You are on page 1of 17

MODUL V

CLOSE INTERVAL POTENTIAL SURVEY (CIPS)

Tujuan Pembelajaran Umum


Mahasiswa mengetahui cara pendeteksian kerusakan coating pada pipa menggunakan
metode CIPS

Tujuan Pembelajaran Khusus


1. Melakukan uji karakteristik terhadap sistem alat ukur CIPS
2. Mengaplikasikan sistem pengukuran untuk mendeteksi kerusakan coating pada
sistem perpipaan.

V-1
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

BAB I
PENDAHULUAN
Korosi pada pipa berbahan baja tentunya akan menimbulkan dampak yang
buruk yaitu kebocoran yang dapat berdampak pada berkurangnya distribusi hasil
produksi, berkurangnya profit, naiknya cost penanggulangan kebocoran, hingga dapat
menimbulkan dampak kecelakaan kerja hingga kematian. Oleh karena itu, untuk pipa
pipa distribusi yang ditanam di bawah tanah mutlak harus diproteksi dari korosi.
Untuk menghambat laju korosi, proteksi korosi internal untuk pipa distribusi
bawah tanah dapat dilakukan dengan pemilihan material yang tepat dalam arti
sanggup menahan laju korosi erosi dan kavitasi hingga umur desain yang ditentukan.
(Panjaitan, 2012). Sedangkan proteksi yang terbaik untuk melindungi dari korosi
eksternal pada pipa pipa distribusi bawah tanah adalahdengan diberi coating dan
diberi proteksi katodik. Coating pada pipa ini tidak boleh sampai rusak, karena
kerusakan coating pada pipa akan mempercepat laju korosi yang dapat menyebabkan
terjadinya kebocoran pada saat penyaluran minyak atau gas.
Ada atau tidaknya kerusakan pada coating pipa ini dapat dideteksi. Salah satu
cara untuk mendeteksi kerusakan tersebut adalah dengan menggunakan metode Close
Interval Potential Survey (CIPS). Close Interval Potensial Survey (CIPS) atau yang
dikenal juga dengan close interval survey (CIS) adalah sebuah survey potensi yang
dilakukan pada pipa logam yang terkubur atau terendam untuk mendapatkan
pengukuran potensial struktur DC ke elektrolit pada interval regular (NACE SP0207,
2007).
Metode Close Interval Potential Survey (CIPS) ditujukan untuk mengetahui
integritas dari jalur pipa khususnya berkaitan dengan efektifitas kerja dari Sistem
Proteksi Katodik. Pengukuran potensial rangkaian tertutup secara interval (CIPS) ini
menggunakan alat yang dilengkapi dengan Data logger/Voltmeter dan juga elektroda
reference Cu/CuSO4 yang terkalibrasi. Peralatan ini merupakan alat yang dirancang
dan diprogram oleh para ahli korosi terutama ahli proteksi katodik untuk pemeriksaan
kondisi kerusakan coating pada pipa baja dalam tanah. (Nur Salam, 1999).

V-2
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jalur Pipa
Jalur pipa (pipeline) merupakan sarana yang banyak digunakan untuk
mentransmisikan fluida pada industri minyak dan gas. Penggunaannya cukup
beragam, antara lain digunakan untuk menyalurkan fluida dari sumur menuju tempat
pengolahan atau antar bangunan anjungan lepas pantai (offshore facility) ataupun dari
bangunan anjungan lepas pantai langsung ke darat (onshore facility). (Elanda, 2011).
Pipelines dibagi menjadi 3 kategori (Maheta Dewi,2008) :
1. Export Line/Trunk Line
Export pipeline adalah pipeline yang menyalurkan minyak atau gas olahan antara
satu platform ke platform lainnya atau antara platform dengan fasilitas di darat.
2. Flowline
Flowline adalah pipeline yang menyalurkan fluida dari sumur pengeboran ke
downstream process component yang pertama.
3. Injection Line
Injection Line adalah pipeline yang mengarahkan cairan atau gas mendukung
aktifitas produksi (contoh : injeksi air atau injeksi gas, gas lift, chemical injection
line).
Menurut Maheta Dewi, Sebuah pipeline harus mempunyai beberapa kriteria
yang harus dipenuhi sebagai berikut:
1. Mampu menahan tekanan akibat fluida didalamnya
Untuk mengalirkan fluida dari satu titik ke titik lainnya memerlukan suatu
perbedaan tekanan. Tanpa perbedaan tekanan tersebut fluida tidak akan dapat
mengalir. Selain itu untuk suatu proses tertentu hanya dapat terlaksana pada tekanan
tertentu. Sehingga suatu pipa dalam sebuah pipeline harus mampu menahan
beban akibat tekanan tersebut supaya fluida yang didalamnya tidak mengalami
kebocoran dan mengalir keluar.
2. Mampu mengatasi gaya gesek akibat aliran fluida
Aliran fluida didalam pipa tersebut akan mengakibatkan gaya gesek
terhadap dinding pipa akibat adanya viskositas dari fluida dan kecepatan
alirannya. Semakin besar viskositas fluida tersebut maka akan semakin besar
gaya gesek yang ditimbulkannya, sehingga suatu pipa harus mampu menahan gaya
gesek yang ditimbulkan fluida tersebut.
3. Mampu mengatasi momen akibat gaya berat pipa (beban statik) dan fluida
didalamnya (beban dinamik) serta akibat gaya-gaya luar.
Berat pipa beserta fluida didalamnya yang tidak kecil tersebut harus mampu
V-3
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

ditahan oleh tumpuan dan sambungan flange yang ada. Semakin panjang jarak
tumpuannya maka semakin berat momen yang dihasilkan sehingga memerlukan
kekuatan tumpuan dan sambungan flange yang lebih besar.
4. Mampu mengatasi beban fatigue
Rotating equiptment seperti pompa dan generator yang selalu berputar
mengakibatkan beban fatigue terhadap pipeline yang berhubungan langsung
terhadapnya. Dengan adanya beban fatigue dapat mengakibatkan jenis
kegagalan tersendiri terhadap pipeline tersebut sehingga sebuah pipeline harus
memiliki kemampuan untuk menahan beban fatigue.
5. Mampu mengatasi beban termal
Fluida didalam pipeline tersebut beroperasi pada temperatur yang bebedabeda tergantung pada proses yang dilakukan. Temperatur yang tinggi tersebut
mengakibatkan material pipa mengalami ekspansi sehingga suatu pipeline harus
dapat menahan beban ekspansi yang diakibatkan temperatur yang tinggi tersebut.
Pada industri minyak dan gas, pipa logam merupakan jenis pipa yang paling
banyak digunakan, terutama yang terbuat dari baja. Hal ini disebabkan karena pipa
baja sudah tersedia data data yang lengkap tentang kehandalannya dan aturan
Perancangan berupa kode dan standard. Namun begitu masalah utama yang sering
dihadapi pada penggunaan pipa baja adalah masalah rendahnya ketahanan pipa baja
terhadap korosi, baik itu korosi internal maupun eksternal.
Korosi internal disebabkan oleh pengaruh sifat korosif fluida yang
ditransmisikan oleh pipa, sedangkan korosi eksternal
terjadi
karena
kondisi
lingkungan yang dilalui oleh perpipaan, seperti pipa yang ditanam di dalam tanah
(buried pipe), pipa yang melewati daerah rawa-rawa dan lain sebagainya.
(Elanda,2011).
2.2 Pengertian Korosi
Korosi adalah proses perusakan logam, dimana logam akan mengalami
penurunan mutu (degradation) karena bereaksi dengan lingkungan baik itu secara
Kimia atau elektrokimia pada waktu pemakaiannya. Terkorosinya suatu logam dalam
lingkungan elektrolit (air) adalah suatu proses elektrokimia. Proses ini terjadi bila ada
reaksi setengah sel yang melepaskan elektron (reaksi oksidasi pada anodik). Kedua
reaksi ini akan terus berlangsung sampai terjadi kesetimbangan dinamis dimana
jumlah elektron yang dilepas sama dengan jumlah elektron yang diterima. (A. Jones,
1997).
2.3 Korosi pada Baja Karbon
Baja karbon merupakan logam yang paling banyak digunakan untuk material
keteknikan, dan diperkirakan 85 % dari produksi baja dunia. Walaupun terdapat
keterbatasan terhadap ketahanan korosi, baja karbon banyak digunakan untuk aplikasi
kelautan (maritime), nuklir, transportasi, proses Kimia, industri perminyakan,
refining, pipa saluran, konstruksi pertambangan dan peralatan proses logam. Baja
karbon secara alami memliki keterbatasan kandungan paduannya, biasanya di bawah 2
V-4
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

% dari total penambahan. Namun penambahan tersebut secara umum tidak


menghasilkan perubahan terhadap ketahanan korosi. Terkecuali weathering steel,
dengan penambahan sedikit tembaga, krom, nikel, dan phosphorus dapat mereduksi
laju korosi pada lingkungan tertentu. (http://www.keytometals.com/articles/art60.htm,
diakses 2 Juli 2013)
Baja merupakan material yang banyak digunakan untuk aplikasi pipa bawah
tanah (underground) untuk saluran minyak dan gas khususnya carbon steel. Dengan
adanya karbon, kekerasan dan kekuatan akan meningkat sehingga carbon steel sering
digunakan karena memiliki sifat mekanik yang baik, mudah dibentuk dan juga
difabrikasi. Namun baja terdiri dari beberapa fasa dan terdapat ketidakhomogenan
pada permukaan, sehingga dapat menyebabkan lokal sel elektrokimia. Hal tersebut
menyebabkan rendahnya ketahanan korosi dari baja karena reduksi katodik mudah
terjadi sehingga menyebabkan porous sebagai produk korosi dan tidak terbentuk
produk sampingan seperti lapisan pasif. Proses korosi merupakan kebalikan dari
proses metalurgi, sedangkan omposisi baja, kondisi permukaan serta sudut exposurenya sangat berpengaruh terhadap laju korosi suatu pipa. (http://corrosion.kaist.
ac.kr/download/2007/ chap01.pdf diakses 2 Juli 2013).
Penambahan karbon, mangan, dan silicon cenderung mengurangi laju korosi.
Laju korosi logam yang ditanam dalam tanah yang kering dapat diabaikan, namun
bila kandungan butir butir pH meningkat, laju korosi yang ada didalam tanah itu
ditentukan oleh konduktivitas tanah dengan adanya air, pH, kandungan oksigen,
konsentrasi ion agresif dan aktifitas biologis didalam tanah. Daya hantar atau pH
sangat bergantung pada kandungan mineral dalam tanah dan ion ion yang ada
didalamnya (Chodijah, 2008).
Tanah merupakan salah satu faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya
korosi pada pipa bawah tanah. Korosi ditanah adalah korosi aqueous dan
mekanismenya adalah elektrokimia, tapi kondisi pada tanah dapat berubah dari
atmosferik menjadi completely immersed, dimana kondisi yang berlaku tergantung
pada kepadatan pada tanah dan air atau kandungan kelembapan. Adanya kelembapan
ditanah akibat adanya kapilaritas dan poros pada tanah. Kebanyakan pipa pada jalur
pipa underground menggunakan material yang terbuat dari baja karbon berdasarkan
spesifikasi American Petroleum Institute API 5L dimana komposisinya terdiri dari
karbon, magnesium, mangan, fosfor, sulfur, dan besi. Paduan yang ditambahkan ini
terkadang tidak cukup kuat menahan korosi yang terjadi sehingga akan mengalami
berbagai korosi dilingkungan tanah, seperti general corrosion, pitting corrosion, dan
stress corrosion cracking (SCC). Dengan demikian digunakan metode proteksi
terhadap lingkungan akibat korosi tersebut [ASM 13: Corrosion, 1992].
2.5 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Korosi Bawah Tanah
Korosi yang terjadi di bawah tanah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Berikut ini adalah faktor yang dapat mempengaruhi korosi yang terjadi di bawah
tanah.
1. Tekstur dan struktur tanah
Tanah sebagai media elektrolit sangat mempengaruhi beberapa hal antara lain,
karakteristik korosi, mekanisme korosi dan kecepatan korosi (Chodijah, 2008).
V-5
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

Korosi pada struktur logam baik yang terjadi didalam tanah, didalam laut, dan
didaerah pesisir masing masing memiliki perbedaan karakteristik. Perbedaan ini
dapat dilihat dari kemampuan media elektrolit menghambat dan menghantarkan arus
listrik, tingkat keasaman, kadar oksigen, dan kandungan mineral yang berada
didalam elektrolit itu sendiri. Karakteristik media elektrolit inilah yang harus
diperhatikan sehingga kita dapat mencegah dan mengontrol terjadinya korosi. (Durr
and Beaver, 1998)
2. Kandungan air
Air dalam bentuk larutan ataupun gas merupakan variabel yang menentukan
kemampuan tanah sebagai media elektrolit dalam reaksi korosi. Pergerakan air
mengikuti arah gravitasi yaitu, mengalir dari ketinggian yang tinggi ke rendah.
Pergerakan air didalam tanah juga diakibatkan dari tingkat basah yang tinggi menuju
daerah kering sehingga air bergerak dari tanah yang basah menuju tanah yang
kering meskipun hal ini akan bertentangan dengan gravitasi jika tanah yang
basah berada dibawah. Mekanisme pergerakan air dalam tanah ini dapat terjadi
melalui gravitasi, kapilaritas, tekanan osmosis dan interaksi elektrostatik antar
partikel tanah. Air dapat bergerak didalam tanah dikarenakan adanya porositas
tanah sebagai tempat pergerakan air, tekstur dan struktur tanah sebagai
kekuatan yang dapat menahan atau menampung air serta kandungan organik
didalam tanah (Chodijah, 2008).
3. Derajat aerasi
Menurut Chodijah, Derajat aerasi didalam tanah dipengaruhi oleh kedalaman
tanah. Penurunan derajat aerasi atau kandungan oksigen sejalan dengan makin
dalamnya kedalaman tanah begitu juga sebaliknya dengan peningkatan derajat aerasi.
Konsentrasi oksigen merupakan hal terpenting dalam korosi. Oksigen adalah pemicu
reaksi katodik pada korosi. Walaupun demikian kehadiran jenis bakteri tertentu
dapat meningkatkan kecepatan korosi walaupun dalam kondisi derajat aerasi yang
rendah. Bakteri yang dimaksud adalah sulfate- reducing bacteria (SRB).
4. pH tanah
Sifat tanah ditentukan oleh pH tanah akan menentukan keadaan dari
korosifitas tanah. pH tanah yang asam akan mengakibatkan korosifitas tanah
meningkat sedangkan tanah yang bersifat basa mengakibatkan logam akan
menghasilkan scale. (Panjaitan, 2012). Pengukuran pH tanah telah dilakukan pada
penelitian sebelumnya dengan menggunakan pH meter yang dilakukan oleh
kelompok penelitian tugas akhir Cathodic Protection pada tahun 2008. Hasil
pengukuran menunjukan bahwa kondisi pH tanah dalam keadaan asam dengan nilai
pH sebesar 6. Berdasarkan nilai tersebut, maka pada penelitian tugas akhir ini tidak
dilakukan pengukuran pH tanah.
5. Resistivitas Tanah
Resistivitas tanah adalah besarnya karakteristik tanah sebagai media elektrolit
untuk menghantarkan arus listrik yang menyebabkan terjadinya korosi. Telah
diketahui bahwa tingkat korosifitas tanah akan meningkat saat arus yang
V-6
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

mengalir meningkat yang menyebabkan nilai resistivitas dari tanah menurun. Nilai
resistivitas sangat dipengaruhi oleh kandungan air baik dalam bentuk uap air atau
cairan didalam tanah. (Panjaitan, 2012).
Resistivitas tanah adalah faktor terpenting dalam mengukur tingkat korosifitas
tanah. Setiap tanah memiliki tingkat korosif yang berbeda dengan tanah yang lain
karena nilai resistivitasnya yang berbeda. Tanah berpasir (sandy soil) memiliki
korosifitas yang rendah yang rendah akibat nilai resistivitasnya tinggi, sedangkan
tanah liat (clay) memiliki korosifitas yang tinggi akibat nilai resistivitasnya rendah
(Chodijah, 2008). Tinggi dan rendahnya korosifitas tanah ini memiliki range nilai
yang dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel. 2.1 Resistivitas Tanah

Resistivitas Tanah (ohm.m)


>200
100-200
50-100
30-50
10-30

Tingkat Korosifitas
Tidak Korosif 0
Korosi Rendah 1
Korosi Rendah 2
Korosif 3
Sangat Korosi 4

Pada umumnya, kebanyakan tanah dan batuan mineral memiliki resistivitas


yang tinggi. Arus listrik mengalir melalui uap air (kelembaban) yang mengisi celahcelah didalam pori tanah dan pasir serta melalui retakan tanah dan batuan. Oleh
karena itu nilai resistivitas tanah dan batuan sangat dipengaruhi oleh pori tanah, jarak
pori, retakan, komposisi dan konsentrasi kimia dari uap air dan temperatur. Tanah
dapat dibedakan dari air dan batuan berdasarkan nilai resitivitas. (Chodijah, 2008).
Tabel 2.2 Klasifikasi Tanah, Air dan Batuan Secara Kasar Berdasarkan Nilai Resistivitas

Regional Resitivitas Tanah


Tanah Basah
Tanah Kering
Tanah Gersang
Air
Air Tanah
Air Hujan
Air Laut
Air Es
Jenis Batuan dibawah Tabel Air
Batuan beku perapian dan metamorpik
Consolidated sediment
Unconsoled sediment

Resistivitas (Ohm.m)
50-200
100-200
200-1000 atau lebih
1-10
30-1000
0,2
103-106
100-10.000
10-100
1-10

(Sumber : Chodijah, 2008)

6. Kelembapan
Daerah dengan kelembaban tinggi dapat menyebabkan nilai resistivitas
tanah suatu daerah akan kecil sehingga daerah itu memiliki tingkat korosi yang tinggi.
V-7
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

Hal ini disebabkan uap air yang merupakan salah satu pemicu atau media
elektrolit dalam peristiwa korosi dan uap air dalam jumlah banyak berakibat
daerah itu sangat rentan akan korosi. (Panjaitan,2102). Fungsi uap air (H2O)
adalah media elektrolit yang dapat mengalirkan elektron. Seperti yang sudah
diketahui, peristiwa korosi memerlukan media elektrolit dan uap air dengan
jumlah banyak akan memperbanyak jumlah media elektrolitnyasehingga mempercepat
korosi. Dengan jumlah uap air yang banyak maka semakin banyak pula elektron
sehingga peristiwa korosi semakin sering (Chodijah, 2008).
Dibawah ini adalah nilai resistivitas pada berbagai kondisi jenis tanah.
Tabel 2.3 Nilai Resistivitas Tanah Berdasarkan Kelembaban Tanah

Nilai Resistivitas (Ohm.meter)


Permukaan
Sandy Loam
Kandungan Uap Air
(% Berat di Atmosfer)
0
2,5
5
10
15
20
30

>107
2.500
1.650
530
190
240
64

>107
1.500
430
185
105
63
42

(Sumber : Chodijah, 2008)

7. Suhu lingkungan
Nilai resistivitas tanah juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Jika
temperatur lingkungan tanah tinggi maka nilai resistivitas tanah tersebut rendah.
Sebaliknya, jika temperatur lingkungan tanah rendah maka nilai resistivitas
tanah tinggi. Saat temperatur naik, air akan menguap. Jika temperatur
lingkungan terus menerus meningkat maka semua air akan menjadi uap air.
Seiring meningkatnya temperatur dipermukaan tanah maka akan meningkatkan
tekanan yang menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan antara permukaan tanah
dan atmosfer udara sehingga uap air akan mengalir dari permukaan tanah yang
bertekanan tinggi menuju atmosfer (awan) yang bertekanan rendah. Kenaikan
temperatur yang sangat ekstrim seperti halnya gurun pasir akan mengakibatkan uap
air akan terus menerus naik kea wan dan tidak turun kebawah permukaan bumi
lagi. Oleh karena itu, dilingkungan dengan temperatur yang sangat tinggi jarang ada
bahkan tidak ada uap air atau kandungan
air
dipermukaan
tanah
yang
mengakibatkan nilai resistivitas meningkat. Dibawah ini adalah table nilai
resistivitas tanah berdasarkan perubahan temperatur (Chodijah, 2008).
8. Kandungan garam
Ada beberapa kandungan garam yang mempengaruhi tingkat korosifitas tanah
seperti ion klorida dan ion sulfat. Ion klorida sangat berbahaya dalam
peristiwa korosi sebab klorida dapat mempercepat korosi pada logam. Adanya
V-8
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

kandungan ion klorida akan mempengaruhi nilai resistivitas menjadi lebih kecil.
Ion klorida dalam tanah berasal dari air didalam tanah (groundwater) dan aliran air
laut yang merembes ke dalam tanah dan ke lingkungan air tawar, baik
dipermukaan atau di dalam tanah. Ion klorida juga bisa berasal dari industri
pertanian, kendaraan bermotor, dan lain-lain. Kandungan sulfat juga tidak kalah
berpengaruhnya dengan ion klorida. Kandungan sulfat bisa berasal dari bakteri
anaerob SRB (Sulphate Reduction Bacteria) yang menghasilkan sulfide
dilingkungan sekitarnya (Chodijah, 2008).
9. Mikroorganisme
Bakteri secara garis besar digolongkan menjadi 2, yaitu :
Bakteri aerob : bakteri yang membutuhkan oksigen untuk hidup. Bisa disebut
bakteri pengoksidasi sulfat.
Bakteri anaerob : bakteri yang akan mati jika terdapat oksigen, namun akan
tumbuh subur dan gemuk bila kandungan oksigen dilingkungannya sangat kecil.
Bisaa disebut bakteri pereduksi sulfat.
Seperti dijelaskan diatas bahwa bakteri anaerob SRB (Sulphate Reduction
Bacteria) akan menghasilkan sulfat sehingga dapat mengakibatkan terjadinya korosi
pada struktur baja yang ditanam dalam tanah (Chodijah, 2008).
2.6 Metode Pengendalian Korosi dengan Coating
Coating merupakan salah satu metode perlindungan dengan memeberikan
lapisan tipis pada permukaan material yang dilindungi. Kegunaan lapisan pelindung
ini adalah untuk mencegah elektrolit bersentuhan dengan elektroda/material yang
dilindungi sehingga tidak terjadi reaksi antara anoda dengan katoda. Atau bisa
dikatakan juga, coating berperan sebagai penghalang/barrier antara material yang
dilindungi dengan lingkungan disekitarnya sehingga sel korosi/elektrokimia tidak
terbentuk ( Joki, 2010)
Menurut Fontana M.G, coating umumnya terbagi menjadi 3 jenis, yang
pertama dibagi menjadi metallic coating. Sesuai dengan namanya, maka metallic
coating berarti melindungi material dengan menggunakan suatu logam
lain
dipermukaannya. Contoh yang paling umum untuk coating jenis ini adalah proses
galvanisasi, yaitu proses perlindungan dimana suatu material, yang biasanya berupa
baja, dilapisi dengan seng (Zn) pada permukaannya dengan cara dicelupkan (hot dip)
ataupun secara elektokimia. Zn dipilih karena logam Zn lebih reaktif dari pada baja
sehingga jika korosi menyerang maka Zn akan terlebih dahulu diserang yang berarti
baja akan terlindungi. Contoh lain dari aplikasi metallic coating adalah proses
anodisasi. Proses ini menggunakan prinsip difusi dimana logam yang biasanya
digunakan untuk melapisi adalah logam Krom (Cr) dan Alumuniaum (Al).
Jenis coating yang kedua adalah coating anorganik. Coating jenis ini
contohnya adalah melapisi material yang ingin dilindungi dengan menggunakan
semen (Fontana,1999).
Jenis yang terakhir adalah coating organik atau biasanya dalam bahasa yang
lebih umum dikenal dengan sebutan painting, dimana material pelindungnya
menggunakan senyawa polimer yang biasanya komponen penyusunnya terdiri dari
V-9
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

resin, pigmen dan pelarut. Dalam pengaplikasiannya, metode painting dibuat dalam 3
lapis, yaitu lapisan primer, intermediate dan top coat, dimana tiap lapisnya memiliki
fungsi-fungsi tertentu (Fontana,1999).
Lapisan primer adalah lapisan dasar yang fungsinya adalah untuk memberikan
adhesi permukaan yang baik. Lapisan primer umumnya berasal dari polimer karena
memiliki sifat yang sulit ditembus oleh air dan oksigen. Pada lapisan ini biasanya
ditambahkan pigmen yang berfungsi untuk memberikan daya inhibisi dan juga
partikel kecil seng (Zn) yang memberikan efek sacrificial (Byars, 1986).
Lapisan intermediate atau sering disebut juga dengan lapisan antara, berfungsi
untuk memberikan ketahanan kimia dan memfasilitasi adhesi antara lapisan primer
dengan lapisan top coat (Byars, 1986).
Lapisan top coat sesuai dengan namanya adalah lapisan yang paling atas dan
berfungsi untuk memberikan ketahanan coating dari serangan cuaca dan zat kimia
serta memberikan efek estetika berupa warna dan kilap. Fungsi lainnya adalah
mencegah pertumbuhan jamur pada lapisan coating yang ada (Byars, 1986). Tetapi
walaupun berfungsi untuk melindungi material dari lingkungannya, dalam kondisikondisi tertentu patut disadari bahwa metode organic coating memiliki kelemahan
juga, terutama dari serangan lingkungan disekitarnya. Hal tersebut karena kembali ke
sifat polimer yang merupakan material dasar dari organic coating ini. Polimer
dapat terdegradasi karena sinar ultraviolet, panas zat kimia, radiasi dan juga
mekanik. Oleh karena itu, pemeliharaan organic coating menjadi hal yang sangat
penting.
Coating juga biasaanya digunakan bersamaan dengan penerapan proteksi
katodik dengan tujuan mengarungi rapat arus proteksi yang dibutuhkan untuk
melindungi pipa atau strukturnya, namun tak bisa dipungkiri dapat terdegradasi juga
sebagai akibat dari over voltage atau mekanik. Pada penelitian tugas akhir ini, coating
yang digunakan adalah cat besi, cat epoxy dan fiber, serta aspal.
2.7 Metode Deteksi Korosi
Ada beberapa metode untuk mengontrol dan mendeteksi korosi pada suatu
sistem perpipaan yaitu :
a. In- line inspection
In-line inspection merupakan aktivitas pemeriksaan jaringan pipa pada bagian
dalam pipa dengan menggunakan alat inspeksi yang disebut sebagai pigs atau smart
pigs. ILI merupakan metode penilaian integritas yang digunakan untuk menemukan
atau mengkarakterisasikan indikasi awal, seperti metal loss, deformasi, atau
cacat pada pipa. Inspeksi ini didasarkan pada API Standard 1163, 2005.
b. CIPS dan DCVG
CIPS adalah sebuah survey potensi yang dilakukan pada pipa logam yang
terkubur atau terendam untuk mengetahui titik titik kerusakan coating pada pipa
terjadi. Sedangkan DCVG adalah sebuah metode untuk mengukur perubahan
gradient tegangan listrik di dalam tanah di sepanjang dan sekitar pipa untuk
memberi informasi mengenai efektivitas sistem coating. Hal ini didasarkan pada
NACE SP0207, 2007.
V-10
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

2.8 Metode Close Interval Potential Survey


Ada atau tidaknya kerusakan pada coating dalam suatu sistem perpipaan yang
ditanam dibawah tanah dapat dideteksi. Salah satu cara untuk mendeteksi kerusakan
coating tersebut adalah dengan menggunakan metode Close Interval Potential Survey
(CIPS). Close Interval Potensial Survey atau yang dikenal juga dengan close interval
survey (CIS) adalah sebuah survey potensi yang dilakukan pada pipa logam yang
terkubur atau terendam untuk mendapatkan pengukuran potensial struktur DC ke
elektrolit pada interval regular (NACE SP0207, 2007).
Metode Close Interval Potential Survey ditujukan untuk mengetahui integritas
dari jalur pipa khususnya berkaitan dengan efektifitas kerja dari Sistem Proteksi
Katodik. Prinsip dari CIPS ini adalah mengukur Potensial Pipa dalam kondisi Sistem
Proteksi Katodik berjalan, sehingga secara langsung akan dapat diketahui pada lokasi
mana saja dari jalur pipa yang tidak terlindungi oleh Sistem Proteksi Katodik tersebut
(Mukhandis, 2008). Pipa yang terproteksi dengan baik akan memenuhi kriteria
proteksi sesuai dengan Standard NACE RP 0169 2002. Pengukuran
potensial
rangkaian tertutup secara interval (CIPS) ini menggunakan alat yang dilengkapi
dengan Data logger/Voltmeter dan juga elektroda reference Cu/CuSO4 yang
terkalibrasi. Peralatan ini merupakan alat yang dirancang dan diprogram oleh para
ahli korosi terutama ahli proteksi katodik untuk pemeriksaan kondisi kerusakan
coating pada pipa baja dalam tanah (Nur Salam, 1999).
Menurut Nur Salam, teknik pengukuran dari Close Interval Potential Survey
(CIPS) ini dilakukan dengan cara berjalan tepat diatas jalur pipa, kontak dengan tanah
dilakukan secara kontinyu melalui elektroda reference Cu/CuSO4 yang digunakan
secara parallel dengan metoda tongkat berjalan. Kabel survey dihubungkan ke
kabel pengetesan pipa (test box) dengan menggunakan terminal sebagai penjepit.
Reel/Wire Kabel yang dirancang khusus dipasang pada alat pengukur jarak yang
menyatu pada alat data logger melalui sebuah interface flug. Dengan cara tersebut,
kontak langsung antara pipa dengan data logger dapat terjadi sehingga melengkapi
sikrit pengukuran dan sesuai dengan berpindahnya pengukuran pada jalur pipa, kabel
survey akan terukur dari sistem dial indicator yang dipasang pada alat data logger
tersebut melalui alat putar yang telah terkalibrasi sehingga diperoleh pulsa (pulse)
jarak dalam meter yang langsung terekam pada data logger. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

V-11
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

(Sumber : Rawson, 1999)


Gambar 2.10 Alat Ukur CIPS

(Sumber : Pawson, 2012)


Gambar 2.11 Prinsip kerja metode CIPS

V-12
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

(Sumber : http://www.rogeralexander1938.webspace.virginmedia.com/cpn/ProcHTML/proc6.htm, diakses


pada tanggal 1 Juli 2013)
Gambar 2.12 Survey CIPS di Lapangan

(Sumber : http://www.rogeralexander1938.webspace.virginmedia.com/cpn/ProcHTML/proc6.htm,
diakses pada tanggal 1 Juli 2013)
Gambar 2.13 Data CIPS dalam bentuk Ms. Excel

V-13
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

(Sumber : http://www.rogeralexander1938.webspace.virginmedia.com/cpn/ProcHTML/proc6.htm,
diakses pada tanggal 1 Juli 2013)
Gambar 2.14 Data CIPS On/Off Interuptor

Data-data yang diperoleh dari kegiatan CIPS dapat memberikan manfaat


seperti :
1. Mengindentifikasikan daerah-daerah diluar jangkauan kriteria potensial pipa
tidak bisa diidentifikasi dengan test point survey.
2. Menentukan kondisi area diluar kisaran atau range kriteria potensial.
3. Mencari defect atau cacat pipa menengah sampai cacat besar pada coating,
terisolasi atau menerus dan biasanya > 600 nm atau 1 in.
4. Mencari area stray-current pick up dan discharge atau area yang berisiko
korosi.
5. Menentukan area pengaruh cathodic protection (CP).
6. Mengidentifikasi casing yang mengalami korsleting, cacat pada perangkat
isolasi listrik, atau tidak disengaja kontak dengan struktur logam lainnya.
7. Mencari daerah perisai geologi chatodic protection.
8. Melakukan pengukuran tingkat CP dalam melakukan pengujian arus dan
mengevaluasi efektivitas distribusi arus sepanjang pipa.
9. Mencari daerah yang berisiko mengalami stress corrosion cracking (SCC)
dengan pH tinggi. Tingkat CP terbukti sebagai faktor kerentaan pipa hingga
timbulnya SCC dengan pH tinggi. CIS dapat membantu menunjukkan lokasi di
sepanjang saluran pipa dimana struktur elektrolit jatuh pada jangkauan
kerentaan terjadinya SCC, dan
10. Menentukan dan memprioritaskan area risiko korosi (Bariyyah, 2012),
V-14
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

sebagai bagian dari program managemen integritas atau bagian dari eksternal
corrosion direct assessment (ECDA).

V-15
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat
Peralatan-peralatan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu :
1) Simulator Perpipaan
2) Elektroda Standar Cu/CuSO4 (1 pasang)
3) Voltmeter Digital
4) Transformator
5) Recifer
6) Kabel
7) Peralatan safety untuk personil (Helmet, Safety Boot, Google dan Gloves)
3.2 Prosedur Percobaan
3.2.1 Persiapan
1) Test Point, pastikan kabel pipa terhubung dengan kabel anoda (kondisi
sistem proteksi katodik bekerja).
2) Rangkai Peralatan dengan langkah langkah sebagai berikut: Hubungkan
Kabel Pipa/Anoda dengan kabel yang terhubung dengan positif dari
alat CIPS.
3) Setting Data sesuai dengan User Manual dari alat CIPS
4) Masukkan default untuk pembacaan potensial proteksi minimum sebesar 850 mV
5) Kalibrasi bacaan data (kedua data menunjukkan nilai bacaan potensial
yang sama pada lokasi yang sama).
3.2.2 Prosedur Pengambilan Data
1) Survey CIPS dilakukan tepat diatas permukaan tanah dimana pipa
terpendam.
2) Pengambilan data (data logging) dilakukan setiap interval jarak titik
pengukuran (meter) dari pergerakan Alat CIPS.
3) Pastikan rangkaian peralatan tidak terputus selama pengambilan data.
3.2.3 Interpretasi Data
Data hasil survey CIPS yang telah berbentuk grafik akan lebih mudah untuk
diinterpretasi, mengingat grafik langsung memuat bacaan nilai potensial proteksi
terhadap jarak pengukuran dari titik awal.

V-16
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

V-17
Jobsheet Praktikum Close Interval Potential Survey (CIPS)

You might also like