You are on page 1of 25

Bab I Pendahuluan

I.1

Latar Belakang Permasalahan

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UndangUndang

Dasar

1945

memberikan

keleluasaan

kepada

daerah

untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pemerintah menimbang perlu memberlakukan


Otonomi Daerah untuk menghadapi tantangan, baik tantangan dari dalam maupun
dari luar negeri. Tantangan dari dalam negeri adalah akibat ketimpangan
pemerataan hasil pembangunan antara pusat dan daerah di masa pemerintahan orde
baru, hingga timbul tuntutan agar daerah diberikan peranan yang lebih besar dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan tantangan dari luar negeri adalah era
globalisasi yang menyebabkan lahirnya kerjasama regional, seperti: AFTA, APEC,
IMT-GT, KAPET dan sebagainya.

Untuk itu Pemerintah Republik Indonesia telah memberlakukan otonomi daerah


dengan belakunya Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (diganti dengan UU RI No. 32 tahun 2004), yang
diikuti dengan UU RI No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah (diganti dengan UU RI No. 33 tahun 2004). Untuk Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berlaku otonomi khusus berdasarkan UU RI
No. 11 tahun 2006, dengan nama Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Otonomi
khusus pada prinsipnya sama dengan otonomi daerah, namun dalam berbagai hal
terjadi perbedaan terutama dalam istilah dan struktur pemerintahan. Perbedaan lain
yang paling menonjol adalah tentang porsi perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, untuk otonomi khusus jauh lebih besar dibandingkan
dengan otonomi daerah. Melihat esensi dari pemberlakuan kedua UU RI tersebut
prinsipnya adalah sama, maka dalam penjelasan berikutnya jika disebut otonomi
daerah, maka termasuk di dalamnya juga adalah otonomi khusus.

Berlakunya otonomi daerah tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan


mendasar pada paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia, khususnya dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Sistem kendali kebijakan dan operasional pemerintahan yang sebelumnya
berlangsung secara sentralisasi (terpusat), di era otonomi daerah sebagiannya
dilimpahkan ke pemerintah daerah. Hal demikian yang disebut dengan sistem
desentralisasi. Desentralisasi artinya adalah bahwa pemerintah daerah diberikan
peran yang lebih luas dan dengan pengelolaan dana yang lebih besar dalam
menentukan kebijakan-kebijakan di daerahnya. Sejalan dengan perubahan
sentralisasi menjadi desentralisasi menyebabkan perlunya pergeseran sifat dalam
beberapa paradigma tersebut, seperti:
bersifat inspiratif bergeser ke arah aspiratif;
bersifat mobilisasi bergeser ke arah partisipasi;
bersifat sektoral bergeser ke arah kewilayahan/terpadu.
bersifat top down bergeser ke arah bottom up;

Dalam kerangka otonomi daerah dengan paradigma barunya, pemerintah di semua


level pemerintahan dalam operasionalnya harus menjalankan pemerintahan yang
baik (good governance). Pemerintahan yang baik dalam implementasinya
diterjemahkan sebagai pemerintahan yang berjalan dan memiliki: akuntabilitas,
transparansi dan partisipatif. Otonomi daerah juga menyebabkan tuntutan daerah
terhadap pemekaran wilayah menjadi lebih kuat, baik pemekaran wilayah provinsi,
maupun kabupaten/kota. Pemekaran wilayah ini akan berakibat pada perubahan
tata ruang wilayah yang juga berdampak pada penyesuaian sistem transportasi,
karena antara tata ruang dan transportasi terdapat efek timbal balik (feedback).
Pemekaran wilayah dan perjalanan waktu umumnya juga menyebabkan perubahan
orientasi terhadap lokasi produksi dan pemasaran. Dengan demikian akan terjadi
perubahan dalam hal jumlah dan orientasi bangkitan/tarikan pergerakan. Untuk itu
diperlukan suatu mekanisme perencanaan yang bersifat antisipatif yang mampu
memfasilitasi prinsip pemerintahan yang baik dan dinamis yang dapat
mengakomodasi perubahan tata ruang dan orientasi bangkitan/tarikan pergerakan.

Investasi dalam pengembangan infrastruktur transportasi memerlukan biaya yang


sangat besar. Pernyataan tersebut juga berlaku untuk pengembangan sistem

jaringan jalan. Untuk pengembangan sistem jaringan jalan secara umum diperlukan
beberapa istilah penanganan jalan seperti: perawatan rutin, perawatan berkala,
peningkatan struktur, peningkatan kapasitas, dan pembangunan baru. Penanganan
tersebut belum termasuk secara khusus untuk program penanganan jembatan.
Kenyataan yang terjadi dewasa ini adalah bahwa biaya yang mampu disediakan
oleh pemerintah untuk program penanganan jalan lebih kecil dari jumlah yang
diperlukan untuk menjaga sistem jaringan tersebut agar selalu berada dalam kondisi
mantap. Untuk alasan tersebut, maka dalam melaksanakan program penanganan
haruslah tepat sasaran untuk menjamin tercapainya efisiensi, untuk itu diperlukan
keluaran perencanaan program penanganan dalam bentuk skala prioritas.

Transportasi dikenal juga memiliki ciri khas, termasuk di dalamnya sistem jaringan
jalan, hal tersebut berkaitan dengan sifat kemultiannya, seperti:
multi-sektoral, artinya adalah jaringan transportasi merupakan prasarana
dan sarana pelayanan dasar

(basic infrastructure) bagi pengembangan

ekonomi dan wilayah yang dengan sendirinya melibatkan banyak


sektor/instansi, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota;
multi-variat, artinya melibatkan banyak variabel atau kriteria dalam menilai
kinerja dari transportasi;
multi-moda, artinya melibatkan banyak jenis transportasi sebagai akibat dari
faktor geografis dan masing-masing moda mempunyai keunggulan dan
kelemahannya masing-masing;
multi-area,

artinya melibatkan cakupan wilayah yang luas dan tidak

dibatasi oleh wilayah administrasi;


multi aktor, artinya melibatkan banyak pihak terkait baik sebagai pengambil
keputusan maupun sebagai pihak terkait (stakeholders);
multi-year, memerlukan evaluasi dan perencanaan yang kontinyu berkaitan
dengan perubahan kinerja sejalan dengan perubahan waktu.

Dari uraian sifat kemultian jaringan transportasi (termasuk sistem jaringan jalan)
yang disampaikan, masalah koordinasi antar wilayah, antar institusi pengelola, dan
antar sistem moda harus dengan baik diterjemahkan dalam rencana program

pengembangan jaringan. Sampai saat ini pola perencanaan yang melibatkan banyak
pihak sebagai suatu master-plan sebagai public-commitment masih belum lazim,
mengingat dalam masa sebelumnya hampir semua keputusan ditangani pengambil
keputusan. Dalam hal ini pengembangan metoda perencanaan yang partisipatif,
konsensual, dan penanganan dalam skala prioritas akan merupakan bagian
terpenting dari suatu proses perencanaan program penanganan sistem jaringan jalan.

Sesuai dengan konsep Sistranas yang terpadu secara nasional, perencanaan di level
daerah harus tetap mengacu kepada pola tata ruang dan tataran transportasi secara
nasional agar fungsinya sebagai jaringan dapat optimal. Hal ini menunjukkan tetap
perlu diaplikasikan pendekatan perencanaan yang bersifat top down, di mana
konsep pengembangan secara makro di level pusat harus tetap dijadikan acuan
sedemikian sehingga sifat seamless dari sistem jaringan secara nasional tetap
terjaga. Dengan demikian perencanaan sistem jaringan transportasi di tingkat
daerah sebaiknya dilakukan sebagai gabungan antara pendekatan bottom up dengan
top down. Dalam pengertian lain kedua pendekatan tersebut sering diasosiasikan
terhadap sumber identifikasi masalah itu berasal. Bottom up dimaksudkan untuk
mendapatkan masukan permasalahan yang teridentifikasi langsung dari analisis
kualitatif tingkat bawah (operasional) maupun masyarakat dan pemerintah di level
yang lebih kecil, sedangkan top down berupa hasil identifikasi masalah yang
diperoleh dari pengamatan manajemen tingkat atas dari pengambil keputusan.
Secara top down masalah dapat diidentifikasi dari kesenjangan antara kondisi yang
menjadi harapan/tujuan (idealisasi Sistranas) dengan kondisi yang terjadi sekarang
di lapangan. Namun dalam mencapai tujuan bersama diperlukan suatu proses
bottom up yang melibatkan banyak pihak dan banyak kriteria, seperti pada proses
Gambar I.1.

Untuk itu, di era otonomi daerah diperlukan suatu mekanisme perencanaan


program penanganan sistem jaringan jalan yang mendukung terlaksananya
pemerintahan yang baik, mengakomodasi sifat kemultian transportasi dan
menghasilkan suatu program penanganan dalam skala prioritas, hingga efisiensi
sumber daya dapat tercapai.

Perundangan,
RTRWN, TATRANAS

Idealisasi/Tujuan
(Objectives)
TOP DOWN

Masalah dan Isu

Kondisi saat ini

Kondisi yg diharapkan

BOTTOM UP

Pengembangan Alternatif
Pemecahan

Skenario, Modeling
+ Forecasting

Evaluasi Kinerja

Gambar I.1 Pendekatan Top Down dan Bottom Up dalam Proses Perencanaan
Jaringan Transportasi.
Sumber: Dimodifikasi dari Tamin (2002)

I.2

Pernyataan Masalah

Permasalahan yang berkaitan dengan perencanaan program penanganan sistem


jaringan jalan nasional dan provinsi dalam suatu wilayah provinsi di era otonomi
daerah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Di era otonomi daerah, perencanaan program penanganan sistem jaringan
jalan lingkup nasional dan provinsi harus dapat menjamin terselenggaranya
pemerintahan yang baik yang memiliki prinsip akuntabilitas, transparansi
dan partisipasi;
sejalan dengan penyelenggaraan transportasi yang bersifat kemultian seperti
yang telah dimunculkan pada Sub Bab I.1, maka dalam perencanaan
program penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi di era
otonomi daerah harus dapat mengakomodasi sifat-sifat tersebut;
dana yang diperlukan untuk program penanganan sistem jaringan jalan
nasional dan provinsi dewasa ini sangat terbatas hingga penanganan tidak
dapat ditangani sekaligus sesuai dengan kebutuhan untuk masing-masing
ruas jalan. Untuk itu diperlukan suatu produk/keluaran dari perencanaan
tersebut dalam bentuk skala prioritas.

I.3

Perumusan Masalah

Di era otonomi, setiap daerah diharapkan mampu mengembangkan dirinya sendiri


sesuai dengan karakteristik ruang yang ada. Kata kunci dalam pembangunan daerah
adalah kemampuan daerah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi sesuai dengan
potensi, kompetensi, dan seting ruang yang ada, sedemikian sehingga daerah
mampu berkembang dan bersaing di era persaingan global. Untuk itu diperlukan
adanya sistem infrastruktur yang memadai agar kegiatan ekonomi dapat berjalan
secara efisien dan memiliki daya saing tinggi. Salah satu komponen vital dalam
pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi adalah sistem jaringan
transportasi yang meliputi sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara.

Transportasi darat jalan raya merupakan salah satu moda transportasi dengan
pengguna terbanyak. Hal tersebut karena sifatnya yang langsung berkaitan dengan
kegiatan masyarakat. Transportasi darat jalan raya tersusun menjadi sistem jaringan
dari beberapa kelompok yang sesuai dengan hirarkinya. Pengelompokan dapat
berdasarkan status, fungsi dan kelas jalan. Jalan raya dibangun dan kualitas
pelayanannya akan terus berkurang seiring dengan perjalanan waktu. Untuk
menjaga agar kualitas pelayanan jalan selalu dalam kondisi baik, dalam hal ini
kondisi jalan mantap, maka diperlukan berbagai upaya penanganan seperti:
perawatan rutin, perawatan berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas
dan pembangunan baru. Untuk masing-masing penanganan tersebut diperlukan
biaya yang cukup besar. Dengan dana penanganan yang terbatas, maka perlu
berhati-hati dalam menetapkan program penanganan. Untuk menyusun program
tersebut, maka perlu dirumuskan permasalahan hingga pengalokasian program
dapat tepat sasaran hingga tidak terjadi pemborosan.

Dalam tataran bahasa perencanaan, pengembangan jaringan transportasi tidak dapat


dilepaskan dari konteks Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang akan
membentuk pola kegiatan ekonomi wilayah. Dari RTRW akan tergambarkan
bagaimana Tataran Transportasi Wilayah (Tatrawil) yang multi-moda (darat, laut,
dan udara) harus dikembangkan untuk mengakomodasi dan mendorong kegiatan

ekonomi wilayah. Sistem jaringan jalan provinsi merupakan bagian dari Tatrawil.
Selanjutnya Tatrawil merupakan bagian dari RTRWP dan RTRWP merupakan
bagian dari RTRWN. Konteks perencanaan sistem jaringan jalan sesuai dengan
sistem perencanaan yang ada perlu ditegaskan untuk memperjelas hirarki
perencanaan dan ruang lingkup yang harus dipertimbangkan.

I.3.1

Outstanding Issues

Pengembangan suatu sistem akan sangat dipengaruhi oleh sejumlah outstanding


issues dalam lingkungan strategis yang melingkupinya. Pada dasarnya kebutuhan
untuk

mengembangkan

jaringan

jalan

di

wilayah

provinsi

harus

mempertimbangkan beberapa faktor, termasuk faktor yang sifatnya eksternal, agar


sasaran untuk pengembangan dapat tercapai dengan baik. Hasil identifikasi terdapat
beberapa hal yang menjadi pertimbangan yang dikelompokkan sebagai outstanding
issues seperti yang disampaikan pada penjelasan berikut.

a. Kebijakan Otonomi Daerah


Berlakunya otonomi daerah (UU No. 32 Tahun 2004) memandatkan
penyerahan sebagian kewenangan, termasuk sektor transportasi ke provinsi dan
kabupaten/kota. Euforia otonomi juga memunculkan sejumlah proposal
investasi prasarana transportasi dari daerah yang sangat ambisius. Sebagaimana
diketahui bahwa efisiensi jaringan transportasi pada suatu wilayah, salah satu
kata kuncinya adalah integrasi. Integrasi tidak hanya dibutuhkan dalam entitas
antar moda namun juga antar hirarki fungsi, kewenangan, antar wilayah, dlsb.
Ini mengisyaratkan perlunya koordinasi dalam perencanaan, investasi, dan
operasi jaringan yang memerlukan mekanisme yang baik. Untuk perencanaan
sistem jaringan di tingkat provinsi maka di sini perlunya pelibatan kabupaten/
kota dalam proses perencanaan jaringan.

b. Kebijakan Tatrawil
Tatrawil merupakan wujud dari transportasi multi moda yang terdiri dari sarana
dan prasarana yang saling berinteraksi dengan dukungan sistem perangkat

untuk membentuk suatu sistem pelayanan transportasi yang efektif dan efisien.
Jaringan pada tatrawil berfungsi untuk melayani pergerakan antar simpul dalam
wilayah provinsi atau dari simpul ke kota provinsi. Dengan melihat fungsi
tersebut maka peran jalan nasional dan provinsi menjadi sangat strategis
mengingat sistem jaringan jalan dalam wilayah provinsi merupakan bagian dari
tatrawil, maka prinsip keterpaduan dengan moda transportasi yang lain menjadi
fokus perhatian di sini.

c. RTRWN dan Sistranas


Secara konseptual Sistranas sudah mengelaborasi semua elemen penting dalam
perencanaan, mulai dari isu transportasi multi moda, globalisasi, otonomi,
privatisasi, energi dan lingkungan, dan juga mengacu pada konsep tata ruang
dalam RTRWN. Bahkan dalam konteks jaringan, sudah dimuat peta jaringan
masa depan yang telah memperhatikan kepentingan daerah. Prinsip
pengembangan jaringan transportasi darat (jalan, sungai, dan KA) dengan
prinsip gelang dan sirip berusaha untuk menghubungkan setiap wilayah di
dalam satu pulau. Pengembangan transportasi antar pulau terutama dengan
moda udara dan laut telah diskemakan dengan baik dimana jaringan primer
menjadi jaringan penghubung simpul-simpul primer (pengumpul) yang
kemudian didistribusikan ke jaringan sekunder dan tersier.

d. Kebijakan Transportasi dan Tata Ruang


Pengembangan sistem jaringan jalan tidak dapat dilepaskan dari konteks
RTRW yang akan membentuk pola kegiatan ekonomi wilayah. Pusat kegiatan
dengan skala internasional dan nasional harus diakomodasi oleh sistem jaringan
jalan nasional. Kegiatan wilayah (antar kabupaten/kota) harus dapat dilayani
dengan baik oleh jaringan jalan provinsi dan demikian seterusnya untuk tingkat
kabupaten, kota maupun kawasan. Pengembangan sistem jaringan jalan harus
sejalan dengan RTRW, dengan demikian prinsip model perencanaan dinamis
akan terakomodasi di sini.

e. Jaringan transportasi multi-moda


Dalam konstelasi ekonomi, sosial, budaya, politik dan hankam di wilayah
Indonesia, sektor transportasi memegang peran penting sebagai katalisator
pertumbuhan ekonomi (economic development agent), media pemerataan
pembangunan antar wilayah (reducing the regional disparity) dan pemersatu
antar wilayah (national-integrator). Kondisi obyektif geografi Indonesia
sebagai negara kepulauan, memperkuat kebutuhan akan konsep jaringan
transportasi multimoda, di mana hampir mustahil transportasi antar wilayah
dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu moda saja.

Dari semua yang disampaikan di atas, maka dalam rangka membentuk suatu sistim
jaringan jalan nasional dan provinsi yang terpadu dalam wilayah provinsi, maka
pemecahan permasalahan sistem jaringan jalan yang ada harus berada dalam
konteks yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian dalam mewujudkan suatu
sistem jaringan jalan nasional dan provinsi yang baik dalam wilayah provinsi harus
mempertimbangkan semua outstanding issues yang telah diuraikan dalam
penjelasan di atas dan disarikan pada Gambar I.2.
OTDA
Peran Kab./Kota
RTRWP
RTRW Kab./Kota

TATRAWIL

RTRWN &
TATRANAS

Masalah Sistem
Jaringan Jalan
Nasional dan
Provinsi

Jaringan
Multimoda

RENCANA JARINGAN JALAN


NASIONAL DAN PROVINSI
Gambar I.2 Konteks Penyusunan Rencana Sistem Jaringan Jalan dalam wilayah
Provinsi
Sumber: LPM ITB (2002)

I.3.2

Kerangka Pikir dalam Pemecahan Masalah

Era otonomi daerah adalah era desentralisasi, dimana pemerintah daerah


mempunyai kewenangan yang luas dalam menetapkan kebijakan pembangunan di
wilayahnya. Walaupun demikian pemerintah pusat telah menetapkan RTRWN dan
Sistranas untuk menjadi acuan bagi pemerintah provinsi. Dengan demikian jika
ditinjau secara keseluruhan akan menghasilkan suatu sistem yang terpadu yang
merupakan wujud dari Sistranas itu sendiri. RTRWN menjadi acuan bagi lahirnya
RTRWP di tingkat provinsi. Sejalan dengan lahirnya RTRWP maka infrastruktur
pendukung bagi terjaminnya pergerakan dalam provinsi yang efisien adalah
Tatrawil. Kabupaten/kota juga mempunyai kebijakan dalam pengembangan
RTRWK di wilayahnya. Agar sistem jaringan dapat berjalan secara terpadu, maka
provinsi dapat mengambil peran di sini sebagai koordinator. Koordinasi dari
provinsi disebut sebagai proses yang bottom up karena telah melibatkan pihak
daerah bersama pihak terkait lainnya. Mempertimbangkan pekembangan RTRW
dalam perencanaan telah menerapkan prinsip proses dinamis dalam perencanaan.
Dengan membuat keluaran secara prioritas telah menerapkan antisipasi proses
implementasi akibat keterbatasan dana.Untuk lebih jelasnya proses tersebut dapat
dilihat pada kerangka berpikir pemecahan masalah seperti pada Gambar I.3.

I.3.3

Keterkaitan Jaringan Transportasi Tata Ruang

1. Sistem Transportasi Makro


Transportasi merupakan kebutuhan turunan yang diakibatkan oleh tersebarnya
pola tata ruang (spasial separation) di mana kebutuhan manusia dan proses
produksi (dari penyediaan bahan mentah sampai dengan pemasaran) tidak dapat
dilakukan hanya pada satu lokasi saja. Dengan kata lain untuk seluruh kegiatan
masyarakat selalu dibutuhkan proses perpindahan yang dalam kajian
transportasi disebut dengan perjalanan. Sebagai salah satu media perjalanan
yang penting adalah jaringan jalan, karena kemampuannya untuk memberikan
akses maksimal kepada semua orang dan bahkan door-to-door.

10

Penyerahan kewenangan
kepada daerah

RTRWK
(Kabupaten/Kota)

Desentralisasi

Provinsi sebagai
koordinator antar
Kabupaten/Kota

Otonomi daerah

RTRWN dan
Sistranas

Propeda
Provinsi

Proses perencanaan:
proses bottom up
dinamis
kebijakan konsensus
prioritas

RTRWP dan
Sistrawil

Rencana Strategis
Pengembangan Wilayah:
kawasan andalan
core business

Keterangan
: Outstanding issues
: Dynamic systems

Keterpaduan
jaringan:
Antar moda
Antar wilayah
Antar institusi

Proses perencanaan program


penanganan sistem jaringan jalan:
identifikasi aktor
rumusan kriteria
bobot kriteria
skoring
prediksi demand
prediksi kinerja

: Feed forward
: Feed back

Gambar I.3 Kerangka Berpikir Pemecahan Masalah


Sumber: Dimodifikasi dari Tamin (2002)

Dalam perencanaan jaringan transportasi wilayah, interaksi timbal balik antara


transportasi dan tata ruang merupakan komponen utama yang harus dianalisis
dan dimodelkan untuk menyusun kerangka kebijakan yang efisien dan terpadu.
Dalam proses perencanaan hubungan timbal balik tersebut harus dikaji dalam
kerangka sistem di mana antara perencanaan transportasi dan tata ruang harus
dihubungkan dan dikaji secara terpadu, sehingga interaksi transportasi di dalam
jaringan mampu mendukung roda gerak perekonomian masyarakat.

Pada setiap pengembangan tata ruang selalu dibutuhkan sarana dan prasarana
transportasi

pendukungnya,

demikian

11

pula

sebaliknya

bahwa

setiap

pengembangan sistem transportasi akan mempengaruhi pola pengembangan


tata ruang di sekitarnya. Interaksi timbal balik antara sistem transportasi dengan
tata ruang dapat dijelaskan pada Gambar I.4.
Aktivitas
Sosio-ekonomi

Tata Ruang

Kebutuhan
Transportasi

Arus lalulintas
(orang/barang)

Perubahan kebijakan
& perubahan prilaku
transportasi/ekonomi

Suplai jaringan
transportasi

Biaya
Transportasi

: feed-forward
: feed-back

Gambar I.4 Keterkaitan antara Sistem Transportasi dan Tata Ruang


Sumber: LPM ITB (2002)

Dalam memahami lebih jauh interaksi yang terjadi antara sistem transportasi
dan tata ruang, pada Gambar I.5 diberikan konsep mengenai sistem
transportasi makro. Sistem transportasi makro tersebut terdiri dari beberapa
sub-sistem yang masing-masing saling terkait dan saling mempengaruhi. Subsistem tersebut terdiri dari sistem kegiatan, sistem jaringan, sistem pergerakan,
dan sistem kelembagaan.

Di Indonesia, sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi


secara umum adalah sebagai berikut
Sistem kegiatan, dalam hal ini melibatkan Bappenas, Bappeda Provinsi dan
Kabupaten/Kota, yang sangat penting dalam penentuan kebijakan baik yang
berskala wilayah, regional, maupun sektoral melalui perencanaan tata ruang
dan perencanaan pembangunan lainnya.

12

Sistem
Kegiatan

Sistem Jaringan
(Jalan)

Sistem
Pergerakan

Sistem Kelembagaan

Gambar I.5 Sistem Transportasi Makro


Sumber: Tamin (2000)

Sistem jaringan dalam hal ini melibatkan Departemen Perhubungan dan


dinasnya di daerah, Departemen Pekerjaan Umum dan dinasnya di daerah
sebagai lembaga yang menyusun dan melaksanakan kebijakan mengenai
pengembangan dan penyelenggaraan sistem jaringan transportasi (jalan)
secara nasional maupun wilayah/daerah.
Sistem pergerakan dalam hal ini melibatkan Departemen dan Dinas
Perhubungan, Organda, Polantas, masyarakat yang berkaitan dengan teknis
operasional penyelenggaraan transportasi (jalan) di lapangan.
2. Kebijakan Pengembangan Tata Ruang
Kebijakan tata ruang nasional ditetapkan dengan peraturan pemerintah no. 47
tahun 1997 mengenai Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN). PP ini
dilandasi oleh UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang diperbarui
dengan UU No. 26 tahun 2007. RTRWN tersebut dimaksudkan sebagai
pedoman perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional
yang menjabarkan bahwa struktur dan pola ruang nasional harus mewujudkan
keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta
keserasian antar sektor.

RTRWN ini diharapkan mampu menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata
ruang dalam skala ruangnya yakni untuk RTRWP. Selanjutnya RTRWP

13

tersebut harus menjadi acuan dalam penyusunan RTRWK (kabupaten/kota).


Selanjutnya RTRWK ini diharapkan mampu menjadi acuan penyusunan
rencana pengembangan tata ruang pada ruang kawasan yang lebih kecil.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara konseptual,


pembangunan di daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional
di mana pembangunan daerah merupakan usaha pencapaian sasaran nasional di
daerah sesuai masalah, potensi, aspirasi, dan prioritas di daerah.

3. Kebijakan Pengembangan Jaringan Transportasi


Dalam kaitannya dengan RTRWN tersebut Departemen Perhubungan selaku
lembaga

perencana

dan

pengelola

sistem

transportasi

di

Indonesia

mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan No: KM. 49 Tahun 2005 tentang


Sistranas sebagai pendukung implementasi dari RTRWN. Dalam Sistranas
tercakup diantaranya adalah rencana pengembangan jaringan jalan, baik secara
fungsional dan sesuai kelas jalannya.

Dasar hukum bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan strategi


pengembangan sistem jaringan jalan adalah UU Nomor 38 tahun 2004 tentang
Jalan sedangkan bagi pengambilan kebijakan sistem pergerakan lalulintas diatur
dalam UU Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Lebih spesifik untuk perencanaan sistem jaringan transportasi jalan (RUJTJ)
diatur dalam PP NO. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalulintas Jalan.

Integrasi Sistranas tidak terlepas dari dukungan sistem transportasi di daerah.


Perencanaan sistem transportasi harus diarahkan dalam usaha mendukung
RTRW di wilayah masing-masing dan tetap berada di bawah payung kebijakan
pengembangan Sistranas. Sistranas yang merupakan gabungan dari tataran
transportasi di tiga tingkatan: nasional, provinsi dan kabupaten/kota harus
mengacu ke RTRW di masing-masing tingkatan tersebut hingga tercipta satu
kesatuan sistem transportasi dalam Sistranas.

14

4. Keterkaitan RTRW dan Transportasi


Dalam merencanakan sistem jaringan transportasi di suatu wilayah diperlukan
adanya analisis mengenai pola dan intensitas kegiatan di pusat-pusat kegiatan
sebagai lokasi yang membangkitkan dan/atau menarik perjalanan. Dalam
Sistranas rencana pusat kegiatan nasional (yang dituangkan dalam RTRWN)
diakomodir sebagai masukan dalam merencanakan jaringan transportasi
nasional secara multi-moda di mana

penyediaan sarana dan prasarana

transportasi diharapkan mampu mendorong perkembangan kegiatan ekonomi di


wilayah-wilayah unggulan.

Demikian juga dalam mengkaji Tatrawil provinsi diperlukan adanya analisis


terhadap potensi di pusat-pusat kegiatan wilayah, yang meliputi: kawasan
industri, pertanian dan perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan,
sumber daya mineral, pariwisata, perumahan dan perdagangan yang semuanya
tertuang dalam RTRWP. Salah satu bagian terpenting dari Tatrawil tersebut
adalah Rencana Jaringan Transportasi Jalan pada level provinsi.

Tatrawil Provinsi diharapkan akan menjadi payung dan acuan bagi setiap
kabupaten dan kota dalam mengembangkan Tatralok Kabupaten/Kota dengan
tetap mengacu pada kebijakan penataan tata ruang yang tercakup dalam
RTRWK. Selanjutnya, sistem transportasi regional kabupaten/kota tersebut
menjadi acuan bagi sistem yang lebih kecil yaitu sistem transportasi kawasan
yang juga diharuskan mengacu pada rencana tata ruang kawasan.

Secara umum keterkaitan antara kebijakan RTRW dengan sistem transportasi


pada berbagai tingkatan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar I.6. Dalam
Sistranas, rencana Pusat Kegiatan Nasional (PKN) diakomodir sebagai
masukan

dalam

merencanakan

sistem

jaringan

transportasi

nasional

(Sisjartranas) secara multi moda dimana penyediaan sarana dan prasarana


transportasi diharapkan mampu mendorong perkembangan kegiatan ekonomi di
wilayah-wilayah unggulan.

15

Tataran Transportasi Nasional


(TATRANAS)

Rencana Tata Ruang Wilayah


Nasional (RTRWN)

Jaringan Transportasi Nasional

Tataran Transportasi Wilayah


(TATRAWIL) Provinsi

Rencana Tata Ruang Wilayah


Provinsi (RTRWP)

Jaringan Transportasi Wil. Provinsi

Tataran Transportasi Lokal


(TATRALOK) Kabupaten/Kota

Rencana Tata Ruang Wilayah


Kabupaten/Kota (RTRWK)

Jaringan Transportasi Kab/Kota

Gambar I.6 Keterkaitan RTRW - Transportasi pada berbagai tingkatan .


Sumber : Dimodifikasi dari Tamin (2000)

Untuk itu dalam mengkaji baik Sisjartransprov maupun Tatrawil, diperlukan


adanya analisis terhadap kawasan strategis dan potensi di Pusat Kegiatan
Wilayah (PKW), yang meliputi kawasan: industri, pertanian dan perkebunan,
kehutanan,

perikanan,

pertambangan,

sumberdaya

mineral,

pariwisata,

perumahan, dan perdagangan yang semuanya tertuang dalam RTRWP.

Sisjartransprov merupakan bagian dari Tatrawil yang di dalamnya termasuk


susunan sistem jaringan jalan provinsi. Dalam perencanaan sistem jaringan
jalan provinsi yang ada dalam kerangka Tatrawil harus mengacu secara
langsung ke RTRWP. Dalam kerangka transportasi secara vertikal harus
mengasumsikan level di atasnya (Tatranas) sebagai guidance dan ke level di
bawahnya harus diikutkan dalam perencanaan terutama yang berkaitan dengan
kebijakan operasional.

Sebelum berlakunya otonomi daerah, maka proses perencanaan tata ruang dan
sistem transportasi bersifat top down dengan pemerintah pusat/Provinsi sebagai
aktor utamanya. Pendekatan bottom up akan lebih cocok untuk mencerminkan
adanya demokratisasi dalam proses pengambilan kebijakan dan desentralisasi
wewenang pemerintahan ke kabupaten/kota. Pendekatan seperti ini sering

16

disebut dengan pendekatan partisipatif. Namum demikian, sistem harus tetap


berada pada koridor yang telah digariskan secara nasional, dengan demikian
kombinasi proses top down dengan bottom up merupakan pilihan terbaik (garis
konsultasi 2 arah pada Gambar I.6).

Model partisipatif perlu diterapkan sejalan dengan diterapkannya otonomi


daerah, hingga aspirasi/keinginan dari kabupaten/kota dapat diakomodasi.
Namun

demikian,

penyelenggaraannya

harus

tetap

dalam

konteks

pengembangan sistem jaringan transportasi wilayah provinsi atau nasional.


Dalam hal ini paradigma perencanaan sifatnya harus partisipatif, yang mampu
mencerminkan adanya kesepakatan dari semua pihak yang terkait/terlibat, baik
dari tingkat nasional dan provinsi, maupun dari kabupaten/kota.

Implementasi hasil perencanaan perlu disusun secara bertahap sesuai dengan


kemampuan pendanaan yang ada, maka tidak memungkinkan semua keinginan
dalam mengembangkan sistem jaringan jalan raya dapat diwujudkan sekaligus.
Untuk itu, pelaksanaan pembangunan harus dilakukan secara bertahap sesuai
dengan prioritas. Untuk itu diperlukan adanya alat bantu (tool) yang perlu
dikembangkan dalam pengambilan keputusan yang mampu menyusun usulan
program pengembangan sistem jaringan transportasi sesuai dengan prioritas
yang sudah menjadi kesepakatan oleh peserta partisipatif.

I.4

Posisi Penelitian

Lingkup transportasi sangat luas, karena mencakup berbagai aspek kehidupan.


Hingga dalam kajian transportasi diperlukan mulai dari kajian yang sifatnya
kebijakan makro/global sampai pada hal-hal yang detail. Pengelompokan tersebut
seperti: berdasarkan wilayah kajian, berdasarkan hirarki, berdasarkan pembagian
moda, berdasarkan pembagian jaringan, pembagian teknologi, pembagian rentang
waktu perencanaan, dlsb. Untuk itu dalam perencanaan transportasi juga diperlukan
pendekatan yang berbeda sesuai dengan pengelompokan tersebut.

17

Sesuai dengan konsep Sistranas seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri
Perhubungan No: KM. 49/2005 bahwa sasaran Sistranas adalah untuk mewujudkan
penyelenggaraan transportasi yang efektif dan efisien. Untuk mencapai hal tersebut
maka diperlukan penelitian-penelitian untuk pengembangan transportasi untuk
mencapai sasaran tersebut. Dalam kajian ilmiah, penelitian yang berkaitan dengan
Sistranas tersebut belum banyak dilakukan.

Deni dan Djumantri (2002) membagi pergeseran pendekatan perencanaan per


dekade sejak tahun 1960. Pendekatan perencanaan terstruktur dimulai tahun 1960
setelah berakhirnya perang di wilayah Indonesia. Era dekade 1960an dikenal
dengan pendekatan parsial, yang memandang pembangunan kota dan wilayah (desa)
dilakukan secara terpisah. Dekade 1970an dekenal dengan pendekatan sektoral, di
mana setiap sektor pembangunan mempunyai program masing-masing. Dekade
1980an dikenal dengan pendekatan perencanaan wilayah yang terintegrasi, seperti
yang tertuang dalam RTRW. Tahun 1990an dan 2000an adalah mulainya era
keterbukaan, era otonomi daerah. Dengan demikian sesuai dengan perkembangan
zaman, maka pendekatan yang dirasa sesuai dalam perencanaan wilayah, termasuk
transportasi adalah: pendekatan perencanaan wilayah yang terintegrasi dan melalui
proses partisipatif (TD - BU), lihat Gambar I.7.
Parsial

Pendekatan
perencanaan
wilayah

Sektoral

TD

Terintegrasi

TDBU

Model pendekatan yang


digunakan

Gambar I.7 Pendekatan Perencanaan Wilayah.


Sumber : Disarikan dari Deni dan Djumantri (2002).

18

Hadihardjono (2005) telah melakukan penelitian untuk melahirkan konsep


perencanaan transportasi seiring dengan sudut pandang kekinian di era otonomi
daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah prescriptive policy analysis.
Subjek studi yang dikaji adalah berkaitan dengan konsep/pendekatan perencanaan
khususnya masalah pengambilan keputusan dengan objek studi adalah Tatranas.

Karsaman (1998) telah memperkenalkan penggunaan Analisis Multi Kriteria


(AMK) model Analytical Hierarchy Process (AHP) dan PROMETHEE untuk
aplikasi dalam studi evaluasi proyek transportasi untuk transportasi angkutan
umum di kota Jakarta. Analisis stakeholders dilakukan dengan menggunakan
angket dengan stakeholders intansti terkait dan pakar independen.

Napitupulu (2000) telah menerapkan AHP dalam penentuan angkutan umum


perkotaan yang optimum dengan mengambil lokasi studi di kota Bandung. Analisis
stakeholder dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Studi aplikasi yang lain
AMK dilakukan oleh Tanan (2005) untuk studi program penanganan jalan provinsi
dalam kondisi budget constrained dengan mengambil kasus untuk Provinsi Nusa
Tenggara Timur.

Studi pendekatan partisipatif untuk pengembangan jalur wisata perkotaan dengan


mengambil kasus di kota Jakarta dilakukan oleh Winarso dkk. (2003). Dalam studi
ini penggalian ide stakeholders dilakukan dengan teknik workshop atau Focus
Group Discussion (FGD). Dari kesemua publikasi yang telah diuraikan tersebut
untuk lebih jelasnya seperti yang dapat dilihat pada Tabel I.1.

Dalam pelaksanaan beberapa proyek studi transportasi di wilayah studi, mekanisme


perencanaan partisipatif belum terlihat dengan jelas dan belum terprogram dengan
baik dan di sebagian studi bukan merupakan suatu keharusan. Dalam beberapa
kegiatan proyek yang dibina Dishub NAD dan Dishub Kota Banda Aceh tahun
2006 dan 2007, telah dilakukan proses partisipatif yang terbatas, artinya para
stakeholders diminta memberikan masukan

dalam acara pembahasan progres

proyek, namun hasilnya tidak selamanya masuk dalam analisis.

19

Tabel I.1 Publikasi pendekatan partisipatif dan bahasan penelitian

No.
1
2

Faktor yang ditinjau


Type Kajian
Lingkup
Kajian

Moda
transportasi

Aktor yang
terlibat

Metode
Partisipatif

Metode
Analisa
Keputusan

Pengembangan Konsep
Pengembangan Aplikasi
Nasional
Provinsi
Kabupaten/Kota
Spesifik
Single moda
Multi moda
Regulator
Operator
User
Wawancara/Angket
Workshop/FGD
Musyawarah/Rapat
AHP/AMK
Analisis
Kualitatif/
PROMETHEE
Kuantitatif

Keterangan Publikasi:
1.
Karsaman (1998)
2.
Napitupulu (2000)
3.
Winarso dkk. (2003)

4.
5.

Publikasi dari:
2
3
4

Penelitian ini

9
9

9
9

9
9
9
9
9
9

9
9
9
9
9
9

9
9
9

9
9
9
9

9
9
9
9

9
9
9
9
9

9
9
9
9

9
9

Tanan (2005)
Hadihardjono (2005)

Dalam penelitian ini subjek kajian adalah pendekatan perencanaan dengan objek
kajian adalah di hirarki tatrawil, moda transportasi darat dan sub moda jalan raya,
serta kajian lebih banyak pada jaringan prasarana. Melihat objek kajian ini untuk
sub moda jalan raya, maka pendekatan rasional analitik teknokratik sudah umum
digunakan. Kebaruan penelitian ini adalah: di era otonomi daerah, dicoba
dimasukkan elemen sosekbud, hingga pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah rasional analitik demokratik, yang juga dikenal dengan pendekatan
bottom up ataupun pendekatan partisipatif dengan objek kajian adalah sub moda
jalan raya dengan cakupan wilayah provinsi.

Pendekatan partisipatif bukanlah hal baru untuk diaplikasikan. Beberapa publikasi


internasional telah menguraikan proses partisipatif untuk berbagai kalangan, dan di
beberapa wilayah/negara proses partisipatif merupakan suatu tahapan wajib dalam

20

perencanaan, pelaksanaan dan operasional infrastruktur yang prosedurnya sudah


jelas dan terprogram. Beberapa kajian tersebut seperti yang dapat dilihat pada
keterlibatan pemerintah federal, negara bagian, pemerintah lokal sampai publik
dalam buku Catanese dan Snyder (1996). Pada kajian yang lain dalam perencanaan
Multi-moda Transport System (2008-2035) di

Portland, OR., telah dilakukan

penjaringan opioni publik untuk dua komponen, yaitu komponen federal selama 30
hari dan komponen negara bagian selama 45 hari.

Beberapa kajian yang lain seperti proses partsisipatif yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat dalam group yang berkontribusi dalam pengembangan
wilayah

kota

di

Santiago

(http://www.stm.info/transportsej2004).

Proses

partisipatif dalam pengembangan transportasi juga dibina oleh United Nation


Organization dan diaplikasi di beberapa negara. Salah satu negara tersebut adalah
India (http://unescap.org).

I.5

Metodologi Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melihat sasaran diberlakukannya otonomi daerah.


Selanjutnya dilakukan perumusan proses/mekanisme perencanaan program sistem
jaringan jalan nasional dan provinsi dalam suatu wilayah provinsi dalam konteks
otonomi daerah tersebut. Dengan sasaran proses perencanaan tersebut harus dapat
berlangsung secara partisipatif untuk mendukung akuntabilitas dan transparansi,
menghasilkan perencanaan yang mengakomodasi perubahan RTRW, dalam arti
dinamis

dan

menghasilkan

program

penanganan

dalam

bentuk

skala

prioritas/perangkingan.

Sejalan dengan proses bottom up, maka tahap awal yang harus ditentukan adalah
aktor yang terlibat, baik sebagai pengambil keputusan maupun sebagai pihak
terkait (stakeholders). Selanjutnya untuk mempertimbangkan sifat kemultian
transportasi, maka tahapan berikutnya adalah perumusan kriteria perencanaan.
Tahapan selanjutnya adalah penetapan model analisis pengambilan keputusannya.
Analisis pengambilan keputusan perlu diambil secara yang lebih tepat karena

21

berkaitan dengan teknik pengambilan keputusan dengan kondisi yang multi kriteria,
multi aktor dalam lingkungan kriteria yang dinamis. Tahapan-tahapan pelaksanaan
penelitian untuk pengembangan metode ini dapat dilihat pada Gambar I.8.
Perumusan Pengambil Keputusan
dan pihak terkait

Perumusan kriteria
perencanaan

Survey data sekunder


dan primer

Analisis pemodelan
transportasi

Penentuan bobot
dan skor kriteria

Prediksi kinerja

Simulasi analisis program penanganan


dengan proses gabunghan top down bottom up (TD-BU) dibandingkan
dengan proses secara top down (TD)

Gambar I.8 Metode penelitian secara garis besar

I.6

Batasan Masalah

Dalam pengembangan metode perencanaan, permasalahan dibatasi hanya pada:


a. Sistem transportasi darat khususnya jalan raya, dan kajian ini dibatasi pada
Perencanaan Program Penanganan.
b. Objek studi pada penelitian ini adalah sistem jaringan Jalan Nasional dan
Provinsi dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
c. Skenario perencanaan pertama ditetapkan berdasarkan kriteria perencanaan dari
pihak pengambil keputusan (TD). Skenario kedua, berdasarkan bobot kriteria
gabungan antara pengambil keputusan dan stakeholders (TD BU).

22

d. Pihak pengambilan keputusan merupakan kelompok pemerintah Provinsi,


dalam hal ini yang terlibat sebagai tim teknis dalam perencanaan transportasi
di tingkat provinsi, yaitu: Bappeda, Dinas Perhubungan dan Dinas Praswil.
e. Kelompok yang diidentifikasi sebagai stakeholders dalam penelitian ini adalah
isntansi/badan pemerintah di tingkat kabupaten/kota, Perguruan Tinggi,
Organisasi Profesi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait.

I.7

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu proses/mekanisme yang


dilakukan untuk merumuskan suatu program penanganan sistem jaringan jalan
nasional dan provinsi dalam suatu wilayah provinsi yang sesuai dengan esensi
berlakunya otonomi daerah dengan mengambil kasus sistem jaringan jalan nasional
dan provinsi di wilayah Provinsi NAD.

I.8

Kontribusi Penelitian

Dari aspek sumbangan kepada kazanah keilmuan, penelitian ini memberikan


kontribusi terhadap bagaimana membangun suatu proses perencanaan program
penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi di
era otonomi daerah. Sedangkan dari aspek sumbangan kepada dunia kerekayasaan,
penelitian ini menghasilkan suatu rencana program penanganan sistem jaringan
jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi khususnya dan dalam
perencanaan transportasi pada umumnya..

I.9

Asumsi-asumsi yang digunakan

Ada beberapa asumsi yang ditetapkan dalam melakukan penelitian ini, diataranya:
a. Persepsi penentu kebijakan dan stakeholders berkaitan dengan kriteria
perencanaan dianggap tidak berubah selama masa tahun tinjauan perencanaan.
b. Stakeholders

merupakan

lembaga,

berupa

bagian

dari

pemerintah

kabupaten/kota dan Provinsi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan

23

Tinggi, dan Lembaga Profesi yang berkepentingan dan memahami semua hal
yang berkaitan dengan penyelenggaraan transportasi.
c. Dalam pemodelan kebutuhan pergerakan, jumlah zona diasumsikan tidak
berubah selama dalam tahun tinjauan perencanaan.
d. Jaringan jalan yang ditinjau diasumsikan seluruhnya jenis perkerasan lentur.

I.10 Hipotesis

Perencanaan pemrograman sistem jaringan jalan nasional dan provinsi di era


otonomi daerah dengan mengakomodasi kepentingan stakeholders melalui kriteria
dan bobot kriteria perencanaan yang menghasilkan prioritas program penanganan
diyakini akan menghasilkan suatu program penanganan sistem jaringan jalan
nasional dan provinsi yang sesuai untuk diaplikasikan di era otonomi daerah.

I.11 Sistematika Penulisan Disertasi

Disertasi ini disusun menjadi 5 (lima) bab. Bab satu merupakan bab pendahuluan
yang berisikan tentang gambaran umum isi disertasi. Bab ini terdiri dari beberapa
bagian, diantaranya adalah: Latar Belakang Permasalahan, Pernyataan Masalah,
Perumusan Masalah, Posisi Penelitian, Metodologi Penelitian, Batasan Masalah,
Tujuan Penelitian, Kontribusi Penelitian, Asumsi-asumsi yang digunakan,
Hipotesis, dan Sistematika Penulisan Disertasi.

Bab dua berisi studi kepustakaan. Bab ini berisi tentang konsep perencanaan,
kriteria perencanaan, pemodelan transportasi, kapasitas jalan, struktur perkerasan
jalan, biaya konstruksi, dan jenis-jenis penanganan jalan. Selanjutnya bab ini juga
nenguraikan beberapa metode pengambilan keputusan secara berkelompok.

Bab tiga berisi tentang metode penelitian. Bagian ini menjelaskan tahapan yang
dilalui dalam penelitian ini, diantaranya adalah penjelasan umum mengenai tahapan
pelaksanaan penelitian, kebutuhan data, pihak yang terlibat dan metode
pengambilan keputusan, teknik pemodelan transportasi dan evaluasi fisik ruas jalan.

24

Bab empat berisi tentang proses analisis data, hasil analisis dan pembahasan.
Analisis data bagian pertama adalah penentuan stakeholders, penentuan kriteria,
penentuan bobot kriteria, dan rumusan skoring untuk masing-masing kriteria.
Selanjutnya adalah analisis prediksi kebutuhan transportasi dengan menggunakan
pemodelan transportasi, kinerja jaringan dan diikuti dengan proses simulasi analisis
pemrograman sistem jaringan jalan.

Bab lima sebagai penutup, berisi beberapa poin kesimpulan yang dapat disarikan,
kontribusi, kekurangan, dan saran-saran tentang keberlanjutan dari penelitian ini
untuk dapat diteruskan pada penelitian berikutnya.

Sebagai kelengkapan dari disertasi ini, di bagian akhir dari disertasi disertakan juga
lampiran-lampiran sebagai penunjang dari isi buku. Lampiran berisi: kuesioner,
hasil analisis data dan daftar riwayat hidup penulis.

25

You might also like