You are on page 1of 20

Anatomi Hidung

Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang yang dipisahkan oleh
sekat hidung. Bagian luar dinding hidung terdiri dari kulit, lapisan tengah terdiri dari otot-otot
dan tulang rawan, lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang dinamakan
konka hidung (konka nasalis) (Syaifuddin, 1995).

Gambar 1. Kerangka luar hidung (Ballenger, 1994)


Keterangan :
1. Kartilago lateralis superior
2. Septum
3. Kartilago lateralis inferior
4. Kartilago alar minor
5. Processus frontalis tulang maksila
6. Tulang hidung
Pada gambar 1 tampak kerangka luar hidung yang terdiri dari dua tulang hidung, processus
frontal tulang maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior dan
tepi anterior kartilago septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan
kartilago septum nasi dan tepi atas melekat erat dengan permukaan bawah tulang hidung serta
processus frontal tulang maksila. Tepi bawah kartilago lateralis superior terletak di bawah
tepi atas kartilago lateralis inferior. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua per lima bagian
atasnya terdiri dari tulang dan tiga per lima dibawahnya tulang rawan.
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks, agak ke atas dan belakang dari apeks disebut
batang hidung atau dorsum nasi, yang berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu
dengan dahi, yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian
tengah bibir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela
dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung (Ballenger, 1994).
Dasar hidung dibentuk oleh processus palatina (1/2 bagian posterior) yang merupakan
permukaan atas lempeng tulang tersebut (Bajpai, 1991)

Gambar 2. Rongga hidung pandangan bawah (Ballenger, 1994)


Keterangan :
1. Kartilago alar
a. Medial crus
b. Lateral crus
2. Spins hidungis anterior
3. Fibro aleolar
4. Kartilago septal
5. Sutura intermaksilaris
Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura piriformis.
Tepi latero superior dibentuk oleh kedua tulang hidung dan processus frontal tulang maksila.
Pada gambar dua memperlihatkan tonjolan di garis tengah hidung yang disebut spina
hidungis anterior. Bagian hidung bawah yang dapat digerakkan terdiri dari dua tulang alar
(lateral inferior) dan kadang-kadang ada tulang sesamoid di lateral atas. Tulang rawan ini
melengkung sehingga membuat bentuk nares. Kedua krus medial dipertemukan di garis
tengah oleh jaringan ikat dan permukaan bawah septum oleh kulit. Di dekat garis tengah, krus
lateral sedikit sedikit tumpang tindih dengan kartilago lateralis superior. Krus medial saling
terikat longgar dengan sesamanya.
Beberapa tulang rawan lepas, kecil-kecil (kartilago alar minor) sering ditemukan di sebelah
lateral atau di atas krus lateral. Kulit yang membungkus hidung luar tipis dan mengandung
jaringan sub kutan yang bersifat areolar (Ballenger, 1994).
Tulang hidung merupakan tulang yang rata, yang satu dengan yang lain bersendi di garis
tengah menuju jembatan hidung, masing-masing tulang berbentuk empat persegi panjang
yang mempunyai dua permukaan dan empat pinggir (Bajpai, 1991). Nares anterior
menghubungkan rongga hidung dengan dunia luar. Nares anterior lebih kecil dibandingkan
dengan nares posterior yang berukuran kira-kira tinggi 2,5 cm dan lebar 1,25 cm (Ballenger,
1994).

Gambar 3. Permukaan medialis tulang hidung kiri (Bajpai, 1991)


Keterangan :
1.Pinggir superior
2.Pinggir medialis dan krista maksilaris
3.Foramen vaskuler
4.Sulkus untuk nervus ethmoidalis
5.Pinggir lateral
Permukaan eksternus sedikit cembung dan terdapat foramen vaskuler yang dilalui oleh
sebuah vena kacil dari hidung. Sebagaimana gambar 3 terlihat permukaan internus yang
sedikit cekung dalam bidang transversal dan terdapat sebuah alur tegak lurus untuk dilalui
oleh nervus ethmoidalis anterior serta pembuluh-pembuluh darahnya. Pinggir superior
merupakan pinggir yang paling tebal, tetapi sedikit lebih pendek daripada pinggir inferior dan
bersendi dengan bagian medialis incisura hidungis tulang frontal. Pinggir lateralis bersendi
dengan processus frontalis tulang maksila dan pinggir medialis membentuk sutura
interhidungis, bersendi dengan tulang yang sama dari sisi yang berlawanan.tulang hidung ini
berkembang dari penulangan membranosa dengan satu pusat primer yang tampak pada umur
12 minggu dari kehidupan intrauterin (Bajpai,1991). Atap hidung terdiri dari kartilago
lateralis superior dan inferior, tulang hidung, processus tulang maksila, korpus tulang
ethmoid dan korpus tulang sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina
kribosa yang dilalui filamen-filamen nervus olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius yang berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior (Ballenger, 1994).

Gambar 4. Septum nasi tanpa mukosa (Ballenger,1994)


Keterangan :
1. Tulang frontal
2. Spina frontalis

3. Tulang hidung
4. Kartilago septalis
5. Kartilago lateralis superior
6. Kartilago alar
7. Kartilago vomerohidung
8. Spina hidungis anterior
9. Incisura canal
10. Lamina perpendikularis tulang ethmoid
11. Sinus spenoid
12. Tulang vomer
13. Krista palatum
14. Krista maksila
Sebagaimana terlihat pada gambar 4 diatas bahwa septum (dinding medial) dibentuk oleh
tulang vomer di sebelah postero superior. Kartilago septalis terletak di sebelah anterior di
dalam angulus internus diantara tulang vomer dan lamina perpendikularis. Krista tulang
hidung di sebelah antero superior, rostrum dan krista os spenoidalis di sebelah postero
superior, sedangkan krista hidungis maksila serta os palatum berada disepanjang dasar hidung
(Bajpai, 1991). Tepi bawah artikulasio kartilago quadrilateral dengan spina maksilaris dan
tulang vomer terdapat dua kartilago lain yang dikenal dengan kartilago vomero hidung.
Septum dilapisi oleh perichondrium yang merupakan kartilago dan periosteum yang
merupakan tulang, sedangkan di bagian luarnya oleh mukosa membran (Hall, 1979). Bagian
atas dari tulang rawan hidung terdiri dari dua kartilago lateralis inferior (kartilago alar) yang
bentuknya bervariasi (Ballenger, 1994). Kavum nasi meluas dari nares sampai di belakang
khoana. Bagian ini dibagi menjadi dua bagian atau dua fossa hidungis oleh septum nasi yang
dibentuk oleh atap rongga terdiri dari processus palatina horisontalis di bagian posterior
(Meschan, 1959). Kavum nasi dibagi oleh septum nasi menjadi dua ruang yang mempunyai
struktur anatomis hampir sama tetapi tidak simetris (Hall, 1979). Dinding lateral terdapat
suatu tonjolan yang disebut sebagai konka yang di atasnya terdapat suatu celah disebut
meatus. Ada tiga buah konka atau turbinatus yaitu konka inferior, konka media, dan konka
superior. Konka inferior terdiri dari tulang yang menahan dinding lateral kavum nasi. Konka
media dan konka superior merupakan bagian dari tulang ethmoid. Konka dilapisi oleh suatu
mukosa membranosa dan ephitelium bersilia. Di bawah mukosa terdapat jaringan erectile,
terutama pada bagian anterior dan posterior dari tepi konka inferior, bawah konka inferior
dan tepi anterior konka media (Hall, 1979). Selain tiga buah konka diatas, kadang-kadang
terdapat konka ke empat (konka suprema) yang teratas (Ballenger,1994). Konka hidungis
suprema atau konka ke empat terletak pada permukaan tulang ethmoidalis daitas dan
dibelakang konka hidungis superior (Bajpai, 1991).
Fungsi Hidung
1. Alat Penciuman
Nervus olfaktorius atau saraf kranial melayani ujung organ pencium. Serabut-serabut saraf ini
timbul pada bagian atas selaput lender hidung, yang dikenal sebagai bagian olfaktorik hidung.
Nervus olfaktorius dilapisi sel-sel yang sangat khusus, yang mengeluarkan fibril-fibril halus
untuk berjalin dengan serabut-serabut dari bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius pada
hakekatnya merupakan bagian dari otak yang terpencil, adalah bagian yang berbentuk bulbus
(membesar) dari saraf olfaktorius yang terletak di atas lempeng kribiformis tulang ethmoid.
Dari bulbus olfaktorius, perasaan bergerak melalui traktus olfaktorius dengan perantaraan

beberapa stasiun penghubung, hingga mencapai daerah penerimaan akhir dalam pusat
olfaktori pada lobus temporalis otak, dimana perasaan itu ditafsirkan (Pearce, 2002).
2. Saluran Pernapasan
Rongga hidung dilapisi selaput lender yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan
bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lender semua sinus yang mempunyai
lubang masuk ke rongga hidung. Daerah pernapasan dilapisi dengan epithelium silinder dan
sel epitel berambut yang mengandung sel cangkir atau sel lender. Sekresi dari sel itu
membuat permukaan nares basah dan berlendir. Diatas septum nasalis dan konka selaput
lender ini paling tebal, yang diuraikan di bawah. Adanya tiga tulang kerang (konkhae) yang
diselaputi epithelium pernapasan dan menjorok dari dinding lateral hidung ke dalam rongga,
sangat memperbesar permukaan selaput lendir tersebut. Sewaktu udara melalui hidung,
udara disaring oleh bulu-bulu yang terdapat di dalam vestibulum, dan arena kontak dengan
permukaan lender yang dilaluinya maka udara menjadi hangat, dan oleh penguapan air dari
permukaan selaput lender menjadi lembab (Pearce, 2002).
3. Resonator
Ruang atas rongga untuk resonansi suara yang dihasilkan laring, agar memenuhi keinginan
menjadi suara hidung yang diperlukan. Bila ada gangguan resonansi, maka udara menjadi
sengau yang disebut nasolalia (Bambang, 1991).
4 Regulator atau Pengatur (Bambang, 1991)
Konka adalah bangunan di rongga hidung yang berfungsi untuk mengatur udara yang masuk,
suhu udara dan kelembaban udara.
5. Protektor Atau Perlindungan
Hidung untuk perlindungan dan pencegahan (terutama partikel debu) ditangkap oleh rambut
untuk pertikel yang lebih kecil, bakteri dan lain-lain melekat pada mukosa. Silia selanjutnya
membawa kebelakang nasofaring, kemudian ditelan (Bambang, 1991).

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Karsinoma nasofaring berkembang di nasofaring, suatu area di belakang hidung

menuju dasar tengkorak. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan
leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia (American Cancer Society, 2011 dan Roezin,
2010).
Karsinoma nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun
Oseania. Insidennya umumnya kurang dari 1/100.000. Insiden di beberapa negara Afrika
agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Tapi, relatif sering ditemukan di berbagai Asia
Tenggara dan China. Di RRC, walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan
daripada di berbagai daerah lain di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000
pada laki-laki 2,49/100.000, dan 1,27/100.000 pada perempuan (Desen, 2008).
Di Amerika Utara, karsinoma nasofaring terjadi pada 7 dari 1.000.000 penduduk.
Pada tahun 2011, ada sekitar 2,750 kasus di Amerika Serikat (American Cancer Society,
2011).
Di Indonesia, didapatkan di bagian THT RSUD Dr. Sutomo (selama tahun 20002001), poliklinik onkologi melaporkan penderita baru karsinoma nasofaring berjumlah 623
orang. Di bagian THT RSUP H.Adam Malik, selama 1991-1996 terdapat kasus 160 tumor
ganas, 94 kasus (58,81%) merupakan karsinoma nasofaring (Rusdiana, 2006).
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia
30-60 tahun, hingga 75-90%. Proporsi laki-laki dan perempuan adalah 2-2,8-1 (Desen, 2008).
Latar belakang etnis dan paparan kepada (Epstein-Barr Virus) EBV bisa
mempengaruhi faktor risiko perkembangan karsinoma nasofaring. Faktor risiko yang
termasuk ke dalam halayak yang berisiko ini adalah: Orang Cina atau keturunan Asia,
Paparan EBV telah berkaitan dengan karsinoma tertentu, termasuk karsinoma nasofaring dan
beberapa lymphoma, dan terlalu banyak minum alkohol (National Cancer Institute, 2011).
Telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier faktor genetik dari pasien
karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain. Pengaruh genetik terhadap
karsinoma nasofaring sedang dalam penelitian dengan mempelajari cell mediated immunity
dari EBV dan tumor assosiated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien

adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan
lingkungan dan kebiasaan hidup (Roezin, 2010).
Hampir semua sel karsinoma nasofaring mengandung virus EBV, dan kebanyakan
orang dengan karsinoma nasofaring memiliki bukti infeksi oleh virus ini di dalam darah.
Infeksi EBV sangat umum di suluruh dunia, dan sering terjadi pada masa kanak-kanak.
Infeksi EBV sendiri belum cukup untuk menyebabkan karsinoma nasofaring karena infeksi
ini sangat umum dan kanker ini jarang terjadi. Faktor-faktor lain, seperti genetik seseorang,
mungkin mempengaruhi bagaimana tubuh berespon terhadap EBV, yang pada gilirannya
mempengaruhi bagaimana EBV memberikan kontribusi terhadap perkembangan karsinoma
nasofaring (American Cancer Society, 2011).
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis
kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan
makan makanan terlalu panas serta memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin
dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine. Terdapat hubungan antara kadar nikel
dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya
hubungan dengan keganasan lain tidak jelas (Roezin, 2010). Selain iu juga debu kayu (Herza,
2010), serta asap dupa (kemenyan) bisa merupaka faktor lingkungan (Rusdiana, 2006).
Tembakau adalah penyebab yang paling sering disebut dalam perkembangan
karsinoma sel skuamosa. Bahkan, perokok berat dan hygiene mulut yang buruk telah dituduh
sebagai faktor penyebab (Adams, 1997).
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit untuk dilakukan ,
karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar
tengkorak. Oleh karena itu, tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli. Sering kali,
tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan
sebagai gejala pertama.
Sangat mencolok perbedaan (angka bertahan hidup 5 tahun), antara stadium awal dan
stadium lanjut, yaitu 76.9% untuk stadium I, 56.0% untuk stadium II, 38.4% untuk stadium
III dan hanya 16.4% untuk stadium IV (Roezin, 2010).
Dari hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN, didapatkan data dari tahun 2008-2010 jumlah keseluruhan pasien penderita
penyakit karsinoma nasofaring yang dirawat inap berjumlah 141 pasien. Dengan perincian
pada tahun 2008 berjumlah 82 pasien, 2009 berjumlah 32 pasien, dan 2010 berjumlah 27
pasien.
1.2.

Rumusan Masalah

Bagimanakah gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring?

1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Untuk mengetahui gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring.
1.3.2. Tujuan Khusus
a.

Mengetahui distribusi proporsi sosiodemografi pada pasien karsinoma nasofaring: umur,

jenis kelamin, suku, dan pekerjaan.


b. Mengetahui distribusi proporsi keluhan utama pada pasien karsinoma nasofaring.
c. Mengetahui distribusi proporsi keluhan tambahan pada pasien karsinoma nasofaring.
d. Mengetahui distribusi proporsi tipe histopatologis pada pasien karsinoma nasofaring.
1.4.

Manfaat Penelitian

a. Membantu menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring.


b. Mengetahui gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Karsinoma Nasofaring

2.1.1. Definisi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada sel
epitelial- batas permukaan badan internal dan external sel di daerah nasofaring. Ada tiga tipe
karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011):
a. Karsinoma sel skuamos keratinisasi.
b. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi.
c. Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk di
jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di belakang hidung.
Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi dimulai
dari belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan makanan melawati
pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos yang melapisi
nasofaring (National Cancer Institute, 2011).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel nasofaring.
Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat meluas ke hidung,
tenggorok, serta dasar tengkorak (Munir, 2010).
2.1.2. Epidemiologi
Seperti telah disebutkan dalam Bab Pendahuluan, karsinoma nasofaring jarang sekali
ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari
1/100.000 penduduk. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000
penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Di RRC,
walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada berbagai daerah lain di
dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000, pada pria 2,49/100.000, dan pada
wanita 1,27/100.000 (Desen, 2008).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), larynx
(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah (Roezin,
2010).

Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia
30-60 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1
(Desen, 2008).
Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun, dengan umur
paling banyak antara 50-70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai umur rata-rata penderita
lebih muda yaitu 25 tahun. Insiden karsinoma nasofaring meningkat setelah umur 20 tahun
dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah umur 60 tahun.
Sebesar 2% dari kasus. karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan di
Guangzhou ditemukan 1% karsinoma nasofaring dibawah 14 tahun. Pada penelitian yang
dilakukan di medan (2008), kelompok umur penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah
50-59 tahun (29,1%). Umur penderita yang paling muda adalah 21- tahun dan yang paling tua
77 tahun. Rata-rata umur penderita pada penelitian ini adalah 48,8 tahun (Munir, 2010).
Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan penyebab yang
masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin berhubungan dengan adanya faktor
genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain (Roezin, 2010).

2.1.3. Etiologi
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring
adalah:
a.

Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap kanker
nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras yang banyak sekali
menderitanya adalah bangsa China dan memiliki fenomena agregasi familial ( Desen, 2008),
Anggota keluarga yang menderita karsinoma nasofaring cendrung juga menderita karsinoma
nasofaring. Penyebab karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma nasofaring
dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ( seperti diet
makanan yang sama atau tinggal di lingkungan yang sama), atau beberapa kombinasi
diantarnya juga ikut mendukung timbulnya karsinoma nasofaring (American cancer society,
2011). Analisis korelasi menunjukkan gen (Human Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode

enzime sitokorm p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker
nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring. Tahun
2002, RS Kanker Universitas Zhongshan memakai 382 buah petanda mikrosatelit
polimorfisme 22 helai autosom genom manusia. Dengan melakukan pemeriksaan genom total
terhadap keluarga insiden tinggi kanker nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi
Guangdong, gen kerentanan nasofaring ditetapkan berlokasi di 4p1511-q12 (Desen, 2008).
b. Epstein-Barr Virus
EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya karsinoma
nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan memengaruhi DNA sel sehingga
mengalami mutasi, khususnya protooncogen menjadi oncogen (American Cancer Society,
2011 dan Sudiana, 2008).
c. Faktor ligkungan dan diet
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan
kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air
minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan
dengan keganasan lain tidak jelas (Roezin, 2010). Tingginya kadar nitrosamin diantaranya
dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou
juga berhubungan (Desen, 2008).
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik dengan
karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti ikan dan daging yang
tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi menyatakan bahwa diet tinggi buah dan
sayur mungkin menurunkan resiko karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011).
d. Faktor pekerjaan
Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak berhubungan
dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian kayu), atau pekerjaan
pembuat sepatu. Atau zat yang sering kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah
antara lain: Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, asap industri, dan asap kayu
(Soetjipto, 1989).
e. Radang kronis daerah nasofaring
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan
terhadap karsinogen lingkungan (Soetjipto, 1989 dan Herawati, 2002).
2.1.4. Patologi
Rongga nasofaring diselaputi lapisan mukosa epitel tipis , terutama berupa epitel
skuamosa, epitel torak bersilia berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam lamina propria

mukosa sering terdapat limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa.
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring.
A.

Tipe Patologik
Sel karsinoma nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi.

Para ahli di RRC menganjurkan penggunaan serentak klasifikasi histologik yang ditetapkan
WHO tahun 1991 dan klasifikasi standar diagnosis terapi kanker nasofaring dari China
(tabel 2.1).
Tabel 2.1. Perbandingan Klasifikasi Standar Diagnosis Dan Terapi Karsinoma Nasofaring
China Dan Klasifikasi Histologik Karsinoma Nasofaring WHO
Standar diagnosis dan terapi
Karsinoma sel skuamosa

Kalsifikasi WHO
Karsinoma sel skuamosa

berdiferensiasi baik
Karsinoma sel skuamosa

keratinisasi
Karsinoma nonkeratinisasi

berdiferensiasi sedang
Karsinoma sel skuamosa

berdiferensiasi
Karsinoma tak berdiferensiasi

berdiferensiasi buruk
Karsinoma sel intivaskular
Karsinoma tak berdiferensiasi
(Desen, 2008).

B.

Pertumbuhan Dan Ekspansi


Lokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama di

recessus pharyngeus) dan dinding supero-posterior.


Tingkat kegananasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung
berekspansi hingga menginfiltrasi ke struktur yang berbatasan. Ke atas, dapat langsung
merusak basis kranial. Juga dapat melalui foramen spinosum, kanalis karotis internal atau
sinus sfenoid dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran atau retakan alamiah
menginfiltrasi kranial, mengenai saraf kranial; ke anterior menyerang rongga nasal, sinus
maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui
intrakranium, fisura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu

ke orbita. Ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fosa intratemporal dan
kelompok otot kunyah dll. Ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal,
vertebra servikal. Ke inferior mengenai orofaring bahkan laringofaring.
C.

Metastasis
Submukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat melintasi

garasi tengah ke sisi leher kontra-lateral. Penyebaran limfogen ke kelenjar limfe leher dari
kanker nasofaring terjadi secara dini. Lokasi metastasis kelenjar limfe tersering ditemukan
pada kelenjar limfe profunda leher atas di bawah otot digastrik, yang kedua adalah kelenjar
limfe leher profunda kelompok tengah dan kelenjar limfe rantai nervus aksesorius di
trigonum servikal posterior.
Metasasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke kelenjar leher,
menyusul limfadenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang metastasis juga meningkat
jelas.
Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang, lalu ke paru, dan sering terjadi
metastais ke banyak organ sekaligus (Desen, 2008) tetapi, jarang ke hati (Brennan, 2006)
2.1.5. Manifestasi Klinis
Sekitar 3 dari 4 pasien mengeluh benjolan atau massa di leher ketika pertama kali
datang ke dokter. Hal ini di sebabkan oleh karena kanker telah menyebar ke kelenjar getah
bening di leher, menyebabkan mereka menjadi lebih besar dari normal (kelenjar getah bening
yang seukuran kacang mengumpuli sel sistem imun di seluruh tubuh). Gejala karsinoma
nasofaring dapat dibagi atas 4 kelompok (Roezin, 2010, American Cancer Society, 2011,
Mansjoer, 2003, Herawati, 2002, dan Soetjipto, 1989) yaitu :
1. Gejala nasofaring: berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dan pilek.
2. Gejala telinga: gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat dengan muara tuba
eustachius ( fossa roodden muller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di
telinga (otalgia) hingga nyeri dan infeksi telinga yang berulang.
3. Gejala mata dan saraf: gangguan saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.
Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, 1V,VI dan dapat pula ke
V, sehingga tidak jarang diplopialah yang membawa pasien dahulu ke dokter mata. Neuralgia
merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain
yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut dapat mengenai saraf ke IX, X, XI, dan XII
manifestasi kerusakannya ialah:
N IX: gangguan pengecapan yang terjadi pada sepertiga belakang lidah dan terjadi kesulitan
menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior.

N X: hiper/hipo/anastesi pada mukosa palatum mole, faring dan laring diikuti gangguan
respirasi dan salivasi.
N XI: kelumpuhan dan atrofi pada otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus, serta
hemiparesis palatum mole.
N XII: terjadi hemiparalisis dan atrofi pada sebelah lidah.
Jika penjalaran melewati foramen jugulare yang disebut sindrom jackson, dan jika
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral serta dapat terjadi destruksi tulang
tengkorak dengan prognosis yang buruk.
4. Gejala atau metastasis di leher: dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk
berobat, karena sebelumnya tidak ada keluhan lain.
5. Gejala metastasis jauh: ke hati, paru, ginjal, limpa, tulang, dsb.
2.1.6. Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TIM menurut UICC (2002) dikutip dari
buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher Roezin, (lihat Roezin,
2010).
Stadium 0

T1s

N0

M0

Stadium I

T1

N0

M0

Stadium IIA

T2a

N0

M0

Stadium IIB

T1

N2

M0

T2a

N1

M0

T2b

N0,N1

M0

T1

N2

M0

T2a,T2b

N2

M0

T3

N2

M0

Stadium IVa

T4

N0,N1,N2

M0

Stadium IVb

semua T

N3

M0

Stadium IVc

semua T

semua N

M1

Stadium III

T
= Tumor
T0
= Tidak tampak tumor.
T1
= Tumor terbatas di nasofaring.
T2
= Tumor meluas kejaringan lunak.
T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan

ke parafaring

(perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor kearah postero-lateral melebihi fasia


faring-basiler.
T2b: Disertai perluasan ke parafaring.

T3

= Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal.

T4

= Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf cranial,

fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator.

N1

= Pembesaran kelenjar getah bening.

NX

= Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.

N0

= Tidak ada pembesaran.

= Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicular.

N2

= Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicular.

N3

= Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar, atau terletak dalam
fossa supraclavikular.
N3a: Ukuran lebih dari 6 cm.
N3b: Di dalam fossa supraclavicular.

Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral.
M

= Metastasis.

MX

= Metastasis jauh tidak dapat dinilai.

M0

= Tidak ada metastasis jauh.

M1

= Terdapat metastasis jauh.

2.1.7. Diagnosis Dan Prognosa


Diagnosis
Karsinoma nasofaring dapat ditegakkan diagnosisnya secara dini, untuk itu harus
melakukan hal-hal berikut ini:
a.

Tingkat kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien


Pasien dengan epistaksis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
lymphadenopathy leher tak nyeri, cephalgia, ruda paksa saraf kranial dengan kausa tak jelas,

dengan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringnya dengan nasofaringoskop
indirek atau elektrik (Desen, 2008).
b. Pemeriksaan kelenar limfe leher
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat pembesaran (Desen, 2008
c.

dan National Cancer Institute, 2011).


Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa
menggunakan kateter (American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011 dan

Soetjipto, 1989).
Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter
Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus untuk menilai
nasofaring dan area yang dekat sekitarnya.
Pada pasien dewasa yang tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat dilakukan. Tumor yang

tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat tampak dengan mudah.
Rinoskop posterior menggunakan kateter
Nasofaringoskopi direk, dokter menggunakan sebuah fibreoptic scope ( lentur,
menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke rongga hidung atau mulut) untuk menilai
secara langsung lapisan nasofaring.
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri,
setelah tampak di orofaring, uung katater tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar

selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya.


d. Pemeriksaan saraf kranial
Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah
e.

kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif (Desen, 2008).
Pencitraan
Computed tomography (CT) scan nasofaring
Makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu diagnosis; (2) memastikan luas lesi,
penetapan stadium secara akurat; (3) secara tepat menetapkan zona target terapi; merancang
medan radiasi; (4) memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak

lanjut (Desen, 2008, National Cancer Institute 2011, dan Soetjipto, 1989).
Chest x-ray
Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray dada mungkin
dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru (National Cancer Institute, American

Cancer Society, 2011 dan Soetjipto, 1989) .


Magnetic resonance imaging (MRI) scan
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat
potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas
memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini

menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara pasca fibrosis pasca radioterapi
dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat (Desen, 2008 dan American Cancer Society,

National Cancer Institute, 2011) .


Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters)
Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak serta adanya

metastasis jauh (National Cancer Institute, 2011 dan, Soetjipto, 1989).


Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif
dibandingkan ronsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen.
Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak

tampak sebagai akumulasi

radioaktivitas; sebagian kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas (Desen, 2008 dan

Soetjipto, 1989).
(Positron emission tomography) PET
Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in vivo. Pasien akan menerima
injeksi glukosa yang terdiri dari atom radioaktif. Jumlah radioaktif yang digunakan sangat
rendah. Karena sel kanker di dalam tubuh bertumbuh dengan cepat, kanker mengabsorpsi

sejumlah besar gula radioaktif (Desen, 2008 dan National Cancer Institute 2011).
f. Biopsy nasofaring
Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh
patologi untuk memastiakan tanda-tanda kanker (National Cancer Institute, 2011).
g. Pemeriksaan histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada
nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak berkeratinisasi
dan karsinoma tidak berdiferensiasi ( Roezin, 2010 dan Brennan 2006).

h. Pemeriksaan serologis EBV


Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi kanker

nasofaring (Desen, 2008):


Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >= 1:80;
Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin) EA-IgA dan EBV-

DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.


Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinu atau
terus meningkat.

Prognosa
Gambaran dengan lymphadenomegali menyiratkan bahwa penyakit telah meyebar
luas keluar dari bagian primer. Beberapa penelitian melaporkan bahwa angka bertahan hidup
5 tahun setelah mendapatkan terapi radiasi adalah 85-95% untuk KNF stadium I dan 70-80%

untuk KNF stadium II. Stadium III dan stadium IV yang cuma mendapat terapi radiasi, angka
bertahan hidup 5 tahun berkisar antara 24-80%. Kira-kira sepertiga penderita meninggal
dunia karena metastasis jauh yang dapat ditemukan di tulang, paru, dan hati ( Lin HS, 2009,
Gardjito, 2005, dan Brennan, 2006).
2.1.8. Diagnosis Banding
a.

Kelainan hiperplastik nasofaring


Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia
sebelum 30 tahun sudah mengalami atrofi. Tapi pada sebagian orang dalam proses atrofi itu
terjadi infeksi serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetris di tempat itu.

b. TB nasofaring
Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangakal atau benjol
granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh nasofaring.
c. TB kelenjar limfe leher
Lebih banyak pada pemuda dan remaja, konsistensi agak keras, dapat melekat dengan
jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat nyeri tekan atau undulasi (Desen,
2008).
2.1.9. Terapi Karsinoma Nasofaring
a.
b.
c.
d.

Stadium I
: Radioterapi.
Stadium II&III
: Kemoradiasi (Roezin, 2010 dan National Cancer Institute 2011).
Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi.
Stadium IV dengan N>6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi (Roezin, 2010).

a.

Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi atau radiasi
tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat pertumbuhan sel kanker. Ada dua
tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external menggunakan mesin yang berada di luar tubuh
untuk memberikan radiasi kepada kanker. Terapi radiasi internal menggunakan zat radioaktif
yang dimasukkan melalui jarum, radioaktive seeds, wires atau kateter yang ditempatkan
secara langsung kedalam atau di dekat kanker. Cara pemberian terapi radiasi tergantung pada
tipe dan satdium kanker yang diobati.
Sumber radiasi menggunakan radiasi Co-60, radiasi energi tinggi atau radiasi X
energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar isosentrum, dibantu
brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi stereotaktik (Desen, 2008).

b. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap periode diikuti
dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan kesempatan tubuh melakukan recover.
Siklus-siklus kemoterapi umumnya berakhir hingga 3 sampai 4 minggu. Kemoterapi sering
tidak dianjurkan bagi pasien yang kesehatannya memburuk. Tetapi umur yang lanjut
bukanlah penghalang mendapatkan kemoterapi.
Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati karsinoma
nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara tunggal sebagai bagian dari kemoradiasi, tetapi
boleh dikombinasikan dengan obat lain, 5-fluorourasil (5-FU) jika diberikan setelah terapi
radiasi. Beberapa obat lain boleh juga berguna untuk mengobati kanker yang telah menyebar.
Obat-obat ini termasuk: Carboplatin, Oxaliplatin, Bleomycin, Methotrexate, Doxorubicin,
Epirubicin, Docetaxel, dan Gemcitabine. Sering, pengkombinasian 2 atau lebih obat-obat ini
yang digunakan (American Cancer Society, 2011). Tetapi berbagai macam kombinasi
dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai
inti (Roezin, 2010).
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitocyn C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi
harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
c. Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak
menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi
dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik
dan serologi, serta tidak adanya ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan pada karsinoma
nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II,
adenokarsinoma, komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll) (Desen, 2008 dan Roezin,
2010).
d. Terapi paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban penderita
kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak dapat disembuhakn lagi.

Tujuan terapi paliatif adalah:


Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita atas kematian
penderita.

Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.


Mulut rasa kering disebabkan oleh kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak dapat banyak dilakukan selain menasihatkan penderita untuk
makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi dan
memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang

mencoba
keluarnya

liur

(Roezin, 2010 dan Sukardja, 2002).


2.1.10. Pencegahan
a.

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi

(Roezin, 2010).
b. Mengurangi konsumsi ikan asin ternyata dapat menurunkan insidens secara nyata (Soetjipto,
1989).
c. Mengurangi konsumsi alkohol atau berhenti merokok.
d. Makan makanan yang bernutrisi dan mengurangi serta mengeontrol stress
e. Berolahraga secara teratur (American Cancer Society, 2011).
2.1.11. Komplikasi
Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas nyeri pada tulang, batukbatuk, dan gangguan fungsi hati serta gangguan fungsi organ lain (Sudiana, 2008).

You might also like