You are on page 1of 10

TUGAS

SPONDILOLISTESIS

Oleh :
Adhinanda Gema Wahyudiputra, dr
Arifin, dr
Asyumaredha, dr
Gana Adyaksa, dr
Naufal Ranadi Firas, dr
Raden Taufan Mulyo Wibisono, dr
Ramadhan Ananditia Putra, dr
Trixie Brevi Putra, dr

Pembimbing :
Prof. Dr. Bambang Prijambodo, dr., Sp.B, Sp.OT.(K)

DEPARTEMEN ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RSUD DR.SOETOMO
2014

SPONDYLOLISTESIS

A. PENGERTIAN
Spondilolistesis adalah suatu kondisi dimana satu vertebra bergeser ke depan di
atas tulang di bawahnya. Keadaan ini sering terjadi pada area lumbosakral ( 85% pada
L5, 10% pada L4, sisanya pada vertebra lumbosakral lain), jarang djumpai pada segmen
vertebra lain . Jika bergeser terlalu banyak, maka tulang akan menekan syaraf dan
menyebabkan nyeri. Kata Spondilolistesis berasal dari kata Yunani, yaitu spondylos
artinya tulang belakang dan listhesis, yang berarti slip atau slide. Terkadang jika vertebra
bergeser keluar dari tempatnya, gejala bisa bersifat asimptomatis sampai bertahun-tahun
kemudian. Bisa juga menyebabkan rasa sakit di punggung bawah atau pantat. Otot otot
di kaki terasa lebih lemah atau lemas.
B. ETIOLOGI
Etiologi Spondilolistesis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Konsep
umum masih fokus pada faktor predisposisi yakni kongenital dan trauma. Penyebab dari
sindrom ini adalah malformasi penyimpangan lumbosakral yang kecil, sendi faset tidak
kompeten, yang dapat bersifat kongenital, disebut sebagai spondilolistesis displastik atau
mungkin terjadi selama masa remaja karena patah tulang atau cedera pada salah satu
tulang-tulang belakang karena kegiatan olahraga seperti angkat berat, lari, renang,
sepakbola, yang dapat menyebabkan seseorang memiliki spondilolistesis isthmik.
Ada lima jenis utama dari spondilolistesis berdasarkan klasifikasi Wiltse, yaitu
1. Dysplastic
Dijumpai kelainan kongenital pada sakrum bagian atas atau neural arch L5.
Permukaan sakrum superior biasanya bulat dan kadang disertai dnegan spina bifida.
2. Isthmic atau spondilolitik
Tipe ini disebabkan oleh karena adanya lesi pada pars interartikularis. Tipe ini
merupakan tipe spondilolistesis yang paling sering. Tipe ini mempunyai tiga sub :
a. Lytic : ditemukan pemisahan dari pars, terjadi karena fatigue fracture dan paling
sering ditemukan pada usia dibawah 50 tahun.

b. Elongated pars interarticularis : terjadi oleh karena mikro fraktur dan tanpa
pemiahan pars.
c. Acute pars fracture : terjadi setelah suatu trauma yang hebat.
3. Degenerative
Secara patologis dijumpai proses degenerasi. Lebih sering terjadi pada level
L4-L5. Ditemukan pada usia sesudah 40 tahun. Pada wanita terjadi empat kali lebih
sering dibandingkan pria. Pada kulit hitam terjadi tiga kali lebih sering dibandingkan
kulit putih.
4. Traumatic
Tipe ini bersifat sekunder terhadap suatu proses trauma pada vertebra yang
menyebabkan fraktur pada sebagian pars interartikularis. Tipe ini terjadi setelah
periode satu minggu atau lebih dari trauma.
5. Patologis
Jenis

terakhir

spondilolistesis,

yang

juga

paling

langka,

disebut

spondilolistesis patologis. Jenis spondilolistesis yang terjadi karena kerusakan pada


elemen posterior dari metastasis (kanker sel-sel yang menyebar ke bagian lain dari
tubuh dan menyebabkan tumor). Jenis ini telah dilaporkan dalam kasus-kasus
penyakit Paget tulang, tumor, tuberkulosis.
C. GAMBARAN KLINIS
Nyeri pada tulang belakang pada bagian yang lesi merupakan gejala yang
sering dijumpai. Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas
membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya. Nyeri
akan bertambah saat tulang belakang dalam posisi extensi dan nyeri biasanya berkurang
ketika pasien memfleksikan tulang belakang, hal tersebut di sebabkan posisi fleksi
menegangkan ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina sehingga memperbesar
ukuran foramen dan kanal nervus spinalis. Hal tersebut mengurangi tekanan pada cabang
akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang timbul.
Gejala yang dirasakan pasien berkaitan dengan instabilitas segmental yang
terjadi. Tanda neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran dan dapat mengenai
sistem sensoris, motorik dan menyebabkan perubahan refleks akibat dari penekanan
radix nervus spinalis.

Progresifitas

spondilolistesis

pada

individu

dewasa

muda

biasanya

berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa:

Terbatasnya pergerakan tulang belakang.

Kekakuan otot hamstring

Tidak dapat mengfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh.

Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal.

Hiperkifosis lumbosacral junction.

Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis).

Kesulitan berjalan.
Spondilolistesis degeneratif biasanya terjadi pada usia tua dengan keluhan

berupa nyeri pada vertebra, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau gabungan


beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling sering terjadi pada L4-5 dan jarang
terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan hipertropi
ligamen atau herniasi diskus. Raadix nervus spinalis L5 sering terkena dan menyebabkan
kelemahan otot ekstensor hallucis longus.
D. DIAGNOSIS
Diagnosis spondylolithesis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.
Pemeriksaan klinis
Look : Pada pasien spondylithesis yang ringan, postur pasien biasanya dalam batas
normal. Namun pada spondylolithesis yang lebih berat, dapat menyebabkan perubahan
postur. Pada pasien spondilolithesis lumbalis dalam pemeriksaan dapat ditemui tampilan
klinis berupa regio gluteus terlihat mendatar, pendataran pada daerah vertebra lumbai,
dan didapatkan transverse loin crease
Feel : Pasien dapat merasa nyeri saat dilakukan palpasi di daerah yang mengalami lesi
Move : Tes extensi pasif lumbal : Pasien diposisikan telungkup pada meja pemeriksaan,
kedua extremitas bawah di elevasikan dengan menarik kedua kaki keatas

secara

bersamaan dengan posisi sendi lutut tetap dalam posisi ekstensi sampai ketinggian kaki
sekitar 30 cm dari meja periksa. Tes ini dikatakan positif bila saat kedua kaki pasien di
elevasikan pasien merasakan nyeri pada daerah lumbal dan nyeri berkurang atau
menghilang saat extremitas bawah dikembalikan ke posisi awal.
Karena Spondylolithesis dapat menyebabkan penjepitan pada medulla radix nervus
spinalis yang akan menyebabkan defisit neurologis, maka sangat penting untuk

dilakukan pemeriksaan status neurologis pasien dengan spondylolithesis. Pemeriksaan


neurologis yang dilakukan berupa tes refleks fisiologis, refleks patologis, fungsi sensorik
dan fungsi motorik.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis sangat diperlukan untuk menegakan diagnosis spondilolithesis.
Pemeriksaan radiologis yang biasa digunakan yaitu :
1. X-Ray
Foto polos vertebra lumbal merupakan pemeriksaan radiologis awal dalam
mendiagnosis spondilolisthesis. X-ray pada pasien dengan spondilolisthesis harus
dilakukan pada posisi tegak / berdiri. Posisi-posisi foto yang digunakan untuk
mendiagnosis spondylolithesis antara lain:
a.

Foto vertebra posisi lateral tegak/berdiri merupakan foto yang menjadi pilihan
untuk mengevaluasi pergeseran dari vertebra pada pasien spondilolithesis, dan foto
ini juga digunakan untuk memonitor progress dari spondilolithesis.Berdasarkan
gambaran x-ray lateral vertebra grade spondylolithesis dibagi menjadi 5, yaitu:
o

Grade 1: Kurang dari 25% translasi

Grade 2: Antara dari 25% dan 50% translasi

Grade 3: Antara dari 50% dan 75% translasi

Grade 4: Antara dari 75% dan 100% translasi

Grade 5: Lebih dari 100% translasi

b. Foto vertebra dengan posisi flexi dan extensi dapat menunjukan besarnya derajat
instablitas pada vertebra yang terlibat. Foto dengan posisi tersebut juga berfungsi
untuk mendeteksi occult spondilolithesis.
c. Foto vertebra posisi AP tegak/berdiri pada spondilolithesis ringan hanya
memberikan informasi yang terbatas, akan tetapi pada spondilolithesis lumbar 5
d.

yang berat pada foto AP dapat menunjukan gambaran inverted Napoleon hat sign
Foto vertebra posisi oblique digunakan untuk mengevaluasi integritas dari pars
interarticularis. Pada foto oblique dapat dijumpai gambaran Scooty dog. Scooty dog
merupakan gambaran normal elemen posterior pada foto oblique yang menyerupai
anjing jenis scooty, dimana proc. Transversus dianalogikan menjadi hidungnya,
pedicle sebagai matanya, lamina dan processus spinosus sebagai badannya, articular
facet superior sebagai telinganya, inferior articular facet sebagai kaki depan dan pars
interarticularis (bagian dari lamina yang terletak antara facet superior dan inferior)

dianalogikan sebagai lehernya. Jika terjadi spondylolysis, pars interarticularis ( yang


dianalogikan sebagai leher) akan fraktur diamana keadan tersebut sering terlihat
seperti kerah pada pada leher scooty dog, gambaran itu disebut Scooty dog sign
2. Single-photon emission computed tomography (SPECT) scanning
Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi stress/tekanan
pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto polos. Hasil scan
positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah dimulai, akan tetapi tidak
mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif akan terjadi. Pemeriksaan ini
sangat sensitif untuk mengevaluasi pars interarticularis dan berguna untuk mendeteksi
spondilolistesis akut. Hasil scan akan menunjukan hasil positif di pars articularis pada
keadaan spondylolisis akut, Namun pada keadaan kronis, hasil scan akan menunjukan
seperti keadaan normal walau proses penyembuhan tidak terjadi.
3. CT Scan
CT scan merupakan pemeriksaan radiologis yang sangat baik dalam
menggambarkan detail dari tulang vertebra shingga dapat digunakan untuk mengevaluasi
pars interarticularis. Potongan sagital columna vertebra dapat digunakan untuk
memeriksa

stenosis

foramina

intervertebra.

CT

scan

juga

berguna

dalam

mengidentifikasi defek jaringan fibrocartilaginous yang dapat menyebabkan penekanan


radix nervus spinalis yang menimbulkan defisit neurologis.
4. MRI
Pemeriksaan MRI terutama dilakukan pada kasus spondylolithesis yang
berkaitan dengan defisit neurologis karena selain dapat menggambarkan keadaan tulang
MRI juga dapat menggambarkan jaringan lunak lebih baik dari foto polos dan CT scan,
sehingga saat ini MRI lebih sering dilakukan. Pemeriksaan MRI juga berguna untuk
mendiagnosis spondilolysis pada tahap awal.

E. TATA LAKSANA
Tata laksana pada spondilolistesis dibagi menjadi dua, yaitu dengan cara konservatif dan
operatif.
Terapi Konservatif

Terapi konservatif merupakan pilihan awal dan utama bagi sebagian besar kasus
spondilolistesis, baik dengan gejala neurologis atau tidak. Terapi konservatif ini pada
umumnya merupakan tata laksana untuk spondilolistesis grade I dan II (low grade).
Terapi konservatif meliputi :
1. Medika mentosa
Medika mentosa digunakan untuk mengatasi nyeri. Golongan NSAID dapat
dijadikan pilihan, jika tidak ada kontra indikasi pada saluran cerna. Efek samping
NSAID bisa diminimailisir dengan penggunaan golongan analgesik non opioid
atau COX-2 inhibitor.
2. Terapi fisik dan rehabilitasi
Aktifitas fisik yang memobilisasi tulang belakang, seperti bersepeda, terbukti
efektif untuk membantu mengurangi nyeri. Moda terapi kain yang dapat
diaplikasikan meliputi penggunaan brace, terapi dengan ultrasound, electrical
stimulation. Prateepavanich et al. melaporkan bahwa penggunaan korset
lumbosakral pada pasien spondilolistesis terbukti meningkatkan kemampuan
berjalan dan nyeri pasien dibanding dengan yang tidak menggunakan korset.
Alasan lain penggunaan korset adalah untuk mengurangi instabilitas segmental
tulang belakang.
3. Modifikasi aktivitas
Salah satu aspek penting terapi adalah modifikasi akativitas sehari hari. Pasien
perlu dlatih kembali untuk melakukan berbagai macam aktivitas sehari-hari dengan
benar.
4. Injeksi steroid epidural
Bagi pasien pasien yang mengalami nyeri menetap dan tidak memberi respon
terhadap pengobatan dengan NSAID, dapat dipertimbangkan untuk diberikan
injeksi steroid epidural. Terapi ini efektif untuk mengurangi nyeri jangka pendek,
namun tidak efektif untuk mengatasi nyeri jangka panjang.

Tindakan operatif
Indikasi tindakan operatif pada spondilolistesis yaitu :
1. Keluhan nyeri pada punggung atau tungkai yang menetap, atau claudicatio
neurogenic yang signifikan dan mengganggu, hingga sangat mengganggu aktivitas
sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup pasien.
2. Defisit neurologis yang progresif, termasuk gangguan miksi dan defekasi.

3. Jika pergeseran lebih dari 50% dan progresif.


Prinsip dan tujuan tindakan operatif pada spondilolistesis yaitu :
a. Dekompresi
Tindakan ini bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan gejala neurologis lannya
akibat adanya struktur/sesuatu yang mempengaruhi persarafan.
b. Memperbaiki alignment tulang belakang
c. Menstabilkan tulang belakang
Dalam tindakan dekompresi, seringkali harus dilakukan pembuangan struktur tertentu
dari tulang belakang, yang pada akhirnya berakibat pada kestabilan tulang belakang.
Oleh karenanya, setelah dilakukan dekompresi, dapat dilakukan tindakan fusi tulang
belakang dengan graft.
Tindakan fusi tulang belakang dapat dilakukan melalui :
a. Anterior Lumbar Interbody Fusion (ALIF)
Yaitu tindakan fusi tulang belakang yang dilakukan melalui abdomen (anterior).
Keuntungan tindakan ini adalah tidak mempengaruhi otot-otot dan persarafan
punggung. Keuntungan lain tindakan ini adalah graft tulang yang dipasang akan
menyatu lebih baik. Selain itu, tindakan ini juga memungkinkan pemasangan implan
dengan ukuran lebih besar, yang akan lebih mendukung stabilitas tulang belakang.
Kekurangan teknik ini adalah risiko mencederai struktur-struktur penting intra
abdomen.
b. Posterior Lumbar Interbody Fusion (PLIF)
Yaitu tindakan fusi tulang belakang yang dilakukan melalui pungung. Tindakan ini
diawali dengan laminectomy, retraksi serabut saraf, kemudian mengeluarkan discus.
Keuntungan teknik ini adalah tidak terpapar dengan organ intra abdomen.
Sedangkan kekurangan teknik ini adalah volume celah discus yang dapat diambil
tidak sebesar dibanding melalui ALIF, implan yang dapat dipasang pun tidak sebesar
dibanding dengan ALIF. Ada risiko pula implan yang telah terpasang dapat bergeser
ke posterior, mengakibatkan kompresi saraf kembali.
c. Transforaminal Lumbar Interbody Fusion (PLIF)
Yaitu tindakan fusi tulang belakang di mana daerah vertebra dicapai melalui sisi
samping pasien, sehingga dapat mencapai diskus tanpa membuka otot punggung dan
memindahkan saraf. Keuntungan teknik ini adalah menghasilkan fusi yang lebih
baik, dan juga meminimalkan trauma atau scar serabut-serabut saraf punggung .

Untuk meningkatkan stabilitas dan tingkat fusi tulang belakang, operasi fusi diikuti
dengan instrumentasi atau pemasangan implan tulang belakang. Instumentasi yang dapat
dilakukan saat fusion antara lain dengan pemasangan pedicle screw, interbody cage, dan
bone stimulator.

DAFTAR PUSTAKA
1. Herkowitz HN. : Spine update: degenerative lumbar spondilolistesis. Spine 20:1084
1090, 1995.
2. Prateepavanich P, Thanapipatsiri S, Santisatisakul P, Somshevita P, Charoensak T. :
The effectiveness of lumbosacral corset in symptomatic degenerative lumbar spinal
stenosis. J Med Assoc Thai, 84:572576, 2001.
3. Spondilolistesis. Retrieved

October

19,

2009

from

http://my.clevelandclinic.org/health/diseases_conditions/hic_your_back_and_neck/hic
_Spondilolistesis

4. Spondilolistesis. Retrieved : March 12 , 2014 from http://www.webmd.com/backpain/tc/spondilolistesis-topic-overview


5. Kalichman L, Hunter DJ. : Diagnosis and conservative management of degenerative
lumbar spondilolistesis. Eur Spine J, 17:327335, 2008.
6. ORourke MR, Grobler LJ. : L4-L5 Degenerative Spondilolistesis : Indications and
Technique for Operative Management. The Iowa Orthopaedic Journal, 18:76-86,
1998.

You might also like