You are on page 1of 12

UJI VIABILITAS POLEN JERNANG (Daemonorops draco (Willd.) Blume.

) DENGAN TEKNIK
PEWARNAAN DAN GERMINASI SECARA in vitro SETELAH DIAWETKAN DALAM
BEBERAPA PELARUT ORGANIK

MIFTAHUL JANNAH
Program Studi Biologi, Program Magister Universitas Andalas, Padang 25163

ABSTRAC
Pollen viability of Jernang (Daemonorops draco (willd.) blume.) with staining method and
germination in vitro after storage in different organic solvent was examined up to 12 weeks.
Research executed from April until October 2011 in district Of Mandiangin, Sarolangun, Province
of Jambi and viability test of polen in Laboratory Structure and Growth of Plant, Biological
Majors, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Andalas University. Storage of pollen
conducted with experiment method, wearing Random Device Complete with 4 treatment and 6
restating. To calculate pollen viable and percentage of pollen viability with staining technique used
by method of Bohs ( 1991). While calculating pollen viable and percentage of germination used by
method of Nyine and of Pillay ( 2007). Analysed to use ANOVA to be continue DNMRT. Pursuant to
test of pollen viability with aniline blue that isopropanol can maintain pollen viability 88.74% until
12 weeks. While control only 2.10% until second week. Pursuant to germination test with medium
consist of 25 gram of sukrosa, 0.005 H3BO3 mg, 3 gram swallow in 500 ml sterile aquades with pH
5-6, polen still germinate 2.60% during 12 weeks in heksan. While control only 6 weeks with
percentage 1.20%.
Key words: Daemonorops draco, organic solvent, pollen viability, pollen germination.

ABSTRAK
Penelitian ini tentang Uji Viabilitas Polen Jernang (Daemonorops draco (willd.) blume.)
dengan Teknik Pewarnaan dan Germinasi secara in vitro setelah diawetkan dalam beberapa
Pelarut Organik. Dilaksanakan dari bulan April sampai Oktober 2011. Pengamatan dilakukan di
khawasan Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi dan uji viabilitas polen
dilakukan di Laboratorium Struktur Perkembangan Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas. Pengawetan polen dilakukan
dengan metode eksperimen, memakai Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 6
ulangan. Untuk menghitung polen viabel dan persentase viabilitas polen dengan teknik pewarnaan
digunakan metode Bohs (1991). Sedangkan menghitung polen viabel dan persentase germinasi
polen digunakan metode Nyine dan Pillay (2007). Data dianalisis menggunakan ANOVA dengan
uji lanjut DNMRT. Berdasarkan uji viabilitas polen dengan Aniline Blue bahwa isopropanol
mampu mempertahankan viabilitas polen 88.74% hingga minggu ke-12. Sedangkan pada kontrol
hanya 2.10% hingga minggu ke-2. Berdasarkan uji perkecambahan dengan media yang terdiri dari
25 gram sukrosa, 0.005 mg H3BO3 (asam borat), 3 gram agar dalam 500 ml aquades steril dengan
pH 5-6, polen masih berkecambah 2.60% selama 12 minggu pada pelarut n-heksan. Sedangkan
kontrol hanya mampu bertahan sampai minggu ke-6 dengan persentase 1.20%.
Kata kunci: Daemonorops draco, pelarut organik, viabilitas polen, germinasi polen.

PENDAHULUAN

Polesakan, Susiarti dan Walujo, 2005). Genus


Daemonorops (lebih dikenal jernang) yang

Indonesia memiliki potensi sumberdaya

menghasilkan getah berjumlah 12 jenis. Jenis

rotan tertinggi di dunia. Dari 530 jenis rotan

Jernang yang menghasilkan getah terbanyak

dunia, lebih kurang 316 jenis terdapat di

dan

berbagai wilayah hutan Indonesia. Selain

akhir-akhir ini menjadi perhatian dunia adalah

adalah

(Willd.)

Blume.

Jernang tergolong ke dalam tumbuhan

getah dari buah rotan, dari genus Daemonorops,

berumah dua (dioceous) yaitu bunga jantan dan

dalam perdagangan internasional lebih dikenal

bunga betina terpisah pada individu yang

sebagai dragons blood (Komarudin, Siagian,

berbeda. Menurut Hadley dan Openshow

dan Oka, 2007).

(1980; Safitri, 2010), tumbuhan dioceous sering


getah

tersebut

gagal

dibutuhkan

(Bhojwani dan Bhatnagar, 1974). Menurut

produksi sebagai bahan obat herbal untuk

Frankle dan Gallun (1976; Kairani, 2010)

pengobatan pendarahan (blooding), luka pasca

khusus untuk tanaman yang polinasinya dibantu

bedah, liver, kosmetika dan lain lain (Dephut,

oleh angin, hambatan polinasi juga dapat

2009). Getah yang dihasilkan dari lapisan yang

disebabkan oleh letak tanaman betina yang

melindungi buah ini mempunyai nilai komersial

tidak

ekspor

sesuai

dengan

arah

angin

dalam

penyebaran polen.

(Wiriadinata, 1992; Setyowati dan Wardah,


2007). Dilaporkan permintaan getah meningkat

Hambatan-hambatan tersebut di atas

di beberapa Negara seperti China, Korea,

nantinya

Jepang, Amerika Serikat dan beberapa Negara

keberhasilan

di Eropa (Komarudin, dkk, 2007).


jenis

pada

(dioceous) juga akan menghalangi polinasi

farmasi, ternyata getah ini memiliki nilai

Keanekaragaman

seksual

waktu berbunga pada tumbuhan biseksual

Sejalan perkembangan ilmu dan teknologi

komoditas

secara

bunga jantan dan betina tidak sama. Perbedaan

porselin, marmer, cat, vernis dan lain-lain.

merupakan

bereproduksi

populasi rendah (sedikit) karena kematangan

sebagai bahan baku industri pewarna untuk

dan

draco

tinggi

(Purwanto., dkk, 2005).

komoditas rotan yang telah dilupakan dan

tinggi

ekonomis

Daemonorops

batang yang digunakan untuk produksi, produk

Semula

bernilai

akan

berdampak

polinasi

sehingga

terhadap
terjadi

penurunan produksi buah. Kondisi seperti


rotan

tersebut di atas menyebabkan jenis rotan ini

yang

jarang ditemui pada saat ini. Untuk itu perlu

tercatat, terangkum ke dalam 13 genus. Genus

adanya upaya konservasi terhadap tumbuhan

Daemonorops memiliki jumlah jenis terbanyak

ini, yaitu dengan cara penyimpanan dan

kedua setelah genus Calamus, yaitu 115 jenis

pengawetan

(Dransfield dan Manokaran, 1996; Purwanto,

polen

yang

gunanya

untuk

kepentingan polinasi buatan (Thorman, et all.,


2

2006; Kairani, 2010). Salah satu cara yang

bahan terdiri dari bunga jantan tumbuhan

digunakan dalam pengawetan polen yaitu

jernang,

dengan

penyimpanan

organik

(Shivana

Berdasarkan

hal

n-butanol,

heksan,

pada

pelarut

aniline blue, bacto agar, sukrosa, H3BO3, dan

Mohan,

2005).

lain-lain.

polen
dan

isopropanol-2,

tersebut

dilakukan

uji
Pengawetan polen dilakukan dengan

viabilitas polen jernang (Daemonorops draco

metode eksperimen, memakai Rancangan Acak

(Willd.) Blume.) dengan teknik pewarnaan dan

Lengkap dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan.

germinasi secara in vitro setelah diawetkan

Untuk menghitung polen viabel dan persentase

dalam beberapa pelarut organik.

viabilitas polen dengan teknik pewarnaan


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

digunakan metode Bohs (1991). Sedangkan

mengetahui pelarut organik mana yang paling

menghitung

baik digunakan untuk mengawetkan polen

germinasi polen digunakan metode Nyine dan

tumbuhan jernang dengan teknik pewarnaan

Pillay (2007). Data dianalisis menggunakan

dan teknik germinasi dan berapa lama polen

ANOVA dengan uji lanjut DNMRT.

tumbuhan

jernang dapat

disimpan

polen

viabel

dan

persentase

dalam
Penyimpanan dan pengawetan polen

pelarut organik tersebut. Sehingga berguna

dengan cara bunga jantan yang dikoleksi

untuk polinasi buatan dan teknik persilangan

diambil dari tandan bunga jantan yang sudah

tumbuhan jernang dalam upaya pelestarian dan

merekah (anthesis), namun bulir bunga yang

pembudidayaanya.

belum antesis dimasukkan ke botol terpisah


berwarna gelap yang telah diisi dengan pelarut

BAHAN DAN METODE

organik yang berbeda, dan satu botol lagi


Penelitian ini dilaksanakan dari bulan

dibiarkan kosong sebagai kontrol. Disimpan

April sampai Oktober 2011. Bunga jantan

selama 3 bulan.

tanaman jernang dikoleksi dari Kecamatan


Viabilitas

Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Propinsi


Jambi.

dan

dilakukan

pengamatan
di

viabilitas

Laboratorium

polen

dengan

teknik

pewarnaan dengan cara polen dikeluarkan dari

polen

antera dengan bantuan jarum di atas gelas

Struktur

objek. Polen ditetesi pewarna aniline blue

Perkembangan Tumbuhan, Jurusan Biologi,

sebanyak satu tetes. Kemudian polen diamati di

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

bawah mikroskop. Polen yang teramati baik

Alam, Universitas Andalas. Alat dan bahan

yang viabel ataupun yang tidak viabel dihitung

yang digunakan adalah mikroskop binokuler,

dengan menggunakan tally counter. Polen yang

mikroskop cahaya dengan lensa mikrometer,

terwarnai biru penuh dinyatakan polen viabel,

botol reagen warna gelap, kaca objek, kaca


penutup, jarum pentul, dan lain-lain, sedangkan
3

sedangkan

yang

terwarnai

tidak

penuh

diawetkan dengan pelarut organik dapat dilihat

dinyatakan polen tidak viabel.


Sedangkan

pada gambar 1.

viabilitas

polen

dengan

Persentase

viabilitas

pada

awal

germinasi dengan cara bunga jernang yang

pengamatan berada diatas 90% (lampiran 1).

telah dikoleksi diambil anteranya, kemudian

Pada

dipecahkan di atas gelas objek steril. Polen

perlakuan dengan pemberian pelarut organik

ditanam di medium dengan jarum ose. Polen

heksan,

diinkubasi selama 2 hari pada ruangan kultur

memperlihatkan penurunan viabilitas polen

Komposisi medium PGM (Pollen Germination

yang

Medium) dimodifikasi dari komposisi medium

memperlihatkan penurun drastis. Pada minggu

Bhojwani dan Bhatnagar (1974) terdiri dari 25

ke-4, persentase viabilitas polen pada pelarut

g sukrosa, 0,005 mg H3BO3 (asam borat), 3 g

organik n-butanol dan isopropanol adalah

agar dalam 500 ml aquades steril dengan pH 5-

97,78% dan 95,94%, masih relatif stabil sampai

6. Polen yang viabel ditandai dengan adanya

minggu ke-10. Sedangkan pada pelarut heksan

pertumbuhan tabung polen.

selalu menunjukkan penurunan yang cukup


berarti

HASIL DAN PEMBAHASAN

dengan

pengamatan

teknik

pewarnaan

ke-2

n-butanol

berarti.

(setelah

dan

isopropanol

Sedangkan

sampai

perlakuan),

minggu

pada

ke-10,

tidak

kontrol

dengan

persentase berturut-turut yaitu 83,97%, 81,15%,

Viabilitas Polen dengan Teknik Pewarnaan


Hasil

minggu

75,80% dan 66,46%.

viabilitas

polen

setelah

polen

120

Persentase (%)

100
80
kontrol
60

n-heksan
n-butanol

40
isopropanol
20
0
0

10

12

Minggu ke-

Gambar 1.

Persentase viabilitas polen jernang setelah diawetkan pada beberapa pelarut


organik dari awal pengamatan sampai minggu ke-12.
4

masing-masing

Pada minggu ke-6, polen pada kontrol

81,61%

organik

heksan,

Sedangkan

jernang dapat bertahan secara alami hanya

viabilitasnya

sampai minggu ke-4, dengan persentase hanya

52,61%. Artinya pelarut yang paling baik

2,10% (gambar 2). Hal yang sama juga

digunakan untuk mengawetkan polen jernang

dilaporkan pada polen tanaman dioceous

selama 12 minggu adalah isopropanol. Menurut

lainnya seperti polen pada tanaman melinjo

Shivanna dan Johri (1985), ada tiga jenis

(Kairani, 2010), Nepenthes (Safitri, 2010), dan

pelarut

Pohon

mampu

mempertahankan viabilitas polen cukup lama

mempertahankan viabilitas polen sampai 4

yaitu dietil eter, isopropanol, dan n-butanol.

minggu.

Safitri (2010) menyebutkan bahwa viabilitas

(Yanti,2007)

polen

pelarut

88,74%.

sudah mendekati 0%. Artinya, viabilitas polen

Andalas

pada

dan

sudah

organik

Nepenthes

jauh

yang

menurun

sering

yaitu

mampu

ampullaria

dapat

Pada minggu ke-12, viabilitas polen

dipertahankan dalam pelarut isopropanol dan n-

pada pelarut organik n-butanol dan isopropanol

butanol dengan persentase tertinggi 94,23% dan

mulai menunjukkan penurunan yang berarti.

93,79% selama 12 minggu penyimpanan.

namun persentasenya masih tertinggi, yaitu

nv
nv
(a
)
nv

(b
)

v
nv
(c
(d
Gambar 2. Viabilitas polen jernang )pada )minggu ke-4, (a) kontrol, (b) heksan, (c) nbutanol, dan (d) isopropanol. Ket: v (viable), nv (non viable).

ragam,

polen tertinggi yaitu pada pelarut n-butanol dan

viabilitas polen dengan teknik pewarnaan

isopropanol. Masing-masing dengan persentase

setelah polen diawetkan pada beberapa jenis

95,44% dan 94,78%. Sedangkan pelarut heksan

pelarut organik dan kontrol menunjukkan

dan

perbedaan yang nyata pada setiap dua minggu

mempertahankan viabilitas polen lebih rendah

pengamatan (lampiran 2-6). Perbedaaan setiap

dibandingkan n-butanol dan isopropanol. Hal

perlakuan dapat dilihat pada tabel 1.

yang sama juga terjadi pada minggu ke-8 dan

Berdasarkan

analisis

sidik

kontrol

ke-10.
Pada tabel di atas terlihat bahwa pada

Artinya

isopropanol

minggu ke-2 dan ke-4, viabilitas polen pada

memiliki

pelarut

memiliki

kemampuan

n-butanol

kemampuan

dan
terbaik

dalam mempertahankan viabilitas polen hingga

pelarut n-butanol berbeda nyata dengan pelarut

minggu ke-10.

lainnya, yaitu isopropanol, heksan dan tanpa


Pada minggu ke-12 terlihat bahwa

pelarut (kontrol). Pelarut isopropanol juga


berbeda nyata dengan pelarut heksan dan

viabilitas

kontrol. Pelarut n-heksan berbeda nyata dengan

isopropanol berbeda nyata dengan perlakuan

kontrol dan dengan pelarut lainnya. Persentase

lainnya, dengan persentase paling tinggi yaitu

viabilitas polen pada pelarut n-butanol tertinggi

88,74%. Pelarut organik n-butanol berbeda

yaitu 98,43% (minggu ke-2) dan 97,78%

nyata dengan perlakuan pelarut organik heksan

(minggu ke-4). Artinya pelarut n-butanol

dan kontrol, dengan persentase lebih rendah

memiliki

kemampuan

mempertahankan

viabilitas

polen

pada

pelarut

organik

terbaik

dalam

yaitu 81,61%. Pelarut organik heksan juga

polen

sampai

menunjukkan berbeda nyata dengan kontrol,


dengan

minggu ke-4.

persentase

52,61%.

Sedangkan

perlakuan tanpa menggunakan pelarut organik


Pada minggu ke-6, pelarut n-butanol

(kontrol) telah menunjukkan persentase 0%.

dan isopropanol memperlihatkan tidak berbeda

Kairani (2010) menyatakan bahwa pelarut

nyata, namun berbeda nyata dengan pelarut

organik yang paling baik dalam mengawetkan

heksan dan kontrol. Pelarut heksan berbeda

polen melinjo adalah isopropanol dengan

nyata dengan kontrol. Persentase viabilitas

viabilitas polen 80,63% selama 11 minggu.

Tabel 1. Persentase viabilitas polen jernang setelah diawetkan pada beberapa pelarut organik dari
awal pengamatan sampai minggu ke-12.
Perlakuan
Persentase Viabilitas Polen (%) Minggu ke2
Kontrol (A)
Heksan (B)
n-Butanol (C)
Isopropanol (D)

10

12

30,33 d

2,10 d

0,49 c

0,09 c

0,00 c

0,00 d

93,52 c

83,97 c

81,15 b

75,80 b

66,46 b

52,61 c

98,43 a

97,78 a

95,44 a

92,97 a

92,85 a

81,61 b

96,14 b

95,94 b

94,78 a

94,68 a

93,28 a

88,74 a

kehilangan viabilitas apabila kadar air polen

Sedangkan Yanti (2007) menyebutkan


isopropanol

dan

mempertahankan

n-butanol

viabilitas

kurang dari 20%. Adanya sifat ini pelarut

mampu

polen

organik

tanaman

tersebut

mampu

polen

dalam

mempertahankan

Andalas (Morus maqroura) dengan persentase

viabilitas

jangka

berturut-turut 97,63% dan 97,03% sampai 12

perendaman tertentu (Kairani, 2010).

waktu

minggu penyimpanan.
Viabilitas polen dengan Germinasi Polen

Meskipun pelarut organik n-butanol dan


isopropanol pada minggu ke-6 sampai minggu

Hasil

pengamatan

viabilitas

polen

setelah

polen

ke-8 memiliki kemampuan yang sama, namun

dengan

pada

diawetkan dengan pelarut organik dapat dilihat

minggu

ke-12

persentase

n-butanol

menurun. Hal ini dikarenakan kedua pelarut

teknik

germinasi

pada gambar 3 (lampiran 8).

memiliki sifat kimia yang berbeda. Pelarut


Pada

isopropanol memiliki daya larut dalam air

awal

pengamatan

terlihat

tinggi yaitu 100%, sedangkan pelarut n-butanol

persentasenya di atas 50%. Namun pada

hanya 0,43%. Daya larut dalam air suatu

minggu

pelarut

kemampuan

penurunan drastis pada semua perlakuan.

pelarut mempertahankan kadar air polen.

Persentase menurun jauh dibawah 50% dari

Apabila daya larut suatu pelarut semakin tinggi,

awal pengamatan, dengan persentase perlakuan

maka

pada pelarut heksan, n-butanol, isopropanol,

berhubungan

semakin

dengan

tinggi

pula

polen

dapat

ke-2

perlakuan),

dan

(1985)

16,74%, 16,23% dan 8,59% (gambar 4).

Germinasi (%)

bahwa

polen

akan

berturut-turut

65
60
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

yaitu

terjadi

mempertahankan kadar air. Shivanna dan Johri


menyebutkan

kontrol

(setelah

17,14%,

kontrol
n-heksan
n-butanol
isopropanol

6
Minggu ke-

10

12

Gambar 3. Persentase germinasi polen jernang setelah diawetkan pada beberapa pelarut organik dari
awal pengamatan sampai minggu ke-12.
7

nv
v

nv

v
(a
)

(b
)

nv

nv

v
(c
(d
)
)
Gambar 4. Germinasi polen jernang pada minggu ke-2 (a) kontrol, (b) n-heksan, (c) n-butanol, dan
(d) isopropanol. Ket: v (viable), nv (non viable).
Pada minggu ke-4, pelarut heksan dan

telah mencapai 0 %. Artinya, viabilitas polen

n-butanol mengalami penurunan yang berarti,

Daemonorops draco (jernang) setelah uji

dengan persentase masing-masing hanya 8,47%

germinasi secara alami dapat bertahan hanya

dan

sampai minggu ke-6.

7,76%.

isopropanol

Begitu
dan

pula

kontrol

pada

pelarut

memperlihatkan
Pada minggu ke-12, perlakuan dengan

penurunan yang berarti, dengan persentase

pelarut organik masih mengalami penurunan

masing-masing 5,03% dan 3,05%.

namun tidak berarti. Persentase germinasi polen


paling tinggi sebesar 2,60%, yaitu pada pelarut

Pada minggu ke-6, persentase germinasi


polen pada pelarut heksan, dan
mengalami

penurunan

yang

n-butanol
berarti

n-heksan. Pelarut organik isopropanol dan nbutanol memiliki persentase lebih rendah

dari

pengamatan sebelumnya, yaitu masing-masing

sebesar

5,50%, 4,31%. Namun pelarut pada isopropanol

perlakuan tanpa pelarut organik (kontrol) telah

dan kontrol tidak mengalami penurunan yang

mencapai persentase 0%. Artinya pelarut yang

berarti, yaitu 2,93% dan 1,20%. Pada minggu

paling baik digunakan untuk mengawetkan

ke-8 dan ke-10, perlakuan dengan pelarut

polen jernang adalah pelarut heksan selama 12

organik tidak mengalami penurunan yang

minggu. Jain dan Shivanna (1988) juga

berarti. Sedangkan pada kontrol mengalami

menyebutkan bahwa polen Crotalaria retusa

penurunan yang berarti, dengan persentase

yang telah diawetkan pada pelarut heksan


8

2,20%

dan

1,98%.

Sedangkan

menunjukkan nilai germinasi yang tinggi

germinasi rendah setelah penyimpanan selama

dengan

satu jam pada pelarut benzen (Perveen, 2007).

teknik

FCR

(Fluorochromatic

Reaction).
Dari grafik terlihat bahwa persentase
teknik

germinasi polen sangat rendah dibandingkan

perkecambahan yang terbaik adalah heksan.

dengan pengujian viabilitas polen dengan

Sedangkan dengan teknik pewarnaan adalah

teknik pewarnaan. Nyine dan Pillay (2006)

isopropanol dan n-butanol. Perbedaan hasil dari

mengatakan bahwa tidak semua polen viabel

kedua metode disebabkan oleh pelarut yang

berdasarkan uji pewarnaan mampu melakukan

berbeda. Menurut Jain dan Shivanna (1988;

perkecambahan.

Rendahnya

Yanti, 2007), viabilitas polen suatu spesies

germinasi

pula

tanaman berbeda-beda tergantung larutan yang

ketidakcocokan tanaman dengan komposisi

dipakai dalam penyimpanan polen. Diaz dan

medium. Menurut Prakash, Chauhan, Rana dan

Garay (2008) menyebutkan bahwa minyak

Chaudhary (2010) berkecambahnya polen suatu

zaitun lebih dapat mempertahankan viabilitas

tanaman bervariasi setiap spesies, tergantung

polen genus Agave selama 180 hari dengan

pada zat (medium) yang diperlukan untuk

persentase lebih dari 70% dibandingkan dengan

pertumbuhannya.

pelarut n-butanol, n-propanol dan isopropanol

dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, perbedaan

yang hanya mampu mempertahankan viabilitas

genotip, vigor, dan fisiologi tanaman, dan umur

polen selama 15 hari penyimpanan dengan

bunga (Nyine dan Pillay, 2006).

Hasil

viabilitas

polen

dapat

persentase

disebabkan

Viabilitas

polen

oleh

juga

persentase germinasi di bawah 50%. Khan dan


Berdasarkan

Perveen (2006) menyatakan bahwa persentase

pada

polen

ragam,

setelah polen diawetkan dengan beberapa jenis

lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut aseton


kloroform

sidik

viabilitas polen dengan teknik germinasi polen

pelarut benzen menunjukkan germinasi yang

dan

analisis

pelarut organik dan kontrol menunjukkan

tanaman

perbedaan yang nyata pada setiap dua minggu

Abelmoschus esculentus (Malvaceae) setelah

pengamatan (lampiran 8-12). Perbedaaan yang

pengawetan. Namun pada polen tanaman

nyata setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel

Pisium sativum (Papilionaceae) menunjukkan

2.

kehilangan viabilitasnya dengan persentase

Tabel 2. Persentase germinasi polen jernang setelah diawetkan pada beberapa


awal pengamatan sampai minggu ke-12.
Perlakuan
Persentase Viabilitas Polen (%) Minggu ke2
4
6
8
10
Kontrol (A)
08,59 b
3,05 c
1,20 d
0,53 c
0,00 d
Heksan (B)
17,14 a
8,47 a
5,50 a
4,22 a
3,64 a
n-Butanol (C)
16,74 a
7,76 a
4,31 b
3,85 a
2,54 b
Isopropanol (D)
16,23 a
5,03 b
2,93 c
2,64 b
2,20 c
9

pelarut organik dari

12
0,00
2,60
1,98
2,20

c
a
b
b

oleh sifat kimia pelarut organik yang berbeda.

Pada minggu ke-2, ketiga jenis pelarut


dan

Jain dan Shivanna (1988) menyebutkan bahwa

namun

viabilitas polen yang telah disimpan dalam

berbeda nyata dengan kontrol. Artinya ketiga

pelarut organik memberi efek besar terhadap

pelarut mempunyai kemampuan yang sama

komposisi phospholipid polen yang nantinya

dalam mempertahankan viabilitas polen. Pada

mempengaruhi

minggu ke-4, terlihat bahwa perlakuan pada

viabilitas polen. Pada polen Crotalaria retusa

pelarut organik heksan dan n-butanol tidak

yang telah diawetkan dalam pelarut organik

berbeda

mempunyai

isopropanol dan methanol tidak menunjukkan

kemampuan yang sama dalam mempertahankan

germinasi atau nilai positif tes FCR, tapi

viabilitas polen. Namun berbeda nyata dengan

menunjukkan kerusakan phospholipid, gula dan

pelarut isopropanol dan kontrol. Ini berarti

asam amino. Namun polen yang disimpan

kemampuan isopropanol dan kontrol dalam

dalam pelarut organik dengan elektron rendah

mempertahankan

sudah

(non polar) seperti n-heksan menunjukkan nilai

berkurang. Pelarut isopropanol sendiri juga

germinasi yang tinggi dengan teknik FCR,

berbeda nyata dengan kontrol. Hal yang sama

karena

juga terjadi pada minggu ke-8. Sedangkan pada

phospholipid, gula dan asam amino polen.

organik

yaitu

isopropanol

minggu

heksan,

tidak

nyata,

ke-6

n-butanol

berbeda

yaitu

nyata,

masih

viabilitas

dan

polen

ke-10,

integritas

sangat

sedikit

membran

sekali

dan

merusak

masing-masing
Pada

perlakuan berbeda nyata satu dengan lainnya,

penelitian

ini,

meskipun

uji

viabilitas polen dengan metode pewarnaan pada

dimana persentase paling tinggi pada pelarut

pelarut isopropanol lebih baik, namun pada

heksan yaitu 5,50% dan 3,64%.

teknik

perkecambahan

viabilitasnya

lebih

rendah. Hal ini disebabkan pelarut isopropanol

Pada minggu ke-12 pelarut heksan


berbeda nyata dengan kedua pelarut (n-butanol

memiliki

dan isopropanol) dan juga berbeda nyata

phospholipid

dengan kontrol. Meskipun pelarut n-butanol

(jernang) dibandingkan dengan pelarut heksan.

dan isopropanol tidak berbeda nyata, namun

Sehingga integritas membran menjadi rusak

persentase paling tinggi tetap pada pelarut

dan permeabilitasnya akan terganggu. Shivanna

heksan, yaitu 2,60%. Artinya pelarut heksan

dan Hesslop-Harisson (1981; Safitri, 2010)

memiliki

menyatakan

apabila

phospholipid

rusak,

maka

dehidrasi

dan

fungsi

yang

lebih

baik

dalam

pengawetan polen jernang.

mengalami
Persentase

viabilitas

polen

dengan

efek

melarutkan

polen

komposisi

Daemonorops

integritas

draco

membran

polen

akan

menyebabkan

kehilangan viabilitas polen yang nantinya gagal

teknik germinasi lebih rendah dibandingkan

germinasi.

teknik pewarnaan. Hal ini dapat disebabkan


10

Hal

ini

yang

menyebabkan

Evolutionary
Significance.
Amer.J.Bot.(78): 1683-1693.
Culbreth, D.M.R. 1927. A Manual of Material
Medica And Pharmacology. Southwet
School of Botanical Medicine, Bisbee,
Arizona.
http://www.swsbm.com/manualsother.
culbrth4.pdf. Diakses tanggal 24
November 2010.
Departemen Kehutanan. 2009. Teknologi
peningkatan produktivitas dan kualitas
produksi HHBK: teknik budidaa rotan
penghasil getah jernang dan rotan
penghasil batang. Pusat penelitian dan
pengembangan hutan dan konservasi
alam departemen kehutanan. Bogor.
Diaz, S.L., and B.R., Garay. 2008. Simple
Methods for in vitro Pollen Germination
and Pollen Preservation of Selected
Species of the Genus Agave. Unidad de
Biotecnologia Vegetal. Mexico. EGnosis [online] vol.6, Art.2.
Dransfield, J and N. Manokaran. 1994. Plant
Resources of South-East Asia: Rattan.
Prosea. Bogor.
Gomez, P.M., F. Dicenta., and E. Ortega. 2000.
Short Term Pollen Storage in Almond.
Departamento de Mejora y Patologia
Vegetal. Spain.
Iwanami, Y. 1972. Retaining the Viability of
Camellia japonica Pollen in Various
Organic Solvents. Biological Institude,
Yokohama City University Kanazawaku: Japan. Plant and Cell Physiology,
1972, Vol.13 (6): 1139-1141.
Iwanami, Y. 1973. Acceleration of the Growth
of Camellia sasanqua Pollen by
Soaking in Organic Solvents. Biological
Institude, Yokohama City University
Kanazawa-ku: Japan. Plant Physiol,
1973, Vol.52 (5): 508-509.
Jain, A., and K.R., Shivanna. 1988. Storage of
Pollen Grains in Organic Solvents:
Effect of Organic Solvents on Leaching
of Phospholipids and its Relationship to
Pollen Viability. Department of Botany,
University of Delhi: India. Annals of
Botany, 1988, 61: 25-330.
Kairani, A. 2010. Pengawetan Polen Melinjo
(Gnetum gnemon Linn,) dengan
Beberapa Pelarut Organik. Skripsi.

perkecambahan polen pada pelarut isopropanol


menjadi rendah.

KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan, dapat disimpulkan:
1. Pelarut

organik

digunakan
viabilitas

dalam
polen

dengan

teknik

yang

paling

baik

mempertahankan
tumbuhan

jernang

pewarnaan

adalah

isopropanol, yaitu 88,74% selama 12


minggu.
2. Pelarut

organik

digunakan
viabilitas

dalam
polen

yang

paling

baik

mempertahankan
tumbuhan

jernang

dengan teknik germinasi adalah pelarut


heksan, yaitu 2,60% selama 12 minggu.

SARAN
Bagi peneliti selanjutnya, disarankan
untuk mengawetkan polen dengan pelarut
organik

heksan

dan

melakukan

teknik

perkecambahan dalam menguji viabilitas polen.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2008. Chapter 2. In-vitro pollen
viability and pollen storage in
eucalyptus
marginata.http://www.fp.unud.ac.id/bio
tek/wp-content/uploads/2008/12/55invitropollengerminationstorage.pdf.
Diakses tanggal 21 November 2010.
Backer, C.A., and R.C.B.V.D., Brink. 1968.
Flora of java (3). The Rijksherbarium.
Leyden.
Bohs. 1991. Crossing Studies in Cyphomandra
(Solanaceae) and Their Systematic and
11

(T.catappa). Tesis. Universitas Andalas.


Padang.
Setyowati, M.F., dan
Wardah. 2007.
Keanekaragaman
Tumbuhan
Obat
Masyarakat Talang Mamak di Sekitar
Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau.
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Bogor. Biodiversitas. Volume 8 (3):
228-232.
Shivanna, K.R., and B.M.. Johri. 1985. The
Angiosperm Pollen: Structure and
Function. Wiley Eastern Limited. India.
Shivanna, K.R., and H.Y. Mohan. 2005.
Contributions
of
Panchanan
Maheshwarys School to Angiosperm
Embryology through an Integrative
Approach. Department of Botany. India.
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan
Prosedur Statistika. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Wang, Q., L.Lu, X.Wu, Y.Li, and J.Lin. 2003.
Boron influences pollen germination
and pollen tube growth in Picea meyeri.
Tree Physiology, 23: 345-351.
Yanti, E.N. 2007. Pengawetan Polen dengan
Beberapa
Pelarut
Organik
dan
Tingkatan Suhu serta Polinasi Buatan
pada Tanaman Andalas
(Morus
macroura Miq.). Tesis. Program
Pascasarjana
Universitas
Andalas.
Padang.
Yuliani, E.L. 2008. Belajar dari Bungo:
Mengelola Sumberdaya Alam di Era
Desentralisasi.
(Eds:
H.Adnan,
D.Tadjudin, E.L.Yuliani, H.Komarudin,
D.Lopulalan,
Y.L.Siagian,
dan
D.W.Munggoro). CIFOR. Bogor.

Jurusan Biologi Universitas Andalas.


Padang.
Khan, S.A and A., Perveen. 2006. Germinasi
Capacity of Stored Pollen of
Abelmoschus esculentus L. (Malvaceae)
and Their Maintenance. Department of
botany, University of Karachi: Pakistan.
Pak.J.Bot., 2006, 30(2): 233-236.
Komarudin, H., Y.L. Siagian., and N.P. Oka.
2007. Linking Collective Action to NonTimber Fores Product Market for
Improved Local Livehoods: Challenges
and Opportunities. CAPRI Working
Paper 73.
Kopp, R.F., C.A. Maynard., P. Niella., L.B.
Smart., and L.P. Abrahamsom. 2002.
Collection and Storage of Pollen from
Salix
(Salicaceae).
College
of
Environmental Science and Forestry,
State University of New York: New
York. American Journal of Botany,
89(2): 248-252.
Nyine, M., and M.Pillay. 2007. Banana nectar
as a medium for testing pollen viability
and germination in Musa. African
Journal of Biotechnology, 6(10), pp.
1175-1180.
Perveen, A. 2007. Pollen Germination
Capacity, Viability and Maintanence of
Pisium sativum L., (Papilionaceae).
Middle-East Journal of Sciences
Research, 2(2): 79-81.
Perveen, A., and S.A.Khan. 2008. Maintenance
of Pollen Germination Capacity of
Malus pumila L.. Pak.J.Bot., 40(3):
963-966.
Prakash, A., S.Chauhan, A.Rana, and
V.Chaudhary. 2010. Study of In vitro
Pollen Germination and Pollen Viability
in Punica granatum L. (Punicaceae).
Journal of Agricultural Sciences,
1(3):224-226.
Purwanto, Y., R. Polesakan., S. Susiarti., dan
E.B. Walujo. 2005. Ekstraktivisme
Jernang (Daemonorops spp.) dan
Kemungkinan Pengembangannya: Studi
Kasus di Jambi, Sumatera, Indonesia.
Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor.
Safitri, N. 2010. Ekspresi Seks Bunga dan
Hubungan Diameter Batang Terhadap
Proporsi Bunga Hermaprodit Ketaping

12

You might also like