Professional Documents
Culture Documents
I.1
Dasar
1945
memberikan
keleluasaan
kepada
daerah
untuk
Indonesia, khususnya dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Sistem kendali kebijakan dan operasional pemerintahan yang sebelumnya
berlangsung secara sentralisasi (terpusat), di era otonomi daerah sebagiannya
dilimpahkan ke pemerintah daerah. Hal demikian yang disebut dengan sistem
desentralisasi. Desentralisasi artinya adalah bahwa pemerintah daerah diberikan
peran yang lebih luas dan dengan pengelolaan dana yang lebih besar dalam
menentukan kebijakan-kebijakan di daerahnya. Sejalan dengan perubahan
sentralisasi menjadi desentralisasi menyebabkan perlunya pergeseran sifat dalam
beberapa paradigma tersebut, seperti:
bersifat inspiratif bergeser ke arah aspiratif;
bersifat mobilisasi bergeser ke arah partisipasi;
bersifat sektoral bergeser ke arah kewilayahan/terpadu.
bersifat top down bergeser ke arah bottom up;
jaringan jalan. Untuk pengembangan sistem jaringan jalan secara umum diperlukan
beberapa istilah penanganan jalan seperti: perawatan rutin, perawatan berkala,
peningkatan struktur, peningkatan kapasitas, dan pembangunan baru. Penanganan
tersebut belum termasuk secara khusus untuk program penanganan jembatan.
Kenyataan yang terjadi dewasa ini adalah bahwa biaya yang mampu disediakan
oleh pemerintah untuk program penanganan jalan lebih kecil dari jumlah yang
diperlukan untuk menjaga sistem jaringan tersebut agar selalu berada dalam kondisi
mantap. Untuk alasan tersebut, maka dalam melaksanakan program penanganan
haruslah tepat sasaran untuk menjamin tercapainya efisiensi, untuk itu diperlukan
keluaran perencanaan program penanganan dalam bentuk skala prioritas.
Transportasi dikenal juga memiliki ciri khas, termasuk di dalamnya sistem jaringan
jalan, hal tersebut berkaitan dengan sifat kemultiannya, seperti:
multi-sektoral, artinya adalah jaringan transportasi merupakan prasarana
dan sarana pelayanan dasar
Dari uraian sifat kemultian jaringan transportasi (termasuk sistem jaringan jalan)
yang disampaikan, masalah koordinasi antar wilayah, antar institusi pengelola, dan
antar sistem moda harus dengan baik diterjemahkan dalam rencana program
pengembangan jaringan. Sampai saat ini pola perencanaan yang melibatkan banyak
pihak sebagai suatu master-plan sebagai public-commitment masih belum lazim,
mengingat dalam masa sebelumnya hampir semua keputusan ditangani pengambil
keputusan. Dalam hal ini pengembangan metoda perencanaan yang partisipatif,
konsensual, dan penanganan dalam skala prioritas akan merupakan bagian
terpenting dari suatu proses perencanaan program penanganan sistem jaringan jalan.
Sesuai dengan konsep Sistranas yang terpadu secara nasional, perencanaan di level
daerah harus tetap mengacu kepada pola tata ruang dan tataran transportasi secara
nasional agar fungsinya sebagai jaringan dapat optimal. Hal ini menunjukkan tetap
perlu diaplikasikan pendekatan perencanaan yang bersifat top down, di mana
konsep pengembangan secara makro di level pusat harus tetap dijadikan acuan
sedemikian sehingga sifat seamless dari sistem jaringan secara nasional tetap
terjaga. Dengan demikian perencanaan sistem jaringan transportasi di tingkat
daerah sebaiknya dilakukan sebagai gabungan antara pendekatan bottom up dengan
top down. Dalam pengertian lain kedua pendekatan tersebut sering diasosiasikan
terhadap sumber identifikasi masalah itu berasal. Bottom up dimaksudkan untuk
mendapatkan masukan permasalahan yang teridentifikasi langsung dari analisis
kualitatif tingkat bawah (operasional) maupun masyarakat dan pemerintah di level
yang lebih kecil, sedangkan top down berupa hasil identifikasi masalah yang
diperoleh dari pengamatan manajemen tingkat atas dari pengambil keputusan.
Secara top down masalah dapat diidentifikasi dari kesenjangan antara kondisi yang
menjadi harapan/tujuan (idealisasi Sistranas) dengan kondisi yang terjadi sekarang
di lapangan. Namun dalam mencapai tujuan bersama diperlukan suatu proses
bottom up yang melibatkan banyak pihak dan banyak kriteria, seperti pada proses
Gambar I.1.
Perundangan,
RTRWN, TATRANAS
Idealisasi/Tujuan
(Objectives)
TOP DOWN
Kondisi yg diharapkan
BOTTOM UP
Pengembangan Alternatif
Pemecahan
Skenario, Modeling
+ Forecasting
Evaluasi Kinerja
Gambar I.1 Pendekatan Top Down dan Bottom Up dalam Proses Perencanaan
Jaringan Transportasi.
Sumber: Dimodifikasi dari Tamin (2002)
I.2
Pernyataan Masalah
I.3
Perumusan Masalah
Transportasi darat jalan raya merupakan salah satu moda transportasi dengan
pengguna terbanyak. Hal tersebut karena sifatnya yang langsung berkaitan dengan
kegiatan masyarakat. Transportasi darat jalan raya tersusun menjadi sistem jaringan
dari beberapa kelompok yang sesuai dengan hirarkinya. Pengelompokan dapat
berdasarkan status, fungsi dan kelas jalan. Jalan raya dibangun dan kualitas
pelayanannya akan terus berkurang seiring dengan perjalanan waktu. Untuk
menjaga agar kualitas pelayanan jalan selalu dalam kondisi baik, dalam hal ini
kondisi jalan mantap, maka diperlukan berbagai upaya penanganan seperti:
perawatan rutin, perawatan berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas
dan pembangunan baru. Untuk masing-masing penanganan tersebut diperlukan
biaya yang cukup besar. Dengan dana penanganan yang terbatas, maka perlu
berhati-hati dalam menetapkan program penanganan. Untuk menyusun program
tersebut, maka perlu dirumuskan permasalahan hingga pengalokasian program
dapat tepat sasaran hingga tidak terjadi pemborosan.
ekonomi wilayah. Sistem jaringan jalan provinsi merupakan bagian dari Tatrawil.
Selanjutnya Tatrawil merupakan bagian dari RTRWP dan RTRWP merupakan
bagian dari RTRWN. Konteks perencanaan sistem jaringan jalan sesuai dengan
sistem perencanaan yang ada perlu ditegaskan untuk memperjelas hirarki
perencanaan dan ruang lingkup yang harus dipertimbangkan.
I.3.1
Outstanding Issues
mengembangkan
jaringan
jalan
di
wilayah
provinsi
harus
b. Kebijakan Tatrawil
Tatrawil merupakan wujud dari transportasi multi moda yang terdiri dari sarana
dan prasarana yang saling berinteraksi dengan dukungan sistem perangkat
untuk membentuk suatu sistem pelayanan transportasi yang efektif dan efisien.
Jaringan pada tatrawil berfungsi untuk melayani pergerakan antar simpul dalam
wilayah provinsi atau dari simpul ke kota provinsi. Dengan melihat fungsi
tersebut maka peran jalan nasional dan provinsi menjadi sangat strategis
mengingat sistem jaringan jalan dalam wilayah provinsi merupakan bagian dari
tatrawil, maka prinsip keterpaduan dengan moda transportasi yang lain menjadi
fokus perhatian di sini.
Dari semua yang disampaikan di atas, maka dalam rangka membentuk suatu sistim
jaringan jalan nasional dan provinsi yang terpadu dalam wilayah provinsi, maka
pemecahan permasalahan sistem jaringan jalan yang ada harus berada dalam
konteks yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian dalam mewujudkan suatu
sistem jaringan jalan nasional dan provinsi yang baik dalam wilayah provinsi harus
mempertimbangkan semua outstanding issues yang telah diuraikan dalam
penjelasan di atas dan disarikan pada Gambar I.2.
OTDA
Peran Kab./Kota
RTRWP
RTRW Kab./Kota
TATRAWIL
RTRWN &
TATRANAS
Masalah Sistem
Jaringan Jalan
Nasional dan
Provinsi
Jaringan
Multimoda
I.3.2
I.3.3
10
Penyerahan kewenangan
kepada daerah
RTRWK
(Kabupaten/Kota)
Desentralisasi
Provinsi sebagai
koordinator antar
Kabupaten/Kota
Otonomi daerah
RTRWN dan
Sistranas
Propeda
Provinsi
Proses perencanaan:
proses bottom up
dinamis
kebijakan konsensus
prioritas
RTRWP dan
Sistrawil
Rencana Strategis
Pengembangan Wilayah:
kawasan andalan
core business
Keterangan
: Outstanding issues
: Dynamic systems
Keterpaduan
jaringan:
Antar moda
Antar wilayah
Antar institusi
: Feed forward
: Feed back
Pada setiap pengembangan tata ruang selalu dibutuhkan sarana dan prasarana
transportasi
pendukungnya,
demikian
11
pula
sebaliknya
bahwa
setiap
Tata Ruang
Kebutuhan
Transportasi
Arus lalulintas
(orang/barang)
Perubahan kebijakan
& perubahan prilaku
transportasi/ekonomi
Suplai jaringan
transportasi
Biaya
Transportasi
: feed-forward
: feed-back
Dalam memahami lebih jauh interaksi yang terjadi antara sistem transportasi
dan tata ruang, pada Gambar I.5 diberikan konsep mengenai sistem
transportasi makro. Sistem transportasi makro tersebut terdiri dari beberapa
sub-sistem yang masing-masing saling terkait dan saling mempengaruhi. Subsistem tersebut terdiri dari sistem kegiatan, sistem jaringan, sistem pergerakan,
dan sistem kelembagaan.
12
Sistem
Kegiatan
Sistem Jaringan
(Jalan)
Sistem
Pergerakan
Sistem Kelembagaan
RTRWN ini diharapkan mampu menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata
ruang dalam skala ruangnya yakni untuk RTRWP. Selanjutnya RTRWP
13
perencana
dan
pengelola
sistem
transportasi
di
Indonesia
14
Tatrawil Provinsi diharapkan akan menjadi payung dan acuan bagi setiap
kabupaten dan kota dalam mengembangkan Tatralok Kabupaten/Kota dengan
tetap mengacu pada kebijakan penataan tata ruang yang tercakup dalam
RTRWK. Selanjutnya, sistem transportasi regional kabupaten/kota tersebut
menjadi acuan bagi sistem yang lebih kecil yaitu sistem transportasi kawasan
yang juga diharuskan mengacu pada rencana tata ruang kawasan.
dalam
merencanakan
sistem
jaringan
transportasi
nasional
15
perikanan,
pertambangan,
sumberdaya
mineral,
pariwisata,
Sebelum berlakunya otonomi daerah, maka proses perencanaan tata ruang dan
sistem transportasi bersifat top down dengan pemerintah pusat/Provinsi sebagai
aktor utamanya. Pendekatan bottom up akan lebih cocok untuk mencerminkan
adanya demokratisasi dalam proses pengambilan kebijakan dan desentralisasi
wewenang pemerintahan ke kabupaten/kota. Pendekatan seperti ini sering
16
demikian,
penyelenggaraannya
harus
tetap
dalam
konteks
I.4
Posisi Penelitian
17
Sesuai dengan konsep Sistranas seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri
Perhubungan No: KM. 49/2005 bahwa sasaran Sistranas adalah untuk mewujudkan
penyelenggaraan transportasi yang efektif dan efisien. Untuk mencapai hal tersebut
maka diperlukan penelitian-penelitian untuk pengembangan transportasi untuk
mencapai sasaran tersebut. Dalam kajian ilmiah, penelitian yang berkaitan dengan
Sistranas tersebut belum banyak dilakukan.
Pendekatan
perencanaan
wilayah
Sektoral
TD
Terintegrasi
TDBU
18
19
No.
1
2
Moda
transportasi
Aktor yang
terlibat
Metode
Partisipatif
Metode
Analisa
Keputusan
Pengembangan Konsep
Pengembangan Aplikasi
Nasional
Provinsi
Kabupaten/Kota
Spesifik
Single moda
Multi moda
Regulator
Operator
User
Wawancara/Angket
Workshop/FGD
Musyawarah/Rapat
AHP/AMK
Analisis
Kualitatif/
PROMETHEE
Kuantitatif
Keterangan Publikasi:
1.
Karsaman (1998)
2.
Napitupulu (2000)
3.
Winarso dkk. (2003)
4.
5.
Publikasi dari:
2
3
4
Penelitian ini
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
Tanan (2005)
Hadihardjono (2005)
Dalam penelitian ini subjek kajian adalah pendekatan perencanaan dengan objek
kajian adalah di hirarki tatrawil, moda transportasi darat dan sub moda jalan raya,
serta kajian lebih banyak pada jaringan prasarana. Melihat objek kajian ini untuk
sub moda jalan raya, maka pendekatan rasional analitik teknokratik sudah umum
digunakan. Kebaruan penelitian ini adalah: di era otonomi daerah, dicoba
dimasukkan elemen sosekbud, hingga pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah rasional analitik demokratik, yang juga dikenal dengan pendekatan
bottom up ataupun pendekatan partisipatif dengan objek kajian adalah sub moda
jalan raya dengan cakupan wilayah provinsi.
20
penjaringan opioni publik untuk dua komponen, yaitu komponen federal selama 30
hari dan komponen negara bagian selama 45 hari.
Beberapa kajian yang lain seperti proses partsisipatif yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat dalam group yang berkontribusi dalam pengembangan
wilayah
kota
di
Santiago
(http://www.stm.info/transportsej2004).
Proses
I.5
Metodologi Penelitian
dan
menghasilkan
program
penanganan
dalam
bentuk
skala
prioritas/perangkingan.
Sejalan dengan proses bottom up, maka tahap awal yang harus ditentukan adalah
aktor yang terlibat, baik sebagai pengambil keputusan maupun sebagai pihak
terkait (stakeholders). Selanjutnya untuk mempertimbangkan sifat kemultian
transportasi, maka tahapan berikutnya adalah perumusan kriteria perencanaan.
Tahapan selanjutnya adalah penetapan model analisis pengambilan keputusannya.
Analisis pengambilan keputusan perlu diambil secara yang lebih tepat karena
21
berkaitan dengan teknik pengambilan keputusan dengan kondisi yang multi kriteria,
multi aktor dalam lingkungan kriteria yang dinamis. Tahapan-tahapan pelaksanaan
penelitian untuk pengembangan metode ini dapat dilihat pada Gambar I.8.
Perumusan Pengambil Keputusan
dan pihak terkait
Perumusan kriteria
perencanaan
Analisis pemodelan
transportasi
Penentuan bobot
dan skor kriteria
Prediksi kinerja
I.6
Batasan Masalah
22
I.7
Tujuan Penelitian
I.8
Kontribusi Penelitian
I.9
Ada beberapa asumsi yang ditetapkan dalam melakukan penelitian ini, diataranya:
a. Persepsi penentu kebijakan dan stakeholders berkaitan dengan kriteria
perencanaan dianggap tidak berubah selama masa tahun tinjauan perencanaan.
b. Stakeholders
merupakan
lembaga,
berupa
bagian
dari
pemerintah
23
Tinggi, dan Lembaga Profesi yang berkepentingan dan memahami semua hal
yang berkaitan dengan penyelenggaraan transportasi.
c. Dalam pemodelan kebutuhan pergerakan, jumlah zona diasumsikan tidak
berubah selama dalam tahun tinjauan perencanaan.
d. Jaringan jalan yang ditinjau diasumsikan seluruhnya jenis perkerasan lentur.
I.10 Hipotesis
Disertasi ini disusun menjadi 5 (lima) bab. Bab satu merupakan bab pendahuluan
yang berisikan tentang gambaran umum isi disertasi. Bab ini terdiri dari beberapa
bagian, diantaranya adalah: Latar Belakang Permasalahan, Pernyataan Masalah,
Perumusan Masalah, Posisi Penelitian, Metodologi Penelitian, Batasan Masalah,
Tujuan Penelitian, Kontribusi Penelitian, Asumsi-asumsi yang digunakan,
Hipotesis, dan Sistematika Penulisan Disertasi.
Bab dua berisi studi kepustakaan. Bab ini berisi tentang konsep perencanaan,
kriteria perencanaan, pemodelan transportasi, kapasitas jalan, struktur perkerasan
jalan, biaya konstruksi, dan jenis-jenis penanganan jalan. Selanjutnya bab ini juga
nenguraikan beberapa metode pengambilan keputusan secara berkelompok.
Bab tiga berisi tentang metode penelitian. Bagian ini menjelaskan tahapan yang
dilalui dalam penelitian ini, diantaranya adalah penjelasan umum mengenai tahapan
pelaksanaan penelitian, kebutuhan data, pihak yang terlibat dan metode
pengambilan keputusan, teknik pemodelan transportasi dan evaluasi fisik ruas jalan.
24
Bab empat berisi tentang proses analisis data, hasil analisis dan pembahasan.
Analisis data bagian pertama adalah penentuan stakeholders, penentuan kriteria,
penentuan bobot kriteria, dan rumusan skoring untuk masing-masing kriteria.
Selanjutnya adalah analisis prediksi kebutuhan transportasi dengan menggunakan
pemodelan transportasi, kinerja jaringan dan diikuti dengan proses simulasi analisis
pemrograman sistem jaringan jalan.
Bab lima sebagai penutup, berisi beberapa poin kesimpulan yang dapat disarikan,
kontribusi, kekurangan, dan saran-saran tentang keberlanjutan dari penelitian ini
untuk dapat diteruskan pada penelitian berikutnya.
Sebagai kelengkapan dari disertasi ini, di bagian akhir dari disertasi disertakan juga
lampiran-lampiran sebagai penunjang dari isi buku. Lampiran berisi: kuesioner,
hasil analisis data dan daftar riwayat hidup penulis.
25