You are on page 1of 7

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus Tipe II ( DM Tipe II)


2.1.1. Defenisi
Diabetes melitus tipe II (DM tipe II) ini membentuk 90 - 95% dari semua kasus diabetes,
dahulu disebut diabetes melitus non-dependen insulin atau diabetes onset dewasa.
Diabetes ini meliputi individu yang memiliki resistensi insulin dan biasanya mengalami
defisiensi insulin relatif atau kekurangan insulin pada awalnya dan sepanjang masa
hidupnya, individu ini tidak membutuhkan pengobatan insulin untuk bertahan hidup. Ada
banyak kemungkinan berbeda yang menyebabkan timbulnya diabetes ini. Walaupun
etiologi spesifiknya tidak diketahui, tetapi pada diabetes tipe ini tidak terjadi destruksi sel
beta. Kebanyakan pasien yang menderita DM tipe ini mengalami obesitas, dan obesitas
dapat menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin (American Diabetes Association,
2004).
2.1.2. Faktor Resiko
Faktor resiko DM tipe II antara lain: Riwayat keluarga menderita diabetes (orangtua atau
saudara menderita DM tipe II), obesitas (BMI 25 kg/m 2), kurangnya kebiasaan aktivitas
fisik, ras/etnik (Afrika-America, Amerika Hispanik, Amerika asli, Asia-Amerika),
sebelumnya diidentifikasi kadar glukosa darah puasa terganggu atau toleransi glukosa
terggangu (TGT), riwayat diabetes melitus gestasional (DMG) atau bayi lahir > 4 kg,
hipertensi (tekanan darah 140/90 mmHg), HDL 35 mg/dl dan trigliserida 250 mg/dl,
sindrom ovarium polikistik atau akantosis nigracans dan riwayat penyakit vaskular
(Powers, 2005).
2.1.3. Fisiologi Sekresi Insulin
a. Proses Pembentukan Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan sel beta
kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,insulin
disintesis kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan
regulasi glukosa darah (Manaf, 2006).
Insulin disintesis sebagai suatu prepohormon (berat molekul sekitar 11.500) dan
merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekursor yang lebih besar.
Rangkaian pemandu yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan
molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan.
Proses ini menghasilkan proinsulin dengan berat molekul 9000 yang menyediakan bentuk
yang diperlukan bagi pembentukkan jembatan disulfida yang sempurna. Penyusunan
proinsulin, yang dimulai dari bagian terminal amino, adalah rantai B peptida C
penghubung rantai A. Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida
tapak-spesifik sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C dalam jumlah
ekuimolar dan disekresikan dari granul sekretorik pada sel beta pankreas (Granner, 2003).
b. Sekresi Insulin
Glukosa merupakan kunci regulator sekresi insulin oleh sel beta pankreas, walaupun asam
amino, keton dan nutrien lainnya juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa > 3,9

mmol/L (70 mg/dl) merangsang sintesis insulin. Glukosa merangsang sekresi insulin
dengan masuk ke dalam sel beta melalui transporter glukosa GLUT 2. Selanjutnya di
dalam sel, glukosa mengalami proses fosforilasi oleh enzim glukokinase dan glikolisis
yang akan membebaskan molekul ATP (Powers, 2005).
Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses penutupan K
channel yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam
sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses
pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga
meningkatkan kadar ion Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin
melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan. Aktivasi
penutupan K channel terjadi tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses
fosforilasi glukosa intrasel, tetapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk
obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut (biasanya tergolong obat diabetes),
bekerja mengaktivasi K channel tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, tapi pada
reseptor tersendiri yang disebut sulphonilurea receptor (SUR), yang juga terdapat pada
membran sel beta seperti terlihat pada gambar 2.1 (Manaf, 2006)

Gambar2.1. Mekanisme sekresi insulin (Harrisons Principle of Internal Medicine, 2005).


c. Aksi Insulin
Kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan sebuah reseptor glikoprotein
yang spesifik pada permukaan sel target. Reseptor insulin terdiri dari dua heterodimer
yang terdiri atas dua subunit yang diberi simbol dan . Subunit terletak pada ekstrasel
dan merupakan sisi yang berikatan dengan insulin. Subunit merupakan protein
transmembran yang melaksanakan fungsi sekunder yang utama pada sebuah reseptor
yaitu transduksi sinyal (Granner, 2003).
Ikatan ligan menyebabkan autofosforilasi beberapa residu tirosin yang terletak pada
bagian sitoplasma subunit dan kejadian ini akan memulai suatu rangkaian peristiwa yang
kompleks. Reseptor insulin memiliki aktivitas intrinsik tirosin kinase dan berinteraksi
dengan protein substrat reseptor insulin (IRS dan Shc). Sejumlah protein penambat
(docking protein) mengikat protein selular dan memulai aktivitas metabolik insulin [GrB-2,
SOS, SHP-2, p65, p110 dan phosphatidylinositol 3 kinase (PI-3-kinase)]. Insulin
meningkatkan transport glukosa melalui lintasan PI-3-kinase dan Cbl yang berperan dalam
translokasi vesikel intraselular yang berisi transporter glukosa GLUT 4 pada membran
plasma. Aktivasi jalur sinyal reseptor insulin juga menginduksi sintesa glikogen, protein,
lipogenesis dan regulasi berbagai gen dalam perangsangan insulin seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.2 (Powers, 2005).
Patogenesis Diabetes Melitus Tipe II (DM Tipe II)
a. Resistensi insulin

Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer (terutama otot
dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM tipe II dan merupakan kombinasi dari
kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa
oleh jaringan yang sensitif insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya
menyebabkan hiperglikemia (Powers, 2005).
Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu
jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi defek kualitatif dan kuantitatif
pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan
dalam pembentukan sinyal pascareseptor (Clare- Salzler, et al., 2007). Polimorfisme pada
IRS-1 mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa, meningkatkan kemungkinan
bahwa polimorfisme dalam berbagai molekul postreceptor dapat menyebabkan resistensi
insulin. Patogenesis resistensi insulin saat ini berfokus pada defek sinyal PI-3-kinase, yang
menurunkan translokasi GLUT 4 pada membran plasma, diantara kelainan lainnya
(Powers, 2005).
Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis DM tipe II. Asam lemak
bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta meningkatkan keluaran
glukosa hepatik yang terkait dengan resistensi insulin (Thevenod, 2008).
b. Gangguan Sekresi Insulin
Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berarti jika
dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada awal perjalanan penyakit DM tipe
II, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun
pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin
(yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun.Secara kolektif hal ini dan pengamatan
lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang tipe II, dan bukan defisiensi
sintesa insulin. Namun pada perjalanan penyakit berikutnya, terjadi defisiensi absolut yang
ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibanding DM tipe I . Penyebab defisiensi insulin
pada DM tipe II masih belum sepenuhnya jelas. Berdasarkan data mengenai hewan
percobaan dengan DM tipe II, diperkirakan mula-mula resistensi insulin menyebabkan
peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada mereka yang
memiliki kerentanan genetik terhadap DM tipe II, kompensasi ini gagal. Pada perjalanan
penyakit selanjutnya terjadi kehilangan 20 - 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat
menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Namun,
tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta. Dasar molekuler
gangguan sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum dipahami (Clare
Salzler,, et al., 2007).
Peningkatan asam lemak bebas (NEFA = non-esterified fatty acids) juga mempengaruhi
sel beta. Secara akut, NEFA menginduksi sekresi insulin setelah makan, sedangkan
pajanan kronik terhadap NEFA menyebabkan penurunan sekresi insulin yang melibatkan
lipotoksisitas yang menginduksi apoptosis sel islet dan/ atau menginduksi uncoupling
protein-2 (UCP-2) yang menurunkan membran potensial, sintesa ATP dan sekresi insulin
(Thevenod, 2008).

Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM tipe II dilaporkan berkaitan dengan
pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien DM tipe II ditemukan endapan amiloid
pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal
dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai
respons terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan resistensi insulin
pada fase awal DM tipe II menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang kemudian
mengendap sebagai amiloid di islet. Amiloid yang mengelilingi sel beta mungkin
menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting,
amiloid bersifat toksik bagi sel beta 2.1.5. Diagnosa
Diagnosis klinik DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain yang mungkin dikenakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika
keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl
juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM,
hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian yang lebih lanjut dengan dengan
mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa126 mg/dl, kadar
glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil t es toleransi
glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah postprandial200 mg/dl seperti
ditunjukkan oleh gambar 2.3 (Gustaviani, 2006) .
Beberapa peneliti menyarankan HbA1C (Hemoglobin A1C) sebagai salah satu uji
diagnosa pada diabetes melitus. Walaupun HbA1C memiliki hubungan yang kuat dengan
peningkatan glukosa plasma tetapi hubungan antara glukosa darah puasa dengan HbA1C
pada individu yang toleransi glukosanya normal atau intoleransi glukosa ringan masih
belum jelas dan penggunaan HbA1C dalam diagnosa diabetes melitus tidak dianjurkan
(Powers, 2005)
Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2 bagian:
1. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta
Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan sekresi peptide
penghubung (C-peptide). Nilai-nilai Glycosilated haemoglobin (WHO memakai istilah
Glyclated haemoglobin), nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan
toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.
2. Indeks proses diabetogenik
Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan tipe
dan subtipe-HLA; adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang ditujukkan untuk
pulau-pulau Langerhans (islet cell antibody), Anti GAD (Glutamic Acid Decarboxilase) dan
sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pankreas; ditemukannya
susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan ditemukkannya penyakit lain pada
pankreas dan penyakit endokrin lainnya (Gustaviani, 2006).

Gambar 2.3 Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu
(Buku Ajar Penyakit Dalam FKUI, 2006).
2.2.1 Defenisi
Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan
lemak yang berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila
besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah
berat badannya maka ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya
akan bertambah banyak (Sugondo, 2006).
2.2.2. Pengukuran
Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti
dipakai body mass index (BMI) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada
orang dewasa. BMI merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk
mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obes pada orang dewasa (Sugondo,
2006). Berdasarkan indikasi WHO, BMI dihitung dengan membagi berat badan dengan
tinggi badan kuadrat (Shandu, et al., 2008).
2.2.3 Klasifikasi
Tabel 2.1. merupakan klasifikasi yang ditetapkan World Health Organization (WHO), niai
BMI 30 kg/m2 dikatakan sebagai obesitas dan nilai BMI 25 - 29,9 kg/m2, sebagai Pra
Obese. Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak
tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki
BMI lebih tinggi 1,3 kg/m2 dan etnik polinesia memiliki BMI lebih tinggi 4,5 kg/m2 dan etnik
kaukasia. Sebaliknya nilai BMI pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand
adalah 1,9, 4,6, 3,2, dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal itu
memperlihatkan adanya nilai cutoff BMI untuk obesitas yang spesifik untuk populasi
tertentu. Wilayah Asia Pasifik saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas
sendiri yang ditunjukkan pada tabel 2.2 (Sugondo, 2006).
Hubungan Obesitas dengan Diabetes Melitus Tipe II
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa jaringan lemak bukanlah sekedar tempat
penimbunan untuk trigliserida tetapi merupakan suatu jaringan endokrin aktif yang dapat
berdialog dengan otot dan hati (dua jaringan sasaran insulin yang penting). Efek adiposit
jarak jauh ini terjadi melalui zat perantara yang dikeluarkan oleh sel lemak. Molekul ini
meliputi faktor nekrosis tumor (TNF), asam lemak, leptin, dan suatu faktor baru yang
disebut resistin. TNF yang lebih dikenal karena efeknya pada peradangan dan imunitas,
disintesis di adiposit dan mengalami ekspresi yang berlebihan dalam sel lemak orang yang
kegemukan.
TNF menyebabkan resistensi insulin dengan mempengaruhi jalur - jalur pasca reseptor.
Leptin adalah suatu hormon adiposit yang menyebabkan obesitas hebat dan resistensi
insulin pada hewan pengerat yang tidak memiliki gennya. Pengembalian leptin ke hewan
ini mengurangi obesitas dan secara independen, resistensi insulin; karena itu tidak seperti
TNF, leptin memperbaiki resistensi insulin. Resistin dihasilkan oleh sel lemak, dan

kadarnya meningkat pada model hewan pengerat untuk obesitas. Penurunan kadar insulin
meningkatkan kerja insulin dan sebaliknya, pemberian resistin rekombinan meningkatkan
resistensi insulin pada hewan normal (Clare Salzler, et al., 2007).
Polimorfisme pada peroxisome proliferator-activated receptor 2 (PPAR- 2) memiliki
dampak yang luas untuk terjadi obesitas dan resistensi insulin. Sebagian kecil individu
heterizigot pada varian PPAR- 2 Pro12Ala kurang menyebabkan overweight dan
mengembangkan DM daripada sebagian besar populasi yang mengalami prohomozigot.
Resistensi insulin yang terjadi pada jaringan adiposa meningkatkan aktivitas hormone
sensitive lipase yang menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dalam sirkulasi. Asam
lemak bebas yang tinggi menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada otot dan hati.
Pada awalnya pankreas mampu mengontrol kadar glukosa dengan overproduksi insulin.
Dengan demikian banyaknya individu yang obesitas yang tampaknya glukosa darahnya
normal memiliki sindrom yang ditandai dengan resistensi insulin pada jaringan perifer dan
konsentrasi insulin yang tinggi dalam sirkulasi. Namun pada akhirnya kapasitas pankreas
untuk memproduksi insulin menurun dan menyebabkan tingginya kadar glukosa darah
puasa dan turunnya toleransi glukosa (Tevhenod, 2008).
2.6. Hubungan Diabetes Melitus Tipe II dengan Profil Lipid
Pasien dengan DM Tipe II biasanya mengalami dislipidemia. Kadar insulin yang tinggi dan
resistensi insulin yang terkait dengan DM Tipe II memiliki beberapa efek pada
metabolisme lemak. Pada keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan
adiposa akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserida di jaringan adiposa semakin
meningkat. Keadaan ini akan menghasilkan asam lemak bebas yang berlebihan. Asam
lemak bebas akan memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber
energi dan sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan baku pembentuk trigliserida. Di
hati asam lemak bebas akan kembali menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian dari
VLDL. Oleh karena itu, VLDL yang dihasilkan pada keadaan resistensi insulin akan sangat
kaya dengan trigliserid, disebut VLDL kaya trigliserid atau VLDL besar.
Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan kolesterol ester dari
kolesterol LDL, yang mana akan menghasilkan LDL yang kaya akan trigliserid tetapi
kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted LDL). Trigliserid yang dikandung oleh
LDL akan dihidrolisis oleh enzim lipase hepatik (yang biasanya meningkat pada resistensi
insulin) sehingga menghasilkan LDL
kecil tetapi padat, yang dikenal dengan small dense LDL . Partikel LDL kecil padat ini
sifatnya mudah teroksidasi, oleh karena itu sangat aterogenik. Trigliserid VLDL besar juga
dipertukarkan dengan kolesterol ester dari HDL dan menghasilkan HDL miskin kolesterol
ester tapi kaya trigliserid. Kolesterol HDL bentuk demikian lebih mudah dikatabolisme oleh
ginjal sehingga jumlah HDL serum menurun. Oleh karena itu pada pada resistensi insulin
terjadi kelainan profil lipid serum yang khas yaitu kadar trigliserida tinggi, kolesterol HDL
rendah dan meningkatnya subfraksi LDL kecil padat, dikenal dengan nama fenotipe
lipoprotein aterogenik atau lipid trial (Adam, 2006).

2.5. Hubungan Obesitas dengan Profil Lipid


Obesitas seringkali, meskipun tidak selalu disertai hiperlipidemia. Peningkatan massa
adiposa yang disertai penurunan sensitivitas insulin yang berhubungan dengan obesitas
memiliki beberapa efek terhadap metabolisme lemak. Asam lemak bebas yang berlebih
yang berasal dari jaringan adipose yang luas dikirim ke hati untuk dire-esterifikasi menjadi
trigliserida, yang dikemas dalam bentuk VLDL untuk disekresikan ke dalam sirkulasi.
Asupan makanan yang tinggi karbohidrat sederhana juga dapat meningkatkan produksi
VLDL di hati, yang meningkatkan VLDL dan/atau LDL pada individu yang obese. HDL-C
plasma cenderung menurun pada obesitas. Kehilanagn berat badan sering berhubungan
dengan penurunan apoB yang mengandung lipoprotein dan meningkatkan HDL-C (Flier,
J.S & Flier, E. M, 2005)

You might also like