You are on page 1of 14

"Kepuasan hidup orang lanjut usia dalam hubungannya dengan

jenis aktivitas, jenis kelamin, religiositas, status perkawinan,


tingkat kemandirian, tingkat pendidikan dan daerah tempat
tinggal "
By. Fitriyana Fauziah

Latar Belakang
Hampir semua orang yang hidup berkeinginan untuk berumur panjang, dan untuk mencapai hal
itu orang mau melakukan apa saja. Keinginan yang besar itu didukung oleh kualitas hidup yang
semakin baik sehingga usia harapan hidup semakin tinggi, oleh karena itu jumlah orang lanjut
usia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Harapan, keinginan, dambaan, dan kebutuhan
semua orang adalah kebahagiaan. Kebutuhan ini semakin mendesak pada orang lanjut usia ,
karena masa usia lanjut merupakan fase terakhir dalam kehidupan manusia. Dan penelitian ini
mengungkap kebahagiaan hidup orang lanjut usia melalui kepuasan hidupnya dan melihat
hubungannya dengan berbagai factor, yaitu jenis aktivitas, religiositas, tingkat kemandirian ,
tingkat pendidikan, dan juga perbedaan kepuasan hidup antara orang lanjut usia pria dan
wanita, yang menikah dan janda atau duda, dan yang bertempat tinggal di desa dan dikota.
Orang lanjut usia adalah orang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Masuknya usia ini
ditandai dengan berbagai perubahan, baik fisik maupun psikologis. Perubahan fisik yang terjadi
adalah penurunan kekuatan fisik, stamina, dan penampilan. Penurunan intelegensi yang
diungkap pada lanjut adalah penurunan dalam hal mereaksi atau pada kemampuan visual motor
flexibility, yaitu kemampuan untuk berpindah secara lincah dalam bidang koordinasi mata dan
motorik (Haditono, 1989). Terjadinya penurunan pada orang lanjut usia ditandai dengan
penurunan aktivitas, dan menurunnya berbagai keterikatan social maupun psikologis
(Neugarten, dkk, 1968). Dan menurunnya peran dan partipasi social (Ferraro). Dalam penelitian
ini disebutkan bertujuan untuk mengetahui kepuasan hidup orang lanjut usia ditinjau dari jenis
aktivitas, religiositas, tingkat kemanditian, dan tingkat pendidikan.

Hipotesis
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kepuasan hidup orang lanjut usia ditinjau dari jenis
aktivitas, religiositas, tingkat kemandirian, tingkat pendidikan, dan daerah tempat tinggal.
Hipotesis yang digunakan dalam metode ini terdiri atas satu hipotesis mayor dan empat
hipotesis minor, juga hipotesis mengenai perbedaan. Sample dalam metode ini terdiri dari 100
orang lanjut usia pria dan wanita yang bertempat tinggal di kota dan 100 orang lanjut usia yang
bertempat tinggal di desa, yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive random
sampling.
Metode
Kepuasan hidup orang lanjut usia berfungsi sebagai variable tergantung dalam penelitian ini.
Ada tujuh variable yang berfungsi sebagai variable bebas yaitu, jenis aktivitas , jenis kelamin,
religiositas, status perkawinan, tingkat kemandirian, tingkat pendidikan, dan daerah tempat

tinggal. Sebagai variable tergantung yaitu, kepuasan hidup orang lanjut usia.
Populasi dalm penelitian ini adalah ornga lanjut usia yang berusia 60 tahun keatas. Dan sample
dalam penelitian ini adalah para lanjut usia pria dan anita yang tidak tinggal di Panti Wreda.
Subyek pria dan wanita masing-masing berjumlah 100 orang lanjut usia yang terdiri dari, 50
orang yang tinggal di kota dan 50 orang yang tinggal di desa. Kota yang ditetapkan untuk
pengambilan sample adalah daerah yang termasuk dalam wilayah Kota Madya Semarang,
dsedangkan desa yang dijadikan untuk tempat pengambilan sample adalah delapan desa
swadaya tang yang tersebar di empat kecamatan di ilayah Kabupaten Demak.
Data analisis digunakan dua macam teknik analisis, yaitu analisis regresi dan analisis variansi.
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode angket.
Ada empat buah angket yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu angkeyt jenis aktivitas,
reliogitas, kemandirian, dan kepuasan hidup orang lanjut usia. Jenis kelamin, status perkawinan,
dan tingkat pendidikan didasarkan pada data yang diberikan subyek, sedangkan daerah tempat
tinggal adalah sesuai dengan tempat pengambilan data yang sudah ditentukan sebelumnya.
Hasil Penelitian
Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara jenis aktivitas, religiositas, tingkat
kemandirian, dan tingkat pendidikan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia (F=18,316dan
p=0,000).
Tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis aktivitas dengan kepuasan hidup orang
lanjut usia (r =0,129 dan p=0,067). Tetapi hubungan antara aktivitas hiburan dengan kepuasan
hidup orang lanjut usia adalah sangat signifikan (rxly=0,441 dan p=0,000). Sedangkan
hubungan antara aktivitas produktif dengan kepuasan hidup orang lanjut usia adalah negative
dan sangant signifikan (rx2y=-0,222 dan p=0,001).
Adanya hubungan yang sangat signifikan antara religiositas dengan kepuasan hidup orang lanjut
usia (r =0,188 dan p=0,008).
Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara tingkat kemandirian dengan kepuasan hidup
orang lanjut usia (r =0,316 dan p=0,001).
Ada hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan kepuasan hidup orang
lanjut usia (r =0,214 dan p=0,001).
Terdapat perbedaan kepuasan hidup yang sangat signifikan antara orang lanjut usia pria dan
wanita (f=69,862 dan p=0,000). Berdasarkan nilai rerata, ternyata bahwa kepuasan hidup orang
lanjut usia pria lebih tinggi daripada wanita. Hanya pada aspek kedua kepuasan kepuasan hidup
orang lanjut usia, pria dan wanita tidak berbeda (t =1,339 dan p=0,179).
Tidak da perbedaan kepuasan hidup yang signifikan antara orang lanjut usia yang bertempat
tinggal di desa dan di kota (f=1,167 dan p=0,1281). Namun demikian, ada perbedaan pada aspek
pertama dan kedua dari kepuasan hidup orang lanjut usia dengan rerata orang desa lebih tinggi
dari orang kota, sedangkan pada aspek ketiga, rerata orang kota lebih tinggi daripada orang desa.

Pembahasan
Menurut Neugarten, kepuasan hidup adalah ukuran kebahagian dan mempunyai lima aspek,
yaitu: merasa senang dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari, menganggap hidupnya penuh
arti dan menerima dengan tulus kondisi hidupnya, merasa telah berhasil mencapai cita-cita atau
sebagian besar hidupnya, mempunyai citra diri yang positif, mempunyai sikap hidup yang
optimistic dan suasana hati yang bahagia. Orang lanjut usia yang mengalami post power sindrom

kepuasan hidupnya akan menurun karena mereka belum dapat menerima kenyataan hidup yang
dialaminya sekarang, yang dahulunya mereka menjadi orang-orang yang terpandang, berhasil,
dan selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dan pada usia lanjut mereka kehilangan semua
itu.
Aktvitas yang menghasilkan uang jauh lebih tinggi nilainya, sebab hal ini menunjukkan bahwa
seseorang masih mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat (Fenfler, 1984). Sedangkan
aktifitas produktif bisa dilakukan orang hanya karena kewajiban dan tanggung jawab untuk
memberi nafkah bagi keluarga dan bukan karena merasa senang untuk melakukannya.
Berhubungan dengan masalah hidup orang lanjut usia, kepuasan hidup pria lanjut usia yang
bekerja jauh lebih tinggi daripada yang tidak bekerja. Berbeda dengan wanita, wanita lanjut usia
yang tidak bekerja kepuasan hidupnya jauh lebih tinggi daripada wanita yang bekerja (Soenaryo,
1990).
Perbedaan antara pria dan wanita dapat dilihat sebagai hasil interaksi antara faktor fisiologis,
pengaruh psikologis, dan pengalaman. Dengan interaksi faktor-faktor tersebut, pria dan wanita
berbeda dalam berbagai hal (Kimmel, 1990). Kelompok budaya yang berbeda, berbeda pula
dalam menafsirkan kewajiban dan wewenang lelaki dan perempuan baik dalam keluarga
maupun dalam lapangan kerja (Jatman, 1954). Stewart dan Shapiro mengatakan bahwa apabila
mengalami kegagalan, pria tidak terlalu negatif dalam mengevaluasi dirinya dan mempunyai
kemampuan memimpin yang lebih baik daripada wanita. Wanita yang berkewajiban
menjalankan tugas-tugas di rumah tidak mengenal pensiun, sehingga kurang mendapatkan
kesempatan untuk mencari hiburan. Shaffer dkk mengatakan, bahwa pria lebih mandiri dan
kompetitif. Dengan adanya perbedaan tersebut maka menjadikan kepuasan hidup orang lanjut
usia pria lebih tinggi daripada wanita.
Religositas berasal dari kata religi yang berarti agama. Religiositas seseorang adalah tingkah laku
manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu
kenyataan-kenyataan yang supra empiris. Manusia yang memiliki religiositas, meletakkan harga
dan makna tindakan empirisnya di bawah yang supra empiris (Madjid, 1997). Moberg
mengatakan bahwa keyakinan terhadap Tuhan akan meringankan penderitaan saat orang
merasa sedih, kesepian dan putus asa serta mereka dapat memperoleh kekuatan darinya. Orang
lanjut usia yang kurang religius, mempunyai tingkat kepuasan kepuasan hidup yang lebih
rendah, sedangkan yang religiositasnya terbina dengan baik menunjukkan tingkat kepuasan
hidup yang lebih tinggi.
Hampir semua orang dewasa akan menikah pada suatu saat dalam hidupnya, tetapi tidak semua
orang menikah dan tidak setiap orang yang menikah tetap dalam ikatan perkawinan sampai
mati. Orang lanjut usai yang mengalami perceraian, kepuasan hidupnya paling rendah. Menurut
Zimbardo bahwa kehilangan pasangan dapat menimbulkan rasa kesepian dan mengakibatkan
berkurangnya kepuasan hidup. Sesuai dengan hasil penelitian, bahwa kepuasan hidup orang
lanjut usia yang menikah lebih tinggi daripada para lanjut usia yang janda atau duda.
Kemandirian mencakup pengertian dari beberapa istilah, yaitu autonomy, indenpendency, dan
self-reliance(Masrun, dkk, 1986). Individu yang mempunyai otonomi, tingkah lakunya
merupakan hasil kekuatan atau dorongan dari dalam dan tidak karena pengaruh orang lain,
mempunyai kontrol diri, mampu mengembangkan sikap kritis, dan mampu membuat keputusan
secara bebas tanpa dipengaruhi orang lain (Brawer dalam Soetjiningsih, 1992). Kehilangan
kemandirian dan meningkatnya ketergantungan pada orang lanjut usia tidak selalu karena
menurunnya kemampuan fisik maupun mental, tetapi juga karena lingkungan sosial yang
menerimanya sebagai hal yang wajar dan membangun ketidak mampuan dengan selalu
menawarkan bantuan meski tidak diinginkan dan dibutuhkan (Baltes, 1995). Keinginan untuk

mandiri merupakan faktor utama dari kemandirian, yaitu keinginan untuk melakukan segala
sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Pendidikan sebagai suatu proses mencakup semua bentuk aktivitas yang menstimulasi individu
untuk berfikir, berpartisipasi, dan berbuat sesuatu (Crow dan Crow, 1958). Tingkat pendidikan
yang rendah dan kehidupan menjanda atau menduda merupakan prediktor yang signifikan dari
ketidakpuasan (Baldassare, dkk, 1984). Pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang untuk
mencapai kedudukan yang lebih baik dadalam masyarakat (Haditono dan Singgih, 1991). Dan
dalam hasil penelitian di atas menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara
tingkat pendidikan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia.
Tempat tinggal dibedakan menjadi desa dan kota. Desa adalah unit pemusatan penduduk yang
bercorak agraris, jumlah penduduk kecil dan kepadatan penduduk rendah. Pekerjaan di desa
banyak tergantung pada alam dan tidak banyak bervariasi. Obyek pekerjaan di desa adalah
tanaman dan hewan. Daerah pedesaan pada dasarnya homogen baik dalam bidang pekerjaan,
bahasa, dan adat istiadat. Interaksi sosial bersifat personal, langsung berhadap-hadapan dan
setiap orang mengenal orang lain secara baik tanpa harus mencatat nama, alamat, dan pekerjaan
yang bersangkutan (Khairuddin, 1992). Sedangkan kota adalah suatu pemikiman yang cukup
besar, padat dan dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya. Fungsi kota yang
khas adalah sebagai pusat kegiatan seni dan budaya, industri, perdagangan, pendidikan, dan
ilmu pengetahuan, pemerintah serta kemewahan. Sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat, lebih
besar, dan lebih banyak sehingga relatif lebih mudah mendapatkan uang dari pada di desa. Hal
ini merupakan faktor penarik yang menyebabkan banyak orang desa melakukan urbanisasi atau
pindah kepentingan kota (Soekanto, 1990). Dalam penelitian disebutkan bahwa kepuasan hidup
orang lanjut usia di desa tidak berbeda dengan yang bertempat tinggal di kota.

Kesimpulan dan Saran


Adanya hubungan yang sangat signifikan pada kepuasan hidup orang lanjut usia dengan jenis
aktivitas, religiositas, tingkat kemandirian, dan tingkat pendidikan, tetapi jenis aktivitas
hubungannya tidak dominan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia.
Kepuasan hidup antara orang lanjut usia pria dan wanita terjadi perbedaan yaitu, pria lebih
tinggi daripada wanita. Begitu juga dengan orang lanjut usia yang menikah dan janda atau duda,
adalah orang lanjut usia yang menikah tingkat kepuasan hidupnya lebih tinggi daripada yang
janda atau duda. Dan dalam perbandingan antara orang lanjut usia yang bertempat tinggal di
desa dan di kota, tidak terdapat perbedaan dalam kepuasan hidup.
Orang lanjut usai yang merasa telah berhasil mencapai cita-cita atau sebagian besar tujuan
hidupnya, mempunyai citra diri yang positif, mempunyai sikap hidup yang optimistic dan suasan
hati yang bahagia, dan tidak mengalami post power sindrom, pria lebih tinggi daripada wanita,
yang menikah lebih tinggi daripada janda atau duda, dan yang berhubungan dengan tingkat
pendidikan. Dan orang lanjut usia yang mengaaggap hidupnya lebih berarti dan menerima
dengan tulus kondisi kehidupannya, menunjukkan tidak adanya perbedaan antara faktor-faktor
diatas.
Sebaiknya orang lanjut usia mendapatkan kesempatan yang luas untuk dapat melakukan
aktivitas yang digemarinya. Seharusnya orang lanjut usia meningkatkan religiositas dan tetap
mempertahankan kemandiriannya. Dan bagi orang lanjut usia wanita, janda atau duda, dan yang

kurang pendidikan, sebaiknya tetap berusaha untuk mencapai kepuasan hidupnya, dan orang
lajut usia yang mengalami post power sindrom tetap berusaha memperbaiki dirinya.

http://makalahpsikologi.blogspot.com/2010/02/review-jurnal.html

Judul Jurnal :
Atribusi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kesadaran Terhadap Kesataran Gender, dan
Strategi Mengahadapi Masalah Pada Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
1. Latar Belakang Teori dan Tujuan Penelitian
Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang saat ini menjadi
soroton berbagai pihak. Fenomena tersebut semakin memprihatinkan karena pelaku
kekerasan adalah orang-orang yang dipercaya, disayangi, dan dicintai, yaitu keluarga.
Kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intimnya tersebut dikenal sebagai kekerasan dalam
rumah tangga (Jhonson & Sacco, dalam Hakimi, dkk, 2001).
Kekerasan terhadap istri langsung maupun tidak langsung menimbulkan akibat
yang buruk (Unger & Crawford, 1992) baik bagi korban maupun bagi anak-anaknya. Namun
demikian, istri yang menjadi korban kekerasan cenderung memilih untuk bertahan dalam
situasi tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puslitkes Atmajaya dengan
Rifka Annisa ( Hayati, 1999), tampak bahwa 76% dari 125 korban yang berkonsultasi ke
RAWCC memilih kembali kepada suami.
Berlangsungnya kekerasan yang menimpa secara berulang-ulang membuat istri
melakukan coping. Menurut Lazararus dan Folkan (Folkman, 1984), coping terdiri dari dua
yaitu Problem Focused Coping (SMM-M) dan Emosional Focused Coping (SMM-E). SMMM merupakan usaha mengatasi masalah dengan fokus pada masalah yang terjadi. SMM-E
merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi stress dengan cara menghadapi
tekanan-tekanan emosi dan untuk keseimbangan afeksinya. Perempuan cenderung melakukan
SMM-E, sebagaimana yang ditunjukkan dalam penelitian Fawcett, dkk, (1999), bahwa
perempuan korban kekerasan melakukan beberapa strategi antara lain dengan bersikap sabar,
bertoleransi, diam, berhubungan seks dengan pasangan, atau melakukan apapun perintah
pasangan.
Pemilihan setrategi menghadapi masalah dipengaruhi beberapa faktor. Diantara
faktor-faktor tersebut adalah penilaian kognitif (Folkman, 1984). Suatu penilaian yang
hampir setiap waktu yang digunakan oleh individu adalah penilaian sebab akibat yang disebut
dengan atribusi.
Atribusi merupakan suatu proses penilaian tentang penyebab, yang dilakukan
individu setiap hari terhadap berbagai peristiwa, dengan atau tanpa disadari ( Sears, dkk,
1994). Demikian pula jika seseorang dihadapkan pada situasi yang menekan, ia akan spontan
mencari atribusi terhadap situasi tersebut (Taylor, dkk, 1984). Teori atribusi menyatakan
bahwa setelah mengalami peristiwa negatif atau menyakitkan, seseorang akan membuat
atribusi untuk memudahkan penyesuain, karena atribusi membantu mereka merasa bahwa
mereka dapat mengontrol lingkungan (Kelley, dalam Tennen, 1986).
Disisi lain kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah yang berkaitan
erat dengan bias gender yang biasa terjadi di masayarakat patriarkal, dimana distribusi
kekuasan antara laki-laki dan perempuan timpang, sehingga kaum laki-laki mendominasi
institusi sosial dan tubuh sosial (Arivia, 1996). Dominasi kekuasan suami atas istri ini
mencakup pula dorongan untuk mengontrol istrinya, termasuk mengontrol tubuhnya dengan
melakukan kekerasan (Skrobanek, 1991).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara lokasi penyebab,
stabilitas, dan pengendalian penyebab kekerasan dalam rumah tangga, serta kesadaran
terhadap kesataraan gender dengan strategi menghadapi masalah.
2. Metode
Subjek penelitian ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga,
berjumlah 45 orang. Skala yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi:
1. Skala strategi menghadapi masalah (SMM), yang merupakan gabungan antara skala SMM-M
dan SMM-E. Skala SMM-M terdiri dari 5 aspek. Sementara skala SMM-E terdiri dari 8
aspek. Skala ini terdiri dari 26 aitem.
2. Skala atribusi kekerasan dalam rumah tangga, skala ini terdiri dari 24 aitem yang meliputi 3
dimensi yaitu penyebab, stabilitas, dan pengendalian.
3. Skala kesadaran terhadap kesataraan gender, skala ini terdiri dari 20 aitem yang meliputi 4
dimensi.
Reliabilitas ke-3 skala tersebut bergerak dari 0,827 sampai dengan 0,897. Data
yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis regresi dengan
menggunakan metode stepwise.
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara lokasi
penyebab, stabilitas, pengendalian, dan kesadaran terhadap kesataraan gender dengan strategi
menghadapi masalah yang berorientasi pada masalah (SMM-M). Dari penelitian ini diketahui
bahwa 84% SMM-M perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dijelasakan
dari atribusi mereka terhadap kekerasan dalam ruumah tangga, yang meliputi lokasi
penyebab, stabilitas, dan pengendalian, serta kesadaran mereka terhadap kesataraan gender.
Dari hasil diatas juga dapat dikatakan bahwa lokasi penyebab, stabilitas, dan pengendalian,
serta kesadaran mereka terhadap kesataraan gender, secara bersama-sama dapat memprediksi
SMM-M. Semakin eksternal lokasi penyebab, semakin tidak stabil, semakin dapat
dikendalikan, serta semakin tinggi kesadaran terhadap kesataraan gender, maka akan semakin
tinggi SMM-M.
Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa tidak ada hubungan signifikan
antara lokasi penyebab, stabilitas, dan pengendalian, serta kesadaran mereka terhadap
kesataraan gender secara bersama-sama dengan strategi mengahadapi masalah yang
berosrientasi pada emosi (SMM-E). Namun disini ditemukan bahwa kesadaran terhadap
kesataraan gender secara signifikan mampu memprediksi SMM-E. Semakian tinggi
kesadaran terhadap kesataraan gender akan semakin rendah SMM-E.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisi diatas ditemukan adanya penggunaan strategi
menghadapi masalah pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Pengguanaan
SMM-M dapat diprediksikan dari atribusi mereka terhadap kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami dan kesadaran mereka terhadap kesataraan gender. Sementara itu pengguanan
SMM-E dapat diprediksikan dari kesadaran mereka terhadap kesataraan gender.

Daftar Pustaka
Siti Rormah Nurhayati, dan Sugiyanto. Atribusi Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Kesadaran Terhadap Kesataran Gender, dan Strategi Mengahadapi Masalah Pada Perempuan
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Psikologi, Voleme 32, No.1, 34-46 (
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta dan Fakultas Psikologi Universittas
Gajah Mada: Yogyakarta).

Review Artikel Jurnal:


PANDANGAN ANAK
BERMASALAH TERHADAP
NILAI MORAL
Judul Asli: Three Children with Emotional and Behavioral Disorders Tell Why People Do Right (Elizabeth L.
Hardman, University of Florida)
Reviewer: Lily Thamzil
PENDAHULUAN

Ringkasan laporan hasil studi kasus Elizabeth L. Hardman (University of Florida) dalam International Journal
of Special Education tahun 2011 termasuk dalam kajian psikologi pendidikan yang terkait dengan anak yang
berkebutuhan khusus atau kategori pendidikan inklusif. Dalam bahasannya, penelitian diarahkan pada psikologi
kognitif sosial yang mengacu pada tahapan perkembangan kognitif dalam memahami nilai-nilai moral.
Secara umum, Hardman dalam tulisannya berupaya mengungkap kejelasan tahapan usia perkembangan seorang
anak mampu memilah perilaku baik dan buruk atau benar dan salah yang diterima dari lingkungannya seperti
yang dicontohkan oleh Piaget dan para peneliti psikologi kepribadian lainnya. Hardman kemudian mengarahkan
alur penelitiannya terhadap perkembangan nilai kerjasama pada anak-anak atau siswa yang mengalami
gangguan emosi dan perilaku atau Emotional and Behavioral Disorder (EBD) berdasarkan pola pertimbangan
mereka yang menurutnya belum banyak dikaji oleh peneliti lain sebelumnya.
Hasil penelitian Hardman tentang tahap perkembangan pemahaman nilai moral dengan kekhususan pada anak
EBD secara umum belum dapat digeneralisasi seperti yang diakuinya pada pembahasanketerbatasan penelitian.
Penelitian masih terbatas pada kasus siswa SD secara longitudinal dengan konteks Florida yang mungkin akan
berbeda dengan kasus-kasus anak EBD di negara lain. Meskipun demikian, hasil penelitian ini secara umum
sangat menarik ditindaklanjuti terutama pada temuannya tentang konflik nilai yang terjadi pada ke tiga anak
EBD ketika dituntut mengambil keputusan tentang nilai moral dalam kasus-kasus dilematis. Selain itu,
kemapanan Hardman dalam mengolah data kualitatif terlihat sangat analitik dan detail terutama kemampuannya
menangkap fenomena dan memilahnya menjadi kategori nilai moral.

RINGKASAN

Latar Belakang

Di bagian awal tulisannya, Hardman menampilkan abstraksi dari hasil penelitiannya yang dilanjutkan dengan
deskripsi latar belakang masalah yang bersumber dari beberapa penelitian. Di dalamnya terungkap mengenai
pengertian melakukan kebaikan (do right) yang berasal dari nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat dan
secara otomatis terinternalisasi oleh anak dari keluarganya. Selain itu, Hardman juga memperhatikan saran
Piaget untuk meneliti nilai moral dari sudut pandang anak terhadap perilaku mereka sendiri. Alasan mengirim
anak/siswa ke sekolah khusus yang dirancang untuk mengatasi masalah perilaku anak-anak EBD yang kerap
menyulitkan di kelas dan menyebabkan mereka kurang disenangi oleh sebayanya, juga sarat informasi yang
memungkinkan untuk diteliti. Menurutnya, banyak penelitian yang telah dilakukan untuk memahami
karakteristik anak-anak EBD tapi sangat kurang kajian penilaian moral anak-anak EBD yang mendeskripsikan
perbedaan penilaian di kalangan mereka terutama yang terkait dengan perkembangan orientasi moral kerjasama.

Perkembangan Penilaian Moral


Pengertian nilai moral yang digunakan oleh Hardman dikutip dari Dewey sebagai upaya serius yang dilakukan
untuk menemukan hubungan antara tindakan dan konsekuensinya. Asumsi bahwa realitas moral juga dibangun
dengan cara yang sama, Hardman mencontohkan hasil penelitian Piaget tentang perkembangan penilaian moral
dengan mengeksplorasi pengaruh pengalaman dan pemikiran terhadap persepsi anak yang memperlihatkan
hubungan tindakan dan konsekuensinya. Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan aturan berkembang dalam 4
tahapan, yaitu sensorimotor, egosentrik, kerjasama, dankodifikasi; namun kesadaran tanggungjawab
berkembang dalam 3 tahapan, yaitu non-moral, heteronomi, andotonomi. Meskipun perkembangan tersebut
berbeda antaranak, namun secara umum diakuinya bahwa urut-urutannya relatif seragam dan universal.
Pembahasan ini berlanjut dengan pemaparan hasil-hasil penelitian serupa dari berbagai negara untuk
menunjukkan universalitas temuan.
Penelitian Lanjutan
Penelitian tentang tahap perkembangan penilaian moral dilakukan secara berkelanjutan dalam berbagai konteks
dan sudut pandang. Dari penelitian-penelitian tersebut, Hardman menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan
persepsi di kalangan peneliti tentang tahapan perkembangan penilaian moral, namun ditemukan beberapa
variabel yang dapat menghambat perkembangan penilaian moral anak seperti emosi negatif, status ekonomi,
ketidakmatangan keterampilan sosial, dan perilaku antisosial. Yang menarik karena keseluruhan variabel
tersebut juga terkait dengan perkembangan anak-anak EBD. Inilah yang kemudian menjadi titik tolak Hardman
dalam melakukan penelitian dengan berasumsi bahwa masa kanak-kanak mewakili periode kritis perkembangan
penilaian moral serta intervensi perkembangan perilaku antisosial dengan fokus utama pada perkembangan
orientasi moral kerjasama selama masa itu.
Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan orientasi moral dan mengeksplorasi pola pertimbangan mereka
terhadap nilai kerjasama sebagai bagian dari nilai sosial. Penelitian dilakukan dengan studi kasus yang
menggunakan teknik wawancara dilema moral yang melibatkan 3 anak EBDatau yang mengalami masalah
kontrolemosi dan perilaku di salah satuSD di Florida, Amerika; kelas 3, 4, dan 5; 2 laki-laki dan 1 perempuan,
dan beberapa karakteristik lain yang juga dijelaskan secara panjang lebar dalam tulisan Hardman. Data
dikumpulkan menggunakan pedoman wawancara disertai dengan skenario (model tanya jawab antara peneliti

dan subyek) yang menyajikan 12 kisah yang mengandung dilema moral hipotetik (garis antara yang benar dan
yang salah sengaja dibuat kabur), dipilih dari berbagai sumber yang sangat populer di kalangan anak-anak
Amerika, dan beberapa pertimbangan lainnya. Wawancara berlangsung 30 menit per anak dan di akhir
wawancara, ketiganya dihadiahi buku ceritaBoxcar Children. Wawancara direkam dan ditranskripsi lalu
dikoding yang menghasilkan 130 lembar data. Kode-kode yang digunakan berupa singkatan-singkatan dengan
kategori tertentu yang diisi berdasarkan respons verbal anak. Validitas dan reliabilitas temuan dilakukan dengan
cara-cara yang khas dalam penelitian kualitatif.
Hasil Penelitian
Analis data secara umum menunjukkan bahwa anak-anak memahami elemen dasar plot, karakter, dan latar yang
disajikan di setiap cerita sebelum mereka diminta mengemukakan isu-isu moral yang dikandungnya. Henry agak
kesulitan mengingat nama tokoh dalam cerita pada 3 cerita dilema Piaget di kesempatan pertama tapi setelah
diulangi, Henry berhasil mengingatnya kembali. Setelah 9 kali wawancara, hasil menunjukkan bahwa informan
memilih 36 pilihan isu dari 12 dilema yang terurai menjadi 375 jenis penilaian moral, baik berupa norma
maupun elemen moral.
Pilihan Issu
Jessie dan Henry cenderung cepat mengambil keputusan, konsisten, dan memilih isu yang heteronim dari
sumber figur otoritatif seperti ayah, hukum, dan hukuman. Violet cenderung banyak pertimbangan solusi dalam
mengambil keputusan sebelum kembali ke pilihan awal lalu mengkonfirmasi pilihannya, dan memilih isu yang
mengarah pada solidaritas. Beberapa contoh disajikan untuk menguatkan hal itu dan ringkasannya disajikan
dalam bentuk tabel.
Penilaian Moral
Dalam hal penilaian moral, ketiga anak EBD menunjukkan kecenderungan memilih nilai yang berasal dari
norma otoritas, hukuman, dan hukum yang mendukung pilihan isu mereka. Meskipun demikian, terdapat
beberapa temuan yang menunjukkan inkonsistensi mereka terhadap pilihannya ketika diperhadapkan dengan
konflik nilai dari kisah dilematis yang diceritakan. Data lengkapnya disajikan dalam bentuk tabel dan secara
umum, Hardman menemukan bahwa mereka menitikberatkan pentingnya hukuman sebagai kontrol perilaku
dengan alasan bahwa hukumanlah yang memberi batasan benar salahnya tindakan dan berpengaruh terhadap
kepatuhan. Ketiganya berkeyakinan bahwa menghindari hukuman akan menjerumuskan orang melakukan
tindakan yang tidak pantas.
Nilai-Nilai pada Anak dan Perkembangan Kerjasama
Perkembangan orientasi moral yang ditemukan Hardman pada ketiga anak EBD tercermin dari pemahaman
tentang aturan yang telah disepakati.Struktur kognitif yang mendukung perkembangan kerjasama umumnya
muncul di usia 5 tahun dan mencapai puncak perkembangannya menjelang usia 9 atau 10 tahun kecuali pada
kasus anak-anak yang berstatus ekonomi lemah atau menunjukkan perilaku antisosial yang serius. Berbagai
penelitian menemukan bahwa perkembangan kerjasama akan beragam dan dalam kasus-kasus tertentu tidak
berkembang sama sekali dengan asumsi bahwa apa saja yang menghalangi peluang anak belajar berpartisipasi
dalam masyarakat akan memperlambat perkembangan kerjasama mereka dan bahkan menghambat munculnya

perilaku otonomi di masa remajanya. Anak-anak EBD dalam penelitian ini berusia antara 9 s.d. 12 tahun dengan
karakteristik tertentu. Hasil wawancara menunjukkan bahwa 90% dari 375 penilaian mengacu pada aturan
normatif dan hanya 10% sisanya mengacu pada kerjasama. Henry dan Jessie dalam kasus ini cenderung patuh
karena menghindari hukuman dan Violet konsisten dengan orientasi solidaritas dan pujian.
Anak-anak tidak selalu menilai berdasarkan aturan normatif atau orientasi moral egosentris. Fakta menunjukkan
bahwa 10% penilaian mereka lebih mengarah pada orientasi kerjasama dan konsep pertemanan atau solidaritas
merupakan pilihan nilai mereka. Benar atau salah, orang akan menanggung beban dan menikmati keuntungan
secara bersama-sama. Dalam hal ini, Hardman mengutip beberapa pandangan ahli dan salah satunya adalah
pandangan Piaget (1932/1965) yang mengidentifikasi solidaritas sebagai fenomena kognitif yang penting dalam
perkembangan moral kemandirian dengan syarat memahami aturan dalam kesepakatan. Perilaku anak pada
dasarnya sulit ditebak meskipun mereka tahu benar dan salah atau mampu menerapkan aturan perilaku sosial
yang pantas. Hal ini menurutnya tidak antas membenarkan bahwa perilaku dan penilaian tidak berkaitan tetapi
hanya menjelaskan bahwa hubungan ini dimediasi oleh konteks sosial itu sendiri (dikutip oleh Hardman dari
Damon, 1988).
Keterbatasan Penelitian
Hardman secara jujur mengakui keterbatasan penelitiannya dalam hal generalisasi terhadap populasi mengingat
sifatnya yang kasuistik dan hasil yang diperoleh hanya melalui 12 kasus dilematis yang belum tentu sama
hasilnya ketika diperhadapkan dengan dilema yang berbeda. Selain itu, apa yang dikemukakan oleh ketiga anak
EBD dalam penelitian ini tidak menjamin bahwa seperti itulah perilaku pereka ketika diperhadapkan dengan
situasi sebenarnya. Dengan kata lain, sikap, tidak otomatis mewakili perilaku.
Penelitian studi kasus juga dibatasi dalam hal penentuan sebab akibat tetapi hasil penelitian ini menyarankan
bahwa menganalisis hubungan misterius antara perilaku dan penilaian mungkin lebih rumit daripada penerapan
metode penelitian. Hardman mengillustrasikannya dengan cerita orang buta dalam mengidentifikasi obyek.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pemahaman hubungan antara perilaku dan penilaian tidak mungkin
terlaksana tanpa terlebih dahulu menerima tantangan dalam memadukan kedua pandangan yang berbeda dalam
perkembangan anak. Di satu sisi, fokus pada perubahan perilaku dan di sisi lain berfokus pada transformasi
kognitif. Penelitian ini menurutnya hanya langkah awal untuk memahami nilai moral dari perspektif anak EBD.
Jika dilanjutkan, masyarakat diharapkan mampu memahami hubungan antara penilaian dan perilaku pada anakanak EBD untuk kemudian mengkaji ulang perlu tidaknya pendirian sekolah khusus bagi mereka sehingga
setiap anak memiliki peluang yang sama untuk produktif dan dihargai oleh yang lain.

KRITIK

Dari rangkuman hasil penelitian Hardman di atas, terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dari segi konten
dan organisasi penulisan. Temuan dan upaya hardman meneliti anak-anak EBD ini menarik dan layak untuk
dijadikan sebagai pola bagi penelitian serupa dalam konteks yang berbeda, baik dari sisi tahapan perkembangan

moral anak, maupun sikap mereka dalam menentukan pilihan penilaian moral. Implikasi yang dihasilkan dari
penelitian juga sangat bermanfaat bagi pengambil kebijakan di negaranya untuk melakukan kajian kritis tentang
aturan menyekolahkan anak EBD secara terpisah dari sekolah umum. Saran UNESCO tentang pendidikan
inklusif (Unesco, Salamanca Framework for Action, 1994) bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus, termasuk
anak EBD, perlu disikapi dengan tindakan nyata sehingga semua anak memperoleh kesetaraan hak-hak
pendidikan mereka. Keunggulan lain yang juga sangat jelas terlihat dalam penelitian ini adalah keakuratan dan
kerincian skenario pelaksanaan wawancara yang dilakukan Hardman serta uraian tentang keterbatasan
penelitiannya.
Kelemahan tulisan ini dan cenderung mendasar terletak pada ketidakmampuan (jika terlalu prematur untuk
mengatakan kegagalan) Hardman menemukan teori alas yang khusus mengkaji tentang nilai kerjasama
sebagai vocal point dari penelitiannya. Hardman lebih banyak dan secara panjang lebar mengurai tentang
tahapan perkembangan penilaian moral anak secara umum dari berbagai perspektif hasil penelitian sebelumnya.
Kajian hasil-hasil penelitian dibahas dalam 3 porsi besar, yaitu pada latar belakang, penelitian lanjutan, dan
penelitian sebelumnya.
Dalam perspektif masalah yang berasal dari upaya pembuktian teori, latar belakang pada dasarnya dibenarkan
mengungkap berbagai temuan namun tidak lantas mengkerdilkan masalah utamanya. Hardman mencoba
meneliti perspektif nilai moral anak EBD yang diklaim kurang mendapat perhatian dalam penelitian, tetapi
kurang proporsional dalam menjelaskan jenis perlakuan yang diterima oleh anak EBD dari sekolah dan
masyarakat sebagai sanksi sosial serta efek bagi perkembangan psikologis mereka, terutama yang langsung
bersentuhan dengan orientasi nilai kerjasama sebagai fokus. Hardman hanya mengungkap sedikit latar belakang
subyek pada pembahasan metode untuk menjelaskan konteks penelitiannya.
Pada pembahasan hasil, Hardman lebih banyak mengeksplorasi pandangan ahli untuk disesuaikan dengan
temuannya daripada mendetailkan temuannya sendiri. Termasuk di antaranya temuan utamanya yang langsung
menjawab pertanyaan penelitian, kurang mendapat penjelasan serinci ulasannya tentang pandangan ahli.
Padahal, satu hal yang paling dinantikan pembaca dari penelitian kualitatif adalah deskripsi temuan teori atau
hipotesis sebagai hasil akhir dari penelitian, termasuk studi kasus.
Kedua, dari segi organisasi penulisan pada jurnal, proporsi metode penelitian hampir sama (untuk tidak
mengatakan sama) dengan proporsi hasil. Kuat dugaan bahwa Hardman berniat menunjukkan kekuatan
penelitiannya dari sisi metodologi terutama ketajaman informasi mengenai model koding yang digunakan serta
skenario wawancara atau ada alasan lain. Bahkan, pada metode, hardman masih menjelaskan pandangan ahli
tentang alasan penggunaan metode yang dalam batasan tertentu dapat dianggap menggurui pembaca. Padahal
mestinya dipahami sejak awal bahwa yang banyak membaca jurnal penelitian psikologi adalah orang-orang
yang tentunya paham dengan konsep penelitian. Di samping itu, beberapa istilah teknis kurang mendapat
perhatian untuk dijelaskan secara operasional sehingga pemilihan kata dan voice[1]-nya terkesan kurang
dialogis dengan pembaca terutama pembaca yang menggunakan bahasa Inggris bukan sebagai bahasa seharihari.

SIMPULAN

Secara umum, tulisan ini aset dalam bidang psikologi perkembangan kepribadian dan psikologi kognitif sosial
terutama yang terkait dengan anak-anak EBD. Selain sebagai sumber informasi, tulisan ini juga dapat dijadikan
sebagai contoh dalam penelitian longitudinal (berkelanjutan) dalam tahapan perkembangan moral dan kognitif
sosial baik untuk anak yang tidak bermasalah, maupun untuk anak-anak EBD. Beberapa kelemahan dalam
tulisan ini tidak otomatis mengurangi nilai positif atau manfaat yang terdapat dalam kajian Hardman.
Referensi:

Hardman, E.L. (2011). Three Children with Emotional and Behavioral Disorders Tell Why People Do
Right, International Journal of Special Education, Vol 27(1), 2011. Diunduh pada tanggal 15 Maret 2012
dari www.internationalsped.com
Unesco. (1994). The SalamancaStatement andFramework for Action on Special Needs Education,World
Conference on Special Needs Education:Access and Quality. Salamanca, Spain, 7-10 June 1994

You might also like