Professional Documents
Culture Documents
Refleksi Kasus
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SKIZOFRENIA PARANOID
oleh:
MUHAMMAD TAUFIK ADHYATMA
NIM. 0808015046
Pembimbing
dr. A. Dalidjo, Sp. KJ
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2013
REFLEKSI KASUS
Dipresentasikan pada kegiatan Kepaniteraan Klinik, Lab. Kedokteran Jiwa. Pemeriksaan
dilakukan pada hari Selasa, 8 Januari 2013 Pukul 16.30 WITA, di IGD Rumah Sakit Khusus
Daerah Atma Husada Samarinda, sumber Autoanamnesis dan Heteroanamnesis.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. AA
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 35 tahun
Status Perkawinan
: Belum Menikah
Agama
: Kristen
Suku
: Dayak
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Petani
Alamat
IDENTITAS KELUARGA
Nama
: Tn. AS
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 32 tahun
Status Perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
Hubungan Keluarga
: Adik Ipar
Alamat
STATUS PSIKIATRI
Keluhan Utama
: Sulit Tidur
Trauma Kepala (+), dimana pada tahun 2010, pasien terjatuh dari motor dengan kepala
menggunakan helm terbentur ke tanah, pada bagian pipi kanan. Namun pasien tetap
sadar, tidak ada kejang, dan tidak ada muntah.
Pasien memiliki riwayat meminum alcohol, dimana pasien terkadang minum alcohol
apabila sedang berkumpul dengan teman-teman. Jenis alkoholnya berganti-ganti, seperti
tuak atau topi miring.
Pasien memiliki riwayat merokok sejak SMP. Dimana pasien rata-rata habis satu
bungkus/hari.
Genogram
Keterangan :
: Laki-laki tanpa gangguan jiwa
: Perempuan tanpa gangguan jiwa
: Pasien
STATUS PRAESENS
Status Internus
Tanda Vital
Tekanan darah
: 110/60 mmHg
Nadi
Nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 36,8 OC
Keadaan Umum
: baik
Kesadaran
Sistem kardiovaskuler
Sistem respiratorik
Sistem gastrointestinal
Sistem urogenital
Kelainan khusus
Status Neurologikus
Panca indera
Tanda meningeal
normal
Pupil
Diplopia
tidak ditemukan
Visus
Status Psikiatrik
Kesan umum
Kontak
Kesadaran
: Composmentis, atensi (+), orientasi tempat, waktu dan ruang (+) baik,
Daya ingat (+)
Emosi / afek
Proses berpikir
Intelegensi
: Cukup
Persepsi
Kemauan
: ADL mandiri
Psikomotor
: normal
DIAGNOSIS
Formulasi Diagnosis
Seorang laki-laki berumur 35 tahun, agama Kristen, berstatus sebagai Petani, datang pada
hari Selasa, 8 Januari 2013 Pukul 16.30 WITA, di IGD RS Khusus Daerah Atma Husada
Samarinda dengan keluhan sulit tidur dan berbicara sendiri.
Pada proses awal autoanamnesis, ibunda pasien meninggal dunia, membuat pasien sedih.
Akan tetapi, pasien merasa tetap dapat beraktifitas sebagaimana biasanya. Lalu pasien ada
mengalami nyeri kepala dan sesak nafas. Akan tetapi gejala tersebut hilang timbul, utamnaya
saat lelah. Dan gejala tersebut sekarang sudah menghilang. Pasien mulai merasakan ada
suara-suara yang tidak jelas asalnya. Awalnya pasien hanya menganggap itu pikiran yang
aneh saja, akan tetapi dalam 2 bulan terakhir, suara-suara tersebut makin mengganggu pasien.
Dimana pasien mendengar suara tersebut seperti menceritakan dirinya. Satu minggu terakhir,
pasien merasakan kesulitan untuk tidur karena pasien sering mendengar suara-suara tersebut.
Pasien memilih untuk merokok terus agar dapat meredakan suara-suara tersebut, namun tidak
berhasil. Mengamuk disangkal oleh pasien.
Pada proses heteroanamnesa, Pasien sering berbicara sendiri, tapi tidak jelas dengan siapa
dan tidak pernah bercerita kepada keluarga, siapa yang membisikkan kata-kata yang
didengar. Namun keluarga melihat, pasien seperti ketakutan dan mengusir-usir dan
merasakan pasien seperti dikejar orang. Pasien terkadang membanting barang disekitarnya
bila sedang marah. Gejala tersebut muncul dalam 1 tahun terakhir. Pasien juga dalam satu
minggu ini mengalami sulit tidur dan ingin merokok terus.
Pada pemeriksaan psikiatri, didapatkan penampilan rapi, tenang, kooperatif, kontak verbal
dan visual baik, emosi stabil, afek sesuai, orientasi baik, proses pikir cepat, ada waham kejar,
terdapat halusinasi audiotorik, intelegensia cukup, ADL diarahkan, psikomotor normal.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan pada pasien.
Diagnosis Multiaksial
Aksis I
Psikofarmakologi:
1. Haldol 5 mg 2 x
2. Diazepam 5 mg 2 x1
PROGNOSA
Dubia ad bonam jika:
Jika rutin dalam melakukan terapi dan dukungan keluarga untuk sering memberikan
perhatian kepada pasien.
TINJAUAN PUSTAKA
Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa psikosis fungsional paling berat, dan lazim
yang menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak
mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan
penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa menimbulkan
serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya
berakhir dengan personalitas yang rusak. Keadaan ini pertama kali digambarkan oleh Kraepelin
pada tahun 1896 berdasarkan gejala dan riwayat alamiahnya. Kraepelin menamakannya
dementia prekoks. Pada tahun 1911, Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk menandai
putusnya fungsi psikis, yang menentukan sifat penyakit ini. Secara garis besar skizofrenia dapat
digolongkan kepada beberapa tipe yaitu, skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik,
skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual,
skizofrenia simpleks, skizofrenia yang lain-lain dan skizofrenia yang tak tergolongkan.
Menurut Epidemiologic Catchment Ares study, di Amerika prevalensi skizofrenia
berkisar dari 0,6% menjadi 1,9%, dengan rata-rata sekitar 1%. Dengan hanya beberapa
kemungkinan pengecualian, prevalensi di seluruh dunia skizofrenia sangat mirip di antara semua
budaya. Skizofrenia paling sering dimulai pada masa remaja akhir atau dewasa awal dan jarang
terjadi sebelum masa remaja atau setelah usia 40 tahun. Meskipun prevalensi skizofrenia adalah
sama pada laki-laki dan perempuan, yang mulai cenderung terkena lebih awal adalah pada pria.
Pria paling sering memiliki episode pertama mereka pada awal usia 20, sedangkan perempuan
biasanya selama akhir usia duapuluhan sampai umur 30.
ETIOLOGI SKIZOFRENIA PARANOID
a. Predeposisi
1)
Biologi
Skizofrenia paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada
Adolf Meyer yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/ penyakit badaniah
dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid .
Menurut Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa
skizofrenia merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel piramidal
dalam
otak,
dimana
sel-sel
otak
tersusun
rapi
pada
orang
normal.
Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering
berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis yang
tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung memiliki waham yang kompleks.
Sedangkan waham yang disertai dengan gangguan kecerdasan sering kali berupa waham
sederhana.
2)
Psikologis
Menurut Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan
dasarnya dengan mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat perasaan
yang tidak adekuat serta tidak berharga. Pertama kali mengingkari perasaannya sendiri,
kemudian memproyeksikan perasaannya kepada lingkungan dan akhirnya harus
menjelaskan kepada orang lain. Apa yang seseorang pikirkan tentang suatu kejadian
mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Beberapa perubahan dalam berpikir, perasaan
atau perilaku akan mengakibatkan perubahan yang lain. Dampak dari perubahan itu salah
satunya adalah halusinasi,dapat muncul dalam pikiran seseorang karena secara nyata
mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena itu, sesuai dengan waktu,
kepercayaan yang irrasional menghasilkan ketidakpuasan yang ironis, menjadi karakter
yang "Wajib" dan "Harus.
3)
Genetik
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini dibuktikan
dengan penelitian pada keluarga-keluarga yang menderita skizofrenia dan terutama anak
kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri sebesar 0,9 1,8%, saudara kandung
7 15%, anak dengan salah satu orang tua yang mengalami skizofrenia 7 16%, bila
kedua orang tua mengalami skizofrenia 40 68%, kembar dua telur (heterozygot) 215%,
kembar
satu
telur
(monozygot)
61-86%.
b. Presipitasi
Faktor ini dapat bersumber dari internal maupun eksternal.
-
Stresor sosiokultural
Stres yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya.
Stresor psikologis
Intensitas kecemasan yang tinggi, perasaan bersalah dan berdosa,
penghukuman diri, rasa tidak mampu, fantasi yang tak terkendali, serta dambaandambaan atau harapan yang tidak kunjung sampai, merupakan sumber dari
waham. Waham dapat berkembang jika terjadi nafsu kemurkaan yang hebat,
hinaan dan sakit hati yang mendalam.
fungsi
normal
seseorang.
Termasuk
kurang
atau
tidak
mampu
untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya
kemampuan bicara (alogia).
Unsur patogenesis skizofrenia belum dapat diketahui . Dugaan adanya unsur genetik telah
dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi gangguan psikosis, sebagian besar karena hasil
penelitian yang distimulasi oleh ditemukannya obat-obat antipsikosis. Pada tingkat tertentu,
asumsi ini banyak didukung dengan ditemukannya kasus- kasus skizofrenia yang disebabkan
oleh keturunan. Pembuktian yang actual tentang adanya keterkaitan kromosom dengan
menggunakan teknik genetik molekuler sulit dilakukan secara psati, baik karena kejadian yang
spesifik tidak dapat disamakan maupun karena adanya banyak gen yang terlibat di dalamnya.
Meskipun obat antipsikotik adalah utama dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah
menemukan bahwa intervensi psikososial, termasuk psikoterapi, dapat menambah perbaikan
klinis. farmakologis digunakan untuk mengobati ketidakseimbangan kimia, sedangkan
nonpharmacological
berkaitan
dengan
masalah
nonbiological.
Skizofrenia
biasanya
terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya
segera dibawa ke psikiater dan psikolog.
TATALAKSANA
Anti-psikosis disebut juga neuroleptic, dahulu dinamakan major transquilizer. Salah satunya
adalah chlorpromazine (CPZ), yang diperkenalkan pertama kali tahun 1951 sebagai premedikasi
dalam anastesi akibat efeknya yang membuat relaksasi tingkat kewaspadaan seseorang. CPZ
segera dicobakan pada penderita skizofrenia dan ternyata berefek mengurangi delusi dan
halusinasi tanpa efek sedatif yang berlebihan.
a. Farmakoterapi
Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan skizofrenia
secara
umum
menurut
Townsend,
Kaplan
dan
Sadock
antara
lain
1) Anti Psikotik
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :
a)
Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi
gejala emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal : 325 mg, kemudian dapat
ditingkatkan supaya optimal, dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri.
Dosis awal : 31 mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50 mg/hari.
c)
Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania.
Dosis awal : 30,5 mg sampai 3 mg. Obat antipsikotik merupakan obat terpilih
yang mengatasi gangguan waham. Pada kondisi gawat darurat, klien yang
teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik secara intramuskular.
Sedangkan jika klien gagal berespon dengan obat pada dosis yang cukup dalam
waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain harus diberikan. Penyebab kegagalan
pengobatan yang paling sering adalah ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi
ini harus diperhitungkan oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi yang berhasil
dapat ditandai adanya suatu penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham pada
klien.
2) Anti parkinson
Triheksipenydil (Artane)
Untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal
akibat
obat.
Dosis
yang
digunakan
1-15
mg/hari
: 16-320 mg/hari
Diazepam
: 10-30 mg/hari
Meprobamat
: 200-2400 mg/hari
Klordiazepoksida
: 15-100 mg/hari
b. Psikoterapi suportif
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan status psikiatri, pasien ini
didiagnosis dengan skizofrenia paranoid. Untuk menentukan diagnosis gangguan jiwa dapat
digunakan PPDGJ. Namun, sebelum mendiagnosis skizofrenia paranoid, pasien ini harus masuk
dalam criteria skizofrenia berdasarkan PPDGJ terlebih dahulu.
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit tak selalu bersifat kronis yang luas, serta sejumlah akibat
yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetic, fisik, dan social budaya. Pada umumnya
skizofrenia ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi serta afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih
(clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
DIAGNOSIS AXSIS
Axsis I
Pedoman diagnostic untuk skizofrenia berdasarkan PPDGJ-III adalah sebagai berikut :
Pedoman Diagnostik
Gejala pada
pasien
Kriteria
Harus ada sedikitnya satu gejala yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):
a. Thought echo, thought insertion or withdrawal, thought
Riwayat (-)
broadcasting
b. Delution of control, delution of influence, passivity, delution
of perception
Riwayat kendali
pikir (-)
Tidak
Memenuhi
Tidak
memenuhi
Halusinasi
auditorik (+),
Visual (-)
Memenuhi
Memenuhi
Halusinasi
Audiotorik (+)
Memenuhi
Atau paling sedikit dua dari gejala dibawah ini harus ada secara
jelas:
e. Halusinasi menetap dar panca indera apa saja.
f. Arus pikiran yang terputus atau mengalami sisipan yang
bersifat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau
neologisme
Tidak dijumpai
gejala ini
Tidak
Memenuhi
Pasien pernah
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh mengamuk. Merasa Memenuhi
tertentu atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme dan stupor Ketakutan
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap yang sangat apatis, bicara Tidak dijumpai
yang jarang serta respon emosional yang menumpul atau yang gejala ini
Tidak
tidak wajar biasanya mengakibatkan penarikan diri dari
Memenuhi
pergaulan sosial tetapi harus jelas hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi atau neuroleptik.
Gejala tersebut
i. Adanya gejala-gejala tersebut diatas telah berlangsung selama sudah berlangsung Memenuhi
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap
selama 1 tahun
fase non psikotik prodromal)
Kesimpulan: Pasien memenuhi kriteria diagnosis F.20
No
Kriteria Diagnosis
1 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Pada Pasien
Memenuhi
Sebagai tambahan:
2 - Halusinasi dan/atau waham harus menonjol:
a)
Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau member perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whisting),
mendengung (humming) atau bunyi tawa (laughing)
Memenuhi
b)
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual atau lainTidak
lain perasaan tubuh, halusinasi visual mingkin ada tapi jarang menonjol.
Memenuhi
c)
Waham dapat hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi
dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.
-Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik
secara relative tidak nyata
Kesimpulan: Pasien memenuhi kriteria diagnosis F.20.0
Memenuhi
Tidak
Memenuhi
Axsis II
Untuk Axsis II, berdasarkan anamnesa didapatkan kepribadian premorbid pasien
merupakan pribadi yang terbuka, suka bergaul, dan mudah bersosialisasi, sehingga disimpulkan
tidak ada diagnosis untuk Axsis II.
Axsis III
Untuk Axsis III, berdasarkan anamnesa tidak didapatkan kelainan.
Axsis IV
Untuk Axsis IV, berdasarkan anamnesa didapatkan bahwa pasien tidak ada masalah
dalam keluarga maupun lingkungaan sekitarnya, sehingga disimpulkan tidak ada diagnosis untuk
axsis IV.
Axsis V
GAF 70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, diabilitas ringan dalam fungsi, secara
umum masih baik.
TATALAKSANA TERAPI
Obat-obatan antipsikosis terbagi menjadi 2 kelompok utama yaitu Antipsikosis tipikal
dan atipikal. Mekanisme obat antipsikosis tipikal adalah memblokade Dopamin pada reseptor
pasca sinaps neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan ekstrapiramidal (Dopamine D2
receptor antagonist), sehingga efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat antipsikosis atipikal
di samping berafinitas terhadap Dopamine D2 Receptors, juga terhadap Serotonin 5 HT2
Receptors (Serotonin-dopamine antagonist) sehingga efektif juga untuk gejala negative.
Pemilihan obat antipsikosis didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu :
Pada dasarnya semua obat antipsikosis mempunyai efek primer yang sama pada dosis
ekivalen. Perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping : sedasi, otonomik dan
ekstrapiramidal)
Pemilihan jenis obat mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping
obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
Apabila dalam riwayat penggunaan obat antipsikosis sebelumnya, jenis obat tertentu
sudah terbukti efektif dan dapat ditolelir dengan baik, efek sampingnya, dapat dipilih
kembali untuk pemakaian sekarang.
Apabila gejala negatif lebih menonjol dari pada gejala positif, pilihan antipsikosis atipikal
perlu dipertimbangkan.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
Onset efek primer (klinis) sekitar 2-4 minggu dan efek sekunder sekitar 2-6 jam
Waktu paruh 12-14 jam (pemberian obat 1-2x/hari)
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis pagi
kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.
Pada pasien ini diberikan terapi berupa Haldol 5 mg 2 x dan Diazepam 5 mg 2 x1.
Haloperidol merupakan obat psikotik golongan tipikal (antagonist dopamine).
Haloperidol dapat mengurangi gejala positif dari skizofrenia. Selain itu, juga memiliki efek
sedasi tetapi rendah, sehingga biasanya pemberian haloperidol dikombinasikan dengan
chlorpromazine untuk memperkuat efek sedasi. Sebaiknya, pada pasien ini juga diberikan
trihexyphenidil 2 mg 2x1. Trihexyphenidil merupakan antidotum untuk efek sampaing dari
penggunaan haloperidol berupa gejala ekstrapiramidal seperti tremor, sindrom Parkinson, dll.
Digunakan sesuai kebutuhan dengan pemberian haloperidol.
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan status psikiatri serta
pedoman
diagnostic
PPDGJ-III,
laki-laki
usia
34
tahun
ini
didiagnosis
dengan
skizofrenia paranoid (F20.0). Namun, factor presipitasi pada pasien ini tidak jelas. Terapi yang
diberikan pada pasien ini adalah antipsikotik seperti haloperidol. Pasien juga diberikan diazepam
untuk anti anxietas. Selain terapi medikamentosa, pasien ini juga diberikan psikoterapi agar saat
sembuh, dapat bekerja dan bersosialisasi kembali dengan masyrakat seperti biasanya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia (PPDGJ). Edisi ke III. Jakarta.
Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri. Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis Edisi 10. Alih
bahasa: Widjaja Kusuma. Jawa Barat: Binarupa Aksara.
Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Unika Atmajaya: Jakarta. 2003.
Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga. Bagian ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2007.