You are on page 1of 3

Perkembangan teknologi yang demikian pesat menuntut banyak institusi pelayanan

masyarakat untuk lebih mampu memberikan pelayanan yang berkualitas. Pengimplementasian


teknologi informasi pun dilakukan di dalam organisasi kesehatan untuk menghasilkan informasi
yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan serta meningkatkan efisiensi kerja dan
pelayanan rumah sakit. Rumah sakit merupakan suatu institusi atau organisasi kesehatan yang
melalui tenaga medis profesional memberikan pelayanan kesehatan, asuhan keperawatan,
diagnosis serta pengobatan penyakit yang di derita oleh pasien. Kegiatan operasional yang terjadi
di rumah sakit dapat menghasilkan dan mengumpulkan data rekam medis yang banyak setiap
hari (Milovic & Milovic, 2012).
Tumpukan data rekam medis digunakan untuk kebutuhan operasional, bahkan tidak jarang juga
tumpukan data tersebut dibiarkan begitu saja sehingga menyebabkan data yang begitu banyak
tidak mengandung pengetahuan atau sering disebut dengan rich of data but poor of knowledge.
Oleh karena itu, tumpukan rekam medis seharusnya dapat diolah dengan menggali informasi
yang berguna membantu mengambil kesimpulan. Penggalian informasi atau pola yang penting
atau menarik dari data dalam jumlah yang besar dikenal dengan data mining. Penggunaan teknik
data mining diharapkan dapat memberikan pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya
tersembunyi di dalam tumpukan data sehingga menjadi informasi yang berharga (Purba, 2012).

Penyakit TB merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium


tuberculosis dan ditularkan melalui udara sehingga semua orang memiliki tingkat keterpaparan
terhadap penyakit TB yang hampir sama. Tingkat keterpaparan TB dipengaruhi oleh faktor status
sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin (Manalu, 2010), dan juga adanya penyakit
penyerta (komorbiditas) seperti

Komorbiditas pada penyakit TB selain meningkatkan risiko terjadinya TB juga dapat


menimbulkan efek buruk terhadap tingkat keparahan (Carreira, et al, 2012; Sterling, Pham, &
Chaisson, 2010) dan mempengaruhi hasil pengobatan dari penyakit TB (Azhar et al., 2013; Khan
et al., 2010; Magee et al., 2013; Reis-Santos et al., 2014; Suchindran et al., 2009). Tingkat
keparahan TB dapat dilihat dari jumlah bakteri pada sputum penderita dan waktu konversi
sputum pada bulan kedua setelah pengobatan (Dooley & Chaisson, 2009). Menurut pedoman
penanggulangan TB, hasil pengobatan TB dikategorikan menjadi lima kategori yaitu sembuh,
pengobatan lengkap, meninggal, pindah, default (putus berobat), dan gagal (Kementerian
Kesehatan RI, 2009).

HIV/AIDS meningkatkan risiko terjadinya kasus baru, reaktivasi infeksi laten TB, dan
mempercepat perkembangan TB aktif dikarenakan terdapat penekanan pada respon imun
penderita (Suchindran, Brouwer, & Van Rie, 2009). Risiko seseorang terkena TB pada penderita
HIV/AIDS meningkat 10% dibandingkan bukan penderita HIV/AIDS (Manosuthi,
Chottanapand, & Thongyen, 2006).

Tahun 2013 angka kejadian orang yang hidup dengan HIV di dunia mencapai 35 juta jiwa
dan Asia merupakan peringkat kedua terbesar. Di Indonesia, jumlah kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan sampai bulan September 2014 telah mencapai 150.285 untuk kasus HIV dan 55.799
kasus untuk AIDS (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
2014). Menurut WHO, angka kematian akibat HIV/AIDS sebagian besar disebabkan oleh
komorbiditas termasuk penyakit TB (World Health Organization, 2014).
Diabetes mellitus juga merupakan komorbiditas terjadinya penyakit TB yang penting setelah
HIV/AIDS (Restrepo & Schlesinger, 2014). Diabetes diperkirakan prevalensinya meningkat
hingga 592 juta penderita di tahun 2030. Penderita diabetes sebagian besar berada di negara
middle-income termasuk di Indonesia (International Union Agains Tuberulosis and Lung
Disease, 2012). Tingginya angka kejadian diabetes di Indonesia kemudian akan meningkatkan
angka kejadian TB, karena berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita DM
memiliki risiko terkena TB sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan bukan penderita DM (Sulaiman S
A et al., 2011). Pada kondisi diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita sehingga
mempermudah terjadinya infeksi bakteri yang selanjutnya akan berkembang menjadi penyakit
TB.

Default/putus berobat merupakan pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai. Penelitian yang dilakukan oleh (Sangadah, 2012) diketahui
bahwa faktor usia, jenis kelamin, unit pelayanan kesehatan, rejimen dan tipe pasien merupakan
faktor yang mempengaruhi default.

(Chang et al., 2011), melakukan penelitian tentang dampak DM type 2 terhadap tingkat
keparahan dan hasil pengobatan TB Paru dengan mengidentifikasikan pasien TB paru dengan
atau tanpa DM yang berobat pada RS Chest di Taiwan. Tujuan penelitian adalah untuk
membandingkan tingkat keparahan penyakit TB dan hasil pengobatan pada pasien dengan atau
tanpa DM type 2. Hasil penelitian menunjukkan pasien TB dengan DM memiliki tingkat
keparahan yang lebih tinggi, sehingga membutuhkan waktu pengobatan yang lebih lama dan

lebih rentan terhadap terjadinya MDR-TB dibandingkan pasien tanpa TB. Persamaan : mengkaji
tentang tingkat keparahan dan hasil pengobatan TB pada pasien dengan DM. Perbedaan :
menggunakan teknik data mining untuk mengidentifikasikan tingkat keparahan dan hasil
pengobatan pada pasien TB dengan DM dan HIV/AIDS.

Hasil pengobatan TB dikategorikan menjadi lima kategori yaitu sembuh, pengobatan lengkap,
meninggal, pindah, default (putus berobat), dan gagal (Kementerian Kesehatan RI, 2009).

You might also like