You are on page 1of 22

BAB I

KASUS
STATUS PASIEN
a.

b.

IDENTITAS
No.RM

: 29.84.93

Nama

: Tn. Muhammad Ikhsan

Umur

: 53 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Wanasaba Lombok Timur

Status Pernikahan

: Menikah

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelaut

Tanggal masuk RS

: 15 September 2011

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada adik pasien pada
tanggal 15 September 2011, pukul 16.45 WIB.

1. Keluhan Utama

: Lemas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

2. Keluhan tambahan : Mata kiri sakit, sulit untuk melihat, mengeluarkan cairan
berwarna kehijauan, dan lengket. Mata kanan ada benjolan
berwarna kemerahan, hidung mengeluarkan cairan warna
bening kemerahan, mulut dan gusi berdarah bercampur lendir.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien 53 tahun, jenis kelamin laki-laki, datang ke Unit Gawat Darurat Rumah
Sakit Otorita Batam diantar oleh adiknya. Pasien datang dengan keluhan lemas sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien dijemput oleh adiknya dari bengkalis menuju
Batam dan kemudian berencana akan berangkat bersama-sama ke Jakarta, tetapi
sampai di bandara, pasien tidak diperbolehkan terbang oleh pihak penerbangan,
dikarenakan tekanan darah yang rendah. Adik pasien mengatakan tekanan darah saat
diperiksa adalah 60/-. Selain itu pasien juga sulit melihat dikarenakan mata kanan
diperban, dan mata kiri mengeluarkan cairan kental kehijauan dan mengeluarkan bau
yang menyengat. Pasien kesulitan membuka mata kiri dikarenakan kelopak mata
1

bengkak, dan terlihat lengket. Saat perban pada mata kanan dibuka, terlihat seperti
massa yang keluar dari celah palpebra berwarna kemerahan. Dari hidung pasien
mengeluarkan cairan berwarna bening kemerahan dan darah yang telah mengering.
Pasien kesulitan bernafas melalui hidung, oleh sebab itu mulut pasien selalu terbuka
dan bernafas melalui mulut. Pasien juga kesulitan untuk berbicara, dan hanya
memberikan isyarat mengangguk atau menggeleng saat ditanya. Dari mulut pasien
juga terlihat cairan berwarna kemerahan disertai lendir Pasien kesulitan untuk makan
sejak beberapa bulan terakhir dikarenakan nyeri saat buka mulut. Adik korban sendiri
tidak tahu mengenai keadaan pasien, karena dia baru saja bertemu dengan pasien saat
menjemput di Bengkalis, tetapi menurut pengakuan adik korban keadaan pasien
seperti ini telah berlangsung lebih kurang sejak 7 bulan yang lalu.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku belum pernah menderita penyakit berat sebelumnya. Tidak
ada riwayat penyakit jantung, hipertensi, kencing manis, penyakit paru, penyakit
ginjal, ataupun riwayat asma/sesak.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adik pasien menyangkal adanya riwayat penyakit jantung, hipertensi, kencing
manis, penyakit paru, penyakit ginjal, ataupun riwayat asma/sesak.
6. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan maupun makanan.

7. Riwayat Kebiasaan
Adik pasien mengatakan bahwa, pasien sedari dulu mengkonsumsi rokok dan
juga minum alkohol

c.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

: Tampak sakit berat

Kesadaran

: Compos mentis

Keadaan Gizi

: BB

: 50 kg

: TB

: 165 cm

1. Tanda Vital
Tekanan darah

: 110/80 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

Suhu

: 38 C

Pernafasan

: 18 x/menit

2. Status Generalis
a. Kepala
Mata

: Status Ophtalmologis (Terlampir)

Hidung

: Deviasi septum (+), sekret bening kemerahan (+)

Telinga

: Normotia, MT intak (+/+), serumen (+/+)

Mulut

: Pasien kesulitan membuka mulut, terlihat gusi


berdarah dan disertai lendir, gigi-geligi tidak lengkap,
oral hygiene buruk, tonsil dan faring sulit dinilai.

b. Leher

: Jejas (-)

c. Toraks
Jantung

: Teraba ictus cordis di ICS V linea midklavikularis kiri,


Bunyi Jantung I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Paru

: Gerak nafas simetris, suara nafas vesikuler,


Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

d. Abdomen

: Datar, supel, NT (-), NL (-), bising usus (+) normal,


hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-)

e. Ekstremitas

d.

: Akral hangat (+/+/+/+) , edema (-/-/-/-)

STATUS OFTALMOLOGIS

Pemeriksaan
Visus (bed side)
Tekanan intra okular

OD

OS

Tidak bisa dinilai

1/300

Tidak bisa dinilai

Tidak diperiksa

Tidak bisa dinilai

Sulit dinilai

Tidak bisa dinilai

Sulit dinilai

Edema (+), Chemosis (+)

Edema (+), Chemosis (+)

Tidak bisa dinilai

Injeksi Konjungtiva

Cairan kental kehijauan,

Cairan kental kehijauan,

berbau

berbau

Tidak bisa dinilai

Keruh

Tidak bisa dinilai

Sulit dinilai

Tidak bisa dinilai

Warna Hitam

Tidak bisa dinilai

Bulat, RCL (+), RCTL

Kedudukan bola mata


Gerak bola mata
Palpebra
Konjungtiva

Sekret
Kornea
COA
Iris

Pupil

(tidak bisa dinilai)

Lensa
Funduskopi

e.

Tidak bisa dinilai

Sulit dinilai

Tidak bisa dinilai

Tidak diperiksa

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 15 September 2011
Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Hemoglobin

13,3 g/dl

13,2-16,5 g/dl

Hematokrit

40 %

33-45 %

Leukosit

13.100

3500-10.000 ribu/ l

Trombosit

263.000

150.000-440.000 ribu/l

Eritrosit

4,48

4,4-5,5 juta/ ul

Ureum

132,9

10-50

Kreatinin

1,8

0,7-1,2

Natrium

122

135-145
4

f.

Kalium

4,3

3,5-5

Chlor

91

94-111

GDS

105

70-140

RESUME
Pasien pria 53 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Otorita
Batam dengan keluhan lemas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
berencana akan berangkat ke jakarta, tetapi pasien tidak diperbolehkan terbang oleh
pihak penerbangan, dikarenakan tekanan darah yang rendah. Adik pasien mengatakan
tekanan darah saat diperiksa adalah 60/-. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan
keadaan umum tampak sakit berat dengan TD 110/80 mmHg, nadi 88 kali/menit, suhu
38C, pernafasan 18x/menit. Pada pemeriksaan status oftamologis didapatkan visus
bedside yaitu OD tidak bisa dinilai dan OS 1/300, sekret kental kehijauan (+/+) dan
mengeluarkan bau yang menyengat, oedem palpebra (+/+), chemosis (+/+), mata kiri
terlihat lengket, injeksi konjungtiva OS (+), kornea OS keruh (+). Pada mata kanan
terlihat seperti masa yang keluar dari celah palpebra berwarna kemerahan. Dari hidung
pasien mengeluarkan cairan berwarna bening kemerahan dan darah yang telah
mengering dan sulit bernafas. Pasien kesulitan untuk berbicara, dari mulut terlihat
cairan berwarna kemerahan disertai lendir. Pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis dan azotemia.

g.

DIAGNOSIS KERJA
Proptosis ec Suspek Karsinoma Nasofaring

h.

PENATALAKSANAAN
Sistemik

: IVFD RL/12jam
: Cetazum 2xI iv (skin tes terlebih dahulu)
: Ketorolac (kalau perlu)

Tetes mata

i.

: Gentamisin eye drop 6x1 gtt OD/OS

PROGNOSIS
Ad Vitam

: Dubia ad malam
5

j.

Ad fungsionam

: Ad malam

Ad sanationam

: Ad malam

FOLLOW UP
16 September 2011
S

: Mata kiri sakit, sulit untuk dibuka dan lengket, sulit bernafas, dan nyeri saat
membuka mulut.

: TD 100/60, N 96x/menit, Suhu 38C, P 20 x/menit.


: VOS 1/300, VOD tidak bisa dinilai. Palpebra edema (+/+). Chemosis (+/+)
Sekret kental kehijauan (+/+), injeksi konjungtiva OS (+), Kornea keruh OS
(+), massa kemerahan pada celah palpebra OD
: Hidung mengeluarkan cairan berwarna bening kemerahan dan darah
: Mulut terlihat cairan berwarna kemerahan disertai lendir

: Proptosis ec Suspek Karsinoma Nasofaring

: IVFD RL/12jam
: Cetazum 2xI iv
: Ketorolac (kalau perlu)
: Gentamisin eye drop 6x1 gtt OD/OS

Keterangan : Pasien pulang atas permintaan sendiri pada tanggal 16 september 2011
pukul 10.30 WIB.

BAB II. PEMBAHASAN KASUS


PROPTOSIS ec SUSPEK KARSINOMA NASOFARING
6

II.1.

PROPTOSIS

Proptosis atau eksoftalmus, merupakan protrusi mata yang disebabkan oleh


suatu lesi desak ruang (space-occupying lesion). Proptosis dapat diukur dengan
eksoftalmometer. Perbedaan lebih dari 3 mm di antara kedua mata berarti signifikan.
Berbagai gambaran lainnya memberikan petunjuk mengenai patologis yang terlibat.1
Jika mata bergeser langsung ke depan, maka hal ini menandakan adanya lesi
yang terletak dalam kerucut yang terbentuk oleh otot ekstraokular (lesi intrakonal).
Sebagai satu contoh adalah meningioma selubung saraf optik.2
Jika mata bergeser ke satu sisi kemungkinan besar terdapat lesi di luar kerucut
otot (lesi ekstrakonal). Misalnya tumor kelenjar lakrimal menggeser bola mata ke sisi
nasal. Proptosis transien yang diinduksi oleh peningkatan tekanan vena sefalika
(karena manuver valsava), merupakan tanda adanya varises orbita.2
Kecepatan onset proptosis juga memberikan petunjuk etiologi. Onset yang
lambat menandakan tumor jinak, sementara onset yang cepat didapatkan pada
inflamasi, tumor ganas, dan fistula karotis-sinus kavernosus. Adanya nyeri mungkin
menandakan infeksi (misal selulitis orbita).2
II.1.1 Anatomi Orbita3

Rongga orbita secara skematis digambarkan sebagai piramida dengan empat


dinding yang mengerucut ke posterior. Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak
paralel dan dipisahkan oleh hidung. Pada setiap orbita, dinding lateral dan medialnya
membentuk sudut 45 derajat, menghasilkan sudut siku antara kedua dinding lateral.
Bentuk orbita dianalogikan sebagai buah pir, dengan nervus opticus sebagai
tangkainya. Diameter lingkar anterior sedikit lebih kecil daripada diameter regio di
bagian dalam tepian sehingga terbentuk bingkai pelindung yang kokoh.Volume orbita
dewasa kira-kira 30 ml dan bola mata hanya menempati sekitar seperlima bagian
rongga. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya.
Batas anterior rongga orbita adalah septum orbitale, yang berfungsi sebagai
pemisah antara palpebra dan orbita.
Orbita berhubungan degan sinus frontalis di atas, sinus maksilaris dibawah,
serta sinus etmoidalis dan sfeinodalis di medial. Dasar orbita yang tipis mudah rusak
oleh trauma langsung pada bola mata, megakibatkan fraktur blowout dengan
7

herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi pada sinus sfeinodalis dan
etmoidalis dapat mengikis dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea)
dan mengenai isi orbita. Defek pada atapnya (misal neurofibromatosis) dapat berakibat
terlihatnya pulsasi pada bola mata yang berasal dari otak.

Dinding Orbita
Atap orbita terutama terdiri atas pars orbitalis ossis frontalis. Kelenjar lakrimal
terletak di dalam fossa glandulae lacrimalis di bagian anterior lateral atap. Ala minor
ossis sphenoidalis yang mengandung kanalis opticus melengkapi bagian atap di
posterior.
Dinding lateral dipisahkan dari bagian atap oleh fissura orbitalis superior, yang
memisahkan ala minor dari ala major ossis sphenoidalis. Bagian anterior dinding
lateral dibentuk oleh facies orbitalis ossis zygomatici (malar). Inilah bagian terkuat
dari tulang-tulang orbita.
Dasar orbita dipisahkan dari dinding lateral oleh fissura orbitalis inferior. Pars
orbitalis maxillae membentuk daerah sentral yang luas bagian dasar orbita dan
merupakan tempat tersering terjadinya fraktur blowout. Processus frontalis maxillae di
medial dan os zygomaticum di lateral melengkapi tepi inferior orbita. Processus
orbitalis ossis palatini membentuk segitiga kecil pada dasar posterior.
Batas-batas dinding medial rongga orbita tidak terlalu jelas. Os ethmoidale
tipis setipis kertas, tetapi menebal ke arah anterior saat bertemu dengan os lacrimale.
Corpus ossis sphenoidalis membentuk bagian paling posterior dinding medial, dan
processus angularis ossis frontalis membentuk bagian atas crista lacrimals posterior.
II.1.2 Etiologi Proptosis 4

Penyebab umum proptosis adalah sebagai berikut:


1. Perdarahan di belakang mata
2. Tumor orbita primer
3. Penyakit Graves
4. Infeksi atau peradangan orbit
5. Gangguan Vaskular
6. Keganasan metastasis dari tempat lain

Arah proptosis dapat menggambarkan lokasi massa, sebab bola mata biasanya
berubah tempat jauh dari lokasi massa nya. Perubahan tempat kearah atas disebabkan
tumor sinus maksila. Perubahan tempat kearah bawah dan medial dapat diakibatkan
oleh kista dermoid dan tumor glandula lakrimal. Perubahan kearah bawah dan lateral
dapat diakibatkan mucocele frontoethmoidal, abces osteoma, dan carcinoma sinus.
Proptosis bilateral dapat diakibatkan ophthalmopaty thyroid, Wagener granulomatosis,
lymphoma, vasculitis, radang orbita idiopatik (pseudotumor) tumor metastase, fistula
carotis cavernosus, trombosis sinus cavernosus, lekemia dan neuroblastoma.
Unilateral proptosis pada anak-anak sering disebabkan oleh orbital cellulitis akibat
komplikasi sinusitis ethmoid atau infeksi traktus respiratorius. Pada proptosis dengan
penyebab neoplasma atau infeksi dapat disertai kesulitan menggerakkan bola mata
artinya penyakit telah melibatkan otot ekstraokular. 2,4
II.1.3 Epidemiologi 2,4
1. Mortalitas / Morbiditas
Proptosis karena sebab apapun bisa menyebabkan gangguan fungsi visual.
Sebuah mata proptotis tidak cukup dilindungi, seperti dengan lagophthalmos,
dapat menyebabkan keratopathy paparan. Gangguan ini, akan menghasilkan
kompromi kornea, kematian epitel, ulserasi, dan perforasi kornea dalam kasus yang
parah. Gangguan minimal yang ditimbulkan adalah gangguan dari lapisan film air
mata dan pelembab lengkap mata yang akan mempengaruhi kenyamanan visi dan
okular.
Proptosis sekunder dalam proses desak ruang dapat mengakibatkan neuropati
optik tekan. Hal ini akan menghambat aliran darah ke saraf optik dan menyebabkan
kematian neuronal ireversibel dan fungsi saraf optik akan berkurang.
Efek tekan Proptotis, awalnya akan menimbulkan penonjolan ke depan mata,
sehingga mengurangi efek tekan dalam orbit. Namun, mata hanya dapat memperbesar
sejauh ini, dan peregangan yang parah dapat mempengaruhi mata dan kompromi saraf
optik.

2. Ras
Pada laki-laki Kaukasia dewasa, jarak rata-rata adalah 21 tonjolan mm, dan,
pada laki-laki dewasa Afrika Amerika, itu adalah 23 mm.

Perempuan juga menunjukkan variasi rasial. Perbedaan lebih dari 2 mm antara


2 mata dari setiap pasien dianggap tidak normal

3. Seks
Orbitopathy tiroid memiliki dominansi terhadap perempuan dengan rasio perempuan :
laki-laki 5:1.

4. Umur
Proptosis terjadi pada orang dewasa dan anak-anak pada usia berapa pun.
Tiroid orbitopathy dan exophthalmos resultan menunjukkan kecenderungan untuk
perempuan berusia 30-50 tahun.
II.1.4 Pemeriksaan 1,4

Evaluasi pasien dengan exophthalmos dimulai dengan pemeriksaan oftalmik


menyeluruh dan sejarah medis. Ketika sinus penyakit penyerta atau sumber intranasal
dicurigai, pemeriksaan spekulum intranasal atau endoskopik dianjurkan. Penekanan
khusus pada durasi dan laju perkembangan tanda-tanda dan gejala pasien adalah
penting. Nyeri, diplopia, denyut, perubahan dalam efek atau ukuran dengan posisi atau
manuver Valsava, dan gangguan ketajaman visual adalah gejala-gejala yang harus
dieksplorasi.
Pemeriksaan oftalmik yang lengkap adalah yang terpenting. Perubahan
periorbital dapat dicatat dengan mudah pada pemeriksaan kasar di ruang pemeriksaan
Hypertelorism, exorbitism, bola mata tonjolan (proptosis), lesi atau edema
kelopak mata, chemosis, dan pembuluh konjungtiva membesar merupakan beberapa
tanda-tanda periorbital. Blepharoptosis, lagophthalmos dan jarak interpalpebral fisura
adalah tanda-tanda tambahan yang akan dipertimbangkan selama pemeriksaan. Palpasi
orbit anterior dapat menilai tingkattekanan, tekstur, dan mobilitas massa. Tekanan
dapat menunjukkan proses peradangan saraf atau invasi oleh neoplasma.
Hertel exophthalmometry adalah alat baik untuk quantitate proptosis. Dasarnya
ditentukan oleh ruang canthal interlateral Penurunan ketajaman visual, perubahan
refraksi, dan kelainan pupil harus dicatat. Disfungsi motilitas luar mata dan diplopia
harus hati-hati dinilai dan dicatat.
II.2.

KARSINOMA NASOFARING
10

Keganasan nasofaring banyak terjadi di asia. Sering terjadi kekeliruan dalam


mendiagnosis karena gejalanya yang samar-samar dan sulitnya pemeriksaan nasofaring.
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, kerena nasofaring
tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta
berhubungan dengan bayak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke
posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan
ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan sering menyebabkan metastasis ke leher lebih
sering ditemukan sebagai gejala pertama.5
Ada beberapa jenis keganasan yang terdapat di nasofaring yaitu karsinoma sel
skuamous, limfoma, keganasan kelenjar ludah, dan sarcoma. Karsinoma nasofaring termasuk
penting dalam skala dunia. Di Cina selatan karsinoma nasofaring menmepati kedudukan
tertinggi yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guan-dong atau prevalensi
39.84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominant timbulnya karsinoma
nasofaring, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ditemukan cukup banyak pula di Yunani,
Afrika bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska, diduga
penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dngin
yang menggunakan bahan pengawet nitrosamine. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir
meratadi setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari
100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung pandang 25 kasus,
Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, Padang dan Bukit tinggi 11 kasus. Demikian pula
angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan
bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia.5
Salah satu etiologi karsinoma nasofaring adalah disebabkan virus Epstein-Barr.
Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada laki-laki, umur 40 dan 50 tahun, tetapi kadang
juga dijumpai pada anak-anak. 90% adalah karsinoma, sisanya yang terbayak adalah limfoma.
Karsinoma nasofaring menyebar secara local melalui perluasan langsung, secara regional
melalui nodul-nodul sekitarnya, dan secara jauh melalui aliran darah. Metastase jauh ke paruparu, tulang, dan hepar paling sering terjadi di nasofaring dibandingkan tempat lain di leher
dan kepala
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan
karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh karsinoma hidung dan sinus paranasal (18%),
laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.
Berdasarkan data laboratorium patologi anatomic tumor ganas nasofaring selalu berada
11

dalamkedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks
uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.5
II.2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.6
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada
pria berusia lebih dari 40 tahun. Banyak terdapat pada bangsa Asia terutama orang
Tionghoa. Biasanya mulai dari daerah fosa Rossenmuler. Tumor ini tumbuh dari epitel
yang meliputi jaringan limfoid. Tumor primer dapat kecil, akan tetapi telah
menimbulkan metastasis pada kelenjar limfe regional, biasanya pada leher.7
Penyebab karsinoma nasofaring dan faktor predisposisi :
- Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, karena pada semua pasien karsinoma nasofaring didapatkan titer anti
virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor
ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan
nasofaring yang lain sekalipun.
- Letak geografis berupa ras Mongoloid, Asia Tenggara, Yunani, Afrika Utara seperti
Aljazair, Tunisia, Eskimo.
- Jenis kelamin , tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
- Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis
kayu tetentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan
kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam
air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya
hubungan dengan keganasan lain tidak jelas.
- Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging atau ikan)
terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini.
- Faktor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien
karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain.5,7

II.2.2 Anatomi Nasofaring


12

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku diatas, belakang dan


lateral. Ke depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana sehingga
sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Demikian juga penyebaran
tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius dan akan mengganggu
pendengaran serta menimbulkan cairan di telinga tengah. Kearah belakang dinding
melengkung ke atas dan ke depan dan terletak di bawah korpus os sphenoid dan
bagian basilar dari os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempattempat tersebut. Dibelakang atas torus tubarius terdapat resesus faring atau fosa
Rosenmuleri dan tepat di ujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Tumor
dapat menjalar kearah intracranial dalam dua arah, masing-masing menimbulkan
gejala neurologik yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus
kavernosus dan fosa kranii media menyebabkan gangguan saraf otak III, IV, VI, dan
kadang-kadang II. Sebaliknya penyebaran ke kelenjar faring lateral di dan sekitar
selubung karotis atau jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan kerusakan
saraf otak ke IX, X, XI dan XII. Saraf otak ke VII dan VIII biasanya jarang terkena.
Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral
bermuara kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Terdapat hubungan bebas
melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum melalui ruang
retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.

Pembagian daerah nasofaring :


13

1. Dinding posterosuperior : daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai
dasar tengkorak.
2. Dinding lateral

: termasuk fosa Rosenmuleri

3. Dinding inferior : terdiri atas permukaan superior palatum mole.

II.2.3

Patogenesis

Akhir-akhir ini ada beberapa faktor yang dianggap cenderung menimbulkan


karsinoma nasofaring walaupun tidak merupakan penyebabnya sendiri. Dugaan
adanya predisposisi genetik disokong oleh berbagai faktor antara lain tingginya angka
kejadian pada orang cina bagian selatan dan dalam pengamatan lebih lanjut angka
kejadiannya tetap lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih jika mereka
bermigrasi ke daerah yang predominan orang kulit putih, setidaknya pada generasi
pertama. Jika generasi kedua berinteraksi penuh dengan cara hidup barat (seperti di
Hawaii atu California) resiko terkena karsinoma nasofring menurun, meskipun tidak
serendah pada orang kulit putih. Juga bukti penguat diperoleh dengan pengamatan
adanya hubungan langsung antra karsinoma nasofaring dengan HLA-A2 dan kurang
dari dua antigen pada lokus B. Perubahan lingkungan yang besar turut berperan.
Faktor lingkungan akan didukung oleh pengamatan cara hidup orang cina
bagian selatan. Cara memasak tradisional sering dilakukan dalam ruangan tertutup dan
dengan menggunakan kayu bakar. Pembakaran ini, terutama jika tak sempurna
menyebarkan partikel-partikel besar (5-10 mikrometer) yang dapat tersangkut pada
hidung dan nasofaring dan kemudian tertelan. Jika pembersihan tidak sempurna
karena ada penyakit-penyakit hidung, maka penyakit ini akan menetap lebih lama di
nasofaring dan dapat merangsang tumbuhnya tumor. Beberapa laporan menyebutkan
hubungan antara karsinoma nasofaring dengan makan ikan asin dan rendahnya kadar
vitamin C sewaktu muda. Hal ini juga biasa dalam tradisi masakan cinia. Kekurangan
vitamin A diduga merubah nitrat menjadi zat karsinogen yaitu nitrosamin.
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasienpasien orang asia dan afrika dengan karsinoma nasofaring primermaupun sekunder
telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB
dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA
(VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien
14

Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini


berhubungan dengan karsinoma nasofaring tak berdifrensiasi dan karsinoma
nasofaring non-keratinisasi yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya
tidak dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma. 8

II.2.4 Histopatologi
Kesukaran timbul dalam mengidentifikasi karsinoma nasofaring jenis sangat
tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak ada kekhususan epitelnya. Lebih dari 85%
kemungkinan adalah karsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan kuang dari 2%
tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma, silindroma dan tumor
campur ganas. Menggunakan mikroskop electron, Ditemukan karsinoma nasofaring
tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan epitel respiratorius pada permukaan kripti
nasofaring. Dindinga lateral yang ada fosa Rossenmulleri Merupakan lokasi tersering
karsinoma nasofaring dan dinding faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang
lagi tumor pada atap dan hanya sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor
sedemikian kecil sehingga sukar diketahui, atau tumbuh didaerah yang gejalanya tidak
diketahui seperti pada fosa Rosenmulleri. Kemudian geajla-gejala akan muncul sesuai
dengan arah penyebaran. Mungkin meluas melalui lubang pada sisi yang sama dengan
tumor atau mengikis tulang secara nekrosis tekanan.
II.2.5 Klasifikasi
Sesuai dengan klasifikasi karsinoma nasofaring yang diusulkan WHO tahun
1978. ada tiga jenis bentuk histologik :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan
keratin, dapat dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya,
terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak ada difrensiasi skuamosa.
3. Karsinoma tidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang
menonjol dan dinding sel tidak tegas; tumor tampak lebih berbentuk sinsitium
daripada bentuk susunan batubata. .
Tahun 1965 Svaboda melaporkan bahwa dari contoh jaringan yang diambil dari 14
pasien Amerika dan Cina dengan karsinoma nasofaring berdiferensiasi buruk yang
15

diperiksa dengan mikrosko electron, semua menunjukkan adanya fibrilkeratin. Ini


menimbulkan keraguan karena Who Dalam symposium internasionalnya mengenai
karsinoma nasofaring than 1977 mendasarkan klasifikasinya atas hasil pemeriksaan
mikroskop cahaya seperti tercantum diatas, dimana tidak selalu tampak keratin.
Meskipun demikian klasifikasi WHO mengenai tumor nasofaring ini masih tetap
dipakai. 6,8

Untuk penetuan stadium dipakai sistim TNM menurut UICC (1992)


NASOFARING

T = Tumor primer
T0- Tidak tampak tumor.
T1- Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain).
T2 Tumor teradapt pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga
nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring)
T4 Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak.
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional


N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral / bilateral dan masih dapat digerakkan
N3 Terdapat pembesran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase jauh
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

STADIUM

16

Stadium I

: T1 dan N0 dan M0

Stadium II

: T2 dan N0 dan M0

Stadium III

: T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau


: T3 dan N0 dan M0

Stadium IV

: T4 dan N0/N1 dan M0 atau


: T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0 atau
: T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1

II.2.6. Gejala dan Tanda


Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata, dan syaraf, serta metastasis atau gejala
di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk
itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop,
karena seringa gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak
tampak karena masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa
tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang
pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya
adalah karsinma nasofaring.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa lobang, dari beberapa saraf otak dapat
terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan
mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, shingga tidak jarang gejala
diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal
merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan
lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII
jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari
nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan
destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian biasanya prognosisnya
17

buruk. Metastase kekelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong
pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
II.2.7 Diagnosis
Persoalan diagnostic sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan
terlalu sulit ditemukan.7,8
Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters
menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak
memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media. Pemeriksaan
darah tepi, fungsi hati, ginjal, dll dilakukan untuk mendeteksi metastasis.5
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan
kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian
dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor
melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut,
massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan
dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.6

II.2.8. Penatalaksanaan
18

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada


penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus.
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan
kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan). Bebagai macam
kombinasi diebangkan, yang trbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cisplatinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil
saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik.
Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang
memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologi dan serologi.
Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi
sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa
kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan
dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan
dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur.
Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher
karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan
kadang-kadang muntah atau rasa mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap
dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul
metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua
keadaan tersebut diatastidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain
19

pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Paisen akhirnya


meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring
yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-lata vital akibat metastasis
tumor. 6,7,8
II.2.9 Komplikasi
Metastasis jauh ke tulang , hati, dan paru dengan gejala rasa nyeri pada tulang,
batuk-batuk, dan gangguan fungsi hati.
II.2.10 Kesimpulan
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada pria
berusia lebih dari 40 tahun. Banyak terdapat pada bangsa Asia terutama orang
Tionghoa. Biasanya mulai dari daerah fosa Rossenmuler. Tumor ini tumbuh dari epitel
yang meliputi jaringan limfoid. Tumor primer dapat kecil, akan tetapi telah meimblkan
metastasis pada kelenjar limfe regional, biasanya pada leher.
Sudah hampir dipastikan disebabkan oleh virus Epstein-Barr. Faktor ras, letak
geografis, jenis kelamin (laki-laki), faktor lingkungan (iritasi bahan kimia, kebiasaan
memasak dengan bahan/ bumbu masakan tertentu, asap sejenis kayu tertentu, dan
faktor genetic juga mempengaruhi.
Manifestasi Klinis
Gejala dibagi dalam 4 kelompok
1. Gejala nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan, pilek, atau sumbatan hidung.
2. Gejala telinga, berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di telinga.
3. Gejala saraf, berupa gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia daerah pipi,
neuralgia trigeminal, paresis/paralisis arkus faring, kelumpuhan otot bahu, dan sering
tersedak.
4. Gejala atau metastasisi dileher, berupa benjolan di leher.
20

Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters menunjukkan


masa jaringan lunak didaerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan
destruksi atau erosi tulang di daerah fosa serebri media. Dapat pula dilakuakn CTScan daerah kepala dan leher serta pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti
VCA. Diagnosis pasti dilakukan dengan biopsy dari hidung atau mulut. Pemeriksaan
darah tepi, fungsi hati, ginjal, dsb untuk mendeteksi metastasis.
Pengobatan utama adalah radioterapi. Sebagai tambahan dapat dilakuakn diseksi leher,
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan
anti virus. Sebagai terapi ajuvan terbaik dalh kemotrapi dengan kombinasi CisPlatinum sebagai inti. Diseksi leher radikal dilakukan bila benjolandi leher tidak
menghilang dengan radiasi atau timbul kembali, dengan syarat tumor induknya sudah
hilang.

DAFTAR PUSTAKA
1. James Bruce, Chew Chris, Bron Antony. Orbita. Dalam : Lecture Notes of Oftalmologi. Ed
9th. Jakarta : Erlangga Medical Series : 2003. Pg 39-40.

21

2. Exoptalmus/Proptosis. Available at :
http://idmgarut.wordpress.com/2009/01/25/exophthalmos-proptosis/ Accesed on September
20, 2011.
3. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Anatomi dan embriologi Mata. Dalam :
Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta : Widya Medika; 2008. Pg 1-3.
4. Michael Mercandetti, MD, MBA, FACS. Exophtalmos. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1218575-overview#a0104. Accesed on September 20,
2011
5. Roezin A., dan Syafril A., 1990. Karsinoma Nasofaring dalam Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher, ed 5, FKUI, Jakara. pp ; 146-159
6. Mansjoer, Arif., et al (eds), 1999. Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1, FKUI, Media
Aesculapius, Jakarta. pp; 371-396
7. Kurniawan A. N., 1994. Nasopharynx dan Pharynx dalam Kumpulan kuliah Patologi,
FKUI, 1994, Jakarta.pp;151-152
8. Ballenger J. Jacob., 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, ed.13,
jilid 1, Binarupa Aksara, Jakarta. pp; 371-396

22

You might also like