You are on page 1of 35

MAKALAH

FARMAKOTERAPI 3
Infeksi Pernafasan Atas dan Bawah

DISUSUN OLEH
Annisa Nurul Azzahra

1111102000029

Silvia Aryani

1111102000039

Muhamad Saiful Amin

1111102000043

Sonia Ulfah

1111102000116
KELOMPOK 3
FARMASI 7B

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
INFEKSI PERNAPASAN ATAS DAN BAWAH

A. Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi
dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).

Istilah ISPA

meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai
berikut :

Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit

Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara
anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah
(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan
ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract)

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

B. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan
Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus.

C. Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau
stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung,
yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta
demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah.
Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi
yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran
tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru)

D. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomi

Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)


Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media,
faringitis.

Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)


Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli,
dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis,
laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia

E. Cara Penularan Penyakit ISPA


Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA
ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah
cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui
kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah

karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme


penyebab.

1. OTITIS MEDIA
A. Pengertian otitis media

Gambar peradangan pada telinga tengah


Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh pericilium telinga tengah (Mansjoer,
2001, 76).
B. Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus,
staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli,
streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa. (Kapita selekta
kedokteran, 1999, 79).
C. Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi saluran napas seperti radang tenggorokan /
pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran eustachius.Saat bakteri melalui saluran
eustachius, bakteri bisa menyebabkan infeksi saluran tersebut. Sehingga terjadilah
pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih
untuk melawan bakteri.
Sel darah putih akan melawan sek-sel bakteri dengan mengorbankan diri mereka
sendiri, sedikitnya terbentuk nanah dalam telinga tengah. Pembengkakan jaringan sekitar sel
eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel jika lendir dan nanah bertambah
banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil
penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam bergerak bebas.
Cairan yang terlalu banyak tersebut, akhirnya dapat merobek gendang telinga karena
tekanannya. (Kapita selekta kedokteran, 1999, 79).
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis otitis mediatergantung pada stadium penyakit dan umur pasien :

Biasanya gejala awal berupa sakit telinga tengah yang berat dan menetap.
Biasa tergantung gangguan pendengaran yang bersifat sementara.
Pada anak kecil dan bayi dapat mual, muntah, diare, dan demam sampai 39,50
Derajat Celcius, gelisah, susah tidur diare, kejang, memegang telinga yang sakit.
Gendang telinga mengalami peradangan yang menonjol.
Keluar cairan yang awalnya mengandung darah lalu berubah menjadi cairan jernih
dan akhirnya berupa nanah (jika gendang telinga robek).
Membran timpani merah, sering menonjol tanpa tonjolan tulang yang dapat dilihat.
Keluhan nyeri telinga (otalgia), atau rewel dan menarik-narik telinga pada anak yang
belum dapat bicara.
Anoreksia (umum)
Limfadenopati servikal anterior.(Kapita selekta kedokteran, 1999, 79).

E. Pemeriksaan Penunjang
Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar.
Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane timpani.
Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis (Aspirasi jarum
dari telinga tengah melalui membrane timpani).
Otoskopi pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat gendang
telinga yang dilengkapi dengan udara kecil). Untuk menilai respon endang telinga
terhadap perubahan tekanan udara.
f. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada otitis media :
Komplikasi yang terjadi pada Otitis media adalah :
a. Infeksi pada tulang sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis)
b. Labirinitis (infeksi pada kanalis semisirkuler).
c. Tuli.
d. Peradangan pada selaput otak (meningitis).
e. Abses otak.
f. Ruptur membrane timpani.
Tanda-tanda terjadi komplikasi :
a. Sakit kepala.
b. Tuli yang terjadi secara mendadak.
c. Vertigo (perasaan berputar).
d. Demam dan menggigil

2. SINUSITIS
A. Definisi Sinusitis

Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus
paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan
tulang di bawahnya., terutama pada daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen,
nafas bau, post nasal drip.
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus. Penyebab utamanya adalah selesma
(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri.
Sinusitis adalah radang pada sinus paranasalis, dimana dapat disebabkan oleh infeksi
maupun bukan infeksi, dari bakteri , jamur, virus, alergi maupun autoimun ( William,1992).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinus sedangkan bila mengenai semua sinus
paranasal, disebut pansinusitis.
B. Patofisiologi Sinusitis
Secara patofisiologi perubahan patologik mukosa sinus paranasal terjadi akibat
proses peradangan lapisan mukoperiostium hidung dan sinus yang berlangsung lebih dari
12 minggu. Patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya

daya pembersihan mukosiliar

(mucocilliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal (KOM) dapat mempenngaruhi


kesehatan sinus.Gangguan yang terjadi

pada KOM dapat menyebabkan terjadinya

gangguan ventilasi dan pembersihan mukosa. Hal ini dapat dijelaskan oleh karena organorgan yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium sinus akan
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi (akumulasi cairan karena proses non inflamasi), yang mula mula
berupa ciaran serous. Kondisi inilah yang dianggap sebagai rinosinusitis non bacterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpapengobatan.Namun apabila kondisi ini
menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuh
dan berkembang biaknya bakteri.Sekret menjadi purulen dan keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis akut bakterial yang memerlukanterapi dengan disertai antibiotik. Apabila
terapi tidak berhasil peradangan berlanjut dan terjadi hipoksia sehingga bakteri anaerob
berkembang, mukosa

makin membengkak dan merupakan rantai siklus yang terus

berputarhingga akhirnya terjadi perubahan mukosa menjadi kronik.


C. Klasifikasi Sinusitis

Berdasarkan lokasinya ditemukan beberapa pasang sinus paranasalis, yaitu frontalis,


ethmoidalis, maksilaris, dan spenoidalis.
a. Sinusitis maksilaris: menyebabkan nyeri daerah maksila seperti sakit gigi dan kepala
b. Sinusitis frontalis: meyebabkan nyeri pada daerah belakang dan atas mata
c. Sinusitis ethmoidalis: menyebabkan nyeri pda daerah belakang mata, maupun sakit
kepala
d. Sinusitis sphenoidalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang mata, tetapi lebih
sering pada kortex kepala (mehle,2005)
Berdasarkan durasinya:
Menurut Adams (1978), sinusistis dibagi menjadi :
a. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai minggu
b. Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu samapai beberapa bulan
c. Sinusitis kronis, apabila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun
Menurut Cauwenberge (1983),disebut sinusitis kronis, apabila sudah lebih dari tiga bulan.
Tetapi apabila dilihat dari gejalanya, maka sinusitis dianggap sebagai sinusitis akut bila
terdapat tanda-tanda radnag akut. Dikatkan sinusitis subakut, bila tanda akut sudah reda dan
perubahan histologik mukosa sinus masih reversible dan disebut sinusitis kronik, bila
perubahan histologik mukosa sinus sudah irreversible, misal sudah berubah menjadi jaringan
granulasi atau polipoid. Sebenarnya klasifikasi tepat yang lain ialah berdasarkan pemeriksaan
histopatologik, akan tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan.
a. Sinusitis akut
Sinusitis akut biasanya didahului infeksi traktus respiratorius, umumnya
disebabkan oleh virus seperti : Haemophilus influenza, Stretococcus pneumonia,
Moraxella catarrhalis dan Staphylococcus aureus. Bakteri pathogen seperti :
Streptococci species, Anaerobis bacteria dan beberapa bakteri gram negatif ( Fokken,
2007)
Penyakit ini dimulai dengan penymubatan kompleks ostiomeatal oleh infeksi,
obstruksi mekanis atau alergi. Selain itu juga dapat merupakan penyebaran dari
infeksi gigi ( Nusjirwan, 1990). Sinusitis akut memiliki gejala subjektif dan gejala
objektif. Gejala subjektif bersifat sistemik dan lokal. Gejala sistemik berupa demam
dan rasa lesu. Gejala local dapat kita temukan pada hidung, sinus paranasal dan

tempat lainnya sebagai nyeri alih (referred pain). Gejala pada hidung dapat terasa
adanya ingus yang kental dan berbau mengalir ke nasofaring. Selain itu, hidung terasa
tersumbat. Gejala pada sinus paranasal berupa rasa nyeri dan nyeri alih (referred
pain).
Gejala subjektif yang bersifat local pada sinusitis maksila berupa rasa nyeri
dibawah kelopak mata dan kadang tersebar ke alveolus sehingga terasa nyeri di gigi.
Nyeri alih ( referred pain) dapat terasa di dahi dan depan telinga. Gejala sinusitis
etmoid berupa terasa nyeri pada pangkal hidung, kantus medius, kadang-kadang pada
bola mata atau di belakang bola mata. Akan terasa di dahi dan depan telinga. Gejala
sinusitsis etmoid berupa pada bola mata atau di belakang bola mata. Akan merasa
makin sakit bila pasien menggerakkan bola matanya. Nyeri alih ( referred pain) dapat
terasa pada pelipis (parietal), gejala sinusitis frontal berupa rasa nyeri yang terlokalisir
pada dahi atau seluruh kepala. Gejala sinusitis sphenoid berupa rasa nyeri pada
vortex, oksipital, belakang bola mata atau daerah mastoid.
Gejala objektif sinusitis akut yaitu tampak bengkak pada muka pasien. Gejala
sinusistis maksila berupa pembengkakan pada pipi dan kelopak mata bawah. Gejala
sinusitis frontal berupa pembengkakan pada dahi dan kelopak mata atas.
Pembengkakan jarang terjadi pada sinusitis etmois kecuali ada komplikasi.
b. Sinusitis subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut, hanya tanda tanda radang akutnya
(demam, sakit hebat, nyeri tekan) sudah reda.
c. Sinusitis kronis
Sinusitis kronis adalah komplikasi dari berbagai penyakit radang sinus pada
umumnya. Penyebabnya multi faktorial dan juga termasuk alergi, faktor lingkungan
seperti debu, infeksi bakteri, atau jamur. Faktor

nonfarmakologi seperti rhinitis

vasomotor dapat juga menyebabkan masalah sinus kronis.


D. Etiologi sinusitis kronis.
Infeksi kronis pada sinusitis kronis dapat disebabkan:
1. Gangguan drainase : gangguan drainase dapat disebabkan obstruksi mekanik dan
kerusakan silia
2. Perubahan mukosa: perubahan mukosa dapat disebabkan alesrgi, defisiensi imunologik,
dan kerusakan silia

3. Pengobatan : pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna. Sebaliknya kerusakan silia
dapat disebabkan oleh gangguan srainase, perubahan mukosa, dan polusi bahan kimia.
E. Gejala sinusitis kronis
Gejala sinusitis kronis, secara subjektif, sinusitis kronis memberikan gejala :
1. Hidung, teraasa ada secret dalam hidung
2. Nasofaring, terasa ada secret pasca nasal (post nasal drip) secret ini memicu terjadinya
betuk kronis
3. Faring, rasa gatal dan tidak nyaman di tenggorokan
4. Telinga, gangguan pendengaran karena sumbatan tuba eustachius
5. Kepala, nyeri kepala atau sakit kepal yang biasnaya terasa ada pagi hari dan berkurang
atau menghilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui pasti. Mungkin kerana
malam hari terjadi penimbunan ingus dalam sinus paranasal dan rongga hidung serta
terjadi stasis vena
6. Mata, terjadi infeksi mata melalui pejalaran duktus nasolakrimalis
7. Saluran napas, terjadi batuk dan kadnag-kadang terjadi komplikasi pada paru seperti
bronchitis, bronkiektasisi, dan asma bronchial.
8. Saluran cerna, terjadi gastroenteritisakibat tertelannya mukopus. Sering terjadi pada anakanak
Secara objektif, gejala sinusitis kronis tidak seberat sinusitis akut. Tidak terjadi
pembengkakan wajah pada sinusitis kronis. Pada pemeriksaan mikrobiologik sinusitis kronis.
Biasanya sinusitis kronis terinfeksi oleh kuman campuran bakteri aerob, ( S. aureus, S,
viridians dan H. influenza) dan bakteri anaerob. Berdasarkan penyebabnya,sinusitis dibagi
menjadi :
a. Rhinogenik ( penyebab elainan atau amsalah di hidng) segala sesuatu yang menyebabkan
smbatan pada hidnung dapat menyebakna sinusitsis
b. Dentogenik/odontogenik ( penyebabnya kelainan gigi) yang serng menyebabkan sinusitis
infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)
F. Gejala Sinusitis
Menurut The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAOHNS) 1997, gejala sinusitis kronik dapat dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor.
Gejala mayor terdiri dari obstruksi hidung/hidung

tersumbat, sekret hidung purulen,

nyeri/rasa

tertekan

pada

wajah,

gangguan

iribilitas/rewel (pada anak). Gejala minor

penciuman

(hyposmia/anosmia),dan

terdiri dari sakit kepala, sakit gigi, batuk,

nyeri/rasa penuh ditelinga, demam dan halitosis/bau mulut.


Sinusitis kronik didiagnosis apabila riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12
minggu dan dijumpai 2 gejala mayor atau 1 gejala mayordan 2 gejala minor. Jika hanya 1
gejala mayor atau 2 atau lebih gejala minor yang dijumpai, maka diperkirakan sebagai
persangkaan rinosinusitis yang harus termasuk sebagai diagnosis banding
G. Komplikasi
Komplikasi sinusitis maksilaris adalah selulitis orbita, osteomielitis dan fistula
oroantral. Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial

H. Diagnosis Sinusitis
Faktor predisposisi yang dapat mengembangkan sinusistis, anatara lain: alergi,
masalah strukural deviasi septum atau ostium sinus yang kecil, merokok, polip hidung,
membawa gen fibrosis kistik. Beberapa prediksi sudah dikembangkan untuk diagnosa
berdasar fisik dan riwayat penyakit, predictor terbaik yaitu adanya cairan hidung yang kental.
Pemeriksaan yang dilakukan didapat nyeri tekan pada pipi kanan/kiri atu dua duanya,
terkadang nyeri tekan diatas hidng. Pemeriksan lain misalnya: transluminasi, rinoskopi,
sinoskpoi, pemeriksaan foto rontgen sinus paranasal, pemeriksaan naso-endoskopi, CT scan,
tentu juga pemerksan kultur kuman.
3. FARINGITIS
A. Definisi
Faringitis adalah suatu peradangan pada tenggorokan (faring) yang disebabkan oleh
organisme virus hampir 70%. Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu
penyakit peradangan yang menyerang tenggorok atau faring. Kadang juga disebut sebagai
radang tenggorok. Gambaran klinis faringitis akut yaitu dinding tenggorokan menebal atau
bengkak, berwarna lebih merah, ada bintik-bintik putih dan terasa sakit bila
menelanmakanan.
B. Epidemiologi

Frekuensi
Faringitis akut memberikan konstribusi 40 juta kunjungan penderita berobat ke tenaga
kesehatan tiap tahunnya. Sebagian besar anak-anak dan orang dewasa mengalami 3-5
infeksi saluran nafas atas (termasuk di dalamnya faringitis akut) tiap tahunnya.

Mortalitas
Faringitis akut merupakan salah satu penyebab terbesar absensi anak disekolah dan
absensi ditempat kerja bagi orang dewasa.

Ras
Faringitis akut mengenai semua golongan ras dan suku bangsa secara merata

Jenis Kelamin
Faringitis akut mengenai kedua jenis kelamin dalam komposisi yang sama

Usia
Faringitis akut mengenai semua golongan usia, tetapi yang terbesar mengenai anak-anak.

Cuaca
Di musim pancaroba suhu udara sering berubah-ubah, tiba-tiba panas, dingin, dan
lembab. Perubahan udara dan temperature sedikit banyak berpengaruh pada tubuh,
karena tubuh otomatis akan berusaha keras menyesuaikan dengan temperature sekitar.
Saat itu pula imunitas (daya tahan tubuh terhadap penyebab penyakit) berkurang, yang
seringnya menyebabkan orang sakit dimusim pancaroba. Selain itu temperatur yang
berubah-ubah adalah salah satu kondisi yang memacu virus dan bakteri untuk lebih cepat
berkembang biak. Jadi lebih banyak orang terserang penyakit dimusim pancaroba
disbanding dimusim yang temperaturnya relatif stabil.

C. Etiologi
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri. Kebanyakan disebabkan oleh
virus, termasuk virus penyebab common cold, flu, adenovirus, mononukleosis atau HIV.
Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah streptokokus grup A, korinebakterium,
arkanobakterium, Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia pneumoniae.
Pada umumnya, infeksi ini menular melalui kontak dan secret (lendir) dari hidung
maupun ludah (droplet infection).

Gambar 1. Faringitis Akut


a) Virus, 80 % sakit tenggorokan disebabkan oleh virus, dapat menyebabkan demam .
b) Batuk dan pilek. Dimana batuk dan lendir (ingus) dapat membuat tenggorokan
teriritasi.
c) Virus coxsackie (hand, foot, and mouth disease).
d) Alergi. Alergi dapat menyebabkan iritasi tenggorokan ringan yang bersifat kronis
(menetap).
e) Bakteri streptokokus, dipastikan dengan kultur tenggorok. Tes ini umumnya
dilakukan di laboratorium menggunakan hasil usap tenggorok pasien. Dapat
ditemukan gejala klasik dari kuman streptokokus seperti nyeri hebat saat menelan,
terlihat bintik-bintik putih, muntah muntah, bernanah pada kelenjar amandelnya,
disertai pembesaran kelenjar amandel.
f) Merokok.

Gambar 2. Faringitis Akut

Kebanyakan radang tenggorokan disebabkan oleh dua jenis infeksi yaitu virus dan
bakteri. Sekitar 80% radang tenggorokan disebabkan oleh virus dan hanya sekitar 10-20%
yang disebabkan bakteri. Untuk dapat mengatasinya, penting untuk mengetahui infeksi yang
dialami disebabkan oleh virus atau bakteri streptokokus.

Infeksi virus biasanya merupakan penyebab selesma (pilek) dan influenza yang
kemudian mengakibatkan terjadinya radang tenggorokan. Selesma biasanya sembuh sendiri
sekitar 1 minggu begitu tubuh Anda membentuk antibody melawan virus tersebut.

Faringitis Virus
Biasanya

tidak

Faringitis Bakteri
ditemukan

nanah Sering ditemukan nanah ditenggorokan

ditenggorokan
Demam ringan atau tanpa demam

Demam ringan sampai sedang

Jumlah sel darah putih normal atau agak Jumlah sel darah putih meningkat ringan
meningkat

sampai sedang

Kelenjar getah bening normal atau sedikit Pembengkakan ringan samapai sedang pada
membesar

kelenjar getah bening

Tes apus tenggorokan memberikan hasil Tes apus tenggorokan memberikan hasil
negatif

positif untuk strep throat

Pada biakan di laboratorium tidak tumbuh Bakteri


bakteri

tumbuh

pada

biakan

di

laboratorium

D. Patofisiologi
Pada stadium awal ,terdapat hiperemia, edema, dan sekresi yang meningkat. Eksudat
mula-mula serosa tapi menjadi menebal atau berbentuk mucus dan kemudian cenderung
menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hyperemia, pembuluh darah
dinding faring menjadi melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna putih, kuning, atau abu-abu
terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tidak adanya tonsila, perhatian biasanya
difokuskan pada faring, dan tampak bahwa folikel atau bercak-bercak pada dinding faring
posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak. Terkenanya
dinding lateral, jika tersendiri, disebut sebagai faringitis lateral. Hal ini tentu saja mungkin
terjadi, bahkan adanya tonsila, hanya faring saja yang terkena.

E. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari faringitis akut termasuk membrane mukosa sangat merah dan
tonsil berwarna kemerahan, disertai perbesaran. Demam dan sakit tenggorok juga bias timbul.
Serak dan batuk bukan hal yang tidak umum.
Baik pada infeksi virus maupun bakteri, gejalanya sama yaitu nyeri tenggorokan dan
nyeri menelan. Selaput lendir yang melapisi faring mengalami peradangan berat atau ringan
dan tertutup oleh selaput yang berwarna keputihan atau mengeluarkan nanah.
Gejala lainnya adalah:

Demam

Pembesaran kelenjar getah bening di leher

Peningkatan jumlah sel darah putih.

Gejala tersebut biasa ditemukan pada infeksi karena virus maupun bakteri, tetapi lebih
merupakan gejala khas untuk infeksi karena bakteri.Kenali gejala umum radang tenggorokan
akibat infeksi virus sebagai berikut:

Rasa pedih atau gatal dan kering.

Batuk dan bersin.

sedikit demam atau tanpa demam.

Suara serak atau parau.

Hidung meler.

Infeksi bakteri memang tidak sesering infeksi virus, tetapi dampaknya bisa lebih
serius. Umumnya, radang tenggorokan diakibatkan oleh bakteri jenis streptokokus sehingga
disebut radang streptokokus. Seringkali seseorang menderita infeksi streptokokus karena
tertular orang lain yang telah menderita radang 2-7 hari sebelumnya. Radang ini ditularkan
melalui sekresi hidung atau tenggorokan.Kenali gejala umum radang streptokokus berikut:

tonsil dan kelenjar leher membengkak

bagian belakang tenggorokan berwarana merah cerah dengan bercak-bercak putih.

demam sering kali lebih tinggi dari 38 derajat celsius dan sering disertai rasa
menggigil

sakit waktu menelan.


Radang streptokokus memerlukan bantuan dokter karena bila penyebabnya adalah

kuman streptokokus dan tidak mendapat antibiotik yang memadai maka penyakit akan
bertambah parah dan kuman dapat menyerang katup jantung sehingga menimbulkan penyakit
Demam Rhematik.
Infeksi virus biasanya merupakan penyebab selesma (pilek) dan influenza yang
kemudian mengakibatkan terjadinya radang tenggorokan. Selesma biasanya sembuh sendiri
sekitar 1 minggu begitu tubuh membentuk antibody melawan virus tersebut.

F.Komplikasi
Komplikasi umum pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media, epiglottitis,
mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan infeksi streptokokus jika tidak
diobati dapat menyebabkan demam reumatik akut, peritonsillar abses, peritonsillar cellulitis,
abses retrofaringeal, toxic shock syndrome dan obstruksi saluran pernasafan akibat dari
pembengkakan laring.
G.Klasifikasi
Secara umum faringitis dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Faringitis Akut
Faringitis virus atau bakterialis akut adalah penyakit yang sangat penting. Beberapa
usaha dilakukan pada klasifikasi peradangan akut yang mengenai dinding faring. Yang
paling logis untuk mengelompokkan sejumlah infeksi-infeksi ini dibawah judul yang
relatif sederhana Faringitis Akut. Disini termasuk faringitis akut yang terjadi pada
pilek biasa sebagai akibat penyakit infeksi akut seperti eksantema atau influenza dan
dari berbagai penyebab yang tidak biasa seperti manifestasi herpesdan sariawan.

2. Faringitis Kronis
a. Faringitis Kronis Hiperflasi
Pada faringitis kronis hiperflasi terjadi perubahan mukosa dinding posterior. Tampak
mukosa menebal serta hipertofi kelenjar limfe di bawahnya dan di belakang arkus
faring posterior (lateral band). Dengan demikian tampak mukosa dinding posterior
tidak rata yang disebut granuler.
b. Faringitis Kronis Atrofi (Faringitis sika)
Faring kronis atrofi sering timbul bersama dengan rinitis atrofi. Pada rinitis atrofi
udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi faring.

3. Faringitis Spesifik
a. Faringitis Luetika
1) Stadium Primer
Kelainan pada stadium ini terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil, dan dinding
faring posterior. Kelainan ini berbentuk bercak keputihan di tempat tersebut.
2) Stadium Sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada stadium ini terdapat pada dinding faring
yang menjalar ke arah laring.
3) Stadium Tersier
Pada stadium ini terdapat guma. Tonsil dan pallatum merupakan tempat
predileksi untuk tumuhnya guma. Jarang ditemukan guma di dinding faring
posterior.
b. Faringitis Tuberkulosa
Kuman tahan asam dapat menyerang mukosa palatum mole, tonsil, palatum durum,
dasar lidah dan epiglotis. Biasanya infeksi di daerah faring merupakan proses sekunder
dari tuberkulosis paru, kecuali bila terjadi infeksi kuman tahan asam jenis bovinum,
dapat timbul tuberkulosis faring primer.

4. ASMA
a. Definisi
Global Initiativefor Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi
kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan ,khususnya sel mast, eosinofil, dan

limfositT. Pada orang yang rentan inflamasi dapat menyebabkan mengi berulang ,sesak
nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala mengi serta batuk
dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodic dan atau kronik, cenderung
pada malam hari atau dini hari (nokturnal), musiman. Adanya factor pencetus diantaranya
aktivitas fisik dan bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan penyumbatan,
serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau keluarga, sedangkan sebabsebab lain sudah disingkirkan.

b. Epidemiologi
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita mempunyai gejala pada
umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul
sebelum umur 4-5 tahun. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya
mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relative mudah ditangani. Sebagian kecil
mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus dari
pada yang musiman. Hal tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu
kehadirannya disekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari kehari.
Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi antara 3%-8%, penelitian di
Manado, Palembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut
7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8%. Penelitian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa
SLTP dibeberapa tempat di Indonesia, antara lain: Palembang, dimana prevalensi asma
sebesar 7,4%; Jakarta prevalensi asma sebesar 5,7% dan Bandung prevalensi asma sebesar
6,7%. Belum dapat disimpulkan kecenderungan perubahan prevalensi berdasarkan
bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa SLTP, namun
tampak terjadinya penurunan (outgrow) prevalensi asma sebanding dengan bertambahnya
usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada
orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan dengan angka kejadian asma pada anak.

c. Etiologi
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan factor autonom, imunologis,
infeksi, endokrin dan psikologis dalam tingkat pada berbagai individu. Aktivitas bronco
kontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik system saraf otonom. Ujung sensoris
vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya,

mencetuskan reflek sarkus cabang aferen, yang pada ujung cabang eferen merangsang
kontraksi otot polos bronkus.
Neurotransmisi peptide intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos bronkus.
Neurotramnisi peptide vasoaktif merupakan suatu neuro peptide dominan yang dilibatkan
pada terbukanya jalan nafas.
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah pemaparan
terhadap factor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe. Seringkali, kadar
IgE total maupun spesifik penderita seperti ini meningkat terhadap antigen yang terlibat.
Pada penderita lainnya dengan asma yang serupa secara klinik tidak ada bukti keterlibatan
IgE dimana uji kulit negative dan kadar IgE rendah. Bentuk asma inilah yang paling sering
ditemukan pada usia 2 tahun pertama juga orang dewasa (asma yang timbul lambat),
disebut dengan asma intrinsic.
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan
dan menstruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma membaik pada beberapa anak
saat pubertas, hal ini dikaitkan dengan hormonal.
Selain itu factor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala asma pada beberapa anak
dan dewasa yang menderita penyakit asma, tetapi emosional atau sifat dan perilaku
dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan penyakit kronis lainnya
dikaitkan dengan psikologis yang labil pada anak.

d. Patofisiologis
Pengertian sebelumnya asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul
mendadak, akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hipereaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama
asma adalah mengatasi bronkospasme. Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses
inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan
terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya
inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel
limfosit. T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi
meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.
Banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan
manifestasi riwayat atopi melalui mekanisme IgE- dependent. Pada populasi diperkirakan
faktor riwayat atopi memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa.
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen awalnya menimbulkan fase

sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E melekat pada Fc


reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen
serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction).
Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin, leukotrien
C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator
tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan
permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang
timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali (serangan asma
hilang) dengan pengobatan.
Setelah 6-8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma lambat (late
asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang diproduksi oleh sel
mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel-sel radang seperti
eosinofil, basofil, monosit dan + limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T-helper ( Th), limfosit
subtipe CD4 telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit
T mensekresi IL3 dan granulocytemacrophage colony stimulating factor (GMCSF),
Th-l terutama memproduksi IL 2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th-2 terutama
memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL4, IL5, IL9, IL13, dan IL16.
Sitokin yang dihasilkan oleh Th-2 bertanggungjawab terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Masing-masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi.
Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein
(ECP) dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-mediator tersebut merupakan mediator
inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4,
PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme.
Sel makrofag mensekresi IL-8, platelet activating factor (PAF),

regulated upon

activation novel T cell expression and presumably secreted (RANTES). Semua mediator
diatas

merupakan

mediator

inflamasi

yang

meningkatkan

proses

peradangan

mempertahankan proses inflamasi.


Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga
bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara
klinis, gejala asma menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan
jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan
kurang adekuat.

Gambar 3. Patogenesis Penyakit Asma ( Dikutip dari GINA 2003 )

Inflamasi dan Remodeling Saluran Napas


Sejalan dengan proses inflamasi kronik, kerusakan epitel bronkus merangsang proses
perbaikan saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional
yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau
repair. Kerusakan epitel bronkus disebabkan dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi
seperti eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi
sitokin dan kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5, juga faktor
pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina
propia.
Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil
Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel
mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling
tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal
(pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan
hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi
mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran
klinis asma kronis.

Gambar 4. Proses Inflamasi & Remodelling pd Asma (Dikutip dari GINA, 2003)

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat
antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi
berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling
bertambah hebat.
Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum
bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina
retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau
bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala
asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses
remodeling.
e. Manifestasi Klinik
Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk, dispnea, dan
wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma biasanya bermula
mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan
lambat,wheezing. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang
mendorong pasien unutk duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesori
pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Serangan Asma dapat
berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan.

Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih
berat, yang disebut status asmatikus, kondisi ini mengancam hidup.

f. Klasifikasi
Berdasarkan faktor penyebabnya asma dibagi menjadi: (Hartantyo, 1997)
a. Asma ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi
alergi penderita terhadap alergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap
orang yang sehat.
b. Asma intrinsik
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal
dari alergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kodisi lingkungan yang
buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang
berlebihan.

Pembagian derajat asma dibuat oleh Phelan dkk (dikutip dari Konsensus Pediatri
International III tahun 1998) terbagi 3, yaitu :
a. Asma episodik jarang
Merupakan 75% populasi pada anak. Ditandai oleh adanya episode <1x setiap 4-6
minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala di antara episode
serangan, dan fungsi paru normal diantara serangan. Terapi profilaksis tidak
dibutuhkan.
b. Asma episodik sering
Merupakan 20% dari populasi asma pada anak. Ditandai dengan frekuensi serang
yang lebih sering dan timbul mengi saat aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah
dengan pemberian agonis -2. Gejala kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru di
antara serangan hampir normal. Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan.
c. Asma persisten
Terjadi pada sekitar 5% dari populasi. Ditandai dengan seringnya terjadinya
serangan, mengi timbul saat aktivitas ringan, sangat dibutuhkan agonis -2 pada
interval gejala. Gejala timbul lebih dari 3x/minggu. Terapi profilaksis sangat
dibutuhkan.

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma berdasarkan


beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
a. Asma Intermiten (asma jarang)

Gejala kurang dari seminggu

Serangan singkat

Gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan

FEV 1 atau PEV > 80%

PEF atau FEV 1 variabilitas 20% 30%

b. Asma mild persistent (asma persisten ringan)

Gejala lebih dari sekali seminggu

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan

FEV 1 atau PEV > 80%

PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% 30%

c. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)

Gejala setiap hari

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

Gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu

FEV 1 tau PEV 60% 80%

PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%

d. Asma severe persistent (asma persisten berat)

Gejala setiap hari

Serangan terus menerus

Gejala pada malam hari setiap hari

Terjadi pembatasan aktivitas fisik

FEV 1 atau PEF = 60%

PEF atau FEV variabilitas > 30%

g. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :

Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang

dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan
kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.

Pneumomediastinum

Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma udara, juga dikenal sebagai


emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh
trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran
udara atau usus ke dalam rongga dada .

Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat

penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang
sangat dangkal.

Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan

tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah
Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.

Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam

paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan


karbondioksida dalam sel-sel tubuh.

Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam

dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak.


Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita
merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang
berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit
oleh adanya lendir.

Fraktur iga

5. PNEUMONIA
a. Definisi
Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT)) akut,
biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya pneumonia bukan penyakit
tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan
sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun
partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik
terparah muncul pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis.

b. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus,
jamur, dan protozoa. Tabel ini memuat daftar mikroorganisme dan masalah patologis
yang menyebabkan pneumonia : (Jeremy, 2007).
Infeksi Bakteri

Infeksi Atipikal

Infeksi Jamur

Streptococcus

Mycoplasma

Aspergillus

pneumoniae

pneumoniae

Haemophillus influenza Legionella

Histoplasmosis

pneumophillia
Klebsiella pneumoniae

Coxiella burnetii

Candida

Pseudomonas

Chlamydia psittaci

Nocardia

Infeksi Virus

Infeksi Protozoa

Penyebab Lain

Influenza

Pneumocytis carinii

Aspirasi

Coxsackie

Toksoplasmosis

Pneumonia lipoid

Adenovirus

Amebiasis

Bronkiektasis

aeruginosa
Gram-negatif (E. Coli)

Sinsitial respiratori

Fibrosis kistik

c. Patogenesis
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
sakit.
Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui berbagai cara:
a. Inhalasi langsung dari udara
b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia


Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu:
1. Mekanisme pertahanan paru
Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti
partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa bentuk
mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, reflex batuk, sistem mukosilier,
juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikelpartikel yag mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan
infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, sehingga pada
orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran napas berulang terjadi akibat
berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik.
2. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan
Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila jumlah
mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini
kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan mekanisme
pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme
yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran anaps akan ikut dengan sekresi
saluran napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi
kolonisasi.
3. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius
Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai mikroorganisme dari
saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya suatu
mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat menyapu bersih mikroorganisme
sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap
bahan-bahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk, penyempitan saluran napas,
juga dibantu oleh respon imunitas humoral (Supandi, 1992).

d. Epidemiologi
Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat
dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada pasien
yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada pasien yang dirawat di rumah
sakit; 25-50% pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United States, insidensi untuk
penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat

jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup
tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang
sekitar 10-20% pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian
diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di
Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian
mencapai 20-50% (Farmacia, 2006).

e. Klasifikasi Pneumonia
a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia, CAP) :
pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan
rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit
pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari (Jeremy,
2007).
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang terjadi
selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama
penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang
dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya.
Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan
menderita pneumonia (Supandi, 1992).
c. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain
setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat
pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks
menelan (Jeremy, 2007).
d. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid,
kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri,
selain organisme bakteria lain (Jeremy, 2007).
e. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada
fibrosis kistik dan bronkietaksis (Jeremy, 2007).

f. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia antara lain
usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes
mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi
(misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi (misalnya influenza), malnutrisi,

ventilasi mekanik, pascaoperasi, lingkungan, pekerjaan, pendingin ruangan (Jeremy,


2007; Misnadirly, 2008).

g. Anamnesis
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak napas,
peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan pneumonia, keluhan batuk
biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang
biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan batuk yang tidak produktif, tapi
selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen kekuningkuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau busuk. Pasien biasanya mengeluh
mengalami demam tinggi dan menggigil. Adanya keluhan nyeri dada, sesak napas,
peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan kepala nyeri (Supandi, 1992; Jeremy, 2007;
Alberta Medical Assosiation, 2011).

h. Diagnosis
Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi komplikasi, menilai
keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk membantu memilih antibiotika (Jeremy,
2007). Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaaan foto
polos dada perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis, diamping untuk melihat luasnya
kelainan patologi secara lebih akurat (Supandi, 1992).
i. Gambaran Klinis
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang
melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum
purulen, kadang-kadang berdarah (Supandi, 1992). Pada pasien muda atau tua dan
pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma), gambaran nonrespirasi (misalnya konfusi,
ruam, diare) dapat menonjol (Jeremy, 2007).
j. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat
peningkatan sel darah putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC
3

15.000-40.000/mm , jika disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat
normal atau menurun (Supandi, 1992; Jeremy, 2007). Dalam keadaan leukopenia laju
endap darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm

dan protein reaktif C

mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah mengidentifikasi gagal napas (Jeremy, 2007).

Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Kadang-kadang
didapatkan peningkatan kadar ureum darah, akan tetapi kreatinin masih dalam batas
normal (Supandi, 1992).
Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara
infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran infiltrat
intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering
memperlihatkan adanya infiltrate bilateral atau bronkopneumonia.

6. BRONKITIS
Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi (ektasis) bronkus lokal
yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan bronkus tersebut disebabkan oleh
perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan
otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya bronkus kecil (medium size),
sedangkan bronkus besar jarang terjadi. Hal ini dapat memblok aliran udara ke paru-paru
dan dapat merusaknya.
Bronkitis adalah penyakit pernafasan obstruktif yang sering dijumpai yang
disebabkan inflamasi pada bronkus. Penyakit ini biasanya berkaitan dengan infeksi virus
atau bankteri atau iritan inhalasi seperti asap rokok dan zat kimia yang terdapat pada
polusi udara. Penyakit ini memiliki karakteristik produksi mukus berlebihan.

a. Epidemiologi
Di Indonesia, belum ada angka morbiditas bronkitis kronis, kecuali di rumah sakit sentra
pendidikan. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat ( National Center for Health
Statistics) diperkirakan sekitar 4% dari populasinya didiagnosa bronkitis kronis. Angka
ini pun diduga masih di bawah angka morbiditas yang sebenarnya karena bronkitis kronis
yang tidak terdiagnosis. Bronkitis akut merupakan kejadian yang paling umum dalam
pengobatan rawat jalan, berkontribusi terhadap sekitar 2,5 juta kunjungan ke dokter di AS
pada 1998. Di Amerika Serikat, biaya pengobatan untuk bronkitis akut sangat besar;
untuk setiap episode, pasien menerima rata-rata dua resep untuk digunakan 2-3 hari.
Bronkitis kronis dapat dialami oleh semua ras tanpa ada perbedaan. Frekuensi angka
morbiditas bronkitis kronis lebih kerap terjadi pada pria dibanding wanita. Hanya saja
hingga kini belum ada angka perbandingan yang pasti. Usia penderita bronkitis kronis
lebih sering dijumpai di atas 50 tahun.

b. Etiologi
Secara umum penyebab bronkitis dibagi berdasarkan faktor lingkungan dan faktor
host/penderita. Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi udara,
merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri (Staphylococcus,
Pertusis, Tuberculosis, mikroplasma), infeksi virus (RSV, Parainfluenza, Influenza,
Adeno) dan infeksi fungi (monilia). Faktor polusi udara meliputi polusi asap rokok atau
uap/gas yang memicu terjadinya bronkitis. Sedangkan faktor penderita meliputi usia, jenis
kelamin, kondisi alergi dan riwayat penyakit paru yang sudah ada.
1. Bronkitis infeksiosa
Brokitis

infeksiosa

disebabkan

oleh

infeksi

bakteri

atau

virus,

terutama

Mycoplasmapneumoniae dan Chlamydia. Serangan bronkitis berulang bisa terjadi


pada perokok dan penderita penyakit paru dan saluran pernapasan menahun. Infeksi
berulang bisa merupakan akibat dari :

Sinusitis kronik

Bronkiektasis

Alergi

Pembesaran amandel dan adenoid pada anak-anak

2. Bronkitis iritatif
Bronkitis iritatif adalah bronkitis yang disebabkan alergi terhadap sesuatu yang dapat
menyebabkan iritasi pada daerah bronkus. Bronkitis iritatif bisa disebabkan oleh
berbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, beberapa pelarut organik klorin,
hidrogen sulfida, sulfur dioksida, dan bromine, polusi udara yang menyebabkan iritasi
ozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan rokok lainnya. Faktor etiologi utama
adalah zat polutan
c. Patologi
Kelainan utama pada bronkus adalah hipertensi kelenjar mukus dan menyebabkan
penyempitan pada saluran bronkus, yang mengakibatkan diameter bronkus menebal lebih
dari 30-40% dari tebalnya didinding bronkus normal, dan akan terjadi sekresi mukus yang
berlebihan dan kental. Sekresi mukus menutupi cilia, karena lapisan dahak menutupi cilia,
sehingga cilia tidak mampu lagi mendorong dahak keatas, satu-satunya cara
mengeluarkan dahak dari bronki adalah dengan batuk.
d. Patofisiologi

Temuan utama pada bronkitis adalah hipertropi kelenjar mukosa bronkus dan peningkatan
jumlah sel goblet dengan infiltasi sel-sel radang dan edema pada mukosa sel bronkus.
Pembentukan mukosa yang terus menerus mengakibatkan melemahnya aktifitas silia dan
faktor fagositosis dan melemahkan mekanisme pertahananya sendiri. Pada penyempitan
bronkial lebih lanjut terjadi akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam saluran napas.
e. Gejala Klinis
Gejala umum bronkitis akut maupun bronkitis kronik adalah:

Batuk dan produksi sputum adalah gejala yang paling umum biasanya terjadi setiap
hari. Intensitas batuk, jumlah dan frekuensi produksi sputum bervariasi dari pasien ke
pasien. Dahak berwarna yang bening, putih atau hijau-kekuningan.

Dyspnea (sesak napas) secara bertahap meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.
Biasanya, orang dengan bronkitis kronik mendapatkan sesak napas dengan aktivitas
dan mulai batuk.

Gejala kelelaha, sakit tenggorokan , nyeri otot, hidung tersumbat, dan sakit kepala
dapat menyertai gejala utama.

Demam dapat mengindikasikan infeksi paru-paru sekunder virus atau bakteri

Pada bronkitis akut, batuk terjadi selama beberapa minggu. Sesorang didiagnosis
bronkitis kronik ketika mengalami batuk berdahak selama paling sedikit tiga bulan
selama dua tahun berturut-turut. Pada bronkitis kronik mungkin saja seorang penderita
mengalami bronkitis akut diantara episode kroniknya, dan batu mungkin saja hilang
namun akan muncul kembali.
f. Jenis Bronkitis:
1. Bronkitis akut
Adalah batuk yang tiba-tiba terjadi karena infeksi virus yang melibatkan jalan napas
yang besar. Bronkitis akut pada umumnya ringan. Berlangsung singkat (beberapa hari
hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari. Meski ringan, namun adakalanya
sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk
berkepanjangan.
2. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik merupakan penyakit saluran napas yang sering didapat di
masyarakat. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan oleh karena sifatnya yang
kronik, persisten dan progresif. Infeksi saluran napas merupakan masalah klinis yang

sering dijumpai pada penderita bronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya.
Eksaserbasi infeksi akut akan bronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya.
Eksaserbasi infeksi akut akan mempercepat kerusakan yang telah terjadi, disamping
itu kuman yang menyebabkan eksaserbasi juga berpengaruh terhadap morbiditas
penyakit ini. Penyakit ini berlangsung lebih lama dibandingkan bronkitis akut, yaitu
berlangsung selama 1 tahun dengan frekuensi batu produktif 3 bulan selam 2 tahun
berturut-turut.
g. Komplikasi
Komplikasi dari bronkitis tidak terlalu besar, yaitu antara lain:
-

Bronkitis Akut yang tidak ditangani cenderung menjadi Bronkitis Kronik.

Pada orang yang sehat jarang terjadi komplikasi, tetapi pada anak dengan gizi kurang
dapat terjadi Othitis Media, Sinusitis dan Pneumonia.

Bronkitis Kronik menyebabkan mudah terserang infeksi.

Bila sekret tetap tinggal, dapat menyebabkan atelektasis atau Bronkietaksis.

h. Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Menurut Soegito
(2007), untuk mengurangi gangguan tersebut perlu diusahakan agar batuk tidak
bertambah parah.
1. Membatasi aktifitas/kegiatan yang memerlukan tenaga yang banyak
2. Tidak tidur di kamar yang ber AC dan menggunakan baju hangat kalau bisa hingga
leher
3. Hindari makanan yang merangsang batuk seperti: gorengan, minuman dingin (es), dll.
4. Jangan memandikan anak terlalu pagi atau terlalu sore, dan memandikan anak dengan
air hangat
5. Jaga kebersihan makanan dan biasakan cuci tangan sebelum makan
6. Menciptakan lingkungan udara yang bebas polusi
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk membantu orang yang telah sakit agar
sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan komplikasi, dan mengurangi
ketidakmampuan. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan:

a. Diagnosis :
Diagnosis dari bronkitis dapat ditegakkan bila pada anamnesa pasien mempunyai
gejala batuk yang timbul tiba-tiba dengan atau tanpa sputum dan tanpa adanya bukti
pasien menderita pneumonia, common cold, asma akut dan eksaserbasi akut. Pada
pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya tidak khas. Dapat ditemukan adanya
demam, gejala rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis. Sejalan
dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi dapat terdengar
ronki, wheezing, ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lendir
banyak dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah.
Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk menyingkirkan kemungkinan
pneumonia pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi sputum yang dicurigai
menderita bronkitis, yang antara lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai berikut:

Denyut jantung > 100 kali per menit,

Frekuensi napas > 24 kali per menit,

Suhu badan > 380C,

Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan peningkatan
suara napas.

b. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat dan kemungkinan ada nasofaringitis.
Keadaan paru : ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah setelah
batuk, wheezing dan krepitasi)
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan dahak dan rontgen dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa
dan untuk menyingkirkan diagnosa penyakit lain. Bila penyebabnya bakteri,
sputumnya akan seperti nanah. Untuk pasien anak yang diopname, dilakukan dengan
tes C-reactive protein, kultur pernapasan, kultur darah, kultur sputum, dan tes serum
aglutinin untuk membantu mengklasifikasikan penyebab infeksi apakah dari bakteri
atau virus. Jumlah leukositnya berada > 17.500 dan pemeriksaan lainnya dilakukan
dengan cara tes fungsi paru-paru dan gas darah arteri.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Goerge L.1997. Penyakit-penyakit

Nasofaring dan Orofaring dalam: Buku Ajar

Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta; 328-29.


Adams GL, Boies LR, Higler PH. 1997. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Berhman, E. Richard dan Victor C.V.1992. Sistem pernafasan: Infeksi-infeksi Saluran Nafas
Bagian Atas dalam: Nelson Ilmu Penyakit Anak Bagian 2. EGC. Jakarta; 297-98.
Brunner & suddarth.2002. keperawatan medical bedah. Vol.3. Ed 8 : Jakarta : EGC
Cuvillo, A del., et al., 2009. Allergic Conjungtivitis ang HI Antihistamines Jinvesting
Allergol Clin Immunol 2009: Vol.19 USA
Doengoes, Marilyn E.2000. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk perencanaan
dan pendokumentasian perawatan pasien.ed 3. Jakarta : EGC
Fahy, J.V., et al., 2010. Review Artikel Airway Mucus Function and Dysfunction. New
England of Journal Medicine; Vol.363. No.23. England
Global Initiative for Asthma (GINA), 2003. Global Burden of Asthma-Global Initiative
forAsthma.Available

from:http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=29

[Accessed at 17 November 2014]


Harrison, 2003. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, EGC, Jakarta
Hartantyo I. Pedoman Pelayanan Medik Anak, RSUP. Dr. Karyadi Semarang 1997:57.
Jeremy, P.T. (2007). At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga Medical
Series. Hal. 76-77.
Kusnputranto H, Susana D., 2003. Kesehatan Lingkungan, edisi II. FKM,UI.
Ludman, Harold, MB, FRCS, Petunjuk Penting pada Penyakit THT, Jakarta, Hipokrates,
1996
Manfaati A. Hubungan Berbagai Kelainan Atopi dengan Penyakit Asma pada Siswa SLTP di
Jogjakarta, FK UGM, 2004.
Mansjoer, A (ed). 1999. Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok: Tenggorok dalam:
Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FK UI. Jakarta; 118.
Mansjoer,Arief,dkk.1999.Kapita Selekta Kedokteran,Edisi 3: Jakarta, Mediaacs culapiu

Melbye H., Kongerud J, Vorland L, 2009. Reversible Airflow Limitation in Adults with
Respiratory Infection. Eur Respir J 2009 7 : 1239-1245
Misnadirly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak Balita, Orang
Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Popular Obor. Hal. 55-58.
Muwarni, A., 2009. Perawatan Pasien Penyakit Dalam, edisi I, sectakan kedua, Mitra
Cendikia Press, Yogyakarta.
Nelson. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol.1. E/5. Philadelpia : W.B. Saunders
Company
Nizar NW, Mangunkusumo E. 2000. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.
Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit FKUI
Noor, N.N., 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Cetakan Kedua. Rineka Cipta,
Jakarta.
Price, S.A, Wilson, L.M. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
4. Jakarta : EGC.
Rahajoe N, Supriyanto B, Setyanto DB. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK
Pulmonologi PP IDAI : Jakarta.
Rahmadani, R.Q., Marlina, R., 2011. Bronkitis pada Anak. Akademi Kebidanan Padang
Sidempuan, Sumatera Utara
Schiffman, George, 2004. Pulmo diseases and disorder respiratory, edisi 4, volume kedua,
EGC, Jakarta, halaman 123 sampai 139.
Sidney, S., 2006. Chronic Cough Due to Acute bronchitis : ACCP Evidence Based clinical
Practise Guidelines. Chest Journal. 2006: 129: 95S-130S
Smeltzer & Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Soegito, 2004. Pengobatan Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut Dengan Ciprofloxacin
Dibandingkan dengan CO Amoxyclav. Bagian Ilmu Penyakit Paru, FK USU.
Soemirat, Juli. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mata Press.
Sundaru, Heru.,& Baratawidjaja. (1984). Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta.
Supandi, P.Z. (1992). Pulmonologi Klinik. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI. Hal. 87- 91.
Sutoyo, K.D., 2008. Bronkitis Kronis dan Lingkaran yang tak Berujung Berpangkal (Vicious
Circle).

You might also like