Professional Documents
Culture Documents
NIM
: 030.10.083
Dokter Pembimbing
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap
: Tn. S
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 44 tahun
Suku bangsa
: Jawa
Status perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
Pendidikan
: SD
Alamat
Tanggal masuk RS
A. ANAMNESIS
Diambil secara autoanamnesis dan alloanamnesis, tanggal 14 Januari 2015 pkl 07.00 WIB di
bangsal Lavender RSUD Kardinah Tegal
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
sampai menggigil. Kejang disangkal oleh pasien. Pasien mengaku nyeri dan lemas pada
kedua tungkainya sehingga tidak dapat digerakkan. Hal tersebut dirasakan pasien sejak 1
bulan SMRS, dan membuat pasien tidak bisa berjalan. Sebelumnya pasien mencoba bejalan
dengan kaki yang sieret sehingga menyebabkan luka pada punggung kaki pasien. Dikatakan
juga oleh pasien bahwa timbul benjolan yang keras seperti tulang pada punggung bawah
pasien sebesar uang koin sejak 1 bulan SMRS. Pasien mengaku nafsu makannya berkurang
sejak 1 minggu SMRS dan mengalami penurunan berat badan sehingga menjadi lebih kurus
dari sebelumnya. Sakit perut maupun keluhan BAB dan BAK disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
-
Riwayat Kebiasaan
-
ANAMNESIS SISTEM
Sistem Serebrospinal:
Demam (+)
Kejang (-)
Sakit kepala (+)
Paraplegia (+)
Sistem Kardiovaskuler:
Sistem Pernapasan:
Batuk (-)
Pilek (-)
Sesak napas (-)
Nyeri dada (+)
Sistem Gastrointestinal:
Mual (+)
Diare (-)
Nyeri perut (-)
Sulit BAB (-)
Sulit menelan (-)
Sistem Urogenital:
Sistem Integumen:
Ruam-ruam (-)
Kemerahan (-)
Gatal (-)
Sistem muskuloskeletal:
B. PEMERIKSAAN JASMANI
Dilakukan tanggal 14 Januari 2015
Pemeriksaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Keadaan umum
Status Gizi
: Cukup
Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 72x /menit
Pernapasan
: 20x /menit
Suhu
: 37,1C
Sikap pasien
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku
: Tenang
Alam Perasaan
: Biasa
Proses Pikir
: Wajar
Kulit
Warna
: Sawo matang
Suhu Raba
: Hangat
Turgor
: Baik
Kepala
: normocephali
Simetri muka
: Asimetris
Rambut
Mata
Sklera
: ikterik ( - )
Konjungtiva
: anemis ( - )
RCL/RCTL
: +/+
Gerakan Mata
: dbn
Lapangan penglihatan
: dbn
Nistagmus
: tidak ada
Telinga
Normotia
Serumen
: -/-
Cairan
: -/-
Mulut
Tonsil
: T1 T1 tenang
Langit-langit
Bau pernapasan
: tidak ada
Gigi geligi
: baik
Trismus
: tidak ada
Faring
: tidak hiperemis
Selaput lendir
: tidak ada
Lidah
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP)
: 5 + 2 cm H2O.
Kelenjar Tiroid
Kelenjar Limfe
Dada
Bentuk
: datar, simetris
Pembuluh darah
: tidak tampak
Deformitas
:-
Paru Paru
Pemeriksaan
Inspeksi
Kanan
Kiri
Palpasi
Kanan
Perkusi
Auskultasi
Depan
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
- Tidak ada benjolan
Belakang
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
- Tidak ada benjolan
Kiri
- Vocal Fremitus +
- Tidak ada benjolan
- Vocal Fremitus +
- Tidak ada benjolan
Kanan
Kiri
Kanan
- Vocal Fremitus +
Sonor di seluruh lapang paru
Sonor di seluruh lapang paru
- Suara nafas vesikuler
- Vocal Fremitus +
Sonor di seluruh lapang paru
Sonor di seluruh lapang paru
- Suara nafas vesikuler
Kiri
-Wheezing ( - ), Ronki ( - )
- Suara nafas vesikuler
-Wheezing ( - ), Ronki ( - )
- Suara nafas vesikuler
5
-Wheezing ( - ), Ronki ( - )
-Wheezing ( - ), Ronki ( - )
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
:
Batas kanan
Batas kiri
Batas atas
Auskultasi: Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop (-), Murmur (-).
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
: Tidak teraba
Limpa
: Tidak teraba
Ginjal
Perkusi
Auskultasi
: Bising usus ( + )
Anggota Gerak
Lengan
Kanan
Kiri
Otot
Tonus
normotonus
normotonus
Trofi
eutrofi
eutrofi
Sendi
normal
normal
Gerakan
aktif
aktif
Kekuatan
+5
+5
Oedem :
tidak ada
tidak ada
Lain-lain
Kanan
Kiri
Ulkus
ada
tidak ada
Varises
tidak ada
tidak ada
6
Otot
Tonus
atoni
atoni
Trofi
atrofi
atrofi
Sendi
normal
normal
Gerakan
pasif
pasif
Kekuatan
Oedem :
tidak ada
tidak ada
Nyeri tekan
CRT
<2
<2
Lain-lain
STATUS NEUROLOGI
Kesadaran kuantitatif
Orientasi
: Baik
Refleks Fisiologis
Pemeriksaan
Sup dan Inf
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Refleks Patologis
Tanda
Kaku kuduk
:-
Kiri
+
+
+
+
+
+
+
+
Pemeriksaan
Sup dan Inf
Hoffman Trommer
Babinski
Chaddock
Gordon
Schaeffer
Klonus patella
Klonus achilles
Meningeal
Kanan
Kanan
Kiri
-
Rangsang
Brudzinski I
: -/-
Brudzinski II : -/Kernig
: +/+
Laseq
: +/+
: (-)
Muntah proyektil
: (-)
Sakit kepala
: (+)
Edema papil
Saraf Kranial
Nervus I Olfaktorius
: Normosmia
Nervus II Optikus
Ketajaman penglihatan
Menilai warna
Funduskopi
Papil
Retina
Medan penglihatan
Kanan
baik
baik
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
baik
Kiri
Baik
Baik
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Baik
Kanan
+
+
+
Kiri
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
-
Nervus IV Troklearis
Gerakan mata ke lateral bawah
Strabismus konvergen
Diplopia
Kanan
+
-
Kiri
+
-
Nervus V Trigeminus
Bagian Motorik
Menggigit
Membuka mulut
Bagian Sensorik
Ophtalmik
Maxilla
Mandibula
Reflek Kornea
Kanan
Kiri
+
+
+
+
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
Nervus VI Abdusen
Gerakan mata ke lateral
Strabismus konvergen
Diplopia
Kanan
+
-
Kiri
+
-
Fungsi Motorik
Mengerutkan dahi
Mengangkat alis
Memejamkan mata
Menyeringai
Mengembungkan pipi
Mencucurkan bibir
Reflek Glabella
Chovstek
Fungsi Pengecapan
2/3 depan lidah
Kanan
Kiri
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
-
baik
Baik
NervusVIII Vestibulokoklearis
Mendengar suara berbisik
Tes Rinne
Tes Weber
Tes Swabach
Nistagmus
Past Pointing
Kanan
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-
Kiri
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-
Kiri
Simetris
Ditengah
Tidak dilakukan
Baik
10
Simetris
-
Ekstremitas Superior
Kekuatan Motorik
Kanan
Kiri
Tonus otot
: normotonus
normotonus
Trofi
: eutrofi
eutrofi
Gerakan
: aktif
aktif
Ekstremitas Inferior
Kekuatan Motorik
:
Kanan
Kiri
Tonus otot
: atoni
atoni
Trofi
: atrofi
atrofi
Gerakan
: pasif
pasif
Gerakan involunter :
Tremor
Chorea
Ballismus
Athetose
Sistem Sensorik
Rasa Tajam
Kanan
Eusthesia
Eusthesia
Kiri
Eusthesia
Eusthesia
Rasa Halus
Eusthesia
Eusthesia
Kanan
Eusthesia
Eusthesia
Kiri
Eusthesia
Eusthesia
11
: tidak dilakukan
Disdiadokinesa
: baik
Jari-jari
: baik
Jari-hidung
: baik
Tumit lutut
: tidak dilakukan
Rebound Phenomenon
:-
Tremor
:-
Khorea
:-
Fungsi Vegetatif
Miksi
:+
Inkontinensia urine
:-
Defekasi
:+
Inkontinensia alvi
:-
Fungsi Luhur
Astereognosia
:-
Apraksia
:-
Afasia
:-
Keadaan Psikis
Intelegensia
: baik
Demensia
: (-)
Tanda regresi
: (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
02 Januari 2015 pkl 18.04 WIB
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hasil
Nilai rujukan
Hemoglobin
10.7 g/dl
13.7 17,7
Hematokrit
31.9 %
42 - 52
Leukosit
29.800 /UI
4.4 - 11.3
Trombosit
568.000 /UI
Eritrosit
3.8 juta/UI
4.7 6.1
12
HITUNG JENIS
Basofil
0.1 %
0-1
Eosinofil
0%
2-4
Netrofil
79 %
50 - 70
Limfosit
11.1 %
25 - 40
Monosit
9.7 %
2-8
LED 1 jam
6 mm/jam
0 - 15
LED 2 jam
12 mm/jam
0 - 25
SGOT
40.4 U/I
15 - 40
SGPT
33.9 U/I
10 - 40
Ureum
42 mg/dL
12.8 42.8
Cretinin
0.67 mg/dL
0.9 1.3
GDS
85 mg/dL
70 160
Negatif
Negatif
FUNGSI HATI
KIMIA KLINIK
IMUNOSEROLOGI
HbsAg
02 Januari 2015 pkl 18.04 WIB
KIMIA KLINIK
Natrium
126,7 m mol/L
Kalium
3.32 mmol/L
Klorida
93,8 mmol/L
Asam urat
4.2 mg/dL
RADIOLOGI
13
Tanggal
PEMERIKSAAN
RADIOLOGI:
Rontgen Thorax PA
Apex tenang
Corakan bronchovasculer
normal
Cor CTR > 0,5
KESAN: Cardiomegali
Tanggal 05/01/2015
PEMERIKSAAN
RADIOLOGI:
Rontgen vertebra lumbosacral
Kelengkungan normal
Corpus dan pedicle intak
Lesi litik/sclerotic (-)
DIV/FIV tak menyempit
KESAN:
Vertebra lumbosacral tak
tampak kelainan
14
Tanggal 06/01/2015
PEMERIKSAAN RADIOLOGI:
Rontgen vertebra thoracal
Kelengkungan normal
Tampak pemipihan corpus Th 8, reaksi
sklerotik (-)
Soft tissue swelling perithoracalis samar
DIV/ FIV tak menyempit
KESAN:
Axial compresi Th 8 Susp. Spondilitis TB
Tanggal
PEMERIKSAAN RADIOLOGI:
CT-Scan vertebra Thoracal
Tampak pemipihan corpus Th 8
Distruksi corpus sinistra
DIV tak menyempit
KESAN:
Sangat mungkin Spondilitis compresi
Th 8
15
RESUME
Dari anamnesis didapatkan
Seorang pasien laki laki 44 tahun datang ke poliklinik penyakit saraf RSUD Kardinah (02
Januari 2015 pukul 11.00 WIB) dengan keluhan nyeri pada dada dan pungung bawah sejak 1
bulan SMRS. Nyeri dirasakan terus-terusan dan semakin lama semakin memberat. Pasien
juga mengelukan sakit kepala berputar sejak 4 bulan SMRS. Sakit kepala berputar itu
dirasakan hilang timbul, jika timbul pasien akan mengkonsumsi obat warung untuk
menghilangkan sakitnya. Pasien juga mengaku sering mual saat serangan sakit kepala
berputar, tetapi tidak sampai muntah. Demam sejak 1 minggu SMRS, dirasakan naik turun,
naik jika malam hari. Pasien mengaku nyeri dan lemas pada kedua tungkainya sehingga tidak
dapat digerakkan. Hal tersebut dirasakan pasien sejak 1 bulan SMRS, dan membuat pasien
tidak bisa berjalan. Sebelumnya pasien mencoba bejalan dengan kaki yang seret sehingga
menyebabkan luka pada punggung kaki pasien. Dikatakan juga oleh pasien bahwa timbul
benjolan yang keras seperti tulang pada punggung bawah pasien sebesar uang koin sejak 1
bulan SMRS. Pasien mengaku nafsu makannya berkurang sejak 1 minggu SMRS dan
mengalami penurunan berat badan sehingga menjadi lebih kurus dari sebelumnya.
Dari pemerikasaan fisik didapatkan
Terdapat ulkus pada punggung kaki kanan
Dari hasil pemeriksaan neurologis di dapatkan :
16
GCS
: E4 V5 M6 = 15
Pupil
: bulat, isokor
Meningeal sign
: Laseq (+)
Kernig (+)
Nervus kranialis
Motorik
Refleks
: Fisiologis : normal
5
0
5
0
Patologis : (-)
-
Sensorik
: Normal
Otonom
: Normal
: 10,7 g/dl
Hematokrit
: 31.9 %
Leukosit
: 29.800/UI
Trombosit
: 568.000/UI
Limfosit
: 23.8 %
Monosit
: 9,7%
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis
: Paraplegia , LBP
Diagnosis topis
: Vertebra thoracal 8
Diagnosis etiologis
Diagnosis patologi
TATALAKSANA :
1. Medikamentosa :
a. IVFD Ringer Laktat 20 tpm
b. Oksigen 2-3 liter/mnt
c. Inj. Metilprednisolon 3x1 IV
17
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa
yang mengenai tulang vertebra.
B. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang
paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine
tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita
HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola
resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acidfastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.
18
di paru-paru. Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi
pada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini
kemudian meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya
infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia
60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan
resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan
tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
Thorakal
Tracea, Esopagus
cavum pleura
Lumbal
mengikuti M. Psoas
krista iliaka
20
paraplegia
cold abses
21
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus
primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal
atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah
bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus
Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang
terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali
dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga
atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang
dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan
di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan
sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps
vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas
spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma.
Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian
anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya
pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum
longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan
lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan
tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi
22
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area
infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis
korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebrae
yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara
langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel
yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra
yang jauh melalui abses paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah
pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi
avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus
intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam
ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena
nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas
fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya
endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga
kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf
posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya
(angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang
terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit
ini sudah meluas. Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang
normal; di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana
sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial
kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu
disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular. Dengan
adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk
menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest.
23
2. Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen
bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang. Penyebab timbulnya paraplegia
pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :
a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya
abses, material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau
dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat
gerak bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme
otot involunter dan reflek withdrawal.
b. Invasi duramater oleh tuberkulosa
Tampak
gambaran
meningomielitis
tuberkulosa
atau
araknoiditis
1.
2.
3.
4.
5.
26
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh.
Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
iii.Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas
penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan
miksi. TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,
paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau
kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan
pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra
3) Stadium deformitas residua
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau
gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di depan (Savant,
2007).
G. MENEGAKKAN DIAGNOSIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. Durasi
gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga
tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
1. Anamnesa
a. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain
di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada
27
pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya
berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
b. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus,
tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
c. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri
yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak
sebagai nyeri di daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan.
Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan
intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa
nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang
dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan
punggungnya menjadi kaku.
d. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang.
Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
e. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat
menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi
dan
duduk
dalam
posisi
dagu
disangga
oleh
satu
tangannya,
28
belakang
maka
dapat
menekan
korda
spinalis
dan
menyebabkan paralisis.
g. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan
lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus
dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di
belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip
dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan
meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan
menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
h. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit
neurologis).
Terjadi
pada
kurang
lebih
10-47%
kasus.
Insidensi
tampak
spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang
hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan
otorik yang
dan
anorektal.
i. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan
nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari
pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut
disebabkan karena tuberkulosa.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi
tulang
belakang),
skoliosis,
bayonet
deformity,
subluksasi,
29
spinosusvertebrae
yang
terkena,
sering
tampak
tenderness.
Pemeriksaan
3. Penunjang :
1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
b.
100mm/jam.
Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan
positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter 10mm di
sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak
pada 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien
yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau
Tes
darah
untuk
titer
anti-staphylococcal
dan
anti-streptolysin
(pada
kasus
dengan
Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
subligamentous.
Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau
prosesus spinosus.
Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya
karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).
3. Computed Tomography (CT Scan)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel
tampak lebih baik dengan CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
- Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang.
-
Bermanfaat untuk :
Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau
operatif.
Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.
31
H. KOMPLIKASI
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus
intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :
menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan
2.
paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.
I. DIAGNOSIS BANDING
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya
sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi
piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih
menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan
laboratorium.
3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma) Metastase dapat menyebabkan destruksi dan
kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang
32
dapat
secara
signifikan
mengurangi
morbiditas
dan
mortalitas.Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang
menjalani terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang
menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk
kondisi negara yang belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini
merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri
tidak harus menunda pemberian terapi. Adanya pola resistensi obat yang
bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang ketat selama pemberian
terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa memakan
waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar
sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih
penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya
respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu bentuk
penegakkan diagnostik.
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi
- Resistensi primer : Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat
pada pasien yang sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer
terjadi selalu terhadap satu obat baik itu SM ataupun INH. Jarang terjadi
resistensi terhadap RMP atau EMB(Glassroth et al. 1980). Regimen dengan
dua obat yang biasa diberikan tidak dapat dijalankan pada kasus ini.
33
34
endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis
tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal
dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah
lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body
jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul.
Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Potts paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi
di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama
tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami
paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit
fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari
60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan
oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan
dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus
menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan halhal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.
Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat
antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak
memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan
35
37
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap
menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada negaranegara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS
aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk
anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk
memproteksi anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius,
maka BCG hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang
dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih penting
adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil tahan asam (BTA)
positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari
infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti
dan diterapi.
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari
selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosa.
L. PROGNOSIS
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan
kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang
diberikan.
3. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan
patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
4. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen
medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
5. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan
pernafasan
dan
jantung
karena
keterbatasan
fungsi
paru.
Rajasekaran
dan
dengan keterangan :
Y = sudut akhir dari deformitas
X = jumlah hilangnya corpus vertebrae
a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.
Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90% pada
pasien yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka operasi sedini
mungkin harus dipertimbangkan.
6. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan
tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan
dilakukannya operasi dini.
7. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In : Fundamentals of
Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151
2. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A.,
editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London :
Springer-Verlag, 2007: 378-87.
3. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed.
Philadelphia : W.B. Saunders, 2000 : 1449-54
4. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology
and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone,2001 : 388.
5. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer RD.,
editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-Year Book,
Inc., 2003 : 387-90.
6. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics. 2nd ed.
Philadelphia : W.B. Saunders,2006 : 270-91
7. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed. Rothman
Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 2002 : 1353-64
8. Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical Disorders of The
Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic Medicine.Philadelphia : W.B. Saunders,
2005 : 615-32.
9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In : http:/www.bonetumour
org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics and traumatoloty.
10. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical
Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 2009 : 62-6.
11. Wood.G.W. Infections of Spine. In : Campbells Operative Orthopaedics. 7th ed.
Crenshaw A.H editor. St. Louis : C.V. Mosby Company, 1997 : 3323-45.
12. Terry R. Y, Lindsay R. Infection : Non Suppurative Osteomyelitis (tuberkulosis). In :
Essential of Skeletal Radiology. 2nd ed. Baltiomore : Williams and Wilkins, 2006 : 1227.
13. Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries of The
Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 2009 : 228-31
14. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In : Musculoskeletal
Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York : Thieme, 2001 : 150, 334-36.
40