You are on page 1of 14

An Organizational Echelon Analysis of the Determinants of

Red Tape in Public Organizations

Richard M. Walker & Gene A. Brewer

“Sebuah analisis eselonering atas faktor-faktor penentu terjadinya


‘pita merah’ pada organisasi publik”

Tugas Presentasi Mata Kuliah Konsep dan Teori Ilmu Administrasi

Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA


Engkas Sukaesih Fathir Fajar Sidiq
NPM: 0906589551 NPM: 0906589135

@ 2009
Pendahuluan
 Peraturan - kaidah, norma, prosedur dan harapan- merupakan topik
utama dalam pembahasan sebuah organisasi formal. Melalui aturan,
perilaku individu dan interaksi antara individu yang satu dengan yang
lain diatur sebagai prasyarat bagi terbentuknya akuntabilitas, kesamaan,
dan etika dalam pergaulan. Untuk itulah, aturan merupakan pondasi
penting dalam ranah ilmu administrasi publik.

 Dalam perkembangannya, para ilmuwan sosial memfokuskan


perhatiannya pada “bad rules” ataupun proses di saat pembuatan aturan
itu sendiri yang mengalami distorsi, sehingga aturan yang sedianya
merupakan alat untuk meningkatkan performansi kinerja, malah
kemudian berubah menjadi sebuah alat yang menghambat kemajuan.
Salah satu hal yang menyebabkan hal ini terjadi adalah birokrasi yang
memiliki kecendrungan untuk menjadikan aturan sebagai tameng dan
pembenaran atas tindakan yang dilakukan. Disinilah ‘pita merah’
menjadi fenomena yang tumbuh subur, khususnya pada organisasi
publik.
Pendahuluan
 Di Amerika Sertikat, gejala ‘pita merah’ dianggap sebagai sebuah penyakit yang
telah merongrong internal organisasi dengan struktur yang kompleks, aturan yang
berlebihan, dan penundaan tugas yang tidak semestinya. Untuk itu pada tahun
1990, Bill Clinton telah memulai reformasi dengan mengambil fokus “From Red
Tape to Results: Creating a Government That Works Better and Cost Less”.

 fenomena ‘pita merah’ pun melanda Inggris di mana penelitian ini dilakukan. Mereka
menganggap ‘pita merah’ merupakan praktik yang harus dihapuskan bagi
terciptanya pelayanan publik yang lebih baik. Sehubungan dengan hal tersebut,
organisasi publik pun terus didorong untuk melakukan inovasi dan mencari alternatif
baru dalam menangani ‘pita merah’, khususnya dalam memenuhi tuntutan warga
negara selaku masyarakat sebagai customer.

 Artikel ini membahas variasi persepsi atas praktik ‘pita merah’ yang terjadi pada
tingkatan eselon yang berbeda (hirarki organisasi) dari para pejabat di organisasi
publik. Melalui penelitian ini diharapkan akan terlihat secara jelas penyalahgunaan
aturan dari yang seharusnya bermanfaat menjadi mudharat, dari upaya peningkatan
kinerja menjadi penurunan kinerja. Hal ini pun terjadi dengan cara-cara yang
berbeda dan dengan porsi yang berlainan pada setiap tingkatan eselon di
organisasi publik.
DEFINISI

 Red tape = pita merah


 Bozeman dkk secara gamblang memberikan definisi
‘pita merah’ yakni:
“burdensome rules and procedures that negatively
affect performances”.
“aturan-aturan dan prosedur yang berbelit dan
membebani sehingga menimbulkan dampak negatif
bagi performa pelayanan”
DEFINISI

 Eselonering dalam organisasi publik diartikan sebagai:


 social positions, hierarchical positions, tiers of
bureaucracy, dan echelons.
 Penelitian ini pun memfokuskan pada tugas-tugas
yang dimiliki dari setiap tingkatan eselon, tanggung
jawab, dan kewenangan. Secara lebih spesifik,
fokus penelitian ini terletak pada top, middle, dan
lower tiers of managers.
Dua Proposisi Utama
 Pada setiap tingkatan eselon dalam sebuah organisasi, terjadinya kasus
‘pita merah’ akan menunjukkan hasil yang beragam;
 Faktor-faktor penentu terjadinya ‘pita merah’ akan berbeda-beda sesuai
dengan tingkatan eselon dalam sebuah organisasi.
Sampel
Tiga kelompok utama yang diteliti adalah:
a. corporate officers;
b. chief officers;
c. service managers.
Sumber Data
Data dikumpulkan melalui survey elektronik (menggunakan
Microsoft Excel yang dilampirkan pada email) yang
mengeksplorasi responden akan persepsinya terhadap
manajemen dan organisasi itu sendiri. Penelitian dilakukan pada
tahun 2003 dan 2004, sebanyak 84 corporate echelons, 80 chief
officer echelons, dan 74 service manager echelons.
5 (lima) indikator ‘pita merah’
“burdensome rules and procedures that negatively affect
performances”.

 Tingginya frekuensi terjadinya ‘pita merah’ dalam pelayanan yang


diberikan;
 Walaupun manajer yang ada memiliki kinerja yang buruk, aturan formal
membuatnya sulit bagi dirinya untuk dikeluarkan dari organisasi;
 Aturan penggajian formal yang ada menyulitkan untuk memberikan gaji
yang lebih tinggi bagi manajer dengan kinerja yang baik;
 Merombak sebuah unit dalam satu organisasi ataupun departemen
dapat dilakukan dalam waktu satu atau dua minggu;
 Aturan-aturan dan prosedur bersifat terbuka dan responsif bagi para
stakeholders untuk berinteraksi dengan pelayanan ataupun kewenangan
yang diberikan.
Faktor-faktor internal penentu terjadinya
‘pita merah’

 Target setting

 Formalization

 Rational Planning

 Logical Incrementalism

 Internal political context


Faktor-faktor eksternal penentu
terjadinya ‘pita merah’
 Reducing cost dan resource constraints
 Regulation and direct intervention
 Service need and diversity of service need
Dua faktor dalam mengurangi terjadinya
‘pita merah’
 Devolution
 Developmental Culture
Simpulan
 The further down the organizational hierarchy one looks, the denser red
tape becomes.
 Variation is seen in the determinants of red tape at each organizational
echelon.
 Dari temuan ini, dalam implikasi praktisnya, khususnya bagi para
pembuat kebijakan yang mengemban tugas mengurangi ‘pita merah’
hendaknya memiliki pemahaman yang cukup terhadap target mana yang
akan dilakukan proses reformasi, mengingat dengan tingkat eselon yang
berbeda, diperlukan intervensi yang berbeda pula dalam penanganannya.
Quotes
 ‘‘Red tape’’ is the other side of the coin of ‘‘corruption.’’
 Duken Weld’s Law: ‘‘Anything worth winning is worth cheating for.’’
sumber: The Oxford Handbook of Public Policy, Goodin 2006

You might also like