You are on page 1of 2

AGRARIA: Peraturan Memicu Konflik

Ratusan peraturan yang tumpang tindih menjadi salah satu penyebab utama
masifnya konflik agraria selama ini. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional perlu segera menyelesaikan masalah ini untuk menekan
konflik sosial.
Hal itu mengemuka dalam jumpa pers Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) yang bertajuk Hak atas Tanah sebagai Hak Asasi
Manusia, Jumat (28/11), di Jakarta. Kepala Divisi Advokasi Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya Kontras Syamsul Munir; perwakilan Kontras Medan Herdensi;
perwakilan Kontras Surabaya Fathkul Khoir; perwakilan jaringan Kontras di Maluku,
Humanum dan Yanes Balubun; serta aktivis Wahana Lingkungan Hidup Sumatera
Selatan, Hadi Jatmiko; turut hadir.
Syamsul mengatakan, peraturan itu juga menabrak Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Peraturan itu adalah 12 UU, 48
peraturan presiden, 22 keputusan presiden, 4 instruksi presiden, dan 496
peraturan/keputusan/surat edaran dan instruksi menteri/kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN).
Menurut Syamsul, posisi BPN selama ini menyulitkan pembenahan. Masalah tanah
semakin runyam karena DPR belum tunduk kepada UUPA dalam membuat undangundang.
Saat ini menjadi momentum sekaligus prioritas membenahi seluruh peraturan yang
tumpang tindih, kata Syamsul.
Administrasi buruk
Administrasi pertanahan yang buruk juga memicu konflik karena banyak kasus
sertifikat ganda. Masalah ini harus menjadi prioritas Menteri Agraria dan Tata
Ruang/BPN Ferry Mursyidan Baldan, kata Syamsul.
Hadi Jatmiko mencontohkan penerbitan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa
sawit di lahan warga Desa Nusantara di Kabupaten Oki, Sumatera Selatan.
Sementara Fathkul Khoir mencontohkan penerbitan hak guna bangunan (HGB)
setelah masa berlaku HGU berakhir untuk perusahaan perkebunan randu di atas
tanah milik warga Desa Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Hadi dan Fathkul menuturkan, perusahaan sering mengintimidasi dan bahkan


melaporkan warga ke kepolisian saat mereka menuntut hak tanahnya. Pemerintah
yang diandalkan untuk menyelesaikan sengketa itu justru mengabaikan rakyat dan
sering memihak perusahaan.
Sepanjang tahun 2013, Kontras menemukan sedikitnya 77 kasus pelanggaran HAM
dalam konflik agraria, yakni penembakan (10 kali), bentrokan (45), serta
penganiayaan oleh oknum TNI, polisi, dan swasta (16).
Kontras mencatat pelanggaran hak asasi manusia rentan terjadi dalam konflik
agraria terkait tujuh sektor, antara lain, pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan
konservasi lingkungan hidup. Tahun 2013, Kontras menemukan sedikitnya 77 kasus
pelanggaran HAM dalam konflik agraria. Tercatat 10 kali penembakan, 45 kali
bentrokan, 16 kali penganiayaan, serta sejumlah tindak kekerasan lain oleh oknum
kepolisian/TNI, ataupun pihak swasta kepada rakyat. (APA)
Sumber: Kompas | 29 November 2014

You might also like