You are on page 1of 9

PENDAHULUAN

Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya


terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Delirium
merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit dan mempunyai banyak
penyebab yang kesemuannya menggambarkan pola gejala yang sama yaitu
berhubungan dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif. Namun
secara klinis delirium kurang dikenali dan kurang didiagnosis.1
Delirium merupakan sindroma mental organik akut yang berakibat
hendaya kognitif yang menyeluruh. Delirium dianggap satu pertanda
disfungsi otak akut dan oleh sebab itu suatu kedaruratan medik. 2 Gangguan
fungsi atau metabolisme otak secara umum atau karena keracunan yang
menghambat metabolisme otak menyebabkan timbulnya keluhan utama
berupa penurunan kesadaran, sehingga penderita tidak mampu mengenal
orang dan berkomunikasi dengan baik, bicaranya inkoheren, bingung,
cemas, gelisah dan panik. 2,3 Kondisi ini dapat terjadi pada semua usia
namun yang paling sering pada usia diatas 60 tahun. 4
Delirium bermula dengan tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari),
perjalanan yang singkat, dan berubah-ubah intensitinya (berfluktuasi) dan
pulih dengan cepat apabila penyebabnya dapat diidentifikasi dan
dihilangkan. Walaupun begitu setiap ciri-ciri ini boleh berbeda dari satu
penyakit kepada penyakit yang lain. 1,5
2.

DEFINISI

Delirium adalah suatu sindrom mental organik akut dengan gejala


utama adanya penurunan kesadaran (kesadaran berkabut/clouding of
conciousness) yang disertai dengan gangguan atensi, persepsi, orientasi,
proses pikir, daya ingat (memori), perilaku psikomotor (agitasi) dan siklus
tidur. 2,3,4
Sindrom ini juga dikenali oleh nama-nama lain seperti acute
confusional state, acute brain syndrome, metabolic encephalopathy, toxic
psychosis, cerebral insufisiency syndrome dan acute brain failure. 1,5

3.

EPIDEMIOLOGI

Delirium adalah gangguan yang sering terjadi. Sekitar 10-15 % ditemukan


dari pasien dibangsal bedah umum, 1525 % dari bangsal medis umum
(Penyakit Dalam), 30 % pada pasien yang dirawat di ICU bedah dan jantung,
4050 % pada pasien yang menerima perawatan bedah untuk fraktur di
panggul, 20 % pada pasien yang menderita luka bakar dan 30 % lagi dari
pasien AIDS yang diopname.1,5
Usia tua juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan delirium.
Lebih kurang 30-40% pasien yang umurnya lebih dari 65 tahun mengalami

satu episode delirium apabila berada di bangsal perawatan. Faktor


predispossi lain adalah usia muda seperti anak-anak, adanya trauma
sebelumnya pada otak (contohnya dementia, cardiovascular disease,
tumour), pernah mengalami delirium, ketergantungan pada alkohol,
diabetes, kanker, kemerosotan pacaindera (contohnya buta) dan malnutrisi.
1,5,6

4.

ETIOLOGI

Delirium mempunyai berbagai macam penyabab. Penyababnya bisa


berasal dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, intoksikasi akut
(reaksi putus obat) dan zat toksik. Penyabab delirium terbanyak terletak
diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. 1,6 Secara lengkap
dan lebih terperinci penyabab delirium dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1. Penyebab Delirium

1,2,5

A. Penyebab Intrakranial :
Epilepsi dan keadaan paska kejang
Trauma otak (terutama gegar otak)
Infeksi
Meningitis
Ensefalitis
Neoplasma
Gangguan vaskular
B. Penyebab Ekstrakranial :
Obat-obatan (meggunakan atau putus
obat) dan racun
Obata antikolinergik
Antikonvulsan
Obat antihipertensi
Obat antiparkinson
Obat antipsikosis
Glikosida jantung
Simetidin
Klonidin
Disulfiram
Insulin
Opiat
Fensiklidin
Fenitoin
Ranitidin
Salisilat
Sedatif (termasuk alkohol) dan hipnotik
Steroid

Racun
Karbon monoksida
Logam berat dan racun industri lain
Disfungsi Endokrin (hipofungsi atau
hiperfungsi)
Hipofisis
Pankreas
Adrenal
Paratiroid
Tiroid
Penyakit organ non endokron
Hati
Ensefalopati hepatik
Ginjal dan saluran kemih
Ensefalopati uremikum
Paru
Narkosis karbon dioksida
Hipoksia
Sistem Kardiovaskular
Gagal jantung
Aritmia
Hipotensi
Penyakit Defisiensi
Tiamin, asam nikotinik, vit B12 atau asam
folat
Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis
Ketidakseimbangan elektrolit dengan
penybab apapun
Keadaan pascaoperatif
Trauma (kepala atau seluruh tubuh)
Neurotransmiter utama yang berperan terhadap timbulnya delirium
adalah asetilkolin dan daerah neuroanatomis utama adalah formasio
retikularis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa berbagai faktor
yang menginduksi delirium diatas menyebabkan penurunan aktivitas
asetilkolin di otak Mekanisme patofisiolagi lain khususnya berkenaan
dengan putus zat/alkohol adalah hiperaktivitas lokus sereleus dan neuron
nonadrenergiknya. Neuotransmiter lain yang juga berperan adalah serotonin
dan glutamat.1

5.

GAMBARAN KLINIS

Secara global gejala delirium terdiri dari gejala psikiatrik umum berupa
kelainan mood, persepsi dan perilaku dan gejala neurologik umum yang

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

berupa tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin. 1


Gejala dari delirium yang paling utama adalah penurunan kesadaran.
Anxietas, mengantuk, gangguan tidur, halusinasi, mengigau dan kegelisahan
biasanya mendahului keadaan delirium.4 Gejala-gejala lainnya berupa
ketidakmampuan penderita mengenali orang (disorientasi) dan
berkomunikasi dengan baik, bingung, panik, bicara komat-kamit dan
inkoherensi.2,3,5
Selanjutnya gejala-gejala delirium menurut urutan kekhasannya adalah
sebagai berikut 1 :
Gangguan kesadaran (clouding of conciousness)
Gangguan persepsi (ilusi, halusinasi terutama halusinasi penglihatan).
Gangguan orientasi, mula-mula disorientasi waktu.
Gangguan proses pikir dan pembicaraan (gangguan konsentrasi,
perseverasi, flight of ideas, inkoherensi, delusi).
Gangguan memori.
Gangguan afek.
Gangguan psikomotor.
Disfungsi otonomik, sulit kontrol BAK.
Gangguan siklus tidur bangun.
Delirium biasanya hilang bila penyakit fisik yang menyebabkannya sembuh,
mungkin sampai kira-kira 1 bulan sesudahnya. Bila diakibatkan oleh proses
yang langsung mengenai otak maka proses penyembuhannya pun
tergantung dari besar kecilnya kerusakan/lesi yang ditinggalkan.3

6.

1.

2.

3.

PEDOMAN DIAGNOSTIK

Untuk memastikan diagnosis, maka gejala-gejala baik yang ringan atau


yang berat haruslah ada pada setiap kondisi dibawah ini, yaitu sesuai
dengan pedoman diagnostik menurut PPDGJ-III : 4,7
Gangguan kesadaran dan perhatian :
Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma.
Menurunnya
kemampuan
untuk
mengarahkan,
memusatkan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
Gangguan kognitif secara umum :
Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi (terutama halusinasi visual)
Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham
yang bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang
ringan
Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat
jangka panjang relatif masih utuh.
Disorientasi waktu, pada kasus yang berat terdapat disorientasi tempat
dan orang.
Gangguan psikomotor :

4.

5.
6.

Hipoaktivitas atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak


terduga dari satu ke yang lain.
Waktu bereaksi yang lebih panjang
Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang
Reaksi terperanjat meningkat
Gangguan siklus tidur-bangun :
Insomnia atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama sekali atau
terbaliknya siklus tidur-bangun (mengantuk pada siang hari).
Gejala yang memburuk pada malam hari
Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut
menjadi halusinasi setelah bangun tidur.
Gangguan emosional : misalnya depresi, ansietas atau takut, lekas marah,
euforia, apatis atau rasa kehilangan akal.
Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang
hari, dan keadan ini berlangsung kurang dari 6 bulan.

7.

DIAGNOSIS BANDING

Pemeriksaan status mental berguna untuk mengetahui adanya


gangguan kognitif dan bagaimana perjalanan penyakitnya. Pemeriksaan
laboratorium disesuaikan dengan keadaan klinis. 6 Dari gejala khas diatas
(onset yang cepat, perjalanan penyakitnya yang hilang timbul sepanjang hari
dan berlangsung kurang dari 6 bulan), riwayat penyakit fisik dan otak yang
mendasari (disfungsi otak) dan gambaran EEG berupa perlambatan aktivitas,
maka diagnosis delirium patut dipercaya dan ditegakkan.4,6
Delirium harus dibedakan dari penyakit atau sindrom mental organik
lainnya yaitu demensia, gangguan psikotik/skizofrenia, depresi dan keadaan
putus zat dengan delirium. 1,2,3,4,7
Demensia. Demensia dibedakan dari delirium yaitu dari onsetnya
yang perlahan-lahan, lebih stabil dengan berjalannya waktu dan tidak
berfluktuasi selama perjalanan sehari.1 Pada demensia penyakitnya bersifat
kronik progresif dan disertai gangguan fungsi luhur/fungsi kortikal yang
multipel berupa hendaya/deteorisasi fungsi intelaktual baik daya ingat atau
daya pikir sehingga kegiatan sehari-hari menjadi terganggu. Tidak
terdapatnya gangguan kesadaran juga membedakannya dari delirium.
Gejala dan hendaya diatas harus sudah nyata untuk sekurang-kurangnya 6
bulan. 4,7
Gangguan psikotik/skizofrenia. Pada skizofrenia gejala berupa
halusinasi dan waham biasanya lebih konstan dan terorganisasi dengan baik
dibandingkan delirium. Juga, pada pasien skizofrenik biasanya tidak
mengalami perubahan dalam tingkat kesadaran atau orientasinya. 1
Depresi. Pasien dengan gejala hipoaktif mungkin tampak agak mirip
dengan pasien yang depresi berat tetapi dapat dibedakan atas dasar EEG.
Pada umumnya, pasien dengan disfungsi kognitif yang berhubungan dengan

depresi mempunyai gejala depresif yang menonjol dan lebih konstan


dibandingkan dengan pasien delerium dan cenderung mempunyai riwayat
episode depresif di masa lalu, pada pemeriksaan CT-Scan dan EEG normal. 1
Keadaan putus zat dengan delirium. Delirium tremens merupakan
akibat dari putus alkohol secara absolut atau relatif pada pengguna dengan
ketergantungan alkohol yang kronis. Keadaan ini disertai gaduh gelisah
toksik yang berlangsung singkat tetapi membahayakan jiwa penderita.
Gejala prodromal berupa insomnia, gemetar dan ketakutan, onset terjadi
sesudah putus alkohol yang biasanya didahului oleh kejang. 4,7

8.

PROGNOSIS

Biasanya delirium muncul secara tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari).
Perjalanan penyakitnya singkat dan berfluktuasi. Perbaikan cepat terjadi
apabila faktor penyebabnya dapat diketahui dan dihilangkan. Walaupun
biasanya delirium terjadi mendadak, gejala-gejala prodromal mungkin telah
ada sejak beberapa hari sebelumnya. Gejala delirium biasanya berlangsung
selama penyebabnya masih ada namun tidak lebih dari satu minggu. 1,5
Prognosanya tergantung pada dapat diatasi atau tidaknya penyakit yang
mendasarinya dan kemampuan otak untuk menahan pengaruh dari penyakit
tersebut. 3 Apakah delirium berkembang menjadi demensia belum dapat
ditunjukkan dengan penelitian terkontrol yang cermat. Tetapi observasi
klinis yang telah disahkan oleh suatu penelitian menunjukkan bahwa periode
delirium kadang-kadang diikuti oleh depresi atau gangguan stres
paskatraumatik.1

9.

TERAPI

Antipsikosis berpotensi tinggi merupakan pilihan utama. Zat ini


mempunyai efek antikolinergik yang sedikit dan jarang menurunkan ambang
kejang dibandingkan dengan antipsikosis yang berpotensi rendah. Obat
yang terpilih untuk mengatasi gejala psikosisnya adalah Haloperidol. 1
Tergantung pada usia, berat badan atau kondisi fisik pasien, dosis
Haloperidol (Haldol, Serenace) awal dapat terentang 2 sampai 10 mg
intramuskular dengan pengulangan setiap 1 jam, jika pasien tetap teragitasi.
1,6
Penulis lain ada yang menganjurkan dosis 2 sampai 5 mg intramuskular,
dapat diulang setelah 30 menit bila dosis pertama kurang efektif. 2 Segera
setelah pasien tenang medikasi oral dalam cairan konsentrat atau dalam
bentuk tablet oral dapat dimulai. Untuk mencapai efek terapi sebaiknya
dosis oral harus 1,5 lebih banyak dari dosis parenteral. Dosis efektif harian
haloperidol terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien.1

Antipsikosis lebih jarang mempengaruhi fungsi kognitif pasien


dibandingkan
dengan
benzodiazepin.
Namun
demikian
golongan
phenothiazin harus dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut
disertai dengan aktivitas kolinergik yang bermakna.1
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan
waktu paruh pendek atau dengan hidroksizin (Vistaril) dengan dosis 25
sampai 100 mg. Golongan benzodiazepine dengan waktu paruh panjang
(misalnya lorazepam) harus dihindari kecuali digunakan sebagai pengobatan
penyakit dasar (sebagai contoh pengobatan putus alkohol). 1
Pasien yang mengalami sindroma putus zat alkohol atau hipnotiksedatif lebih efektif bila diobati dengan Lorazepam (Ativan) dengan dosis 1
sampai 2 mg peroral, intramuskular atau intravena lambat dan diulang
setelah 1 jam seperlunya. Obat ini juga digunakan untuk pasien agitasi atau
gaduh gelisah bila alergi/kontraindikasi terhadap antipsikosis. 2 Lorazepam
bekerja lebih efektif sebagai anti ansietas dari pada sebagai anti insomnia
dan relatif aman untuk pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal.
8

Bila delirium ini merupakan akibat dari toksisitas antikolinergik, bisa


diberikan fisostigmin salisilat (Antilirium) dosis 1 sampai 2 mg intravena
atau intramuskular dengan pengulangan dosis setiap 15 sampai 30 menit. 6

10.

KESIMPULAN

Delirium merupakan suatu sindrom, bukanlah suatu penyakit.1


Walaupun delirium tetap merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali
dan sangat jarang didiagnosis tersendiri 1, akan tetapi untuk mempelajari
dan mengetahui gejala khasnya sangatlah diperlukan karena delirium
dianggap satu pertanda disfungsi otak akut dan oleh sebab itu suatu
kedaruratan medik.2
Delirium merupakan gangguan yang umum dengan insidensi tertinggi
didapati pada pasien dalam pemulihan paska operasi fraktur panggul yaitu
mencapai 50 %. 1 Sisanya terjadi pada pasien dengan penyakit medik biasa,
pasien dibangsal penyakit dalam atau bedah yang dirawat, luka bakar dan
pasien dalam perawatan intensif.2 Faktor resiko utama dalam perkembangan
delirium adalah usia lanjut terutama pada usia diatas 60-65 tahun. 1,4 Usia
muda, cedera otak sebelumnya, riwayat delirium, ketergantungan alkohol,
diabetes melitus, kanker, kebutaan dan malnutrisi juga merupakan faktor
predisposisi untuk timbulnya delirium.1
Penyebab utama delirium adalah penyakit sistem saraf pusat, penyakit
sistemik, intoksikasi atau putus obat dan zat toksik. 1,6 Namun demikian
penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya
gagal ginjal dan hati.6 Toksisitas dari banyak medikasi yang diresepkan
terutama yang mempunyai aktivitas antikolinergik juga menjadi penyebab
delirium yang paling sering.1

Hipotesa berkenaan dengan patofisiologi terjadinya delirium diduga


akibat penurunan aktivitas asetilkolin di otak terutama yang melibatkan
daerah formasio retikularis. Neurotransmiter lain yang juga turut berperan
adalah serotonin dan asam glutamat.1,5,6
Gambaran kunci (khas) dari delirium adalah suatu gangguan
kesadaran, yang dalam DSM-IV digambarkan sebagai penurunan kejernihan
kesadaraan terhadap lingkungan dengan penurunan kemampuan untuk
memusatkan,
mempertahankan
atau
mengalihkan
perhatian.
Ketidakmampuan untuk mempertahankan perhatian adalah ciri pusat dari
delirium.1
Delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari),
perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, dan perbaikan yang cepat jika
faktor penyebab diidentifikasi dan di hilangkan.1
Kepentingan untuk mengenali delirium adalah (1) kebutuhan klinis
untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebab dasar dan (2) kebutuhan
untuk mencegah perkembangan komplikasi yang berhubungan dengan
delirium. Komplikasi tersebut adalah cedera kecelakaan karena kesadaran
pasien yang berkabut dan gangguan koordinasi.1
Tujuan utama pengobatan delirium adalah untuk mengobati gangguan
dasar yang menyebabkan delirium dan memberikan bantuan fisik, sensorik
dan lingkungan. Bantuan fisik untuk mencegah agar pasien terhindar dari
kecelakaan. Pasien dengan delirium harus didampingi teman/keluarga dan
ditempatkan dalam ruangan yang nyaman.1
Pengobatan farmakologis disesuaikan dengan gejala delirium yamg
muncul, misalnya diberikan haloperidol untuk mengatasi psikosisnya dan
benzodiazepine (hidroksizin) untuk mengatasi gejala insomnia. 1

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa
Indonesia), Edisi VII, Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997: 505-514.
2. Kaplan HI, Sadock BJ: Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (Edisi Bahasa
Indonesia), Edisi I, Widia Medika, Jakarta, 1998: 210-215.
3. Maramis WF: Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press,
Surabaya, 1994: 181-182.
4. Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayan Medis,
Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosa
Gangguan Jiwa di Indonesia III, Jakarta, 1993 : 69 72 dan 96.
5. Ismail
HC
:
Sindrom
Mental
Organik,
Internet
http//:www.Sindromamental organik.com.
6. Mansjoer A, Triyanti K, dkk : Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid 1,
Media Aesculapius FKUI, Jakarta, 2001 : 189 191.

7. Maslim R: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari


PPDGJ III, Jakarta, 2001: 27-28.
8. Maslim R: Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, Edisi III,
Jakarta, 2001: 10-46

You might also like