaan), penyebaran rongga-rongga kecil (cavity), kemudian ronggarongga bergabung membentuk retakan (crack), retakan (crack) menyebar hingga akhirnya
terjadi perpatahan geser dengan sudut 45o. Jika dibandingkan dengan literatur, terlihat bahwa
spesimen Fe memiliki perpatahan irregular fibrous dan spesimen Al memiliki perpatahan
partial cup cone silky.

22

Kesimpulan:
Setiap logam memiliki sifat mekanis yang berbeda-beda
Modulus elastisitas terbesar dimiliki oleh Fe dengan 51,618 GPa dan yang terendah
adalah Al dengan 33,21 GPa. Hal ini menunjukkan bahwa Fe mempunyai kekakuan
lebih tinggi daripada Al.
Berdasarkan kekuatannya, spesimen Fe mampu menahan beban sampai 5312 kg dan
spesimen Al hingga 1745 kg.
%Elongasi paling besar adalah Fe dengan 19,6% dan Al memiliki %elongasi sebesar
10,2%
Spesimen yang mengalami peristiwa yielding hanya spesimen Fe.
Perpatahan yang terjadi pada kedua sampel adalah perpatahan ulet, hal ini dapat
dilihat dengan adanya necking pada perpatahan kedua sampel.

b. Pengujian keras
Tujuan dari pengujian kekerasan adalah untuk mengukur ketahanan material terhadap
deformasi plastis yang terlokalisisasi dan juga untuk mengukur nilai kekerasan material.
Selain itu nilai kekerasan suatu material juga berguna untuk memberikan indikasi dari
kekuatan tarik dan ketahanan material terhadap aus.
Prinsip dari pengujian kekerasan adalah dengan melakukan penekanan pada permukaan
material dengan indentor sesuai dengan parameter (diameter, beban dan waktu). Dalam
praktikum ini digunakan metode indentasi Brinell, dimana pengujian kekerasan dilakukan
dengan memakai bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan beban dan waktu
indentasi tertentu. Dengan metode indentasi, dilakukan penekanan benda uji oleh indentor
dengan gaya tekan dan waktu indentasi tertentu. Pada pengujian ini indentor yang digunakan
berdiameter 3 mm. Indentasi tidak boleh dilakukan terlalu berdekatan, karena dapat
mempengaruhi nilai kekerasan material yang akan diuji. Saat melakukan indentasi, terdapat
pergerakan dislokasi di sekitar daerah indentasi yang saling menghalangi satu sama lain. Hal
ini dapat mengakibatkan daerah sekeliling hasil indentasi menjadi lebih keras, sehingga nilai
kekerasan yang didapat tidak akurat. Indentasi ini meninggalkan jejak berbentuk setengah
bola dengan permukaan lingkaran bulat. Jejak kemudian diukur menggunakan mikroskop
khusus pengukur jejak dan setelah itu dihitung nilai kekerasannya. Hasil penghitungan dapat
dilihat pada lampiran.

23

Gambar 18 Langkah-langkah pengujian keras

Gambar 19 Hasil pengujian keras sampel Al (kanan), Fe (kiri)

24

Grafik BHN vs Beban (Al)

Grafik BHN vs Beban Al


44
42
BHN

40
38

Grafik BHN vs Beban


Al

36
34
32
1

Nomor Indentasi
Gambar 20 Grafik BHN vs beban pada sampel Al

Setelah dilakukan penjejakan pada sampel Al sebanyak 3 kali maka didapatkan 3


jejak dengan besar diameter yang hampir sama. Lalu dengan ketiga diameter jejak
tersebut didapatkan nilai kekerasan untuk masing masing jejak sebagai berikut :
Tabel 2 Hasil uji keras Al

Jejak

Diameter

BHN

0,9575

42,2858

1,026

36,6767

0,9885

39,603

Dari ketiga nilai kekerasan tersebut kemudian didapatkan kekerasan rata-rata sebesar
39,52183 kg/mm2. Ketidakseragaman nilai kekerasan ini mungkin disebabkan oleh
ketidaktelitian dalam mengukur jejak atau kondisi permukaan sampel yang masih kasar
sehingga jejak yang dihasilkan memiliki selisih kekerasan yang agak jauh. Selain itu
dimungkinkan juga karena ketidaksempurnaan dalam proses pengamplasan. Jika proses
pengamplasan tidak sempurna, maka permukaan spesimen menjadi tidak seragam
sehingga nilai kekerasan menjadi beragam. Nilai kekerasan yang didapat bisa saja lebih
tinggi dari nilai kekerasan spesimen yang seharusnya, hal ini karena terdapat lapisan
alumina yang sulit dihilangkan. Nilai kekerasan Brinell (BHN) paduan Al menurut
literature terlihat pada Tabel 3:

25

Tabel 3 Nilai BHN untuk paduan Al

Material

BHN

Al alloy 1100

21.74 47.83

Al alloy 2024

53.62 143.48

Al alloy 2014

53.62 140.58

Al alloy 5052

56.52 84.06

Al alloy 5456

89.86 101.45

Al alloy 7075

66.67 165.22

Berdasarkan tabel di atas, maka nilai kekerasan yang paling mendekati dengan nilai
kekerasan hasil pengujian spesimen Al (39,52183 BHN) adalah Al alloy 1100 dengan
harga kekerasan sebesar 21.74 47.83 BHN.

Grafik BHN vs Beban (Fe)

BHN

Grafik BHN vs Beban Fe


215
210
205
200
195
190
185
180

Grafik BHN vs Beban


Fe

Nomor Indentasi

Gambar 21 Grafik BHN vs beban pada sampel Fe

Setelah dilakukan penjejakan pada sampel Fe sebanyak 3 kali maka didapatkan 3


jejak yang berbeda. Lalu dengan ketiga diameter jejak tersebut didapatkan nilai
kekerasan untuk masing masing jejak.

26

Tabel 4 Hasil uji keras Fe

Jejak

Diameter

BHN

1,0995

190,705

1,082

197,156

1,0455

211,667

Dari ketiga nilai kekerasan tersebut kemudian didapatkan kekerasan rata-rata sebesar
199,8427 BHN. Ketidakseragaman nilai kekerasan ini mungkin disebabkan oleh
ketidaktelitian dalam mengukur jejak atau kondisi permukaan sampel yang masih kasar
sehingga jejak yang dihasilkan memiliki selisih kekerasan yang agak jauh. Selain itu
dimungkinkan juga karena ketidaksempurnaan dalam proses pengamplasan. Jika proses
pengamplasan tidak sempurna, maka permukaan spesimen menjadi tidak rata dan masih
memiliki lapisan oksida.
Pada pengujian kekerasan untuk spesimen Fe ini tidak diberitahukan dengan jelas
spesifikasi spesimen yang diuji sehingga perbandingan hasil pengujian dengan data dari
literatur tidak dapat dilakukan. Perbandingan data hasil pengujian dengan data literatur
dilakukan melalui metode pengecekan terbalik dimana data hasil pengujian disesuaikan
atau dicocokkan dengan nilai pada data literatur yang sama atau mendekati untuk
masing-masing material. Berikut literatur beberapa material dan kekerasannya yang
terlihat pada Tabel 5:
Tabel 5 Nilai BHN untuk material Fe yang berbeda

Material

BHN

Steel 0.4%C

130 190

Steel 0.6%C

200 - 235

Steel 0.8%C

240 360

Malleable iron

120

Nickel cast iron

200

Berdasarkan tabel di atas, maka nilai kekerasan yang paling mendekati dengan nilai
kekerasan hasil pengujian spesimen Fe (199,8427 BHN) adalah Steel 0.6%C dengan
harga kekerasan sebesar 200 - 235 BHN.

27

Grafik BHN vs Sampel

Grafik BHN vs Sampel


200

BHN

150
Al

100

Fe

50
0
Al

Fe

Gambar 22 Grafik perbandingan BHN antara sampel Fe dan Al

Dari diagram perbandingan tingkat kekerasan antara sampel Al dan Fe, sangatlah
terlihat bahwa material Fe memiliki nilai kekerasan (Brinell Hardness Number) yang
lebih besar dibandingkan Al, yaitu 199,8427 BHN dimana nilai kekerasan Al adalah
39,52183 BHN. Hasil pengujian ini sesuai dengan data literatur yang ada, dengan urutan
kekerasan material dimulai dari yang terkeras adalah Fe dan dilanjutkan oleh Al.
Berdasarkan literatur, spesimen Fe memiliki kekerasan tertinggi dikarenakan Fe
memiliki struktur kristal BCC yang memiliki slip system sedikit sehingga dislokasi jadi
sulit bergerak yang menyebabkan material menjadi keras. Sedangkan spesimen Al
memiliki struktur kristal FCC yang memiliki slip system lebih banyak dari BCC,
sehingga dislokasi lebih mudah bergerak dan material memiliki sifat yang ulet.
Dari data pengujian terlihat bahwa spesimen yang memiliki diameter penjejakan
paling kecil adalah Fe. Hal ini dikarenakan diameter penjejakan berbanding terbalik
dengan nilai kekerasan. Makin besar nilai kekerasan, makin kecil lebar diameter
indentasi yang dihasilkan. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi kekerasan dari suatu
material adalah kekuatan ikatan antar atom di dalam material tersebut. Dapat dikatakan
bahwa material dengan kekuatan ikatan antar atom yang besar akan memiliki nilai
kekerasan yang besar pula.

Kesimpulan:
-

Metode Brinell dapat digunakan untuk mengetahui nilai kekerasan suatu material dan
merupakan salah satu metode pengukuran kekerasan indentasi.

Nilai kekerasan material dipengaruhi oleh beban (Kg), diameter indentor (mm), dan
diameter jejak (mm)

28

Semakin besar diameter indentasi, maka nilai kekerasan material akan semakin
rendah hal ini dikarenakan diameter penjejakan berbanding terbalik dengan nilai
kekerasan logam.

Material dengan nilai kekerasan tertinggi adalah Fe dan diikuti dengan Al.

Kekerasan material berkaitan dengan sifat mekanis material lainnya.

Semakin keras material, semaki tinggi pula kekuatannya.

Material dengan kekerasan yang tinggi bersifat sangat rapuh dan memiliki
ketangguhan yang kecil.

Semakin tinggi kekerasan material, maka material tersebut akan semakin tahan
terhadap mekanisme aus.

c. Pengujian impak
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengukur kekuatan impak dari suatu material.
Pengujian ini dilakukan dengan memberikan beban secara mendadak kepada spesimen.
Prinsipnya adalah seberapa besar spesimen dapat menyerap energi saat pendulum beban
dinaikkan pada ketinggian tertentu kemudian menumbuk sampel sehingga sampel mengalami
deformasi maksimum dan mengakibatkan perpatahan. Semakin besar energi yang diserap oleh
material, maka semakin tangguh material tersebut. Energi yang diserap oleh spesimen dapat
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

E P H P ( H 0 H 1 )
Ket:

P = beban yang diberikan (Joule)

Ho= ketinggian awal bandul (mm)


H1= ketinggian akhir setelah terjadi perpatahan benda uji (mm)
Namun pada pengujian ini, nilai dari energi dapat dilihat langsung pada skala mesin uji.
Sehingga untuk menghitung harga impak dapat menggunakan rumus:

HI

E
A

Ket: E = energi yang diserap (Joule)


A = luas area penampang dibawah takik (mm2)

Terdapat dua metode dalam melakukan pengujian impak, yaitu dengan metode Charpy
dan Izod. Percobaan yang dilakukan kali ini adalah menggunakan metode Charpy. Spesimen
yang digunakan berukuran 10 x 10 x 55 mm serta memiliki takik berbentuk V dengan sudut
45o dan kedalaman takik sebesar 2 mm serta posisi takik berada tepat di tengah dari dimensi
panjang benda uji (spesimen).

29

Pada pengujian ini digunakan dua jenis spesimen uji dengan tiga macam variasi
temperatur. Spesimen yang digunakan adalah Baja ST 42 dan temperatur yang digunakan
adalah pada suhu kamar, suhu tinggi, dan suhu rendah dibawah nol derajat. Variasi temperatur
yang digunakan pada percobaan:

Baja ST 42

Temperatur -0.81 0C

: sampel dimasukkan ke dalam botol berisi nitrogen cair

Temperatur 25 0C

: sampel dibiarkan pada temperatur ruang


0

Temperatur 121,5 C

: sampel diletakkan di atas pemanas

Pengujian dengan temperatur yang berbeda ini dilakukan untuk mengetahui temperatur
transisi dari masing-masing spesimen. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari pengujian,
kita dapat menentukan harga impak dari material dan menganalisa karakteristik perpatahan
material. Hasil penghitungan dapat dilihat di lampiran.

Gambar 23 Langkah-langkah pengujian impak

30

Berikut ini adalah grafik yang didapatkan dari hasil penghitungan:


Grafik HI vs T (Fe)

HI (Joule/mm2)

Grafik HI vs Temperatur Baja ST 42

-20

2,7333

2,7083

2
1

0,8209

0
0

20

40

60

80

100

120

140

Temperatur 0C
Gambar 24 Grafik perbandingan harga impak terhadap temperatur pada baja ST42

Dari grafik HI vs T pada sampel Baja ST 42, dapat dilihat bahwa semakin meningkat
temperatur, maka semakin meningkat pula nilai impaknya. Hal ini menunjukkan bahwa
di temperatur rendah, material bersifat getas karena hanya menyerap sedikit energi,
sedangkan pada temperatur tinggi material bersifat lebih ulet karena dapat menyerap
energi yang lebih besar. Fenomena ini berkaitan dengan temperatur transisi dimana
vibrasi atom-atom akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan. Vibrasi atom inilah
yang berperan sebagai suatu pembantu terhadap pergerakan dislokasi pada saat terjadi
deformasi kejut / impak dari luar. Semakin tinggi vibrasi tersebut, maka vacancy akan
semakin banyak sehingga dislokasi akan mudah bergerak. Dengan mudahnya dislokasi
bergerak maka derajat deformasi menjadi lebih tinggi yang menandakan bahwa material
tersebut bersifat ulet. Sebaliknya pada temperatur rendah di bawah nol derajat, vibrasi
atom relatif sedikit sehingga pada saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi menjadi
lebih sulit dan perpatahan terjadi karena putusnya ikatan atom. Pada temperatur rendah,
material akan bersifat rapuh atau getas.
Dari hasil pengujian ini didapatkan harga impak pada temperatur -0,81 0C adalah
0,820948336 J/mm2 , pada temperatur 25 0C adalah 2,708333333 J/mm2 , dan pada
temperatur 121,5 0C adalah 2,733264272 J/mm2 . Hasil yang didapatkan tersebut sudah
sesuai dengan literatur. Pada temperatur rendah didapatkan bahwa material menjadi
rapuh dan hanya mampu menyerap sedikit energi. Dengan temperatur yang tinggi,
kemampuan material untuk menyerap energi akan semakin tinggi. Pada pengujian
dengan temperatur rendah terlihat bahwa spesimen patah menjadi dua bagian, sedangkan
pada temperatur ruang dan tinggi spesimen hanya mengalami pembengkokan. Semakin
tinggi temperatur, maka harga impak akan semakin tinggi.

31

Dari grafik juga terlihat bahwa kekuatan impak material pada temperatur rendah
sangat kecil dibanding pada temperatur ruang dan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
adanya perubahan sifat material dari ulet menjadi getas. Logam Fe merupakan logam
dengan struktur kristal BCC dimana logam tersebut akan mengalami perubahan sifat dari
getas ke ulet seiring dengan naiknya temperatur. Pada temperatur tinggi logam dengan
struktur BCC akan bersifat ulet. Sedangkan pada temperatur rendah logam akan bersifat
rapuh. Sehingga sampel Fe ini memiliki temperatur transisi. Temperatur transisi adalah
temperatur yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji
pada temperatur yang berbeda-beda. Dari grafik juga diketahui bahwa Fe mengalami
transisi dari getas ke ulet. Pada spesimen Fe yang diberikan beban kejut perpatahan yang
terjadi diantaranya:
Temperatur -0,81

C : sampel patah sempurna dan perpatahannya adalah

campuran.
Temperatur 25 0C : sampel tidak patah sempurna, pada bagian yang patah
berbentuk fibrous.
Temperatur 121,5 0C : sampel patah sempurna dengan bentuk patahan fibrous
Bentuk perpatahanan sampel baja ST 42 ketika berada pada temperatur di bawah 0 0C,
spesimen patah menjadi dua bagian dan memiliki permukaan yang granular dan
mengkilat dikarenakan sifatnya yang cukup getas. Pada temperatur ruang, spesimen
patah sebagian dan memiliki permukaan yang cerah, mengkilap dan kasar. Patahan ini
termasuk ke dalam patahan campuran dimana materialnya memiliki sifat ulet dan getas.
Pada temperatur tinggi, spesimen juga patah sebagian seperti pada temperatur rendah,
namun pada temperatur tinggi ketebalan spesimen pada lebih besar. Permukaan patahan
pada temperatur tinggi berserat dan tingkat kekasarannya lebih tinggi dibanding pada
temperatur ruang. Perpatahan ini digolongkan sebagai perpatahan berserat yang terjadi
pada material ulet.

Gambar 25 Sampel Fe yang diuji pada temperatur tinggi

Gambar 26 Sampel Fe yang diuji pada temperatur rendah

32

Gambar 27 Sampel Fe yang diuji pada temperatur ruang

Kesimpulan:
-

Pengujian impak dengan metode Charpy dapat digunakan untuk mengetahui


ketangguhan suatu material serta temperatur transisi dari suatu material.

Material yang bersifat ulet memiliki ketangguhan yang lebih besar dibandingkan
material yang bersifat getas.

Pengujian impak pada berbagai temperatur memberikan data mengenai temperatur


transisi suatu material dan bentuk patahan material (ulet/getas/campuran).

Spesimen baja ST42 memiliki temperatur transisi, dimana terjadi perubahan sifat
mekanis dari getas ke ulet dan sebaliknya.

Material cenderung bersifat ulet pada temperatur yang semakin tinggi dan memiliki
sifat getas pada temperatur yang rendah.

Material yang bersifat ulet memiliki patahan yang berserat, sedangkan material yang
getas memiliki patahan yang halus dan mengkilap.

d. Pengujian aus
Keausan didefinisikan sebagai kehilangan material secara progresif atau pemindahan
sejumlah material dari suatu permukaan sebagai suatu hasil pergerakan relatif antara
permukaan tersebut dan permukaan lainnya. Pengujian keausan dapat dilakukan dengan
berbagai macam metode dan teknik yang bertujuan untuk mensimulasikan kondisi keausan
aktual. Salah satunya adalah metode Ogoshi dimana benda uji memperoleh beban gesek dari
cincin yang berputar (revolving disc). Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar
permukaan yang berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada
permukaan benda uji. Besarnya jejak permukaan dari material tergesek inilah yang akan
dijadikan dasar penentuan tingkat keausan pada material. Semakin besar dan dalam jejak
keausan, maka semakin tinggi volume material yang terkelupas dari benda uji.
Spesimen yang digunakan pada pengujian ini adalah Fe dan Al. Sebelum melakukan
pengujian, spesimen diamplas terlebih dahulu untuk menghilangkan lapisan oksida pada
spesimen yang dapta mempengaruhi ketahanan aus material. Untuk menghitung besarnya
volume material yang terabrasi (W) dapat menggunakan rumus berikut:

B.b 3
W
12 r

33

dimana

= volume material yang terabrasi (mm3)

= tebal revolving disc (mm)

= jari-jari revolving disc (mm)

= lebar celah material yang terabrasi (mm)

Sedangkan, untuk menghitung laju keausan (V) dapat dilakukan dengan membandingkan
volume material yang terabrasi (W) dengan jarak luncur (x) (setting pada mesin uji) :

W
B.b 3
V

x 12 r .x
e. pengamatan sampel dengan menggunakan mikroskop
Setelah pengujian, kita melakukan
pengukur untuk mengetahui jari-jari terbesar yang didapatkan. Dari jari-jari yang didapat,
kemudian kita dapat mengetahui W yang kemudian dapat digunakan untuk mencari laju
keausan. Nilai jarak luncur (x) pada pengujian ini adalah 100000 mm dan pembebanan adalah
12,64 kg. Hasil penghitungan dan data dapat dilihat pada lampiran.

34

Gambar 28 Langkah-langkah pengujian aus

Grafik Laju aus vs beban (Fe)

Laju Aus vs Beban (Fe)


Laju Aus

0,000006

12,64,
0,000005

0,000004
0,000002
3,16, 8,75E-07
0
0

10

12

14

Beban

Gambar 29 Grafik perbandingan laju aus dan beban pada sampel Fe

35

Dari grafik Laju Aus vs beban pada sampel Fe diketahui bahwa beban yang
dikenakan pada sampel dengan laju aus berbanding linier. Dengan pembebanan yang
rendah, maka laju aus pun menjadi rendah juga. Laju aus terbesar ada pada pembebanan
terbesar yaitu dengan beban 12,64 kg nilai laju ausnya 5x10-7 mm2/mm.
Nilai laju Aus akan terus meningkat seiring dengan pertambahan beban dan laju aus
berbanding lurus dengan volume material yang terabrasi. Hal ini berarti bahwa semakin
besar beban yang diberikan maka material yang terabrasi akan semakin banyak sehingga
kecepatan ausnya pun meningkat. Seperti yang terlihat pada grafik bahwa terdapat
peningkatan laju keausan yang signifikan pada penambahan beban.
Grafik Laju aus vs beban (Al)

Laju Aus vs Beban (Al)


Laju Aus

0,000015

12,64,
0,0000122

0,00001
0,000005
0
0

3,16,
0,000000575
4
6

10

12

14

Beban
Gambar 30 Grafik perbandingan laju aus dan beban pada sampel Al

Grafik laju aus vs beban untuk sampel Al menunjukkan kurva yang linier. Laju aus
terbesar ada pada pembebanan terbesar yaitu dengan beban 12,64 kg nilai laju ausnya
1.22 x10-6 mm2/mm. Dapat dilihat pada grafik bahwa terdapat peningkatan laju keausan
yang signifikan seiring dengan bertambahnya beban.
Diketahui bahwa dengan meningkatnya nilai laju Aus dikarenakan meningkatnya
pertambahan beban dan volume material yang terabrasi. Hal ini berarti bahwa semakin
besar beban yang diberikan maka material yang terabrasi akan semakin banyak sehingga
kecepatan ausnya pun meningkat.

36

Grafik Laju aus vs beban (perbandingan 2 sampel)

Laju Aus vs Beban (2 sampel)


Laju Aus

0,000015
0,00001
Fe

0,000005

Al

0
0

10

15

Beban
Gambar 31 Grafik perbandingan laju aus dan beban pada sampel Fe dan Al

Dari grafik perbandingan laju aus kedua sampel terhadap beban yang bernilai antara
3,16 Kg 12,64 Kg, logam yang mempunyai laju aus tertinggi adalah logam Al dan
diikuti dengan logam Fe. Semakin tinggi nilai kekerasan suatu material, maka material
tersebut akan semakin sulit mengalami keausan. Menurut literatur, logam yang memiliki
ketahanan aus yang paling tinggi adalah Fe dan yang palng rentan adalah Al. Kesalahan
ini dimungkinkan karena permukaan spesimen yang tidak rata dan tidak bersih karena
proses pemgamplasan yang tidak sempurna. Selain itu, ketidaktelitian saat pembacaan
lebar celah juga dapat menyebabkan adanya perbedaan nilai yang didapat saat pengujian
dengan nilai pada literatur.

Gambar 32 Sketsa permukaan aus sampel Fe (kanan), Al (kiri)

Kesimpulan:
-

Semakin keras suatu material, maka material tersebut akan memiliki ketahanan aus
yang tinggi.

Material yang memiliki ketahanan aus paling tinggi adalah Fe dan diikuti oleh Al.

Semakin tinggi kecepatan putar dari revolving disc, maka gaya gesekan yang terjadi
pada sampel akan semakin besar dan volume yang terabrasi akan semakin besar.

Semakin besar laju keausan, maka ketahanan ausnya akan semakin rendah

Dengan bertambahnya beban, laju keausan akan semakin bertambah.

37

Laboratorium Advanced Characterization Material

a. Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)


Pengujian AAS merupakan suatu metode analitik yang dapat mengukur konsentrasi
elemen pada material. Penyerapan atomik itu sangat sensitif dimana dapat mengukur suatu
part material hingga ukuran milyar gram (g dm-3). Analisa yang dapat dilakukan dengan
menggunakan pengujian ini antara lain adalah:

Analisa air (kandungan Ca, Mg, Fe, Si, Al, Ba)

Analisa makanan

Analisa makanan hewan (kandungan Mn, Fe, Cu, Cr, Se, Zn)

Analisa aditif dalam pelumas dan grease (kandungan Ba, Ca, Na, Li, Zn, Mg)

Analisa tanah

Analisa klinikal (analisa sampel darah: seluruh darah dan serum plasma,
kandungan Ca, Mg, Li, Na, K, Fe)

Prinsip pengujian yang dilakukan ini sama dengan pengujian pembakaran (flame)
yang digunakan untuk analisa kualitatif. Ketika logam alkali berupa garam atau kalsium,
stronsium atau garam barium dipanaskan pada Bunsen maka warna yang muncul akan
berbeda untuk setiap elemen. Contoh dari warna yang akan muncul adalah sebagai berikut:

Na: kuning

Li: crimson

Ca: merah bata

Ba: hijau

Ketika dilakukan pembakaran pada sampel, terdapat ion yang akan tereduksi menjadi
atom. Tingginya temperatur pembakaran dapat meningkatkan valensi elektron menjadi orbit
berenergi lebih besar. Hal ini menyebabkan atom membuat energi menjadi dalam bentuk
cahaya dimana elektron akan kembali pindah ke dalam orbital bernergi rendah (ground state).
Atom yang ada pada ground state kemudian akan menyerap cahaya dari panjang gelombang
berkarakteristik sama dan kemudian beremisi ketika kembali ke dalam ground state.
Intensitas dari cahaya yang terserap itu proporsional dengan konsentrasi elemen pada
pembakaran. Pengujian ini juga merupakan salah satu tahapan yang kritikal dimana banyak
sekali masalah yang dapat terjadi. Sampel yang biasanya digunakan untuk pengujian ini
adalah solid atau liquid.

Gambar 33 Skematik proses atomic absorption

Gambar 34 Alat pengujian AAS

b. Scanning Electron Microscope (SEM)


SEM yang merupakan kependekan dari Scanning Electron Microscope adalah salah satu
jenis mikroskop yang menggunakan elektron untuk mengambil gambar sampel. Pengambilan
gambar ini dilakukan dengan cara scanning menggunakan high electron beam energy.
Elektron akan berinteraksi dengan atom-atom pada sampel dan menghasilkan sinyal yang
mengandung informasi tentang topografi permukaan sampel, komposisi, dan properti lainnya
seperti konduktivitas listrik. Sinyal yang dipancarkan ini kemudian akan ditangkap oleh
detektor dan diartikan menjadi data-data yang diinginkan. Detektor-detektor tersebut adalah
secondary electron detector dan backscattered electron detector.
SEM memiliki kelebihan dibandingkan dengan mikroskop biasa, seperti contohnya
adalah pada SEM memiliki dept of field yang besar sehingga fokus pada spesimen menjadi
lebih baik. Selain itu, SEM juga memiliki resolusi yang tinggi sehingga perbesaran yang
dapat dilakukan untuk melihat spesimen menjadi lebih besar. Dikarenakan SEM
menggunakan elektromagnetik, derajat perbesaran pun menjadi lebih mudah untuk dikontrol
jika dibandingkan dengan menggunakan lensa. Perbesaran yang dapat dilakukan dengan
menggunakan SEM mulai dari 20 kali hingga 30.000 kali dan resolusi yang dimiliki adalah
50100 nm.

39

Gambar 35 Bagian-bagian dari SEM


Adanya interaksi elektron dengan atom pada permukaan sampel akan memproduksi
sinyal-sinyal yang mengandung informasi mengenai permukaan sampel tersebut. Jenis-jenis
sinyal yang dapat diproduksi oleh SEM adalah secondary electron (SE), backscattered
electron (BSE), x-rays, visible light (cathodo-luminescence), dan diffracted backscattered
electron (EBSD). Masing-masing sinyal ini memiliki fungsi yang berbeda, berikut ini adalah
penjelasannya:

SE: memberikan informasi mengenai morfologi dan topografi pada sampel

BSE: memberikan informasi mengenai distribusi dari elemen yang berbeda pada
sampel

EBSD: digunakan untuk menentukan struktur kristal dan orientasi dari mineral

X-rays: digunakan untuk menganalisa elemen pada material

Dalam melakukan karakterisasi material dengan menggunakan SEM, terdapat beberapa


tahapan yang harus dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

Membersihkan sampel, apabila kotor dan berkarat dapat dilakukan ultrasonic


cleaning. Ultrasonic cleaning menggunakan larutan aseton yang diberi getaran
dengan frekuensi ultrasonik.

Meletakkan sampel pada holder yang terdapat dalam chamber.

Untuk menempelkan mounting yang tidak terhubung dengan dasar holder,


biasanya menggunakan double-sided tape konduktif yang menghubungkan
sampel dengan dasar holder.

Menjalankan mesin SEM, harus dipastikan bahwa chamber dalam keadaan


vakum dengan terus menyalakan vacuum pump.

40

Catatan: untuk sampel yang tidak konduktif, contohnya polimer, harus melalui tahap
pelapisan dengan metode sputtering Au atau Pt.

Gambar 36 Alat pengujian SEM

Gambar 37 Hasil pengujian SEM berupa material ZnO nano-wire (kiri) dan carbon nanotube (kanan)

Gambar 38 Hasil pengujian SEM pada spesimen Sn3.5Ag yang diregangkan hingga 3,8%
pada 298K dimana terlihat adanya intergranular crack

41

c. Fourier Transform InfraRed Spectroscopy (FTIR)


FTIR merupakan salah satu metode pengujian dengan menggunakan infrared
spectroscopy. Di dalam infrared spectroscopy, radiasi infra merah akan diteruskan langsung
ke dalam sampel. Beberapa radiasi infra merah kemudian akan diserap oleh sampel dan
beberapa diantaranya akan tertransmisi dan melewati sampel. Spektrum yang dihasilkan
mewakili penyerapan dan transmisi dari molekul dan menciptakan sidik jari dari molekul
tersebut. Dengan adanya sidik jari ini, struktur molekul yang memproduksi spektrum infra
merah memiliki struktur yang berbeda.
Pengujian dari FTIR sendiri memiliki banyak fungsi dalam melakukan analisa
material. Analisa material ini dapat dilakukan dengan menggunakan infrared spectroscopy.
Beberapa analisa yang dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian FTIR, antara lain
adalah mengidentifikasi material yang tidak diketahui, menentukan kualitas atau konsistensi
sampel, dan menentukan jumlah komponen dalam suatu mixture.
Pengujian FTIR pertama kali dikembangkan untuk mengatasi kekurangan yang
dihadapi ketika menggunakan alat dispersi, dimana hambatan utamanya adalah lamanya
proses scanning. Berikut ini adalah tahapan yang perlu dilakukan untuk melakukan pengujian
FTIR:

Sumber energi: energi infra merah pertama diemisikan dari glowing black-body
source. Sinar ini kemudian melewati suatu celah yang mengontrol jumlah energi
yang diberikan ke sampel (dan akhirnya ke detektor).

Interferometer: sinar kemudian memasuki interferometer dimana adanya


spectral encoding. Hasil sinyal dari interferogram kemudian akan keluar dari
interferometer.

Sampel: setelah melewati interferometer, sinar kemudian memasuki sampel.


Sinar ini akan ditransmisikan melalui ataupun direfleksikan dari permukaan
sampel, dimana bergantung pada jenis analisa yang ingin dicapai. Pada sampel,
terdapat energi berfrekuensi spesifik yang diserap dimana energi ini dapat
mengkarakterisasi material.

Detektor: sinar yang telah melewati sampel kemudian melewati detektor untuk
pengukuran akhir. Detektor yang digunakan dirancang secara khusus untu
mengukur sinyal interferogram yang spesial.

Komputer: sinyal yang telah terukur kemudian akan di digitalisasi dan


dikirimkan ke komputer dimana terjadi transformasi Fourier. Spektrum infra
merah yang dihasilkan kemudian dapat di interpretasi sesuai dengan analisa yang
ingin dilakukan.

42

Gambar 39 Skematik cara kerja FTIR

d. UV-Vis
UV-Vis yang merupakan kependekan dari Ultraviolet and Visible Spectrometer
merupakan salah satu alat analisa yang sangat penting di dalam laboratorium dikarenakan
pengujian ini mudah untuk dilakukan, serbaguna, cepat, akurat, dan biaya yang dibutuhkan
untuk melakukan pengujian rendah. Prinsip dari pengujiannya adalah dengan adanya
penyerapan energi photon yang berasal dari sumber cahaya, dimana energi tersebut kemudian
akan mempromosikan elektron dari orbital satu ke orbital lainnya pada sampel. Dari
pengujian ini akan dihasilkan suatu spektrum yang berhubungan dengan penyerapan energi
photon.

Gambar 40 Contoh hasil pengujian UV-Vis

43

Pengujian UV-Vis dapat dilakukan untuk menganalisa senyawa organik dan anorganik,
contohnya adalah mengkarakterisasi chromophores (penyerapan gugus fungsi), menyetel
besarnya penyerapan pada detektor di chromatography, dan mengamati molekul pada
fluorescent TLC plates. Rentang dari UV-Vis hanyalah sebagian kecil dari jumlah total
spektrum elektromagnetik. Umumnya, rentang dari UV-Vis didefinisikan dengan panjang
gelombang sebesar 190 nm pada energi UV yang tinggi dan 750 nm pada red energy yang
rendah di akhir spektrum.

Gambar 41 Skematik pengujian UV-Vis

Gambar 42 Alat pengujian UV-Vis

e. Energy Dispersive X-Ray Spectrometer (EDS)


Energy-dispersive X-ray Spectroscopy (EDS) merupakan suatu teknik analisa yang
digunakan untuk menganalisa elemen atau karakterisasi kimia dari suatu sampel. EDS
menggunakan spectrum sinar-X yang diemisikan oleh sampel sebagai respon terhadap
partikel yang terkena muatan saat pengujian. Karakterisasi dengan menggunakan metode EDS
ini berdasarkan prinsip dasar bahwa masing-masing unsur memiliki struktur atom yang khas
sehingga memungkinkan sinar-X untuk mengidentifikasikannya secara spesifik. Pengujian
EDS ini berhubungan dengan SEM dimana jika ditambahkan spektometer sinar-X pada alat

44

SEM maka hasil analisa yang dibutuhkan oleh EDS untuk mengkarakterisasi elemen suatu
material akan didapatkan.
Pada pengujian EDS, intensitas sinar-X diukur dengan menghitung jumlah photon dan
tingkat kepresisian hasil yang didapatkan itu terbatas oleh kegagalan statistik. Jumlah energi
yang diemisikan dalam bentuk sinar-X dari sampel dapat diukur dengan menggunakan
energy-dispersive spectrometer. Karena energi dari sinar-X ini merupakan karakteristik dari
suatu unsur, maka ini memungkinkan kita untuk mengetahui komposisi kimia dari spesimen
yang akan dianalisa.
Pengujian EDS dapat dilakukan pada elemen dengan nomor atom mulai dari 4 hingga 92.
Terdapat dua macam analisa yang dapat dilakukan, yaitu analisa kualitatif dan analisa
kuantitatif. Pada analisa kualitatif, dilakukan identifikasi garis spkctrum dimana analisa ini
cukup mudah untuk dilakukan dikarenakan spektrum sinar-X yang sederhana. Sedangkan
pada analisa kuantitatif, akan ditentukan konsentrasi elemen yang ada pada material dengan
cara mengukur garis intensitas dari setiap elemen dan kemudian dibandingkan dengan standar
yang ada. Berikut ini merupakan contoh hasil data yang didapatkan dari pengujian EDS:

Gambar 43 Hasil pengujian EDS

45

Daftar Pustaka

[1] Ying Ding, Chunqing Wang, Mingyu Li. 2005. Scanning Electron Microscope In-Situ
Investigation of Fracture Behavior in 96.5Sn3.5Ag Lead-Free Solder. Journal of Electronic
Materials, vol. 34, No. 10, p. 1324-1335.

[2] The Royal Society of Chemistry Fine Chemicals. Atomic absorption spectrometry. London:
Author

[3] Thermo Nicolet Corporation. 2001. Introduction to Fourier Transform Infrared Spectometry.
USA: Author.

[4] Hafner, Bob. Energy Dispersive Spectroscopy on the SEM: A Primer. Characterization
Facility, University of Minnesota.

[5] Bader, Nabil Ramadan. 2011. Sample Preparation for Flame Atomic Absorption
Spectroscopy: An Overview. Rasayan J. Chem, Vol. 3, No. 1, p. 49-55.

[6] NORAN Instruments. 1999. Energy-Dispersive X-Ray Microanalysis An Introduction.


Middleton: Author.

[7] Cristiana Delprete, Raffaella Sesana. 2014. Experimental characterization of a Si-Mo-Cr


ductile cast iron. Materials and Design, 57, p. 528-537.

[8] Thermo

Spectronic.

Basic

UV-Vis

Theory,

Concepts,

and

Applications.

http://www.thermo.com/eThermo/CMA/PDFs/Articles/articlesFile_12067.pdf

[9] Erxleben,

A.

2009.

Atomic

Absorption

Spectroscopy.

http://www.nuigalway.ie/chemistry/level2/courses/CH205_atomic_absorption_spectroscopy.p
df

[10]

Schweitzer,

Jim.

Scanning

Electron

Microscope.

http://www.purdue.edu/rem/rs/sem.htm

[11]

Swapp, Susan. Scanning Electron Microscope (SEM). University of Wyoming.

http://serc.carleton.edu/research_education/geochemsheets/techniques/SEM.html

[12]

Callister, Jr, William D. 2007. Materials science and Engineering An Introduction

7e. New York: John Wiley & Sons, Inc.

[13]

Nieh, T.G; Wadsworth, J; Sherby, O. D. 1997. Superplasticity in Metals and

Ceramics. New York: Cambridge University Press.

[14]

Dieter, George E. 1998. Mechanical Metallurgy. McGraw Hill Book Co.

[15]

Dace

Technologies.

Metallographic

Castable

Mounting.

http://www.metallographic.com/Technical/Castable%20Mount.htm

[16]

American Society for Metals. 1995.

ASM Metals Handbook Volume 9. ASM

International Handbook Committee: USA.

46

[17]

Anonymous.

UV-Visible

Spectroscopy.

http://www.chem.umn.edu/groups/taton/chem8361/Handouts/11_2.pdf

[18]

Anonymous.

Brief

Overview

of

Traditional

Microscope.

http://www.eng.utah.edu/~lzang/images/Lecture_3_conventional-Microscope.pdf

[19]

Anonymous. Introduction to Energy Dispersive X-Ray Spetrometry (EDS).

http://micron.ucr.edu/public/manuals/EDS-intro.pdf

[20]

Anonymous.

2010.

SS400

Structural

Steel

An

Overview.

http://www.meadinfo.org/2010/09/jis-g-3101-ss400-steel-properties-spec.html

[21]

Modul Praktikum Pengujian Merusak (Destructive Test), Departemen Metalurgi dan

Material FTUI.

[22]

Slide Kuliah Karakterisasi Material 1, Departemen Metalurgi dan Material FTUI.

[23]

Modul Praktikum Analisis Struktur Material. 2013. Laboratorium Metalografi dan

HST. Departemen Teknik Metalurgi dan Material FTUI: Depok.

47

LAMPIRAN

1. UJI TARIK
Tabel Data
a. Tabel Data Pengujian Tarik Fe
P

dL

(Mpa)

t (Mpa)

2500

0.25

0.005

258.093

0.005

259.3838501

3650

0.5

0.01

376.816

0.01

380.5845028

3675

0.75

0.015

379.397

0.015

385.0882324

3700

0.02

381.978

0.02

389.6177712

3725

1.25

0.025

384.559

0.025

394.1731194

3750

1.5

0.03

387.14

0.03

398.754277

3850

1.75

0.035

397.464

0.034

411.3750434

3950

0.04

407.788

0.039

424.0990472

4000

2.25

0.045

412.949

0.044

431.5321367

4050

2.5

0.05

418.111

0.049

439.0168448

4125

2.75

0.055

425.854

0.054

449.2760567

4200

0.06

433.597

0.058

459.6126967

4300

3.25

0.065

443.921

0.063

472.7754593

4375

3.5

0.07

451.663

0.068

483.27986

4462.5

3.75

0.075

460.697

0.072

495.2489406

4500

0.08

464.568

0.077

501.7335369

4562.5

4.25

0.085

471.02

0.082

511.0571603

4625

4.5

0.09

477.473

0.086

520.4453072

4675

4.75

0.095

482.635

0.091

528.484916

4737.5

0.1

489.087

0.095

537.9956572

4775

5.25

0.105

492.958

0.1

544.7189898

4812.5

5.5

0.11

496.83

0.104

551.4810365

4862.5

5.75

0.115

501.992

0.109

559.7206677

4900

0.12

505.863

0.113

566.5665947

4925

6.25

0.125

508.444

0.118

571.9994604

4962.5

6.5

0.13

512.315

0.122

578.9163631

5000

6.75

0.135

516.187

0.127

585.8719798

Sketsa Patahan

48

5025

0.14

518.768

0.131

591.3951782

5050

7.25

0.145

521.349

0.135

596.9441859

5075

7.5

0.15

523.93

0.14

602.519003

5100

7.75

0.155

526.511

0.144

608.1196294

5125

0.16

529.091

0.148

613.7460652

5150

8.25

0.165

531.672

0.153

619.3983103

5162.5

8.5

0.17

532.963

0.157

623.5665184

5187.5

8.75

0.175

535.544

0.161

629.2639298

5200

0.18

536.834

0.166

633.4643996

5212.5

9.25

0.185

538.125

0.17

637.6777741

5237.5

9.5

0.19

540.706

0.174

643.4397089

5250

9.75

0.195

541.996

0.178

647.6853451

5256.3

10

0.2

542.641

0.182

651.1696057

5262.5

10.25

0.205

543.287

0.186

654.6603187

5275

10.5

0.21

544.577

0.191

658.9382166

5287.5

10.75

0.215

545.868

0.195

663.2290191

5300

11

0.22

547.158

0.199

667.5327262

5306.3

11.25

0.225

547.803

0.203

671.0589271

5312.5

11.5

0.23

548.448

0.207

674.5915802

5312.5

11.75

0.235

548.448

0.211

677.3338224

5312.5

12

0.24

548.448

0.215

680.0760646

5312.5

12.25

0.245

548.448

0.219

682.8183068

5312.5

12.5

0.25

548.448

0.223

685.560549

5300

12.75

0.255

547.158

0.227

686.6832553

5287.5

13

0.26

545.868

0.231

687.7930568

5275

13.25

0.265

544.577

0.235

688.8899537

5212.5

13.5

0.27

538.125

0.239

683.418374

5162.5

13.75

0.275

532.963

0.243

679.5276162

5112.5

14

0.28

527.801

0.247

675.5852398

5050

14.25

0.285

521.349

0.251

669.9329947

4950

14.5

0.29

511.025

0.255

659.2221193

Pengukuran awal spesimen Fe diperoleh data:


Diameter benda uji

- awal, do

= 11 mm

- akhir, di

= 7,3 mm

49

Luas area

Panjang ukur

- awal, Ao

= 94,985 mm2

- akhir, Af

= 41,833 mm2

- awal, lo

= 50 mm

- akhir, lf

= 59,8 mm

Perhitungan:
Regangan Rekayasa ()
Regangan rekayasa ( )

= dL / lo
= 4,75 mm / 50 mm
= 0,095

Tegangan Rekayasa ()
Tegangan rekayasa ()

= P / Ao
= 4675 x 9,806 / 94,985
= 482,635 Mpa

Regangan Sesungguhnya (T)


Regangan sesungguhnya (T)

= ln (1 + )
= ln (1 + 0,095)
= 0,091

Tegangan Sesungguhnya (T)


Tegangan sesungguhnya (T )

= (1 + )
= 482,635Mpa (1+ 0,095)
= 528,484916 MPa

Ultimate Tensile Strength (UTS)


UTS

ma

1 ,

= 548,448 MPa

% Elongasi
% elongasi

x100%

x100%

= 19,6%
% Reduksi Luas Penampang
% reduksi

=
=

| f-

x100%
|

x100%

= 55,958 %

50

Modulus Elastisitas

= 51,618 Gpa

b. Tabel Data Pengujian Tarik Al


P

dL

(Mpa)

t (Mpa)

1200

0,25

0,005

166,095

0,005

166,9259521

1560

0,5

0,01

215,924

0,01

218,0833583

1620

0,75

0,015

224,229

0,015

227,5923242

1640

0,02

226,997

0,02

231,5370917

1660

1,25

0,025

229,765

0,025

235,5095418

1680

1,5

0,03

232,534

0,03

239,5096745

1690

1,75

0,035

233,918

0,034

242,1049163

1715

0,04

237,378

0,039

246,8732405

1720

2,25

0,045

238,07

0,044

248,7833385

1730

2,5

0,05

239,454

0,049

251,4270248

1735

2,75

0,055

240,146

0,054

253,3544244

1740

0,06

240,838

0,058

255,2887446

1745

3,25

0,065

241,531

0,063

257,2299855

1720

3,5

0,07

238,07

0,068

254,735093

1700

3,75

0,075

235,302

0,072

252,9495667

1660

0,08

229,765

0,077

248,1466392

1640

4,25

0,085

226,997

0,082

246,2919064

1600

4,5

0,09

221,461

0,086

241,3920899

1500

4,75

0,095

207,619

0,091

227,343181

1200

0,25

0,005

166,095

0,005

166,9259521

1560

0,5

0,01

215,924

0,01

218,0833583

1620

0,75

0,015

224,229

0,015

227,5923242

1640

0,02

226,997

0,02

231,5370917

1660

1,25

0,025

229,765

0,025

235,5095418

1680

1,5

0,03

232,534

0,03

239,5096745

Sketsa Patahan

Pengukuran awal spesimen Al diperoleh data:


Diameter benda uji

- awal, do

= 9,5 mm

51

Luas area

Panjang ukur

- akhir, di

= 7 mm

- awal, Ao

= 70,846 mm2

- akhir, Af

= 38,465 mm2

- awal, lo

= 50 mm

- akhir, lf

= 55,1 mm

Perhitungan:
Regangan Rekayasa ()
Regangan rekayasa ( )

= dL / lo
= 3,5 mm / 50 mm
= 0,065

Tegangan Rekayasa ()
Tegangan rekayasa ()

= P / Ao
= 1745 x 9,806 / 70,846
= 241,531 Mpa

Regangan Sesungguhnya (T)


= ln (1 + )

Regangan sesungguhnya (T)

= ln (1 + 0,065)
= 0,063
Tegangan Sesungguhnya (T)
= (1 + )

Tegangan sesungguhnya (T )

= 241,531 Mpa (1+ 0,09)


= 257,229 MPa
Ultimate Tensile Strength (UTS)
UTS

ma

= 241,531 MPa

% Elongasi
% elongasi

x 100%

x 100%

= 10,2%
% Reduksi Luas Penampang
% reduksi

=
=

| f-

| ,

x 100%
|

x 100%

= 45,70%

52

Modulus Elastisitas

= 33,21 GPa

2. Uji keras
Tabel Data

No

Benda

Kondisi

Nomor

Jejak (mm)

Uji

Indentasi

Indentasi

d1

d2

drata-rata

(Kg/mm2)

D = 3 mm

0,968

0,947

0,9575

42,2858

1,013

1,039

1,026

36,6767

t = 30 s

1,008

0,969

0,9885

39,6030

D = 3 mm

1,101

1,098

1,0995

190,7052

1,114

1,050

1,082

197,1562

0,988

1,103

1,0455

211,6666

P = 31,25

Al

kg

P = 187,5

Fe

kg
t = 10 s

BHN

BHN rata-rata

39,5218

199,8427

Contoh Perhitungan
- Sampel Al (Indentasi ke-1)
P

= 31,25 kg

= 3 mm

drata-rata =
BHN

0,9575 mm

= 42,2858
- Sampel Fe (Indentasi ke-1)
P

= 187.5 kg

= 3 mm

drata-rata
BHN

= 1,0995 mm
=
=
=

190,7052

53

3. Uji impak
Tabel Data
Bahan a

T
2

Baja

HI (J/mm2)

(mm) (mm) (mm ) ( C)

(Joule)

7,85

58

70,65

-0,81

Bentuk Patahan

Deskripsi
Patahan

0,820948336

Perpatahan
kristalin

ST 42

72

25

195

2,708333333

Mengkilap,
kasar

dan

tidak patah
7,8

9,1

70,98

121,5 194

2,733264272

Berserat
dan

tidak

patah

Contoh Perhitungan
Beban Impak = 300 Joule
Baja ST 42 (-0.81oC):
a = 7.85 mm
b = 9.0 mm
A= 70.65 mm2
E = 58 Joule

4. Uji aus
Tabel Data
x (mm)

Beban

V (mm/ b

(kg)

dtk)

(mm)

B r

b3

Laju Aus

Fe

100000

12.64

1970

3.0945

15

29.63

0.50

5x10-7

Al

100000

12.64

1970

4.185

15

73.30

1.22

1.22x10-6

Contoh perhitungan
Tebal cincin Putar (B)

= 3 mm

Jari-jari cincin putar (r)

= 15 mm

54

Jarak Luncur (x)

= 100000 mm

Beban (P)

= 12.64 Kg

Kecepatan (v)

= 1970 mm/s

Sampel Baja

Lebar Celah terabrasi b = 3.0945 mm

Volume material yang terabrasi (W)


W = (B b3)/12 r = (3 mm (3.0945 mm)3)/(12 x 15) mm = 0.50
mm3

Laju Keausan (LA)


LA = W/X = 0.50 mm3/100000 mm = 5x10-7 mm2/mm

Sampel Aluminium

Lebar Celah terabrasi b = 4.185 mm

Volume material yang terabrasi (W)


W = (B b3)/12 r = (3 mm (4.185 mm)3)/(12 x 15) mm = 1.22 mm3

Laju Keausan (LA)


LA = W/X = 1.22 mm3/100000 mm = 1.22 x10-6 mm2/mm

55

You might also like