You are on page 1of 21

Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa

Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

SKIZOFRENIA PARANOID

oleh:
MUHAMMAD TAUFIK ADHYATMA
NIM. 0808015046
Pembimbing
dr. A. Dalidjo, Sp. KJ
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2013

REFLEKSI KASUS
Dipresentasikan pada kegiatan Kepaniteraan Klinik, Lab. Kedokteran Jiwa. Pemeriksaan
dilakukan pada hari Selasa, 8 Januari 2013 Pukul 16.30 WITA, di IGD Rumah Sakit Khusus
Daerah Atma Husada Samarinda, sumber Autoanamnesis dan Heteroanamnesis.
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. AA

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 35 tahun

Status Perkawinan

: Belum Menikah

Agama

: Kristen

Suku

: Dayak

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Petani

Alamat

: Desa Jelarai Selor RT. 24, Tanjung Selor, Bulungan

IDENTITAS KELUARGA
Nama

: Tn. AS

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 32 tahun

Status Perkawinan

: Menikah

Pekerjaan

: Polisi Polres Malinau

Hubungan Keluarga

: Adik Ipar

Alamat

: Betong Ilir, Malinau

STATUS PSIKIATRI
Keluhan Utama

: Sulit Tidur

Riwayat Penyakit Sekarang


Autoanamnesis
Empat tahun yang lalu (2008), ibu dari pasien meninggal dunia. Ketika itu pasien merasa
seperti ada yang hilang dalam hidupnya, karena biasanya pasien lebih dekat dengan ibunya,
dibanding dengan ayah. Akan tetapi, pasien merasa tetap dapat beraktifitas sebagaimana
biasanya.
Dua tahun yang lalu (2010), pasien sering merasakan adanya nyeri pada bagian belakang
kepalanya, seperti ada yang mengikat dengan keras. Pada saat itu juga, pasien terkadang
mengalami rasas sesak seperti orang yang tenggelam. Akan tetapi gejala tersebut hilang timbul,
utamanya muncul ketika pasien sangat kelelahan dalam mengolah sawah. Dan gejala tersebut
sekarang sudah menghilang.
Satu tahun yang lalu (2012), pasien mulai merasakan ada suara-suara yang tidak jelas
asalnya. Awalnya pasien hanya menganggap itu pikiran yang aneh saja, akan tetapi dalam 2
bulan terakhir, suara-suara tersebut makin mengganggu pasien. Dimana pasien mendengar suara
tersebut seperti menceritakan dirinya.
Satu minggu terakhir, pasien merasakan kesulitan untuk tidur karena pasien sering
mendengar suara-suara tersebut. Pasien memilih untuk merokok terus agar dapat meredakan
suara-suara tersebut, namun tidak berhasil. Mengamuk disangkal oleh pasien.
Heteroanamnesis
Pasien sering berbicara sendiri, tapi tidak jelas dengan siapa dan tidak pernah bercerita
kepada keluarga, siapa yang membisikkan kata-kata yang didengar. Namun keluarga melihat,
pasien seperti ketakutan dan mengusir-usir dan merasakan pasien seperti dikejar orang. Pasien
terkadang membanting barang disekitarnya bila sedang marah. Gejala tersebut muncul dalam 1
tahun terakhir. Pasien juga dalam satu minggu ini mengalami sulit tidur dan ingin merokok terus.
Keluhan tersebut membuat pasien dibawa oleh kelurga ke Puskesmas Tanjung Palas dan
dilakukan rujukan langsung ke RSKD Atma Husada Mahakam Samarinda.

Riwayat Penyakit Dahulu

Trauma Kepala (+), dimana pada tahun 2010, pasien terjatuh dari motor dengan kepala
menggunakan helm terbentur ke tanah, pada bagian pipi kanan. Namun pasien tetap
sadar, tidak ada kejang, dan tidak ada muntah.

Typhoid (+) saat SD kelas 5, Malaria (-), kejang (-).

Pasien memiliki riwayat meminum alcohol, dimana pasien terkadang minum alcohol
apabila sedang berkumpul dengan teman-teman. Jenis alkoholnya berganti-ganti, seperti
tuak atau topi miring.

Pasien memiliki riwayat merokok sejak SMP. Dimana pasien rata-rata habis satu
bungkus/hari.

Riwayat menggunakan NAPZA negatif.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ada sepupu pasien yang memiliki gejala yang sama dengan pasien, yakni
berbicara sendiri sampai dengan sekarang.
Gambaran Premorbid
Pasien merupakan orang yang terbuka dan mudah untuk bergaul terhadap
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Faktor Pencetus
Keluarga menduga ada perubahan dari pasien sejak ibu pasien meninggal dunia 4
tahun yang lalu, dimana pasien menjadi merasa agak kesepian, karena dirumah hanya ada
dua orang yang tinggal, yakni pasien dan ayahnya.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah
Hubungan Dengan Keluarga Dan Lingkungan
Pasien memiliki hubungan yang baik dalam keluarga dan terhadap teman, tidak
ada masalah yang terjadi.

Genogram

Keterangan :
: Laki-laki tanpa gangguan jiwa
: Perempuan tanpa gangguan jiwa

: Pasien

STATUS PRAESENS
Status Internus
Tanda Vital

Tekanan darah

: 110/60 mmHg

Nadi

: 88 x/menit, kuat angkat, reguler

Nafas

: 20 x/menit

Suhu

: 36,8 OC

Keadaan Umum

: baik

Kesadaran

: compos mentis, GCS E4 V5 M6

Sistem kardiovaskuler

: tidak didapatkan kelainan

Sistem respiratorik

: tidak didapatkan kelainan

Sistem gastrointestinal

: tidak didapatkan kelainan

Sistem urogenital

: tidak didapatkan kelainan

Kelainan khusus

: tidak didapatkan kelainan

Status Neurologikus
Panca indera

: tidak didapatkan kelainan

Tanda meningeal

: tidak dilakukan pemeriksaan

Tekanan intrakranial : tidak dilakukan pemeriksaan


Mata
Gerakan

normal

Pupil

isokor; Refleks Cahaya +/+

Diplopia

tidak ditemukan

Visus

tidak dilakukan pemeriksaan

Status Psikiatrik
Kesan umum

: Rapi, Tenang, Kooperatif.

Kontak

: Verbal (+), Visual (+)

Kesadaran

: Composmentis, atensi (+), orientasi tempat, waktu dan ruang (+) baik,
Daya ingat (+)

Emosi / afek

: Stabil, afek sesuai

Proses berpikir

: Cepat, koheren, waham (+)

Intelegensi

: Cukup

Persepsi

: Halusinasi Auditori (+), Halusinasi Visual (-), ilusi (-)

Kemauan

: ADL mandiri

Psikomotor

: normal

DIAGNOSIS
Formulasi Diagnosis
Seorang laki-laki berumur 35 tahun, agama Kristen, berstatus sebagai Petani, datang pada
hari Selasa, 8 Januari 2013 Pukul 16.30 WITA, di IGD RS Khusus Daerah Atma Husada
Samarinda dengan keluhan sulit tidur dan berbicara sendiri.
Pada proses awal autoanamnesis, ibunda pasien meninggal dunia, membuat pasien sedih.
Akan tetapi, pasien merasa tetap dapat beraktifitas sebagaimana biasanya. Lalu pasien ada
mengalami nyeri kepala dan sesak nafas. Akan tetapi gejala tersebut hilang timbul, utamnaya
saat lelah. Dan gejala tersebut sekarang sudah menghilang. Pasien mulai merasakan ada
suara-suara yang tidak jelas asalnya. Awalnya pasien hanya menganggap itu pikiran yang
aneh saja, akan tetapi dalam 2 bulan terakhir, suara-suara tersebut makin mengganggu pasien.
Dimana pasien mendengar suara tersebut seperti menceritakan dirinya. Satu minggu terakhir,
pasien merasakan kesulitan untuk tidur karena pasien sering mendengar suara-suara tersebut.
Pasien memilih untuk merokok terus agar dapat meredakan suara-suara tersebut, namun tidak
berhasil. Mengamuk disangkal oleh pasien.
Pada proses heteroanamnesa, Pasien sering berbicara sendiri, tapi tidak jelas dengan siapa
dan tidak pernah bercerita kepada keluarga, siapa yang membisikkan kata-kata yang
didengar. Namun keluarga melihat, pasien seperti ketakutan dan mengusir-usir dan
merasakan pasien seperti dikejar orang. Pasien terkadang membanting barang disekitarnya
bila sedang marah. Gejala tersebut muncul dalam 1 tahun terakhir. Pasien juga dalam satu
minggu ini mengalami sulit tidur dan ingin merokok terus.
Pada pemeriksaan psikiatri, didapatkan penampilan rapi, tenang, kooperatif, kontak verbal
dan visual baik, emosi stabil, afek sesuai, orientasi baik, proses pikir cepat, ada waham kejar,
terdapat halusinasi audiotorik, intelegensia cukup, ADL diarahkan, psikomotor normal.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan pada pasien.

Diagnosis Multiaksial
Aksis I

: F20.00 Skizofrenia Paranoid

Aksis II : tidak ada diagnosis untuk aksis ini


Aksis III : tidak ada diagnosis untuk aksis ini
Aksis IV : tidak ada diagnosis untuk aksis ini
Aksis V : GAF 70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, diabilitas ringan dalam fungsi,
secara umum masih baik.
PENATALAKSANAAN
Psikoterapi
1. Dukungan keluarga yang baik untuk pasien sehingga dapat memberikan perhatian
yang lebih pada pasien.
2. Terapi dilakukan serutin dan sebaik mungkin agar efek obat yang diharapkan
dapat tercapai untuk kesembuhan pasien.

Psikofarmakologi:
1. Haldol 5 mg 2 x
2. Diazepam 5 mg 2 x1

PROGNOSA
Dubia ad bonam jika:
Jika rutin dalam melakukan terapi dan dukungan keluarga untuk sering memberikan
perhatian kepada pasien.

TINJAUAN PUSTAKA

Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa psikosis fungsional paling berat, dan lazim
yang menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak
mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan
penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa menimbulkan
serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya
berakhir dengan personalitas yang rusak. Keadaan ini pertama kali digambarkan oleh Kraepelin
pada tahun 1896 berdasarkan gejala dan riwayat alamiahnya. Kraepelin menamakannya
dementia prekoks. Pada tahun 1911, Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk menandai
putusnya fungsi psikis, yang menentukan sifat penyakit ini. Secara garis besar skizofrenia dapat
digolongkan kepada beberapa tipe yaitu, skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik,
skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual,
skizofrenia simpleks, skizofrenia yang lain-lain dan skizofrenia yang tak tergolongkan.
Menurut Epidemiologic Catchment Ares study, di Amerika prevalensi skizofrenia
berkisar dari 0,6% menjadi 1,9%, dengan rata-rata sekitar 1%. Dengan hanya beberapa
kemungkinan pengecualian, prevalensi di seluruh dunia skizofrenia sangat mirip di antara semua
budaya. Skizofrenia paling sering dimulai pada masa remaja akhir atau dewasa awal dan jarang
terjadi sebelum masa remaja atau setelah usia 40 tahun. Meskipun prevalensi skizofrenia adalah
sama pada laki-laki dan perempuan, yang mulai cenderung terkena lebih awal adalah pada pria.
Pria paling sering memiliki episode pertama mereka pada awal usia 20, sedangkan perempuan
biasanya selama akhir usia duapuluhan sampai umur 30.
ETIOLOGI SKIZOFRENIA PARANOID
a. Predeposisi
1)

Biologi
Skizofrenia paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada

diensefalon/ oleh perubahan-perubahan post mortem/ merupakan artefak pada waktu


membuat sediaan. Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini dihubungkan
dengan timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium
dan waktu klimaterium. Begitu juga dengan gangguan metabolisme, hal ini dikarenakan
pada orang yang mengalami skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstremitas
sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Teori ini didukung oleh

Adolf Meyer yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/ penyakit badaniah
dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid .
Menurut Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa
skizofrenia merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel piramidal
dalam

otak,

dimana

sel-sel

otak

tersusun

rapi

pada

orang

normal.

Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering
berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis yang
tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung memiliki waham yang kompleks.
Sedangkan waham yang disertai dengan gangguan kecerdasan sering kali berupa waham
sederhana.
2)

Psikologis
Menurut Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan

dasarnya dengan mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat perasaan
yang tidak adekuat serta tidak berharga. Pertama kali mengingkari perasaannya sendiri,
kemudian memproyeksikan perasaannya kepada lingkungan dan akhirnya harus
menjelaskan kepada orang lain. Apa yang seseorang pikirkan tentang suatu kejadian
mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Beberapa perubahan dalam berpikir, perasaan
atau perilaku akan mengakibatkan perubahan yang lain. Dampak dari perubahan itu salah
satunya adalah halusinasi,dapat muncul dalam pikiran seseorang karena secara nyata
mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena itu, sesuai dengan waktu,
kepercayaan yang irrasional menghasilkan ketidakpuasan yang ironis, menjadi karakter
yang "Wajib" dan "Harus.
3)

Genetik
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini dibuktikan

dengan penelitian pada keluarga-keluarga yang menderita skizofrenia dan terutama anak
kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri sebesar 0,9 1,8%, saudara kandung
7 15%, anak dengan salah satu orang tua yang mengalami skizofrenia 7 16%, bila
kedua orang tua mengalami skizofrenia 40 68%, kembar dua telur (heterozygot) 215%,

kembar

satu

telur

(monozygot)

61-86%.

b. Presipitasi
Faktor ini dapat bersumber dari internal maupun eksternal.
-

Stresor sosiokultural
Stres yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya.

Stresor psikologis
Intensitas kecemasan yang tinggi, perasaan bersalah dan berdosa,
penghukuman diri, rasa tidak mampu, fantasi yang tak terkendali, serta dambaandambaan atau harapan yang tidak kunjung sampai, merupakan sumber dari
waham. Waham dapat berkembang jika terjadi nafsu kemurkaan yang hebat,
hinaan dan sakit hati yang mendalam.

Gejala pada Skizofrenia : Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain


ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak
acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang
menyimpang (tangential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak
mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi
pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa
alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
1. Gejala-gejala Positif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut
positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas
atau

fungsi

normal

seseorang.

Termasuk

kurang

atau

tidak

mampu

menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan

untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya
kemampuan bicara (alogia).
Unsur patogenesis skizofrenia belum dapat diketahui . Dugaan adanya unsur genetik telah
dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi gangguan psikosis, sebagian besar karena hasil
penelitian yang distimulasi oleh ditemukannya obat-obat antipsikosis. Pada tingkat tertentu,
asumsi ini banyak didukung dengan ditemukannya kasus- kasus skizofrenia yang disebabkan
oleh keturunan. Pembuktian yang actual tentang adanya keterkaitan kromosom dengan
menggunakan teknik genetik molekuler sulit dilakukan secara psati, baik karena kejadian yang
spesifik tidak dapat disamakan maupun karena adanya banyak gen yang terlibat di dalamnya.
Meskipun obat antipsikotik adalah utama dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah
menemukan bahwa intervensi psikososial, termasuk psikoterapi, dapat menambah perbaikan
klinis. farmakologis digunakan untuk mengobati ketidakseimbangan kimia, sedangkan
nonpharmacological

berkaitan

dengan

masalah

nonbiological.

Skizofrenia

biasanya

menggunakan terapi tunggal . Modalitas psikososial harus diintegrasikan ke dalam pengobatan.


Pasien dengan skizofrenia mempunyai manfaat yang lebih dari penggunaan kombinasi obat
antipsikotik dan psikososial.
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin,
yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri
hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi
normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa
ada rangsang pancaindra). Pada pasien penderita, ditemukan penurunan kadar transtiretin atau
pre-albumin yang merupakan pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan permasalahan
pada zalir serebrospinal. Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric
Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa
muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering
terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting
karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi

terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya
segera dibawa ke psikiater dan psikolog.
TATALAKSANA
Anti-psikosis disebut juga neuroleptic, dahulu dinamakan major transquilizer. Salah satunya
adalah chlorpromazine (CPZ), yang diperkenalkan pertama kali tahun 1951 sebagai premedikasi
dalam anastesi akibat efeknya yang membuat relaksasi tingkat kewaspadaan seseorang. CPZ
segera dicobakan pada penderita skizofrenia dan ternyata berefek mengurangi delusi dan
halusinasi tanpa efek sedatif yang berlebihan.
a. Farmakoterapi
Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan skizofrenia
secara

umum

menurut

Townsend,

Kaplan

dan

Sadock

antara

lain

1) Anti Psikotik
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :
a)

Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi

gejala emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal : 325 mg, kemudian dapat
ditingkatkan supaya optimal, dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri.
Dosis awal : 31 mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50 mg/hari.
c)

Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania.

Dosis awal : 30,5 mg sampai 3 mg. Obat antipsikotik merupakan obat terpilih
yang mengatasi gangguan waham. Pada kondisi gawat darurat, klien yang
teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik secara intramuskular.
Sedangkan jika klien gagal berespon dengan obat pada dosis yang cukup dalam
waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain harus diberikan. Penyebab kegagalan
pengobatan yang paling sering adalah ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi
ini harus diperhitungkan oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi yang berhasil

dapat ditandai adanya suatu penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham pada
klien.
2) Anti parkinson
Triheksipenydil (Artane)
Untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal

akibat

obat.

Dosis

yang

digunakan

1-15

mg/hari

Difehidamin. Dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari


3) Anti Depresan
Amitriptylin
Untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatik. Dosis :
75-300 mg/hari.
Imipramin
Untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotik. Dosis awal :
25 mg/hari, dosis pemeliharaan : 50-75 mg/hari.
4) Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengotrol ansietas, kelainan somatroform,
kelainan disosiatif, kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-gejala
insomnia dan ansietas. Obat- obat yang termasuk anti ansietas antara lain:
Fenobarbital

: 16-320 mg/hari

Diazepam

: 10-30 mg/hari

Meprobamat

: 200-2400 mg/hari

Klordiazepoksida

: 15-100 mg/hari

b. Psikoterapi suportif

Psikoventilasi : Pasien dibimbing untuk menceritakan segala permasalahannya, apa


yang menjadi kekhawatiran pasien kepada therapist, sehingga therapist dapat
memberikan problem solving yang baik dan mengetahui antisipasi pasien dari faktor
faktor pencetus.
Persuasi: Membujuk pasien agar memastikan diri untuk selalu kontrol dan minum
obat dengan rutin.
Sugesti : Membangkitkan kepercayaan diri pasien bahwa dia dapat sembuh (penyakit
terkontrol).
Desensitisasi: Pasien dilatih bekerja dan terbiasa berada di dalam lingkungan kerja
untuk meningkatkan kepercayaan diri.
Perlu ditekankan kepada keluarga pasien untuk; memahamkan kepada keluarga
bahwa kerja sama mereka sangat dibutuhkan untuk memastikan kepatuhan kontrol dan
minum obat. Keluarga dianjurkan mengawasi pasien saat minum obat dan memastikan
pasien meminum obat dengan rutin di rumah. Juga diberi pengertian kepada keluarga
tetap menghargai pasien seperti orang sehat dan juga membesarkan hati pasien,
memberi pertimbangan-pertimbangan rasional terhadap berbagai keinginannya.
Penting dilakukan edukasi kepada masyarakat khususnya di sekitar pasien tinggal,
untuk mensosialisasikan pengertian penyakit jiwa yang sebenarnya. Diharapkan
masyarakat akan mengerti sehingga dapat memperlakukan pasien selayaknya manusia
yang berhak untuk dihargai.

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan status psikiatri, pasien ini
didiagnosis dengan skizofrenia paranoid. Untuk menentukan diagnosis gangguan jiwa dapat
digunakan PPDGJ. Namun, sebelum mendiagnosis skizofrenia paranoid, pasien ini harus masuk
dalam criteria skizofrenia berdasarkan PPDGJ terlebih dahulu.
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit tak selalu bersifat kronis yang luas, serta sejumlah akibat
yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetic, fisik, dan social budaya. Pada umumnya
skizofrenia ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi serta afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih
(clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
DIAGNOSIS AXSIS
Axsis I
Pedoman diagnostic untuk skizofrenia berdasarkan PPDGJ-III adalah sebagai berikut :
Pedoman Diagnostik

Gejala pada
pasien

Kriteria

Harus ada sedikitnya satu gejala yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):
a. Thought echo, thought insertion or withdrawal, thought

Riwayat (-)

broadcasting
b. Delution of control, delution of influence, passivity, delution
of perception

Riwayat kendali
pikir (-)

Tidak
Memenuhi

Tidak
memenuhi

c. Halusinasi auditorik, suara yang berkomentar terus-menerus


terhadap perilaku pasien diantara mereka sendiri, jenis suara
halusinasi lain berasal dari salah satu bagian tubuh

Halusinasi
auditorik (+),
Visual (-)

Memenuhi

d. Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya


setempat dianggap tidak wajar atau mustahil
Waham (+)

Memenuhi

Halusinasi
Audiotorik (+)

Memenuhi

Atau paling sedikit dua dari gejala dibawah ini harus ada secara
jelas:
e. Halusinasi menetap dar panca indera apa saja.
f. Arus pikiran yang terputus atau mengalami sisipan yang
bersifat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau
neologisme

Tidak dijumpai
gejala ini

Tidak
Memenuhi

Pasien pernah
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh mengamuk. Merasa Memenuhi
tertentu atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme dan stupor Ketakutan

h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap yang sangat apatis, bicara Tidak dijumpai
yang jarang serta respon emosional yang menumpul atau yang gejala ini
Tidak
tidak wajar biasanya mengakibatkan penarikan diri dari
Memenuhi
pergaulan sosial tetapi harus jelas hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi atau neuroleptik.
Gejala tersebut
i. Adanya gejala-gejala tersebut diatas telah berlangsung selama sudah berlangsung Memenuhi
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap
selama 1 tahun
fase non psikotik prodromal)
Kesimpulan: Pasien memenuhi kriteria diagnosis F.20

Pedoman diagnostic untuk skizofrenia paranoid (F20.0), adalah sebagai berikut :

No
Kriteria Diagnosis
1 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Pada Pasien
Memenuhi

Sebagai tambahan:
2 - Halusinasi dan/atau waham harus menonjol:
a)
Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau member perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whisting),
mendengung (humming) atau bunyi tawa (laughing)

Memenuhi

b)
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual atau lainTidak
lain perasaan tubuh, halusinasi visual mingkin ada tapi jarang menonjol.
Memenuhi
c)
Waham dapat hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi
dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.
-Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik
secara relative tidak nyata
Kesimpulan: Pasien memenuhi kriteria diagnosis F.20.0

Memenuhi
Tidak
Memenuhi

Axsis II
Untuk Axsis II, berdasarkan anamnesa didapatkan kepribadian premorbid pasien
merupakan pribadi yang terbuka, suka bergaul, dan mudah bersosialisasi, sehingga disimpulkan
tidak ada diagnosis untuk Axsis II.
Axsis III
Untuk Axsis III, berdasarkan anamnesa tidak didapatkan kelainan.
Axsis IV
Untuk Axsis IV, berdasarkan anamnesa didapatkan bahwa pasien tidak ada masalah
dalam keluarga maupun lingkungaan sekitarnya, sehingga disimpulkan tidak ada diagnosis untuk
axsis IV.

Axsis V

GAF 70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, diabilitas ringan dalam fungsi, secara
umum masih baik.

TATALAKSANA TERAPI
Obat-obatan antipsikosis terbagi menjadi 2 kelompok utama yaitu Antipsikosis tipikal
dan atipikal. Mekanisme obat antipsikosis tipikal adalah memblokade Dopamin pada reseptor
pasca sinaps neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan ekstrapiramidal (Dopamine D2
receptor antagonist), sehingga efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat antipsikosis atipikal
di samping berafinitas terhadap Dopamine D2 Receptors, juga terhadap Serotonin 5 HT2
Receptors (Serotonin-dopamine antagonist) sehingga efektif juga untuk gejala negative.
Pemilihan obat antipsikosis didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu :
Pada dasarnya semua obat antipsikosis mempunyai efek primer yang sama pada dosis
ekivalen. Perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping : sedasi, otonomik dan
ekstrapiramidal)
Pemilihan jenis obat mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping
obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
Apabila dalam riwayat penggunaan obat antipsikosis sebelumnya, jenis obat tertentu
sudah terbukti efektif dan dapat ditolelir dengan baik, efek sampingnya, dapat dipilih
kembali untuk pemakaian sekarang.
Apabila gejala negatif lebih menonjol dari pada gejala positif, pilihan antipsikosis atipikal
perlu dipertimbangkan.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
Onset efek primer (klinis) sekitar 2-4 minggu dan efek sekunder sekitar 2-6 jam
Waktu paruh 12-14 jam (pemberian obat 1-2x/hari)
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis pagi
kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.

Pada pasien ini diberikan terapi berupa Haldol 5 mg 2 x dan Diazepam 5 mg 2 x1.
Haloperidol merupakan obat psikotik golongan tipikal (antagonist dopamine).
Haloperidol dapat mengurangi gejala positif dari skizofrenia. Selain itu, juga memiliki efek
sedasi tetapi rendah, sehingga biasanya pemberian haloperidol dikombinasikan dengan
chlorpromazine untuk memperkuat efek sedasi. Sebaiknya, pada pasien ini juga diberikan
trihexyphenidil 2 mg 2x1. Trihexyphenidil merupakan antidotum untuk efek sampaing dari
penggunaan haloperidol berupa gejala ekstrapiramidal seperti tremor, sindrom Parkinson, dll.
Digunakan sesuai kebutuhan dengan pemberian haloperidol.

KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan status psikiatri serta
pedoman

diagnostic

PPDGJ-III,

laki-laki

usia

34

tahun

ini

didiagnosis

dengan

skizofrenia paranoid (F20.0). Namun, factor presipitasi pada pasien ini tidak jelas. Terapi yang
diberikan pada pasien ini adalah antipsikotik seperti haloperidol. Pasien juga diberikan diazepam
untuk anti anxietas. Selain terapi medikamentosa, pasien ini juga diberikan psikoterapi agar saat
sembuh, dapat bekerja dan bersosialisasi kembali dengan masyrakat seperti biasanya.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia (PPDGJ). Edisi ke III. Jakarta.
Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri. Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis Edisi 10. Alih
bahasa: Widjaja Kusuma. Jawa Barat: Binarupa Aksara.
Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Unika Atmajaya: Jakarta. 2003.
Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga. Bagian ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2007.

You might also like