You are on page 1of 9

Salah satu pertanyaan penelitian yang diajukan adalah perlu diketahuinya nilai-nilai apa saja

yang ada pada masyarakat craft untuk dapat menerima sebuah pendekatan selama ini tidak
dikenal atau tidak diketahui oleh masyarakat penggiat craft di Indonesia. Jika karya-karya
artefak di Indonesia dihasilkan oleh dorongan yang bersifat religi, dan kemudian disinyalir pada
sebagian daerah adalah sekedar hasil kegiatan mengisi waktu luang, dan kemudian bergeser pada
bentuk kegiatan dengan motif ekonomi, maka perlu diketahui pergeseran-pergeseran apa sajakah
yang mempengaruhi motivasi berkreasi pada masyarakat Indonesia untuk menghasilkan kreasi.
Dengan kata lain, dapat diketahui hal apa sajakah yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk
mau menerima sebuah perubahan secara sosial.
Dari pertanyaan tersebut, dapat diuraikan pertanyaan lebih detail yaitu :
1. Apakah masyarakat craft Indonesia tidak dapat berubah?, untuk dapat menerima
eksplorasi material sebagai sebuah pendekatan berkreasi, berbeda dengan metoda yang
selama ini digunakan?. Ataukah,
2. Masyarakat craft Indonesia tidak mau berubah ?. Jika tidak mau berubah, hal apa sajakah
yang mendorong ketidak-mauan tersebut ?, dan dengan demikian dapat diperoleh
penyesuaian pada eksplorasi material agar sesuai dengan karakteristik sosial masyarakat.
3. Kendala apa sajakah yang dihadapi oleh masyarakat craft Indonesia untuk mau atau dapat
berubah?, sehingga eksplorasi material dapat digunakan sebagai salah satu model
pendekatan dalam menghasilkan karya ?.
Untuk menjawab petanyaan-pertanyaan tersebut, maka kajian teori yang dipilih pada penelitian
ini adalah teori perubahan sosial (sosiologi perubahan sosial), hal ini dipertimbangkan karena
craft dari perspektif sosial adalah sebuah bentuk implementasi dari nilai yang diyakini oleh
masyarakat dalam menjalankan kehidupannya baik secara individu ataupun secara kolektif. Dari
beberapa buku sosiologi yang membahas hal tersebut, dengan mempertimbangkan relevansinya
dengan penelitian yang dilakukan, teori mengenai perubahan sosial yang mendominasi sub-bab
ini adalah teori yang dibahas dalam buku yang ditulis oleh Pitr Sztompka, yaitu Sosiologi
Perubahan Sosial.

Pada tingkat kompleksitas internalnya, masyarakat selalu berubah, mulai dari tingkat makro,
mezo, hingga mikro. Realitas sosial masyarakat craft Indonesia pada saat ini tidak dapat terlihat
sama dengan apa yang terjadi pada masa-masa terdahulu, demikian juga keragaman bentuk
realitas sosial itu sendiri yang bergantung pada masing-masing karakteristik daerah.
Sebagian besar masyarakat Bali melakukan kegiatan craft sebagai bagian dari kegiatan ibadah
yang mengkonsumsi waktu yang demikian banyak, dalam setahun (420 hari) terdapat 108 hari
untuk upacara dewa yadnya secara rutin(Sukarsa, 2009), sehingga kegiatan craft sangat melekat
pada masyarakat tersebut dan menumbuhkan potensi ketrampilan dan cita-rasa estetik yang juga
dengan khas dibentuk oleh tradisi. Hal ini tampak sangat berbeda dengan bentuk realitas sosial
yang ada pada masayarakat Dayak di kalimantan, di mana simbol-simbol visual yang dibentuk
oleh adat mulai bergeser menjadi sekedar identitas visual dari adat itu sendiri. Kecenderungan
lain juga dapat dilihat dari masyarakat craft di daerah Jawa Barat (seperti Tasikmalaya) yang
menjadikan craft bukan sebagai bagian dari ritual ibadah, bahkan pada awalnya merupakan
kegiatan mengisi waktu luang disela-sela kegiatan bertani (Sakri, 2009), yang kemudian beralih
menjadi kegiatan ekonomi. Sementara itu, kegiatan membuat keramik di Singkawang sangat
berkaitan erat dengan keyakinan agama yang mereka anut, sehingga perubahan dari sisi bentuk
dan teknik selalu harus dilandaskan pada keyakinan yang dianut.
Sztompka, membedakan dua tingkatan realitas sosial, yaitu tingkat individualitas, yang terdiri
dari manusia individual, atau sebagai anggota kolektivitas kongkret, dan tingkat totalitas, yaitu
kesatuan sosial abstrak, sejenis supra individu yang mencerminkan realitas sosial sui-generis
( masyarakat, kultur, peradaban, formasi sosio-ekonomi, dan sistem sosial). Kesatuan ini tidak
dipandang sebagai kumpulan individu saja, dan bukan pula hanya sebagai kesatuan metafisik,
tetapi sebagai struktur; dan individu sosial tidak dilihat sebagai objek pasif atau subjek yang
sepenuhnya otonom (Sztompka, 2010).
Pada tingkat individual, masyarakat di Bali dapat terlihat lebih homogen dibandingkan
masyarakat Jawa Barat, sehingga bentuk realitas masyarakat Bali pada tingkat totalitas dapat
dilihat melalui tingkat individualitasnya. Akan tetapi, sebagai masyarakat yang selalu bergerak
dinamis, tidak pasif, menurut Sztompka, diperlukan juga sudut pandang yang mengacu pada
perbedaan kedua yaitu bentuk keberadaan realitas sosial, yaitu secara potensial, antara lain

mengenai kecenderungan bawaan, benih masa depan, kapasitas, kemampuan, kekuatan. Dan juga
secara aktual, yaitu mengenai proses, transformasi, perkembangan, perilaku, dan aktifitas.
Mempertimbangkan hal ini, maka tinjauan terhadap perubahan sosial yang mempengaruhi
masyarakat craft di Indonesia tidak dapat menggunakan studi kasus yang bersifat mewakili
masyarakat keseluruhan di Indonesia.
Menurut Selo Soemardjan perubahan sosial adalah semua perubahan yang terjadi pada lembagalembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat,di mana perubahan tersebut mempengaruhi
sistem sosialnya. Perubahan sosial yang dimaksud mencakup nilai-nilai dan pola-pola perilaku di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soemardjan & Soemardi, 1974). Dengan definisi
yang kurang lebih serupa terdapat beberapa penekanan seperti adanya penekanan waktu tertentu,
atau adanya hubungan perubahan sosial dengan aktor individual.
Pada beberapa kasus masyarakat pelaku craft di Indonesia, telah terjadi perubahan sosial yang
cukup signifikan. Masyarakat pelaku kreasi (umumnya disebut sebagai pengrajin) sebagian
berada pada lingkungan pedesaan, di mana pilihan aktivitas hidup sangat terbatas. Sekitar tahun
1958, ibu Ramintje seorang pekerja anyaman rotan di kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
menceritakan bahwa pada tahun tersebut ia tidak memiliki pilihan hidup kecuali ikut menganyam
rotan bersama dengan anggota keluarganya yang lain. Demikian pula dengan apa yang terjadi di
daerah Jatiwangi, Cirebon, pada sekitar tahun 1998 mengalami pergolakan sosial akibat
runtuhnya industri genteng yang selama ini menjadi tumpuan sebagian besar masyarakat disana,
pilihan hidup yang tadinya bergantung pada satu bidang saja memaksa hampir seluruh
masyarakat disana untuk hidup sebagai pekerja genteng.
Baik apa yang terjadi di Majalengka ataupun Palangkaraya diatas, menunjukkan bagaimana
pilihan hidup sebagai potensi perubahan sosial memainkan peranan yang besar. Ketika pilihan di
Palangkaraya akhirnya semakin terbuka, maka struktur sosial masyarakat menjadi berubah,
akibat signifikan dari perubahan ini adalah semakin menyusutnya jumlah individu di
Palangkaraya untuk bekerja menjadi penganyam rotan, hal yang terjadi juga hampir diseluruh
tempat di Indonesia.

Perubahan pola berpikir dan pola perilaku dari struktur sosial beberapa masyarakat craft yang
dapat dikenali saat ini memperlihatkan perubahan, dengan kata lain terdapat struktur yang
bergeser, sehingga pengkajian faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut seharusnya
dapat ditelusuri. Ketika masyarakat pelaku anyaman di Tasikmalaya menggunakan waktu
senggangnya untuk menunggu panen dengan membuat kebutuhan sehari hari dengan anyaman,
maka saat ini, kegiatan menggunakan waktu luang sudah bergeser menjadi kegiatan utama yang
menghabiskan sebagian besar waktu yang dimiliki.
Perkembangan terakhir dari teori perubahan sosial memperlihatkan bahwa tidak ada satupun
faktor-faktor perubah yang diperlakukan sebagai penyebab utama dari proses sosial. Menurut
Boudon dan Baurricaud, sosiologi modern cenderung menolak pemikiran yang menekankan
adanya penyebab dominan perubahan sosial (Sztompka, 2010).
Dalam bukunya Sosiologi Perubahan Sosial, Pitr Sztompka membagi teori-teori perubahan
sosial kepada empat kelompok yaitu teori Evolusionisme, teori sosiologi Modern, teori
Lingkaran sejarah, dan teori materialisme-historis.
Dalam pandangan teori evolusionisme, masyarakat craft akan mengalami evolusi metoda dalam
mendapatkan pengetahuan dan yang menghasilkan kumpulan pengetahuan. Menurut August
Comte (1824), sejarah manusia adalah sejarah perubahan pemikiran dan masyarakat yang saling
menyesuaikan dan mencerminkan satu sama lain pemikiran manusia berkembang melalui tiga
tahap, teologis, metafisik, dan positif (Sztompka, 2010). Cerminan masyarakat memperlihatkan
sebagian besar masyarakat craft masih berada pada tahap teologis, belum mencapai tahap positif
dimana manusia menyerahkan diri pada hukum berdasarkan bukti empiris, pengamatan,
perbandingan, dan eksperimen. Sejalan dengan pemikiran awal sosiologi ini, Roy Bashkar
(1984) menyatakan bahwa perubahan sosial biasanya terjadi secara wajar, gradual, bertahap serta
tidak pernah terjadi secara radikal atau revolusioner. Prosesnya meliputi reproduksi, yaitu proses
mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari
nenek moyang, dan proses transformasi , yaitu proses penciptaan hal baru yang dihasilkan oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang berubah adalah aspek budaya yang sifatnya material,
sedangkan yang bersifat norma dan nilai sulit sekali untuk diadakan perubahan (Salim, 2002).

Evolusi berlangsung melalui diferensiasi struktural dan fungsional: (1) dari yang sederhana
menuju yang kompleks; (2) dari tanpa bentuk yang dapat dilihat ke keterkaitan bagian-bagian;
(3) dari keseragaman, homogenitas ke spesialisasi, heterogenitas; (4) dari ketidakstabilan ke
kestabilan. Perubahan dari hal yang sederhana menuju ke yang kompleks dapat terlihat dari
masyarakat awal yang disebut oleh Marx sebagai cara hidup sederhana tanpa kelas, cara hidup
ideal, kepemilikan bersama, tanpa memiliki nafsu untuk bersaing (Salim, 2002). Pola kehidupan
seperti ini dapat terlihat pada beberapa aspek masyarakat pedesaan di Indonesia saat ini.Dalam
teori evolusionisme, tenaga pendorong perubahan terdapat di dalam sifat masyarakat, berasal
dari kebutuhan dasarnya untuk terwujud, dan untuk berubah sendiri.
Dalam buku Societies: Evolutionary and Comparative Perspective (1966) dan The System of
Modern Societies (1971), Talcot Parsons menggunakan konsep struktual-fungsional untuk
membedakan dua jenis proses yang terjadi dalam setiap masyarakat, yakni proses intergratif dan
proses kontrol. Disamping itu terdapat juga proses perubahan struktural yang menyentuh inti
sistem nilai dan norma, yang mengendalikan hubungan antar unit dalam masyarakat. Perubahan
struktural mengikuti pola evolusioner, di mana perbedaan fase satu dengan tahap selanjutnya
dibedakan oleh kenaikan derajat kekompleksan di dalam masyarakat. Terdapat empat
mekanisme dasar evolusi: diferensiasi, peningkatan daya adaptasi, pemasukan, dan generalisasi
nilai, di mana keempat mekanisme tersebut beroperasi bersama sama yang melahirkan keadaan
masyarakat tertentu yang digambarkan dalam skema AGIL. Menurut Parson, pada awalnya
terdapat suatu tipe ketegangan, yang merupakan kondisi ketidaksesuaian antara keadaan suatu
sistem sekarang ini dan suatu keadaan yang diinginkan. Ketegangan ini merangsang
penyesuaian (adaptation) dari suatu tujuan tertentu (goal maintenance). Proses sebelum tujuan
dapat tercapai menuntut adanya tahap penyesuaian yang menuntut harus disiapkannya energi
dan alat yang diperlukan. Tahap pencapaian tujuan secara khas diikuti oleh suatu tekanan pada
integrasi (integration). Akhirnya, tahap ini akan diikuti oleh tahap mempertahankan pola tanpa
interaksi atau bersifat laten (laten pattern maintenance).
Frances OConnel Rust, seperti yang disadur oleh Sztompka, mengatakan bahwa teori
perubahan sosial yang kedua, yaitu Modernisasi, secara historis memiliki pengertian pencapaian
modernitas, makin mendekati ciri-ciri khusus seperti proses industrialisasi, urbanisasi,

rasionalisasi, birokratisasi, pengaruh kapitalisme, perkembangan individualisme dan motivasi


untuk berprestasi, dan meningkatnya pengaruh akal dan sains. Ini berati proses transformasi
yang dilalui masyarakat tradisional atau masyarakat prateknologi untuk menjadi masyarakat
yang ditandai oleh teknologi mesin, sikap rasional dan sekuler serta struktur sosial yang sangat
terdiferensiasi.
Konsep modernisasi dalam arti khusus yang disepakati teoritisi di tahun 1960-an didefinisikan
dalam tiga cara: historis, relatif, dan analitis. Menurut cara historis, modernisasi sama dengan
Westernisasi. Cara ini mengakibatkan mudahnya terjebak pada bahaya etnosentrisme yang
keliru. Bahaya inilah yang dihindarkan oleh definisi relatif, yang tidak memerlukan parameter
jarak atau waktu, tetapi memusatkan perhatian pada substansi proses, kapan dan di manapun
terjadinya. Menurut pengertian relatif, modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk
menyamai standar yang dianggap modern. Definisi untuk analitis berciri lebih khusus daripada
kedua definisi di atas, yakni melukiskan dimensi masyarakat modern dengan maksud untuk
ditanamkan dalam masyarakat tradisional atau masyarakat pra-modern. Sebagian analitis
memusatkan perhatian pada aspek struktural. (Sztompka, 2010)
Terdapat beberapa teori yang mencoba melihat mekanisme pendorong ke arah modernisasi yang
ditemui dalam masyarakat terbelakang. Sebagian menggunakan pemikiran kaum evolusionisme
tradisional dengan analogi pertumbuhannya. Perspektif ini banyak digunakan dengan masalah
utamanya yaitu menemukan faktor penghambat diferensiasi masyarakat. Sebagian lagi
menggunakan pemikiran evolusionisme Darwinian dengan gagasannya mengenai pertahanan
hidup. Mekanisme modernisasi yang agak khusus dikemukakan oleh teori konvergensi, yang
menyatakan bahwa teknologi dominan memaksakan bentuk baru organisasi sosial, kehidupan,
pola kultur, perilaku sehari-hari, dan keyakinan serta sikap. Dari perspektif teori ini, maka
perkembangan teknologi yang pesat akan menimbulkan sindrom modernitas menyeluruh,
menghasilkan keseragaman pada berbagai lapisan masyarakat, dan melenyapkan perbedaan
lokal. Goldthrope, seperti yang dikutip oleh Sztompka merangkumnya sebagai berikut, bahwa
ketika industrialisme berkembang dan menggejala di seluruh dunia, jarak struktur institusional,
sistem nilai dan keyakinan akan semakin berkurang. Semua masyarakat, apapun jalan yang

dilaluinya, akan memasuki dunia industri, cenderung menyerupai masyarakat industri yang
sebenarnya. (Sztompka, 2010)
Diawal tahun 1980-an, teori modernisasi menemukan bentuk barunya, yang kemudian dikenal
dengan nama teori neomodernisasi. Perbedaan penting dari hadirnya teori ini adalah proses
modernisasi di negara Dunia Ketiga (post-kolonial), biasanya bertolak dari tatanan masyarakat
tradisional, pramodern yang dilestarikan tanpa perubahan bentuk, yang disebut dengan
modernitas palsu, yaitu kebingungan, ketidakseleraan dan kontradiksi yang menyatu dengan tiga
komponen: (1) modernitas yang dipaksakan di bidang kehidupan sosial tertentu, digandengkan
dengan (2) sisa masyarakat tradisioanal (pra modern) dibidang kehidupan yang lain dan semua
itu didandani dengan (3) perhiasan simbolik yang pura-pura meniru modernitas barat.
Teori ketiga mengenai perubahan sosial masyarakat adalah Teori Lingkaran Sejarah, yaitu
pandangan teori mengenai proses sejarah yang berbeda dengan teori yang berasal dari teori
evolusionisme, meninggalkan analogi pertumbuhan organik yang digunakan oleh kaum
evolusionis, dan bekerja dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari yang berulang dan
naik turun. Seperti yang dikutip oleh Sztompka dari Sorokin, bahwa kehidupan sosial tersusun
dari proses terpisah yang tak terhitung jumlahnya, masing-masing diteruskan secara mengalun
dan berulang dalam ruang, waktu, ruang dan waktu secara periodik atau nonperiodik dalam
jangka pendek atau panjang (Sztompka, 2010).
Dalam proses yang linier, setiap fase berbeda dari fase yang mendahuluinya dalam waktu.
Sedangkan dalam proses melingkar, keadaan sistem yang berubah kemudian akan menjadi sama
dengan keadaan sistem itu di waktu sebelumnya (atau pada dasarnya sama). Sorokin
membedakan lingkaran sempurna dan lingkaran nisbi. Dalam proses melingkar sempurna, fase
terakhir perulangan tertentu kembali ke fase awalnya dan lingkaran dimulai lagi, melewati jalan
yang sama dengan yang dilalui sebelumnya. Dalam proses melingkar nisbi, proses perulangan
tidak sama dengan rentetan perulangan yang terjadi sebelumnya, terdapat penyimpangan antara
satu lingkaran ke lingkaran yang lain. (Sztompka, 2010)
Salah satu teori perubahan melingkar adalah teori yang dikemukakan oleh Vifredo Pareto, yang
mengemukakan analisis klasik mengenai perubahan sosial melingkar berdasarkan skala lebih

kecil dalam masyarakat tertentu ketimbang dalam peradaban besar. Pareto memandang
masyarakat sebagai sebuah sistem sosial yang berkembang melalui proses melingkar. Sistim
sosial terdiri dari tiga jenis unsur abstrak (variabel) yang saling berhubungan: (1) residu, yakni
kecenderungan bawaan; (2) kepentingan, yakni kondisi objektif yang melayani kebutuhan
manusia; (3) derivasi, yakni pembenaran dan rasionalisasi yang dimaksudkan untuk melegitimasi
kecenderungan dan kepentingan diri. (Sztompka, 2010)
Dengan melihat pandangan dari Pareto, maka sebagian masyarakat craft di Indonesia termasuk
pada kecenderungan konservatif,

yang bercirikan hati hati, tradisional, mengutamakan

keselamatan dan stabilitas, menekankan loyalitas. Hal ini berlawanan dengan kecenderungan
kombinasi dengan ciri-ciri kepribadian seperti semangat, inovasi, kewirausahaan, kesediaan
memikul resiko, mendambakan sesuatu yang baru dan yang asli.
Terdapat pandangan yang bersifat evolusionisme, akan tetapi Sztompka memisahkannya dengan
menyebutnya pandangan Materialisme Historis, yang banyak terangkum pada karya Marx dan
Engels. Menurut Marx, sejarah manusia adalah proses alamiah, dalam arti ada hukumnya dan
dapat diketahui, sejarah manusia mengarah pada kemajuan, dan melihat kemajuan sejarah
didorong oleh kekuatan dari dalam. Dalam interpretasi sejarah, dapat dibedakan dua aspek, yaitu
dialektika dan substansi. Yang dimaksud dengan substansi adalah tanda-tanda kekuatan dan agen
yang menggerakkan sejarah ke depan, hal yang mirip dengan gagasan Hegel mengenai semangat
(Geist) sebagai substratum dan agen penggerak sejarah sesungguhnya. (Sztompka, 2010)
Komponen utama (substratum dasar) masyarakat adalah individu. Pemikiran dari Marx
mengangkat konsep individu secara orisinil, konsep individu bukan mengacu pada substansinya
tetapi lebih pada sisi hubungannya (kontekstual). Individu tidak ditandai oleh ciri-ciri universal,
tetapi ditandai oleh kekhususan hubungannya dengan lingkungannya. Oleh caranya berhubungan
dengan alam dan manusia lain di mana ia hidup. Terdapat dua jenis hubungan manusia yaitu
partisipasi dan kreasi. Hubungan partisipasi semula berarti hubungan sosial, hubungan antara
individu dengan individu lain. Tetapi hubungan ini dapat diperluas ke hubungan dengan alam
sehingga berarti keselarasan hubungan antar manusia dan dengan lingungan fisik.

Konsep individu pada Marx bukanlah konsep psikologis, tetapi merupakan konsep sosiologis.
Perspektif sosiologi melihat individu sebagai: (1) seorang aktor dalam tindakan sosial yang
ditunjukan kepada orang lain atau yang ditimbulkan oleh reaksi orang lain; (2) mitra dalam
interaksi sosial; (3) partisipan dalam dalam hubungan sosial; (4) anggota kelompok; (5)
pemegang posisi sosial tertentu; (6) pelaksana peran sosial. Bagi sosiologi, masalah sifat manusia
menyangkut ciri-ciri manusia dalam kapasitas sepihak selaku aktor, mitra, partisipan, anggota,
pemegang atau pelaksana, dan hanya dalam kapasitas seperti itu.(Sztompka, 2010)

You might also like