You are on page 1of 9

1.

Anti Diabetik Oral (ADO)


Berdasarkan cara kerjanya ADO dibagi menjadi 4 golongan :
A. Pemicu sekresi insulin
1. Sulfonilurea
Merupakan oabat yang mempunyai efek hipoglikemik sehingga disebut juga sebagai obat
hipoglikemik oral (OHO). Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pancreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua,
gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
Sampai saat ini sudah ada 3 generasi sulfonilrea yang beredar.
Generasi I : Acetohexamid, Chlorpropamid, Tolbutamid dan Talazamid
Generasi II : Gliclazid, Glipizid, gliburid dan Glibenklamid.
Generasi III : Glimepirid.
Di Indonesia, turunan generasi II adalah yang paling sering digunakan. hal ini dikarenakan
lebih efektif dan generasi II ini mempunyai efek minimal. Adapun efek samping utama
sulfonilurea yang sering dilaporkan adalah penambahan berat badan.
Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk menghindari hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar glukosa
darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan
perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan
dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna.

Dosis permulaan sunfonilurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi


glucosa puasa<200mg/dl,>200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat
sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada
obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada
makanan porsi terbesar.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
; Repaglinid (derivate asam benzoate) dan nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini di
absorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresikan secara cepat melalui
hati. Pemberian dilakukan 2 3 kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah
puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat. Sedangkan nateglinid mempunyai
masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan gula darah puasa. Sehingga keduanya
merupakan sekretagok yang khusus meurunkan glukosa posprandial dengan efek
hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek terhadap glukosa puasa maka
kekuatannya untuk menurunkan A1C tidak begitu kuat.
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin
1. Tiazolidindion (Glitazone)
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada peroxisome proliferators
activated receptor gamma (PPAR) yaitu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I IV karena
dapat mempercepat edema/retensi cairan dan juga gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini
tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal.

Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1 2 jam dan
makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3 4 jam
bagi rosiglitazone dan 3 7 jam bagi pioglitazone.
Penggunaan dalam klinik. Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan sebagai
monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Secara
klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi dua kali
sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan AIC sampai 1,5%
dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan
menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi
dengan dosis sampai 45mg/dl dosis tunggal.
C. Penghambat Glukoneogenesis (metformin)
1. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis)
disamping juga memperbaiki ambilan gukosa perifer. Terutama dipakai pada diabetisi
gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
serum > 1,5) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebrovaskuler, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan.
Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai
kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone.
Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glucose
darah puasa (60-70mg/dl) dan AIC (1-2%) dibandingkan dengan placebo pada pasien yang
tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Efektifitas metformin menurunkan glukosa darah
pada orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Karena kemampuannya mengurangi
resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka
metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan dibetes pada orang gemuk dengan

disipledimia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi
tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetic lain.
D. Penghambat Glukoksidase alfa
Obat ini bekerja mengurangi absorbsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping
hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah keluhan kembung dan
flatulen. Penggunaan dalam klinik. Acarbose dapat digunakan sebagi monoterapi atau
sebagai kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone atau sulfonylurea. Untuk mendapat
efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu
karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja ensimatik
pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya 15 menit
sebelum atau sesudah makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa
postprandial. Monoterapi dengan acarbose dapat menurunkan rata-rata glukosa postprandial
sebesar 40-60 mg/dl dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dL dan AIC 0,5-1%. Dengan
terapi kombinasi bersama sulfonylurea metformin dan insulin maka acarbose dapat
menurunkan lebih banyak terhadap AIC sebesar 0,3-0,5% dan rata-rata glukosa postprandial
sebesar 20-30 mg/dL dari keadaan sebelumnya.
Obat-obat Antihipertensi
Telah disepakati bahwa hipertensi perlu mendapat pengobatan yang serius.
Apalagi
jika penderita hipertensi juga mengalami komplikasi dengan diabetes, payah
jantung, atau
penyakit ginjal. Sekarang telah tersedia berbagai obat antihipertensi yang
dipercaya dapat
menurunkan tekanan darah. Setiap jenis obat antihipertensi mempunyai cara
kerja yang
berbeda.
1. Golongan Diuretik
Obat antihipertensi golongan diuretik bekerja dengan cara membuang kelebihan
air dan
natrium melalui pengeluaran urine. Berkurangnya air dalam darah
mengakibatkan
volume darah menurun sehingga pekerjaan jantung menjadi ringan. Pemakai
obat jenis
ini mengalami banyak buang air (kencing). Golongan obat ini merupakan pilihan

pertama untuk pengobatan hipertensi.


Ada tiga jenis diuretik, yaitu thiazide diuretik, loop diuretik, dan potassiumsparing
diuretik.
a. Thiazide diuretik: Chlorotiazide (Diazil), Chlorothalidone, Hydrachlorotiazide,
Polythiazide (Reneze), Indapamide (Lozol), Metolazone (Mykrox).
b. Loop diuretik: Bumetanide (Bumex), Furosemide (Lasix), dan Torsemide
(Demadex).
c. Potassium-sparing diuretik: Amiloride (Midamor) dan Triamterene (Dyrenium).
Golongan diuretik mulai diperkenalkan pada tahun 1950-an. Obat ini masih
digunakan
untuk pengobatan hipertensi, khususnya bagi penderita lanjut usia. Selain
terbukti dapat
menurunkan tekanan darah, obat antihipertensi golongan diuretik juga
mempunyai
beberapa efek samping. Pada awalnya para dokter memberi dosis tinggi kepada
penderita hipertensi, tetapi mengingat efek sampingnya yang cukup besar,
sekarang diresepkan dengan dosis rendah. Pengobatan hipertensi dengan
diuretik dengan dosis
rendah memberi hasil yang cukup memuaskan.
Penggunaan diuretik dalam dosis tinggi tidak menunjukkan hasil yang signifikan,
tetapi
justru memicu encok dan diabetes. Selain itu, dapat menurunkan kadar
potassium dalam
darah dan meningkatkan kadar kolesterol atau lemak. Efek samping yang lain
dari
penggunaan diuretik yaitu berupa disfungsi (gangguan fungsi) seksual pria dan
payah
jantung. (Widharto, 2007)

2. Golongan Beta-Blocker
Golongan Beta-blocker bekerja dengan cara memperlambat kerja jantung
melalui
pengurangan kontraksi otot-otot jantung dan menurunkan tekanan darah.
Secara kimiawi
komponen obat golongan Beta-blocker menghambat kerja noradrenalin dan
adrenalin.
Kerjasama kedua senyawa kimia ini berguna mempersiapkan tubuh saat
menghadapi
bahaya sehingga tubuh siap lari atau lawan. Penghambatan terhadap kerja
noradrenalin
dan adrenalin mengakibatkan menurunnya kontraksi otot, memperlambat kerja
jantung,
dan menurunkan tekanan darah.
Beberapa contoh obat antihipertensi golongan Beta-blocker sebagai berikut.

a. Atenolol (Tenormin)
b. Betazolol (Kerlone)
c. Bisoprorol
d. Acebutolol
e. Pindolol
f. Propanolol.
Beta-blocker mulai diperkenalkan sejak tahun 1960-an. Pada dasarnya obat ini
sangat
disukai untuk pengobatan hipertensi karena hampir tidak menimbulkan efek
samping
(dalam jangka pendek). Akan tetapi, penggunaan dalam jangka panjang
mengakibatkan
menurunkan kemampuan berolahraga. Menurunnya kemampuan ini berkaitan
melemahnya kerja jantung sehingga jantung menjadi lamban. Akibatnya tubuh
tidak
mampu menyediakan energi dengan segera pada saat berolahraga. Ingat, suplai
energi
berkaitan dengan suplai oksigen dan darah dalam sel-sel tubuh. Selain itu, obat
ini juga dapat mengakibatkan tangan dan kaki dingin karena kurangnya aliran
darah ke daerah
tersebut dan menyebabkan gangguan tidur (insomnia). (Widharto, 2007)
Telah dijelaskan di depan bahwa senyawa dalam obat ini mampu menghambat
kerja noradrenalin dan adrenalin. Namun demikian ternyata obat ini dapat
mempersempit
saluran udara dalam paru-paru. Oleh karena itu, obat ini tidak dianjurkan untuk
penderita
asma karena dapat memperparah penyakitnya. Obat itu juga tidak boleh
diberikan pada
penderita payah jantung karena bersifat mengurangi kontraksi jantung. Seperti
diketahui
bahwa pada penderita payah jantung, jantungnya tidak mampu memompa
darah ke
seluruh tubuh. Dengan berkurangnya kontraksi jantung akibat penggunaan obat
Betablocker,
justru memperparah kondisi penderita. (Widharto, 2007)
3. Penghambat Saluran Kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB)
Penghambat saluran kalsium bekerja dengan menghambat kerja kalsium dalam
otot halus pada dinding arteriol. Kalsium dapat menyebabkan penyempitan otot
halus
arteriol sehingga tekanan darah meningkat (terjadi hipertensi). Dengan
terhambatnya
kalsium mengakibatkan membukanya pembuluh darah dan menurunkan
tekanan darah.
Ada dua jenis penghambat saluran kalsium, yaitu penghambat saluran kalsium
tanpa
dihidropiridin dan dengan dihidropiridin.
a. Penghambat saluran kalsium tanpa dihidropiridin antara lain: Diatizem dan

Verapamil.
b. Penghambat saluran kalsium dengan dihidropiridin antara lain: Amlodipine,
Felodipine, Isradipine, Nicardipine, Nifedipine, dan Nisoldipine.
Penggunaan obat ini berakibat melebarnya (membukanya) semua pembuluh
arteriol,
termasuk arteriol di otak. Pelebaran arteriol mengakibatkan sakit kepala, kulit
wajah
memerah, dan pergelangan kaki membesar. Namun, saat ini efek samping itu
dapat
dikurangi. Efek lain penggunaan obat golongan penghambat saluran kalsium
yaitu dapat mencegah serangan jantung dan stroke. (Widharto, 2007)
4. Penghambat ACE
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim angiotensin II
(Angiotensin-converting system = ACE). Angiotensi merupakan suatu hormone
yang
berperan dalam menyempitkan pembuluh darah. Dengan memberian obat ini,
angiotensi
II tidak bekerja secara aktif sehingga pembuluh darah dapat melebar dan
menurunkan tekanan darah.
Beberapa obat antihipertensi golongan penghambat ACE sebagai berikut
a. Benazepril
b. Captopril
c. Enalapril
d. Fasinopril
e. Lisinopril
f. Meoxipril
g. Perindopril
h. Quinapril
i. Ramipril
j. Trandolapril
Penghambat ACE ternyata sangat disukai karena efektif menurunkan hipertensi,
tetapi
juga melindungi kerusakan ginjal bagi penderita hipertensi dan diabetes. Obat
ini juga
dapat memperlambat terjadinya kerusakan retina yang dapat mengakibatkan
kebutaan
pada penderita diabetes.
Sebenarnya penghambat ACE mempunyai angka keamanan cukup tinggi, asal
pemakaiannya diawasi. Pemakaian penghambat ACE dalam dosis tinggi dapat
mengakibatkan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba yang justru dapat
mengakibatkan kematian, terutama pada penderita yang telah menggunakan
obat golongan diuretik.
Keunggulan lain dari penghambat ACE yaitu tidak menyebabkan penurunan
mental.
Mengingat obat ini tidak sampai masuk ke otak, berbeda dengan Beta-blocker.
(Widharto, 2007)
5. Alpha-Blocker
Golongan Alpha-blocker bekerja dengan cara menghambat kerja adrenalin pada

otot-otot dinding pembuluh darah. Adrenalin menyebabkan pembuluh darah


menyempit
sehingga tekanan darah meningkat. Dengan penghambatan adrenalin
menyebabkan
pembuluh darah melebar sehingga tekanan darah menurun. Biasanya
pemberian Alphablocker
menimbulkan mulut kering dan rasa pusing. Obat golongan ini antara lain:
Dexazosin, Prazosin, dan Terazosin. (Widharto, 2007)
6. Obat yang Bekerja Terpusat
Jenis obat ini bekerja dengan mempengaruhi pusat saraf di otak yang
mengendalikan tekanan darah. Obat jenis ini cenderung menimbulkan efek
kelelahan,
kelesuan, dan depresi jika dipakai dalam dosis tinggi. Oleh karena itu, obat jenis
ini jarang diresepkan kepada pasien. Obat ini baru diresepkan jika obat
antihipertensi
lainnya tidak efektif. Beberapa obat antihipertensi yang bekerja terpusat antara
lain :
Clonidine, Reserpine, Methyldopa, dan Guanfacine. (Widharto, 2007)
7. Antagonis Reseptor Angiotensin
Cara kerja obat ini mirip dengan ACE-inhibitor. Jika ACE-inhibitor menghambat
aktivitas angiotensi II, tetapi obat jenis ini bekerja dengan cara menghambat
reseptor
angiotensin II. Itulah sebabnya obat ini lebih memberikan efek yang lebih efektif
dalam
penurunan tekanan darah. Jika ACE inhibitor menimbulkan efek samping berupa
batuk
yang sangat mengganggu, pemberian obat jenis ini tidak menimbulkan batuk.
Golongan Antagonis reseptor angiotensin meliputi beberapa jenis obat berikut.
a. Candersatan
b. Eprosartan
c. Irbesartan
d. Valsartan
e. Losartan
f. Olmesartan
g. Telmisartan
Golongan obat ini baru diperkenalkan pada tahun 1995, tetapi segera menjadi
populer
karena tidak menimbulkan efek samping yang berarti. Di antara obat golongan
antagonis reseptor angiotensin, Candersatan paling banyak digunakan untuk
antagonis reseptor angiotensin, Candersatan paling banyak digunakan untuk
pengobatan hipertensi. Berdasarkan penelitian Candersatan merupakan obat
antihipertensi masa kini yang paling efektif dan aman dalam mengobati
hipertensi.
Menurut Prof. Dr. dr. Endang Susalit, Candersatan memiliki beberapa keunggulan
berikut.
a. Dapat menurunkan tekanan darah (sistolik dan diastolic) dengan lebih stabil.

b. Mempunyai kardioprotektif (perlindungan terhadap jantung) yang lebih baik.


c. Dapat menghambat glomerulosklerosis, ekskresi albumin, dan stroke.
(Widharto, 2007)

You might also like