Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
karena
meskipun
kemampuan
bicaranya
terganggu,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Afasia pada orang dewasa terjadi sebagai akibat dari kerusakan otak pada
hemisfer dominan, biasanya sebelah kiri, dan menimbulkan gejala neurofisiologis
yang sama dengan konsekuensi stroke lainnya. 3 Afasia merupakan kelainan
neurologis fokal yang didapat yang menyebabkan kerusakan pada pengolahan
bahasa reseptif atau bahasa ekspresif atau keduanya.1
Menurut Chapey dan Hallowell, afasia merupakan gangguan komunikasi yang
didapat akibat kerusakan otak, ditandai dengan kerusakan pada modalitas
berbahasa: berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis yang bukan
disebabkan oleh defisit sensorik, defisit intelektual umum, atau gangguan
kejiwaan.3 Saat ini di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta orang yang hidup dengan
afasia, dan 80.000 pasien baru dengan afasia dilaporkan setiap tahunnya.3
2.2. Klasifikasi Gangguan komunikasi
Pada fase akut, afasia mungkin sulit dibedakan dengan gangguan lain yang
juga berkaitan dengan komunikasi sehingga diferensiasi yang akurat sangat
diperlukan karena masing-masing gangguan komunikasi memerlukan terapi dan
pendekatan yang berbeda.5 Berikut adalah beberapa gangguan komunikasi dan
harus dibedakan dengan afasia.
1.
Agnosia5
Agnosia adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan informasi di mana
fungsi organnya masih utuh. Sebagai contoh, seorang pasien dengan agnosia
auditori akan memiliki ambang pendengaran normal, tetapi tidak dapat
menafsirkan sinyal suara pada level kortikal. Oleh karena itu, pemahaman auditori
akan terganggu. Pasien dengan agnosia dapat dibedakan dari orang-orang dengan
afasia karena mereka hanya terganggu dalam satu modalitas. Sebagai contoh,
pasien dengan agnosia auditori yang memiliki defisit pemahaman yang berat
dapat membaca kata-kata yang sama melalui modalitas visual yang utuh.
2.
Apraksia
Apraksia adalah gangguan gerakan motorik sekuensial dan terampil yang
3.
Demensia3
ekspresif
verbal
afasia
termasuk
anomia,
sebagai
"kosong"
karena
kalimatnya
sering
kekurangan subjek.
Sedangkan karakteristik pemahaman auditori afasia termasuk
defisit persepsi auditori dan retensi auditori. Mispersepsi auditori
ditandai dengan kecenderungan mengalami konfusi terhadap
kata-kata yang mirip baik dalam makna maupun suara. Konfusi
ini membuat pesan terdistorsi dan mengakibatkan kesalahan
pemahaman.
dikombinasikan
Secara
umum,
dengan
kecepatan
peningkatan
input
auditori,
panjang
kalimat,
terletak di hemisfer kiri (Gambar 1) yang berhubungan erat dengan area motorik
dari korteks yang mengontrol otot-otot yang diperlukan untuk artikulasi. Lesi
pada area Broca menyebabkan afasia motorik. Kadang-kadang seseorang mampu
memutuskan apa yang dia ingin katakan tetapi tidak dapat membuat sistem vokal
mengeluarkan kata-kata. Oleh karena itu, pola motorik terampil untuk
mengendalikan laring, bibir, mulut, sistem pernapasan, dan otot-otot aksesoris
lainnya untuk berbicara, semuanya dimulai dari daerah ini.
Gambar 1. Pemetaan area fungsional spesifik pada korteks serebral, memperlihatkan area
Wernicke dan area Broca untuk pemahaman berbahasa dan produksi berbicara, di mana pada 95%
individu terletak pada hemisfer kiri.
Area Wernicke, terletak pada korteks kiri di bagian posterior dari lobus
temporal superior pada daerah pertemuan dari lobus parietal, temporal, dan
oksipital (Gambar 2), berfungsi untuk mengatur pemahaman berbahasa. Hal ini
memainkan peran penting dalam memahami suatu pesan, baik itu pesan lisan
maupun tulisan. Lebih jauh lagi, area ini bertanggung jawab untuk merumuskan
pola koheren berbicara yang ditransfer melalui serabut saraf ke area Broca, yang
nantinya akan mengontrol artikulasi pada saat berbicara.
Gambar 2. Organisasi dari area asosiasi visual dan auditori somatik menjadi mekanisme umum
untuk interpretasi dari pengalaman sensori. Semua pengalaman sensori ini juga mengarah ke area
Wernicke yang terletak di lobus temporal pada bagian postero-superior. Perhatikan juga area
prefrontal dan area wicara Broca pada lobus frontal.
Area Wernicke menerima input dari korteks visual pada lobus oksipital, suatu
jalur yang penting dalam memahami bacaan dan mendeskripsikan obyek yang
dilihat, serta menerima input dari korteks pendengaran pada lobus temporal, suatu
jalur penting untuk memahami kata-kata yang diucapkan. Area Wernicke juga
menerima input dari korteks somatosensori, yaitu suatu jalur yang penting untuk
kemampuan membaca Braille. Jalur interkoneksi yang tepat antara area-area
kortikal lokal ini berperan dalam berbagai aspek berbicara (Gambar 3).
Jika terdapat kerusakan berat di area Wernicke, seseorang mungkin masih
dapat mendengar dengan baik dan bahkan mengenali berbagai kata tetapi tidak
mampu menyusun kata-kata ini ke dalam pemikiran yang koheren. Demikian
juga, orang tersebut masih dapat membaca kata-kata dari halaman yang dicetak
tetapi tidak dapat menyampaikan maksud dari kata-kata tersebut.
Gambar 3. Jalur kortikal untuk mengucapkan kata yang dilihat atau didengar.
1a. Untuk berbicara tentang sesuatu yang dilihat, otak mengirimkan informasi visual dari
korteks visual primer menuju girus angularis pada korteks asosiasi parieto-temporooksipital, yang mengintegrasikan input-input seperti penglihatan, suara, dan sentuhan.
1b. Untuk berbicara tentang sesuatu yang didengar, otak mengirimkan informasi
pendengaran dari korteks auditori primer menuju girus angularis.
2.
Informasi ini ditransfer ke area Wernicke, dimana pemilihan dan urutan kata-kata
yang akan diucapkan akan diformulasikan.
3.
4.
Program suara ini disampaikan ke area-area yang tepat dari korteks motor primer yang
kemudian mengaktifkan otot-otot wajah dan lidah yang sesuai untuk menghasilkan
kata-kata yang ingin diucapkan.
Girus angularis merupakan bagian yang paling inferior dari lobus parietal
posterior, berada tepat di belakang area Wernicke dan di bagian posteriornya
menyatu dengan area visual dari lobus oksipital. Jika regio ini rusak, sementara
area Wernicke di lobus temporal masih utuh, orang itu masih bisa menafsirkan
pengalaman auditori seperti biasa, tetapi aliran pengalaman visual yang melewati
ke area Wernicke dari korteks visual akan terhambat. Oleh karena itu, orang
tersebut mampu melihat dan mengidentifikasi kata-kata tetapi tidak dapat
menafsirkan maknanya. Kondisi ini disebut disleksia, atau word blindness.
Gambar 4. Area terkait bahasa pada otak. Penampang lateral sederhana dari otak kiri menunjukkan
area bahasa primer pada otak. Sulkus sentralis secara kasar membagi otak menjadi regio anterior
dan posterior. Area Broca berdekatan dengan girus presentralis yang mengontrol gerakan ekspresi
wajah, artikulasi, dan fonasi. Area Wernicke di bagian posterior dari girus temporalis superior
berdekatan dengan korteks auditori primer. Fasikulus arkuatus adalah jalur yang menghubungkan
area Broca dengan area Wernicke.
Tabel 3. Afasia: Perbedaan Ouput Verbal, Repetisi, Pemahaman Auditori, Gejala Penyerta,
dan Regio yang Terkena
Fluensi Buruk
10
11
2.6. Etiologi4
Afasia didefinsikan sebagai gangguan bahasa yang disebabkan oleh cedera
otak. Gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan yang paling sering
menjadi penyebab terjadinya afasia. GPDO dapat disebabkan bermacam-macam
yaitu emboli, trombosis, perdarahan. Selain GPDO penyebab lain dari afasia yang
mungkin terjadi adalah: tumor otak, trauma, infeksi. Pada infeksi (meningitis atau
12
Melatih orang dengan sisa kecacatannya untuk dapat hidup dan bekerja
dengan apa yang ada pada dirinya.
penggunaan
kemampuan
yang
tersisa
sebagai
strategi
13
14
15
16
Konsentrasi
Kewaspadaan
Rasa percaya diri
Kesadaran mengenai penyakitnya
Sikap mendengar
Jika kurang mengerti tidak segan minta pengulangan
17
Bicara dengan tenang dan jelas serta menggunakan kalimat yang singkat.
Tekankan kata-kata yang penting dalam kalimat. Selalu gunakan kalimat
dengan satu pesan dan tunggu reaksi pasien untuk melihat bagaimana reaksi
pasien untuk melihat apakah ia memahaminya. Kalau perlu ulangi lagi.
Sediakan buku catatan dan pena untuk menuliskan kata-kata pokok suatu cerita
18
Tunjukkan bahwa proses komunikasi dengan jalan apapun telah berjalan baik.
Hal itu akan mendorong pasien untuk mencobanya lagi pada kesempatan lain.
Cobalah membuat pasien tertawa dan dapat menciptakan suasana santai untuk
komunikasi.
D. Terapi Wicara1,4
Ada dua tahapan pemulihan bahasa: (1) penyembuhan awal yang spontan yang
dimulai dalam beberapa hari dari onset dan berakhir sekitar 1 bulan (mungkin
lebih) setelah onset; dan (2) pemulihan jangka panjang, yang berlangsung
berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Idealnya, terapi intensif afasia harus dimulai
dan dipertahankan secepat-cepatnya saat pasien dinyatakan stabil secara medis
dan neurologis (meskipun dengan penundaan sampai 6 bulan post onset, terapi
masih menunjukkan manfaat). Terapi wicara harus ditujukan kepada pasien dan
keluarga pasien atau pihak lain yang terkait. Terapi biasa diberikan 3-5 kali
perminggu untuk 2-3 bulan, selama itu pasien direevaluasi pada bulan pertama
dan setelah bulan kedua atau ketiga. Saat kemajuan terapi mencapai hasil yang
tinggi, maka pemberian terapi secara bertahap dihentikan (penghentian mendadak
akan membahayakan secara psikologis) dengan mengurangi terapi 1-2 kali
19
perminggu, kemudian tiap 1 sampai 2 bulan dengan reevaluasi pada bulan keenam
dan kesepuluh.
Terapi wicara (individu atau grup) untuk afasia pada umumnya dilaporkan
bermanfaat dan tidak merugikan pada pasien dengan etiologi nonprogresif (stroke
dan tumor otak yang sudah dikeluarkan). Terdapat kepercayaan tradisional yang
menyatakan pemulihan spontan yang bermakna selesai dalam waktu 3-6 bulan
post onset. Akan tetapi, studi terbaru pada evolusi afasia berat dalam 2 tahun
pertama postonset dengan catatan perbaikan signifikan dalam fungsi komunikasi
sampai 18 bulan, dengan perbaikan terbesar terjadi pada 6 bulan pertama.
Adanya bermacam-macam tipe dari afasia mungkin memerlukan pendekatan
terapi serta cara komunikasi yang berbeda:
1) Afasia Global lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan anggota
keluarga untuk komunikasi dengan penderita dari pada peningkatan
kemampuan bahasa dari penderita. Tehnik yang digunakan:
20
durasi fonem, belajar mengawali bicara dengan mudah. Pasien dengan afasia
konduksi sadar akan kekeliruannya dan berusaha membetulkannya.
5) Afasia Anomik penanganannya ditekankan pada membangun kembali
asosiasi di antara kata-kata dengan cara :
Ada bermacam-macam metode terapi wicara pada pasien afasia, antara lain:
1. Tehnik Stimulasi (Schuell, 1964)
Pada tehnik ini tidak dibeda-bedakan sindrom-sindrom afasia, pendekatan
dilakukan dengan pemberian stimulasi berupa auditori, bahasa tertulis maupun
gambar-gambar. Dengan adanya stimulus diharapkan timbul respon dari
penderita. Dalam memancing respon dapat lebih dari satu modalitas, misalnya
dengan meminta pasien menyebutkan nama gambar, menyuruh mengulangi
kata tersebut, menuliskan kata tersebut serta mengucapkannya kembali.
Modalitas yang gangguannya paling ringan diterapkan lebih dahulu kemudian
yang berat sehingga diharapkan fungsi yang satu memudahkan dan
merangsang fungsi yang lain.
2. MIT : Melodic Intonation Therapy (Sparks, Holland, 1976)
Telah diamati, pasien yang tidak atau hampir tidak dapat bicara biasanya dapat
menyanyi, juga menyanyikan kata-katanya. Rupanya kata-kata itu turut
tertarik oleh lagunya, suatu fungsi hemisfer kanan yang pada afasia tidak
terganggu. Metode ini terdiri dari 4 tingkat:
Tk I
21
Metode ini cocok diberikan pada pasien afasia Broca berat dengan
pemahaman yang baik namun fluensinya kurang. Menurut Sparks, pasien
dengan afasia Wernicke dan transkortikal jelas bukan calon yang baik untuk
terapi ini, sedangkan pasien afasia konduksi mungkin calon yang baik.
3. VAT : Visual Action Therapy (Helm, Benson, 1978)
Terapi kegiatan visual menggunakan lambang-lambang abstrak, penggunaan
gerak-isyarat dengan pemakaian simbolisasi dengan gambar-gambar atau
lukisan. Metode ini ternyata dapat digunakan pada pasien dengan afasia global
dengan bahan yang digunakan terdiri dari gambar-gambar benda yang dapat
digerakkan dengan satu tangan dan gambar situasi setiap gerak-isyarat (misal:
orang sedang memaku dll). Petunjuk diberikan ahli terapi dengan gerakisyarat dan mimik muka.
4. PACE : Promoting Aphasics Communicative Effectiveness (Davis,
Wilcox, 1981)
Metode ini didasarkan atas 4 prinsip:
1) Ada pertukaran informasi baru antara ahli terapi dan pasien.
2) Pasien dapat bebas memilih jalur komunikasi yang dapat ia gunakan untuk
menyampaikan informasi baru.
3) Ahli terapi dan pasien mempunyai porsi yang sama besarnya dalam
mengirim dan menerima pesan.
4) Umpan balik diberikan oleh ahli terapi sebagai tanggapan terhadap
keberhasilan pasien dalam menyampaikan pesan.
Penanganannya sebanyak mungkin mendekati komunikasi dalam kehidupan
sehari-hari. Pasien boleh menunjuk, menggunakan gerak-isyarat, menulis,
menggambar,
asal
pesannya
tersampaikan.
Umpan
balik
bertujuan
merangsang pasien agar menggunakan strategi yang efektif. Latihan ini dapat
bertujuan untuk membimbing dan mengajarkan pasien dengan gangguan berat
dalam hal menemukan kata agar dapat menggunakan panggambaranpenggambaran untuk menyampaikan maksudnya. Sebaliknya, saat tiba giliran
terapis memberikan gambaran, pasien tidak perlu menebak dengan kata-kata
tetapi dapat juga dengan menunjuk atau menggambar.
22
Buku percakapan
Dibuat untuk pasien dengan afasia berat yang tidak dapat berbicara atau
menulis, agar dapat berbicara mengenai hal-hal yang tidak dapat ditunjuk di
lingkungannya. Buku ini dibagi menjadi kelompok-kelompok pertanyaan
siapa-apa-dimana-bilamana-bagaimana yang ditandai dengan halaman
penanda. Syaratnya adalah pasien dapat mengerti bahasa tulis tingkat kata.
Cara penggunaan buku percakapan membutuhkan latihan sebelumnya
sehingga seorang pasien dengan afasia dapat menggunakannya sebagai alat
komunikasi dengan lingkungannya. Diharapkan dengan menggunakan buku
percakapan secara intensif kemudian makin lancar membaca, mengucapkan
kata-kata dan menulis kata-kata.
Buku kategori
Buku tulis saku kecil pribadi pasien yang dibuat sendiri oleh pasien dan
terapis yang mudah dibawa-bawa. Di mana tiap halaman dicatat oleh pasien
afasia dengan beberapa kata dari kategori tertentu. Misalnya: halaman pertama
identitas pribadi pasien, halaman kedua nama-nama anggota keluarga,
berikutnya nama-nama teman, dll. Syaratnya, pasien harus mengerti bahasa
tulis tingkat kata.
23
Orgenaiser Elektronik
Bisa digunakan seperti buku kategori dan keuntungannya pasien dianggap
lebih inteligen dan belajar menggunakannya biasanya tidak sulit.
E. Psikososial1,4
Apabila seseorang terkena afasia, hal itu hampir selalu terjadi secara
mendadak. Tiba-tiba saja, seseorang mempunyai kesulitan besar atau kecil dalam
penggunaan bahasanya, bahkan mungkin pula disertai dengan hemiplegia,
apraksia, agnosia dll. Hal ini membawa goncangan besar bagi seseorang yang
tidak siap menghadapinya dan tidak tahu apa yang terjadi padanya. Berikut
problema psikososial yang sering terjadi pada pasien afasia :
1. Karena lamanya masa pemulihan pada kasus-kasus tertentu seringkali
seseorang dengan afasia mempunyai masalah dengan pekerjaannya bahkan
mungkin kehilangan mata pencahariannya sehingga disini diperlukan
keterlibatan petugas sosial medik.
2. Keterbatasan dana dan biaya dari perawatan yang cukup lama dapat menjadi
masalah yang memerlukan bantuan dan keterlibatan petugas sosial medik.
3. Rasa malu, tertekan, menarik diri akan menjatuhkan mental pasien, lamanya
perjalanan pemulihan juga memperburuk kemauan dan kinerja pasien untuk
latihan. Untuk itu diperlukan pendekatan psikologi dalam upaya memberi
dukungan mental bahkan kalau perlu psikoterapi terhadap pasien maupun
keluarganya.
4. Ketidaksiapan dan keterbatasan keluarga untuk menerima keadaan pasien
sehingga diperlukan pemberian pengertian keluarga untuk mendukung
kegiatan di rumah.
5. Konflik dalam keluarga.
6. Kehidupan sosial pasien yang terganggu.
Masalah-masalah psikososial yang bervariasi ini dapat mempersulit kondisi
serta proses terapi pada pasien. Di sinilah perlunya petugas sosial maupun
psikolog dimana dapat menjadi jembatan antara dokter, terapis maupun keluarga
dan lingkungan terhadap pasien itu sendiri.
24
F. Prognosis 1
Pemulihan bicara pada pasien afasia mungkin ditentukan dengan
menggunakan satu dari banyak tes pemahaman bahasa (WAB, PICA atau
MTDDA). Pada umumnya, afasia dengan karakteristik berikut ini cenderung
memiliki prognosis yang buruk: defisit pemahaman auditori yang berat, adanya
perseverasi, ketidakmampuan untuk memasangkan objek, jawaban ya atau tidak
yang tak dapat dipercaya, penggunaan jargon, pembicaraan kosong tanpa adanya
koreksi. Di antara empat tipe variabel prognosis yang tertera di bawah ini,
variabel medis serta variabel bahasa dan bicara adalah yang paling potensial.
a. Variabel medis
1) Faktor etiologi. Afasia dengan etiologi vaskuler memiliki prognosis yang
lebih buruk dibandingkan dengan afasia karena trauma. Afasia yang
disebabkan tumor memilki prognosis yang bervariasi (tetapi seringkali
buruk).
2) Lokasi lesi dan luasnya lesi. Pada umumnya, semakin luas lesi pada
hemisfer dominan, semakin buruk prognosisnya; lesi yang kecil tetapi jika
multipel akan menghasilkan keluaran yang buruk; lesi pada sisi kiri
memiliki prognosis lebih buruk daripada lesi pada sisi kanan; dan lesi
bilateral meskipun kecil memiliki prognosis yang buruk. Meskipun
prognosis buruk dikarenakan oleh letak dan luasnya lesi, ada beberapa kasus
yang hasil penyembuhannya baik. Paling tidak, program terapi bicara harus
dipertimbangkan.
b. Variabel bahasa dan bicara
1) Tingkat keparahan dari gangguan. Defisit arteri serebral media seringkali
berakhir dengan afasia berat. Pasien dengan kelemahan dalam memulai
bicara atau dengan impairment yang berat dalam pengenalan auditori dan
pemahaman memiliki prognosis yang buruk. Demikian pula semakin lama
waktu dirawat inap di rumah sakit, semakin buruk hasilnya (mungkin karena
adanya problem media lainnya yang menambah berat impairment).
2) Proses auditori. Pasien dengan kehilangan pendengaran perifer atau
gangguan proses auditori sentral memiliki prognosis buruk.
3) Klasifikasi dan tipe dari gangguan. Afasia Broca dan Wernicke memiliki
prognosis yang sama, sedangkan afasia global memilki prognosis yang
buruk. Afasia konduksi memiliki hasil yang baik. Prognosis untuk afasia
TCM atau TCS pada umumnya baik. Pada afasia transkortikal campuran,
25
hasilnya
lebih
baik
adalah
kontroversi
(studi
tampaknya
26
BAB III
KESIMPULAN
Afasia merupakan kelainan neurologis fokal yang didapat (contohnya,
kerusakan otak akibat stroke) yang menyebabkan kerusakan pada pengolahan
bahasa reseptif (pemahaman membaca dan mendengar) atau bahasa ekspresif
(ekspresi berbicara, intonasi, gerak tubuh, dan ekspresi tertulis) atau keduanya.
Secara sederhana afasia dibagi menjadi 2 yaitu: afasia motorik (Broca) dan
sensorik (Wernicke) atau afasia ekspresif dan reseptif. Boston mengelompokkan
afasia ke dalam 8 tipe berdasarkan fluensi, pemahaman, dan repetisi.
Sebelum merencanakan strategi penanganan pada afasia, sangatlah penting
untuk melakukan pemeriksaan pada pasien afasia agar program dan bentuk
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Tan JC. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. St. Louis
(Missouri): Mosby; 1998.
2. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2006.
3. Batson DW, Avent J. Adult Neurogenic Communication Disorders. In:
Braddom RL. Physical Medicine and Rehabilitation. 4 th ed. Philadelphia:
Saunders; 2011. p. 54-57
4. Dharmaperwira-Prins R, Maas W. Afasia Deskripsi Pemeriksaan Penanganan.
Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2002.
28
29