You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan nafas.
Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami penyumbatan
jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret agar tidak terjadi
aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas (Marino, 1998; Nicholson and O'Brien,
2007). Intubasi endotrakeal dapat dilakukan melalui hidung ataupun mulut. Masingmasing cara memberikan keuntungan tersendiri sebagai contoh bahwa melalui nasal
lebih baik dilakukan pada pasien yang masih sadar dan kooperatif, sedangkan melalui
oral dilakukan pada pasien yang mengalami koma, tidak kooperatif dan ketika
kegawatan intubasi dibutuhkan pada pasien yang mengalami cardic arrest (Marino,
1998; Nicholson and O'Brien, 2007).
Tindakan intubasi endotrakheal selama anestesi umum berfungsi sebagai sarana
untuk menyediakan oksigen (O2) ke paru-paru dan sebagai saluran untuk obat-obat
anestesi yang mudah menguap (Manissery et al., 2007). Tindakan ini seringkali
menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai
gejala-gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien
antara lain adalah nyeri tenggorok (sore throat), batuk (cough), dan suara serak
(hoarseness). Dilaporkan oleh Christensen et al., (1994) dan Loeser et al., (1980) gejala
yang dikeluhkan pasien ini memiliki insidens sebesar 21-65%. Meskipun tidak sampai
menyebabkan kecacatan, namun komplikasi ini dapat dirasakan sangat tidak nyaman
dan bahkan bisa menimbulkan keluhan dari pasien terutama pasien yang one day care.
Gejala-gejala tersebut, terjadi akibat iritasi lokal dan proses inflamasi pada mukosa
saluran nafas atas (Sulistyono, 2010).
1

Dari beberapa gejala yang dikeluhkan pasien akibat dari tindakan intubasi
endotrakeal di atas, nyeri tenggorok merupakan keluhan pascaoperasi terbanyak
walaupun nyeri sudah dikontrol dengan baik (Thomas and Beevi, 2007). Insidensi nyeri
tenggorok yang dilaporkan oleh Lev and Rosen (1994) mempunyai insiden sebesar
90%. Penyebab utama nyeri tenggorok adalah trauma pada mukosa faringolaringeal
karena tindakan laringoskopi, sedangkan penyebab yang lain adalah pemasangan NGT
dan penyedotan lendir dalam mulut (Monroe et al., 1990). Dilaporkan dalam penelitian
Stout et al., (1987) yang dikutip Sulistyono, 2010 bahwa terdapat hubungan antara
pemasangan pipa dengan munculnya gejala-gejala pada tenggorok, demikian pula
penelitian Jensen et al., (1982) yang dikutip Sulisyono, 2010 menjelaskan bahwa ada
keterkaitan antara pengaruh cuff terhadap gejala nyeri tenggorok tersebut.
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh pemasangan
pipa endotrakea, ternyata gejala-gejala lebih banyak ditunjukkan kepada lesi yang
diakibatkan oleh tekanan cuff terhadap dinding lateral trakhea (Bernhard et al., 2003).
Beberapa contoh trauma yang terjadi karena pemasangan pipa itu antara lain: hematom,
laserasi pada mukosa, laserasi pada plika vokalis, bahkan subluksasi kartilago aritenoid
(Kambic and Radsel, 1998), obstruksi pipa, stenosis subglotis, penggeseran atau
displacement tube, stridor pasca ekstubasi, ulserasi nasal, suara serak, dan obstruksi
jalan nafas pasca ekstubasi (Sulistyono, 2010).
Dalam kenyataan di dalam praktek sehari-hari, pada saat pemasangan
endotracheal tube, tekanan cuff biasanya diberikan secara titrasi klinis. Cara ini
dilakukan dengan menggunakan spuit ukuran 20 cc, diberikan tekanan udara secara
perlahan-lahan ke dalam cuff sambil memperhatikan suara yang muncul di tenggorok
pasien akibat pernafasan buatan ventilasi tekanan positif yang diberikan oleh ahli
anestesi (minimal occlusive volume technique). Suara yang muncul ini adalah akibat
2

kebocoran udara akhir inspirasi dari paru yang melewati ruangan disela-sela dinding
trakhea dan dinding luar pipa endotrakea. Tekanan cuff dianggap sudah mencapai
optimal ketika tidak lagi terdengar suara nafas (Steward et al., 2003). Menurut beberapa
penelitian, metode ini bisa memberikan tekanan cuff dengan kondisi underinflation atau
justru overinflation. Tekanan cuff yang kurang dapat memberikan risiko aspirasi dan
sebaliknya tekanan yang berlebihan rentan menimbulkan trauma pada trakhea
(Sulistyono, 2010). Metwalli, et al., 2011 pada penelitiannya membandingkan uji
kebocoran dengan mengisi cuff menggunakan titrasi sampai tidak terdengar suara, di
bandingkan dengan menggunakan alat di mana cuff diisi dengan tekanan 25 cmH2O,
dan dengan palpasi untuk menilai nyeri tenggorok pasca ekstubasi. Didapatkan hasil
dimana uji kebocoran dibanding dengan kontrol tidak ada perbedaan bermakna (P >
0,05, P = 0,09 ), sementara dengan menggunakan palpasi di dapatkan hasil dimana nyeri
tenggorok sangat tinggi (P< 0,05, P = 0,008 ), sementara Liu, et al., 2010 melakukan
penelitian

membandingkan

antara

pengisian

cuff

menggunakan

palpasi

dan

menggunakan alat dimana dilakukan penilain menggunakan fiberoptik pada mukosa


trakea dan penilaian nyeri tenggorok di mana di dapatkan hasil menggunakan palpasi
tampak injury pada mukosa trakea dan nyeri tenggorok juga sangat tinggi di banding
dengan menggunakan alat ini menunjukan terdapat perbedaan bermakna ( P<0,05, P =
0.03 ) tekanan intra cuff menggunakan palpasi rata-rata 4323,3 mmHg, sedangkan
menggunakan alat 20 3,1 mmHg.
Perkembangan teknologi saat ini sebenarnya telah jauh memberikan keuntungan
kepada para praktisi dan klinisi bidang anestesiologi dan reanimasi untuk melakukan
tindakan intubasi endotrakea secara lebih aman dan nyaman untuk pasien. Pipa
endotrakhea dengan cuff yang memiliki daya regang (compliance) tinggi, yang
ditujukan untuk mencegah kebocoran gas anestesi dan kemungkinan terjadi aspirasi,
3

diciptakan khusus dengan ruang volume besar namun tekanan rendah (high-volume lowpressure cuff) sehingga tekanan terhadap dinding mukosa trakea dapat diminimalkan.
Namun dikarenakan karakteristik mukosa trakea yang terbentuk dari epitel
pseudostratified berbulu silia, menyebabkan dinding tersebut sangat sensitif terhadap
pergeseran dengan dinding luar pipa endotrakea (Christense et al., 1994; Kambic and
Radsel, 1998). Oleh sebab itu, perlu upaya untuk menghindari tindakan atau kondisi
yang dapat menimbulkan bias terhadap munculnya nyeri tenggorok yang disebabkan
oleh cara pengembangan cuff. Penyulit pada saluran nafas atau infeksi, radang kronis
yang diakibatkan oleh riwayat merokok lama, pemasangan pipa nasogastrik yang
diduga juga dapat menyebabkan tambahan iritasi. Prosedur tindakan intubasi yang kasar
serta dilakukan berulang kali dan lamanya intubasi, penyedotan lendir (suctioning) yang
berlebihan, gerakan leher saat tindakan operasi, dan lamanya operasi sangat
berpengaruh. (Sulistyono, 2010).
Besarnya tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan ke dalam cuff pipa
endotrakea dapat menggunakan alat khusus pengukur tekanan cuff. Tekanan udara yang
direkomendasikan yaitu sesuai dengan rentang tertentu antara 25-40 cmH2O. Dengan
adanya rentang tersebut, besar tekanan udara yang telah diberikan ke dalam cuff
tidaklah terlalu bervariasi, yaitu selama masih berada di dalam rentang aman.
Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyono (2010) melaporkan bahwa rata-rata tekanan
udara yang diisikan menggunakan alat ke dalam cuff adalah 29,20 1,15 cmH2O,
dimana pemberian tekanan terendah adalah 26 cmH2O dan tertinggi 30 cmH2O.
Dengan mengacu penelitian yang pernah dilakukan, peneliti berkeinginan untuk
melakukan penelitian dengan membandingkan pengukuran tekanan cuff menggunakan
manometer dan palpasi terhadap kejadian nyeri tenggorok pasca ekstubasi.

B. Rumusan Masalah
Tindakan intubasi endotrakeal untuk kepentingan anestesi umum saat dilakukan
pembedahan memiliki resiko komplikasi berupa trauma terhadap mukosa saluran nafas,
antara lain nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak pasca ekstubasi. Komplikasi tersebut
terutama disebabkan oleh tekanan cuff pipa endotrakeal pada dinding lateral trakea.
Tekanan cuff tersebut dapat di ukur dengan manometer. Masalah penelitian dalam
penelitian ini dapat dirumuskan apakah pengukuran tekanan cuff tersebut dapat
menurunkan kejadian nyeri tenggorok.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: apakah pengukuran tekanan cuff
menggunakan manometer menyebabkan lebih sedikit kejadian nyeri tenggorok pasca
ekstubasi dibandingkan pengukuran tekanan cuff menggunakan palpasi?
D. Tujuan Penelitian
Membandingkan kejadian nyeri tenggorok pasca ekstubasi pada pengukuran
tekanan cuff menggunakan manometer dan dengan palpasi.
E. Manfaat Penelitian
Apabila pengukuran tekanan cuff menggunakan manometer lebih baik untuk
mengurangi kejadian nyeri tenggorok pasca ekstubasi dibandingkan pengukuran
tekanan cuff menggunakan palpasi maka teknik manometer dapat dijadikan standar
pengukuran tekanan cuff pada intubasi endotrakhea.
F. Keaslian Penelitian
Penulis tidak menemukan penelitian yang sama tentang perbandingan
pengukuran tekanan cuff menggunakan manometer dan dengan palpasi terhadap

kejadian nyeri tenggorok pasca ekstubasi di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta dan
belum pernah ditemukan dalam laporan jurnal di Indonesia. Penulis menemukan
penelitian yang serupa yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sulistyono (2010), yang
akan penulis gunakan sebagai acuan dalam penelitian ini.
Tabel 1. Penelitian kejadian nyeri tenggoro pada intubasi endotrakhea
Peneliti
(tahun)

Tehnik anestesi
umum yang
dibandingkan

Desain
penelitian

Populasi

Jumlah
sampel

Hasil

Dibyosubroto
(2002)

Anestesi umum
dengan sungkup
laring, pipa trakea
dan face mask
dengan guedel

Prospektif

- Bandung

36

Insiden nyeri
tenggorokan dengan
sungkup laring sebesar
8,3%, pipa trakea 25%
dan face mask dengan
guedel 8,3%.

Ahmed et al.,
(2007)

Anestesi umum
dengan sungkup
laring dan pipa
trakea

Prospektif

- Pakistan
- Jenis
pembedahan:
gynecologic

312

Insiden nyeri
tenggorokan dengan
sungkup laring sebesar
3,5% sedangkan dengan
pipa trakea 28%

Radu et al.,
(2009)

Anestesi umum
dengan sungkup
laring dan pipa
trakea

Prospektif

- Inggris
- Jenis
pembedaha:
breast surgery

53

Insiden nyeri
tenggorokan dengan
sungkup laring sebesar
27% sedangkan dengan
pipa trakea 74%

Sulistyono (2010) Anestesi umum


dengan intubasi
endotrakeal

Prospektif

- Surabaya
- Jenis
pembedahan
elektif

50

Insiden nyeri
tenggorokan dalam
penelitian ini sebesar
20%, dengan volume
rata-rata tekanan kaf
25-30 cmH2O.

Anestesi umum
dengan intubasi
endotrakea

Prospektif

-india
-Jenis
pembedahan
elektif

75

Insiden nyeri tenggorok


44% dengan palpasi (P
=0,09)

Liu et al (2010) Anestesi umum


dengan intubasi
endotrakeal

Prospektif

-cina
-Jenis
pembedahan
elektif

509

Insiden nyeri tenggorok


dengan palpasi dgn
waktu >180 mt 44%

Metwalli et al
(2011)

You might also like