Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit saluran napas kronis yang penting dan masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia dengan
kekerapan yang bervariasi di setiap negara dan cenderung meningkat di negara
berkembang. Asma dapat timbul pada semua usia terutama usia muda dan tidak
tergantung tingkat sosioekonomi tertentu. Meskipun asma jarang menimbulkan
kematian, penyakit ini sering menimbulkan masalah baik pada anak maupun dewasa.1
Penyakit asma merupakan penyakit lima besar penyebab kematian di dunia yang
bervariasi antara 5-30% (berkisar 17,4%). Di Amerika Serikat, berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh National Center for Health Statistics of the Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) (2011), selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2009,
proporsi penderita asma di segala usia meningkat setinggi 12,3 %. Di Indonesia
prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5% penduduk
Indonesia menderita asma. 1,2
Penyakit asma bronkial terdapat pada semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan. Meskipun penyakit ini sudah dikenal sejak lama, tetapi penyebab yang pasti
belum diketahui. Patogenesis penyakit ini dari waktu ke waktu makin banyak terungkap
dan makin komplek sejalan dengan perkembangan ilmu biologi molekuler. Definisi
asma bronkial dewasa ini adalah suatu kelainan pada saluran napas berupa inflamasi
kronik. Inflamasi kronik ini menyebabkan peningkatan kepekaan bronkus terhadap
berbagai rangsangan. Pada individu yang sensitif, inflamasi kronik ini memberikan
gejala-gejala yang timbul akibat penyempitan saluran udara yang menyeluruh, dengan
derajat yang bervariasi dan sering membaik secara spontan atau dengan pengobatan.
Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai macam rangsangan, misalnya infeksi,
alergen, obat-obatan, beban kerja, pendinginan saluran napas dan bahan kimia.3,4
Identifikasi dan memperbaiki gangguan kualitas hidup merupakan komponen
penting pada penatalaksanaan asma. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
menetapkan bahwa tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari.3
Asma bronkial kadang- kadang memberikan gejala yang tidak khas dan
menyerupai penyakit paru lain. Disamping itu, beberapa penyakit paru dan saluran
pernapasan dapat memberikan gejala menyerupai asma. Selain diagnosis yang tepat,
perlu ditentukan klasifikasi penyakit agar dapat diberikan pengobatan yang tepat dan
adekuat. Apabila riwayat penyakit dan gejala klinis yang terjadi jelas dan khas, maka
diagnosis asma bronkial tidaklah sulit ditegakkan.3 Pada sebagian kasus, gejala ini tidak
jelas demikian pula dengan riwayat penyakitnya sehingga diagnosis penyakit mungkin
saja sulit ditegakkan. Untuk itu, penegakan diagnosis asma memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan yang teliti, mulai dari pemeriksaan yang sederhana seperti pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.3,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan
kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak
napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough)
terutama pada malam atau dini hari. Patogenesis asma melibatkan banyak sel inflamasi
terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Gejala-gejala pada penyakit asma
berhubungan dengan luasnya inflamasi, menyebabkan obstruksi jalan napas yang
bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan, dan
inflamasi ini juga menyebabkan peningkatan respon jalan napas terhadap berbagai
rangsangan.3,4
2.2. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada semua
umur, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak. Di Amerika Serikat,
berdasarkan data yang dikeluarkan oleh National Center for Health Statistics of the
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011), selama tahun 2001 sampai
dengan tahun 2009, proporsi penderita asma di segala usia meningkat setinggi 12,3 %.1,2
Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 25% penduduk Indonesia menderita asma. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, prevalensi penyakit asma mencapai 4%. Angka ini jauh di atas prevalensi
asma pada tahun 1995 menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang hanya
1,3%. Selain itu, Sumatera Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia mencatat
angka prevalensi asma sebesar 3,6% pada tahun 2007.2,3
2.3. Etiologi
Suatu hal yang yang menonjol pada penderita asma adalah fenomena
hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan
imunologi maupun non imunologi. Ada beberapa hal yang merupakan faktor
predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma yaitu :3,4
3
a. Faktor predisposisi
Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan
faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan
b) Ingestan
c) Kontaktan
2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau.
3. Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati penderita asma yang mengalami stres atau gangguan emosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum
diatasi maka gejala belum bisa diobati.
4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
yang
sudah
terbentuk
sebelumnya,
mediator-mediator
ini
menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratorik dan menstimulasi saraf aferen,
hipersekresi mukus, vasodilatasi dan kebocoran mikrovaskuler. Reaksi fase lambat
dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma.
Selama respon fase lambat dan selama berlangsung paparan alergen, aktivasi sel-sel
saluran
respiratorik
merupakan
serangkaian
proses
yang
Patofisiologi Asma
2.6. Diagnosis
Seperti pada penyakit lainnya, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan
anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.3,5
2.6.1. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:3,5
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman,
riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma.
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan
berdahak yang berulang.
4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari.
5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik.
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator.
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal.
Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi.
Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran
objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu,
pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat
gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan. Sewaktu mengalami serangan, jalan napas
akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi
penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas
yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
batuk, sesak napas, dan mengi.3,5
2.6.3. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini
disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar
keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai
derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita
menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat
dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma.
Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard
pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Peak Expiratory Flow meter
(Arus Puncak Ekspirasi/APE).3,5,6
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan
reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA. Pengukuran volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi
paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi
dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP. Maka
dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio
VEP1/KVP (%). 5,6
Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%).
Untuk mendapatkan variabilitas APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari
sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (pada malam hari gunakan
nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik.3,5
2.7
Klasifikasi Asma
II. Persisten
Ringan
Gejala
Bulanan
Gejala < 1x/minggu
Tanpa gejala diluar
serangan
Serangan singkat
Mingguan
Gejala > 1x/minggu, tapi <
1x/hari
Serangan dapat
mengganggu aktivitas dan
tidur
Membutuhkan
bronkodilator setiap hari
Gejala malam
2x/bulan
Faal paru
APE 80%
VEP1 80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
Variabilitas APE < 20%
> 2x/bulan
APE 80%
VEP1 80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
Variabilitas APE 20-30%
10
III. Persisten
Sedang
Harian
Gejala setiap hari
Serangan menggangu
aktivitas dan tidur
Membutuhkan
bronkodilator setiap hari
>1x/minggu
APE 60-80%
VEP1 60-80% nilai
prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%
IV. Persisten
Berat
Kontinyu
Gejala terus menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik terbatas
Sering
APE 60%
VEP1 60% nilai prediksi
APE 60% nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%
Asma juga dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan saat asma fase
akut sesuai Tabel 2 berikut:3,5
Gejala dan
Tanda
Sesak nafas
Posisi
Cara berbicara
Kesadaran
Frekuensi nafas
Nadi
Pulsus
paradoksus
Otot bantu
nafas dan
retraksi
suprasternal
Mengi
APE
PaO2
PaCO2
SaO2
Ringan
Berat
Berjalan
Dapat tidur
terlentang
Satu kalimat
Mungkin gelisah
Berbicara
Duduk
Beberapa kata
Gelisah
Istirahat
Duduk
membungkuk
Kata demi kata
Gelisah
< 20/menit
< 100
-
20-30/menit
100-120
> 30 menit
> 120
+
10 mmHg
10-20 mmHg
> 25 mmHg
Akhir ekspirasi
paksa
> 80%
> 80 mmHg
< 45 mmHg
> 95%
Akhir ekspirasi
Inspirasi dan
ekspirasi
< 60%
< 60 mmHg
> 45 mmHg
< 90%
60-80%
80-60 mmHg
< 45 mmHg
91-95%
Keadaan
Mengancam
Jiwa
Mengantuk,
gelisah,
kesadaran
menurun
Bradikardia
kelelahan
otot
Torakoabdom
inal
paradoksal
Silent chest
11
2.8
Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi
klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2014) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk
melakukan
penatalaksanaan
berdasarakan
kontrol.
Untuk
mencapai
dan
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu
dipertimbangkan, yaitu:3,5
1. Medikasi
2. Pengobatan berdasarkan derajat
2.8.1. Medikasi
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
nafas, terdiri atas pengontrol (controller) dan pelega (reliever).
a. Pengontrol (controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol adalah:3,5,7
1) Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan
faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Efek samping adalah efek
samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran
nafas atas.
2) Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas mengingat
risiko efek sistemik.
12
menghasilkan
efek
bronkodilator
minimal
dan
menurunkan
13
Medikasi Pengontrol
Harian
Alternatif/Pilihan Lain
Alternatif Lain
Asma
Intermiten
Tidak perlu
Asma
Persisten
Ringan
Glukokortikosteroid
inhalasi (200-400ug
BD/hari atau
equivalennya)
Asma
Persisten
Sedang
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(400-800ug BD/hari
atau equivalennya) dan
agonis 2 kerja lama
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(400-800ug BD/hari atau
equivalennya) ditambah
teofilin lepas lambat,
Kromolin
Leukotrien modifiers
Ditambah agonis
2 kerja lama oral,
atau
Ditambahkan
teofilin lepas
14
atau
lambat
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(400-800ug BD/hari atau
equivalennya) ditambah
agonis 2 kerja lama oral,
atau
Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800ug BD atau
equivalennya) atau
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800ug BD
atau equivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers
Asma
Persisten
Berat
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(>800ug BD/hari atau
equivalennya) dan
agonis 2 kerja lama,
ditambah 1 dibawah
ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Prednisolon/
metil
prednisolon oral selang
sehari 10 mg ditambah
agonis 2 kerja lama oral,
ditambah teofilin lepas
lambat
Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi
asma tetap terkontrol
Pengobatan
Ringan
Terbaik:
Aktivitas relatif normal
Inhalasi agonis 2
Berbicara satu kalimat dalam 1 Alternatif:
nafas
Kombinasi oral agonis 2 dan
Nadi < 100
teofilin
APE > 80%
Sedang
Terbaik:
Jalan jarak jauh timbulkan gelaja
Nebulasi agonis 2 @ 4 jam
Berbicara beberapa kata dalam 1
Alternatif:
nafas
- Agonis 2 subkutan
Tempat
pengobatan
Di rumah
Di praktek
dokter/ klinik/
puskesmas
UGD/RS
Klinik
Praktek dokter
Puskesmas
15
Nadi 100-120
APE 60-80%
- Aminofilin iv
- Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik
Berat
Terbaik:
Sesak saat istirahat
Nebulasi agonis 2 @ 4 jam
Berbicara kata perkata dalam 1 Alternatif:
nafas
- Agonis 2 sc/iv
Nadi > 120
- Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc
APE < 60% atau 100 L/dtk
Aminofilin bolus dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid iv
Mengancam jiwa
Seperti serangan akut berat
Kesadaran berubah /menurun
Pertimbangkan intubasi dan
Gelisah
ventilasi mekanik
Sianosis
Gagal nafas
UGD/RS
Klinik
UGD/RS
ICU
16
17
BAB III
LAPORAN KASUS
: INB
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 63 th
Alamat
: Sidemen, Karangasem
Agama
: Hindu
Pekerjaan
: Petani
Tanggal Pemeriksaan
: 1 Desember 2014
3.2. Anamnesis
Keluhan utama :
Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Pasien
mengatakan sesak nafas timbul mendadak disertai suara ngik-ngik dan mulai
sesak ketika malam hari sebelum datang ke RSUD Klungkung. Sesak mulanya
terasa ringan lalu makin lama dirasakan semakin memberat.
Sesak nafas
dirasakan seperti tertekan sampai membuat pasien merasa sulit bernafas dan
pasien mengeluh sulit tidur. Sesak dikatakan berkurang jika pasien dalam posisi
duduk. Sesak nafas juga membuat pasien menjadi lemas dan tidak bisa
beraktivitas. Selama perawatan pasien mengatakan sesaknya masih terasa namun
sudah terasa berkurang.
Pasien juga mengeluhkan batuk yang muncul bersamaan dengan mulainya
sesak. Pasien batuk dengan mengeluarkan dahak berwarna putih kekuningan.
Batuk dengan dahak berdarah disangkal oleh pasien. Sampai saat perawatan
pasien masih batuk berdahak dengan warna putih kekuningan namun dikatakan
frekuensinya sudah jauh berkurang. Pasien menyangkal adanya keluhan demam,
mual dan muntah. Pasien juga menyangkal adanya penurunan nafsu makan dan
berat badan, serta berkeringat pada malam hari saat tanpa aktivitas. BAK pasien
dikatakan biasa, dengan frekuensi berkemih sekitar 4-5 kali dalam sehari, volume
18
tiap berkemih hingga 1 gelas, warna jernih kekuningan. BAB pasien juga
dikatakan biasa, frekuensi rata-rata sekali sehari, warna kecokelatan, konsistensi
padat.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit asma sejak remaja. Selama
remaja penyakit asma pasien jarang kambuh, dan baru beberapa tahun belakangan
ini sering muncul. Pasien mengaku mengalami serangan asma 1-2x/minggu dan
bisa sembuh setelah diberi obat. Keluhan sesak nafas di malam hari dikatakan
lebih jarang, dengan frekuensi 2-3x dalam sebulan. Pasien mengatakan sering sulit
tidur dan aktivitas menjadi terganggu saat mengalami sesak nafas. Pasien tidak
rutin berobat ke dokter atau puskesmas, pasien hanya datang berobat jika keluhan
sesaknya muncul. Riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung
disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan bahwa almarhum ayah pasien memiliki riwayat penyakit
asma dan sering mengalami keluhan sesak nafas. Riwayat keluarga dengan batuk
kronis disangkal. Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung
disangkal oleh pasien.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien saat ini pasien bekerja sebagai petani. Pasien mengatakan sesak
nafasnya sering kambuh bila cuaca sedang dingin atau pasien berada dalam
lingkungan yang berdebu. Pasien tidak memiliki riwayat merokok dan minum
minuman beralkohol.
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Present :
Kesadaran
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 100 x/ menit
RR
: 28 x/mnt
Suhu badan
: 36,5 C
Status general :
Mata
19
THT
Thorax
: Kesan tenang
: Simetris (+), retraksi (+)
Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Palpasi
: Vocal fremitus N / N
Perkusi
: Sonor / Sonor
Auskultasi
: Vesikuler + / +,
memanjang
Abdomen
Inspeksi
: Distensi (-)
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Ekstremitas:
Akral hangat
Edema -
Hasil
Satuan
Normal
Remarks
WBC
10,74
103L
4,60 - 10,20
Tinggi
% NEUT
79,6
40,00 - 70,00
% LYMPH
11,8
20,00 - 40,00
% MONO
8,5
1,70 - 9,30
% EOS
0,0
0,00 - 6,00
20
% BASO
0,1
0,00 - 1,00
#NEUT
8,55
103L
2,00 - 6,00
#LYMPH
1,27
103L
0,60 - 5,20
#MONO
0,91
103L
0,10 - 0,60
#EOS
0,00
10 L
0,00 - 0,40
#BASO
0,01
103L
0,00 - 0,10
RBC
4,97
106L
3,80 - 6,50
Hemoglobin
15,1
g/dL
11,50 - 18,00
Hematokrit
45,7
37,00 - 54,00
Platelet
140
103L
150,00 - 400,00
MCV
92,00
fL
80,00 - 100,00
MCH
30,40
pg
27,00 - 32,00
MCHC
33,00
g/dL
31,00 - 36,00
THORAX AP
Cor
Pulmo
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Telah dilaporkan suatu kasus asma pada pasien laki-laki berusia 63 tahun. Asma
merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta
penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada semua umur,
dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak. Di Indonesia prevalensi
asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5% penduduk Indonesia
menderita asma. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi
penyakit asma mencapai 4%.
Fenomena hiperaktivitas bronkus merupakan suatu hal yang sangat menonjol pada
penderita asma sehingga sangat peka dengan suatu rangsangan imunologi maupun non
imunologi. Beberapa faktor predisposisi dan presipitasi terjadinya serangan asma
meliputi factor genetik, paparan alergen, perubahan cuaca, stress, lingkungan kerja, dan
aktifitas jasmani. Pada pasien ini, ditemukan riwayat keluarga yang memiliki penyakit
asma yaitu ayah dari pasien. Pasien juga sering mengalami keluhan sesak nafas pada
saat cuaca dingin, misalnya pada musim hujan. Keluhan sesak nafas juga muncul jika
pasien berada di lingkungan berdebu, sehingga paparan alergen inhalan sebagai
pencetus serangan asma belum dapat disingkirkan.
Diagnosis asma dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik terutama
pemeriksaan fisik paru, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien asma, keluhan
umumnya berupa sesak nafas yang bersifat episodik, batuk disertai dahak, dan mengi,
Keluhan muncul setelah adanya paparan terhadap allergen ataupun perubahan cuaca,
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan sesak nafas yang timbul mendadak pada
malam hari. Pasien mengaku sering mengalami keluhan sesak nafas sebelumnya namun
biasanya membaik dengan pengobatan. Sesak nafas disertai suara ngik-ngik dan juga
batuk dengan dahak berwarna putih kekuningan. Keluhan sesak nafas biasanya timbul
pada saat cuaca dingin atau lingkungan yang berdebu.
Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah
mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada pasien,
ditemukan mengi pada kedua lapang paru dan ekspirasi yang memanjang. Pemeriksaan
22
penunjang lain yang dikerjakan pada pasien ini adalah pemeriksaan darah lengkap dan
foto thorax PA, namun tidak ditemukan adanya kelainan yang bermakna. Pemeriksaan
faal paru dengan spirometri dan Peak Expiratory Flow meter (Arus Puncak
Ekspirasi/APE) sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Faal paru menilai
derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu menegakkan
diagnosis asma. Pada pasien ini pemeriksaan faal paru tidak dikerjakan.
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat berat asma sesuai gambaran
klinis dan dapat pula diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan pada fase akut. Pada
pasien, keluhan sesak nafas berkurang pada posisi duduk, pasien tampak gelisah dan
mampu berbicara beberapa kata. Dari pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi napas
28x/menit, frekuensi denyut nadi 100x/menit, adanya retraksi dinding dada dan
terdengar mengi di akhir ekspirasi, sehingga serangan asma digolongkan menjadi
serangan asma sedang. Pasien memiliki riwayat asma sejak remaja, dimana keluhan
sesak nafas terjadi dengan frekuensi 1-2x dalam seminggu. Keluhan sesak nafas di
malam hari terjadi lebih jarang, dengan frekuensi 2-3x dalam sebulan. Keluhan sesak
nafas seringkali mengganggu aktivitas dan pasien sulit tidur, sehingga derajat asma
digolongkan menjadi asma persisten ringan.
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi
klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Terdapat 2 faktor yang dipertimbangkan untuk
mencapai keadaan asma yang terkontrol yaitu dengan medikasi dan penanganan
berdasarkan derajat. Medikasi terdiri atas pengontrol (controller) dan pelega (reliever).
Pengobatan berdasarkan derajat asma disesuaikan dengan klasifikasi asma seperti yang
telah disampaikan sebelumnya. Pada pasien dengan serangan asma sedang, penanganan
terbaik adalah dengan memberikan nebulasi agonis 2 tiap 4 jam, pemberian oksigen,
dan kortikosteroid sistemik. Pada pasien ini, diberikan penanganan berupa oksigen 4
liter/menit, nebulasi Farbivent 1 ampul + NaCl 0,9% tiap 8 jam, injeksi
methylprednisolone 2 x 62,5 mg, dan ambroxol sirup 3 x C1. Mekanisme kerja agonis
2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel
mast dan basofil. Kombinasi dengan ipratropium bromide adalah untuk meningkatkan
23
respon bronkodilatasi dengan cara memblok pelepasan asetilkolin saraf kolinergik jalan
nafas. Sedangkan kortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada
serangan asma, terutama jika pemberian agonis 2 kerja singkat inhalasi pada
pengobatan awal tidak memberikan respon, serangan terjadi walau penderita sedang
dalam pengobatan, serangan asma berat. Pemberian Ambroxol bermanfaat untuk
meningkatkan pembersihan sekresi yang tertahan pada saluran pernafasan dan
menghilangkan mukus statis, sehingga dapat melapangkan jalan nafas.
Selain dengan medikamentosa, edukasi pada pasien dengan asma merupakan
salah satu faktor penting dalam upaya mencapai dan mempertahankan keadaan asma
yang terkontrol. Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma
itu sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor
pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan
serangan asma di rumah. Pentingnya follow up yang teratur, dan pola hidup sehat juga
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam penanganan asma.
24