Professional Documents
Culture Documents
Laparaskopi
Agus Henryanto, Purwoko
=============================================================
Pendahuluan
Prosedur pembedahan telah dikembangkan untuk mengurangi trauma pada
pasien, tingkat morbiditas, mortalitas, dan lama tinggal di rumah sakit, dengan
konsekuensi pengurangan biaya perawatan kesehatan. Tersedianya fasilitas dan
peralatan yang lebih baik bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
pemahaman yang baik tentang patologi, maka dikembangkanlah prosedur laparoskopi
baik diagnostic maupun operatif. Dimulai pada tahun 1970an, berbagai kondisi
ginekologi patologis telah dapat didiagnosa dan di terapi dengan metode laparoskopi
ini. Pada tahun 1980an, teknik ini digunakan pula untuk cholesistectomy. Sejak
pengenalan laparoskopi cholecystectomy yang pertama, perkembangan teknik
laparaskopi makin menyebar dan meluas di seluruh dunia. Keuntungan dari tindakan
laparoskopi adalah incisi kecil, lebih baik dari segi kosmetika, nyeri post operatif
yang minimal, dan masa penyembuhan yang cepat sehingga pasien dapat kembali
melakukan aktifitas normal kembali.
Pneumoperitoneum dan posisi pasien yang benar dibutuhkan pada laparoskopi
yang dapat menyebabkan perubahan patofisiologi dan akan menyulitkan manajemen
anestesi. Pemahaman tentang patofisiologi yang mengakibatkan peningkatan tekanan
intra abdominal sangat penting dikuasai oleh ahli anestesi yang idealnya harus
mencegah terjadinya hal tersebut, atau, bila pencegahan tidak memungkinkan
dilakukan, cukup menangani perubahan yang terjadi. Ahli anestesi juga harus
mengevaluasi dan mempersiapkan pasien sebaik mungkin pada saat preoperasi agar
resiko terjadinya peningkatan intra abdominal menjadi minimal. Selain itu juga
1
prosedur ini sering dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut dan penyakit berat.
Teknik ini memang menyebabkan gangguan pada sistem kardiovaskuler dan respirasi,
namun juga merupakan suatu teknik pembedahan yang aman dan sederhana yang
dapat dilakukan pada pasien rawat jalan yang menuntut perhatian lebih pada teknik
anestesi.
Perubahan Patofisiologis akibat Pneumoperitoneum
Perubahan Sistem Respirasi
Fisiologi
sistem
respirasi
dipengaruhi
secara
langsung
oleh
konsentrasi ADH selama tindakan laparaskopi. Output urin akan meningkat secara
signifikan setelah deflasi.
Perubahan pada Splanchnic
Sirkulasi splanchnic juga megalami perubahan selama peningkatan IAP.
Berkaitan dengan tekanan intra-abdominal, penelitian pada hewan menunjukan
adanya penurunan sirkulasi makro maupun mikro sirkulasi. Tanda kerusakan
hepatosit juga ditemukan, dengan peningkatan transaminase oksaloasetat glutamat
dan transaminase piruvat glutamat. Gangguan sel kupffer pada hati dan penurunan
PH gaster juga didapatkan.
Perubahan pada Aliran Darah Serebral
Kecepatan darah serebral meningkat selama pneumoperitoneum CO2
merupakan respon dari peningkatan PaCO2. Tekanan intracranial meningkat dan
3
pada lutut. Tungkai harus disangga secara bebas dan tekanan pada rongga poplitea
harus dihindarkan.
Pada posisi head-up tidak menghasilkan penurunan pada kapasitas residual
fungsional, volume total paru, dan pemenuhan pulmonal. Posisi ini biasanya
dianggap lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan posisi head-down.
Perubahan Patofisiologi akibat Absorbsi CO2
Peningkatan Tekanan Parsial Karbon Dioksida Arteri ( PaCO2 )
Selama pemasukan CO2 pneumoperitoneum, tekanan parsial karbon dioksida
arteri ( PaCO2 ) meningkat secara progresif sampai tekanan stabil yang dicapai
selama 15 30 menit setelah insuflasi CO2 pada pasien yang di control dengan
ventilasi mekanik. Peningkatan PaCO2 ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Absorbsi CO2 dari cavum peritoneal.
2. Pelemahan ventilasi pulmonar dan perfusi dari faktor mekanik seperti
distensi abdominal.
3. Posisi pasien
4. Ventilasi mekanik dengan volume-controlled.
Observasi peningkatan PaCO2 ketika CO2 digunakan sebagai gas insuflasi
menunjukan
bahwa
mekanisme
utama
untuk
peningkatan
PaCO2
selama
penumoperitoneum berlangsung adalah absorbsi CO2 dibandingkan dengan faktorfaktor yang lain. Absorbsi udara dari cavum peritoneal bergantung pada kemampuan
udara tersebut untuk menyebar dan berdifusi, area absorbsi, dan perfusi dari dinding
cavitas. Karena kemampuan CO2 untuk berdifusi tinggi, absorbsi CO2 dalam jumlah
besar ke dalam darah mengindikasikan peningkatan PaCO 2 akan terjadi. Selama
deflasi terjadi, CO2 yang terakumulasi di pembuluh darah peritoneal yang kolaps akan
mencapai sirkulasi sistemik dan menimbulkan kenaikan PaCO2 yang singkat.
Perubahan respiratorik selama prosedur laparoskopi berlangsung dapat
meningkatkan tekanan CO2 arterial. Perfusi pulmonary dan ventilasi yang tidak
sebanding dapat ditimbulkan dari posisi pasien dan dari distensi abdominal juga turut
berperan dalam peningkatan tekanan parsial CO2 arterial. Apabila control ventilasi
tidak dapat mengkoreksi respon terhadap peningkatan ruang mati, maka ventilasi
alveolar akan menurun dan PaCO2 meningkat. Pada pasien yang sehat absorbsi CO 2
dari cavum peritoneal merupakan mekanisme utama yang bertanggung jawab
terhadap meningkatnya PaCO2, tetapi pada pasien dengan masalah kardiorespiratorik
problem perubahan ventilasi juga berperan secara signifikan.
Komplikasi Laparaskopik
Emfisema CO2 subkutan
Efisema subkutan CO2 dapat terjadi karena komplikasi dari insuflasi
ekstraperitoneal yang tidak disengaja. Pada kasus seperti ini laparaskopi harus
dihentikan agar dapat terjadi pengurangan kadar CO2, dan setelah itu dapat
dilanjutkan kembali setelah koreksi hiperkapnea menggunakan tekanan insuflasi yang
rendah. Pada kasus efisema CO2 subcutan tidak membutuhkan ekstubasi trachea pada
akhir tindakan operasi. Pasien tetap diberikan ventilasi mekanik sampai peningkatan
PaCO2 terkoreksi.
Pneumothoraks, Pneumomediastinum, Pneumoperikardium
Perpindahan udara selama pneumoperitoneum dapat menyebabkan terjadinya
pneumomediastinum,
pneumothoraks
unilateral
dan
bilateral,
dan
dapat terjadi secara sekunder akibat sobekan pleura ketika dilakukan laparaskopi pada
gastroesophagel junction.
Komplikasi ini biasanya sangat serius dan dapat menyebabkan gangguan
respiratorik dan hemodinamik. Perubahan hemodinamik dan desaturasi oksigen dapat
mengindikasikan terjadinya tension pneumothorak.
Intubasi Endobronkial
Pergeseran kearah cephalad dari diafragma pada pneumoperitoneum terjadi
karena pergerakan cephalad pada carina anak dan dewasa,berpotensi menyebabkan
intubasi endobronkial. Kasus ini sering kali dilaporkan terjadi pada posisi dengan
head-down maupun head-up. Komplikasi ini mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen sebagaimana yang dapat terlihat dengan pulse-oxymetri (SpO 2) dan
berhubungan dengan peningkatan tekanan udara stabil.
Aspirasi Isi Lambung
Pasien yang akan menjalani laparoskopi harus dipertimbangkan resiko dari
sindrom respirasi asam. Bagaimanapun juga, peningkatan IAP akan mengakibatkan
perubahan dari sphincter oesophagus bagian bawah yang akan memelihara gradient
tekanan ke gastroesophageal junction dan tersebut akan mengurangi resiko
regurgitasi. Selain itu, posisi head-down akan membantu mencegah cairan regurgitasi
apapun dari saluran cerna ke saluran nafas.
Emboli Udara
Meskipun jarang, emboli udara merupakan komplikasi yang berbahaya dan
paling ditakuti pada laparoskopi. Injeksi udara intravaskuler berasal dari masuknya
jarum atau trokar pada pembuluh darah atau dapat pula terjadi sebagai efek samping
dari insuflasi udara ke organ abdominal. Komplikasi ini pada dasarnya terjadi pada
saat insuflasi pneumoperitoneum, terutama pada pasien yang mempunyai riwayat
7
pembedahan abdominal sebelumnya. Gas CO2 merupakan gas penyebab paling sering
pada laparoskopi karena CO2 lebih larut dalam darah dibandingkan dengan udara,
oksigen, atau N2O.
Penanganan emboli udara terdiri dari penghentian insuflasi yang cepat dan
pelepasan pneumoperitoneum. Pasien diletakkan pada posisi head-down dan posisi
left lateral decubitus. Penghentian penggunaan N2O kemudian mengganti ventilasi
dengan O2 100% untuk mengkoreksi hipoksemia serta mengurangi emboli udara dan
komplikasinya. Hiperventilasi akan meningkatkan ekskresi CO2 dan hal itu penting
dilakukan karena adanya peningkatan dead space fisiologis. Pijat jantung luar dapat
membantu untuk fragmentasi emboli CO2 menjadi gelembung-gelembung. By pass
kardiopulmoner juga digunakan untuk mengatasi emboli CO2 yang massif.
Pengobatan O2 hiperbarik perlu dipikirkan apabila ada dugaan terjadi emboli udara
pada sirkulasi serebral.
Manajemen anestesi pada Laparoskopi
Pemeriksaan Pre-operatif
Pemeriksaan anestesi pre-operatif harus dilakukan secara lengkap. Berikan
perhatian khusus pada sistim respiratorik dan system kardiovaskuler dimana
keduanya akan mengalami efek potensial dari pneumoperitoneum dan posisi pasien.
Pasien dengan obesitas juga perlu mendapat perhatian khusus dimana terjadi
peningkatan
resiko
kegagalan
respirasi
post-operatif.
Penting
untuk
Premedikasi
Premedikasi sering tidak dibutuhkan kecuali pasien gelisah, dimana dapat
diberikan benzodiazepine. H2-bloker atau proton pump inhibitor dapat diberikan pada
pasien yang beresiko terjadinya aspirasi ( seperti hernia hiatal, obesitas ). Atropin
dapat digunakan untuk mengurangi resiko bradikardia yang diinduksi oleh stimulasi
vagal.
Teknik Anestesi
Pemilihan teknik anestesi bergantung pada tipe operasi dan karakteristik
pasien. Tujuan pembedahan laparoskopi yang didapat sehari-hari, terutama kasus
kasus ginekologias, adalah untuk mendapatkan pemulihan yang cepat dengan efek
residu yang minimal, kontrol nyeri yang baik, dan tanpa mual maupun muntah.
Pembedahan laparaskopi pada bedah digestif mayor memiliki prioritas yang berbeda
karena pasien akan mengalami trauma yangh lebih ekstensif, memerlukan rawat inap
dengan pemberian analgesik yang lebih besar dan juga pemantauan yang intensif.
Pemilihan teknik anestesi untuk pembedahan anestesi meliputi general, regional,
ataupun lokal anestesi.
General Anestesi ( Anestesi Umum )
Anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan ventilasi terkontrol
merupakan teknik yang teraman dimana dapat memberikan proteksi jalan nafas, dapat
mengontrol PaCO2, dan membantu paparan pembedahan; terutama direkomendasikan
pada pembedahan denghan durasi panjang atau pada pasien dengan riwayat refluks
gastroesofageal. Distensi gaster harus dihindari selama ventilasi terkontrol. Gastric
tiube diperlukan untukdekompresi abdomen jika terjadi distensi. Ventilasi permenit
dapat ditingkatkan untuk menjaga tidal akhir dari CO2, dimana dapat diperoleh
dengan tidal volume sebesar 12-15 ml/kg. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya
mikro ateletasis dan hipoksemia namun dapat menyebabkan peningkatan tekanan
9
intratorakal dan memliki efek samping pada fungsi jantung. Penggunaan PEEP akan
meningkatan FRC intraoperatif, menurunkan resiko hipoksemia, dan membantu
menurunkan resiko atelektasis post operatif. Namun, PEEP juga dapat menurunkan
cardiac output terutama jika dengan pneumoperitoneum sehingga penggunaannya
harus berhati hati.
Ventilasi spontan dengan LMA dapat digunakan pada pasien tanpa riwayat
refluks dan tidak obese dengan prosedur laparoskopi berdurasi pendek dengan IAP
yang rendah dan pengangkatan kepala derajat kecil. Namun LMA tidak memberikan
proteksi jalan napas dari kemungkinan aspirasi isi lambung dan juga tidak
mengontrol respirasi untuk menjaga kadar PaCO2.
Pemeliharaan dengan N2O merupakan suatu kontroversial, karena dapat
menyebabkan distensi usus dan mengganggu medan pandang operasi. Peningkatan
resiko mual muntah post operatif kemungkinan hanya terjadi pada pembedahan
laparaskopi ginekologi dan tidak pada laparoskopi yang lain. Propofol digunakan
pada tindakan pembedahan rutin dan juga dapat menurunkan resiko mual dan
muntah.
Perlunya penggunaan analgetik post operatif bergantung pada operator.
Kombinasi dari analgetik sederhana, seperti acetaminophen dan NSAIDs, yang
diberikan pre-operatif ataupun intra operatif, memberikan efek yang adekuat pada
berbagai prosedur. Prosedur ginekologis paling sering mendapat opioid aksi pendek
( seperti alfentanil
yang lebih
10
Absorbsi insuflasi CO2 memerlukan pemantauan dari tidal akhir CO2 untuk
menyesuaikan ventilasi permenit dan menjaga normokapnea. Dengan gangguan
fungsi kardiopulmoner, perbedaan antara tidal akhir dan PaCO2 menjadi besar dan
tidak dapat diprediksi, sehingga memerlukan pengukuran langsung dari analisis gas
darah. Pemantauan tekanan darah arterial yang invasif dapat digunakan pada pasien
dengan gangguan kardiovaskuler. Selain itu dilakukan pemantauan produksi urin,
cardiac output, dan ekokardiografi transesophageal.
Regional Anestesi
Teknik ini kadang digunakan pada pembedahan ginekologi. Anestesi epidural
biasanya digunakan pada pembedahan berdurasi panjang. Keuntungan dari teknik ini
antara lain kesembuhan yang lebih cepat, menurunnya insidensi mual dan muntah
post operatif, menghindari efek samping yang terjadi dengan anestesi umum
( seperti nyeri tenggrorok, trauma jalan napas ) dan opioid yang dibutuhkan juga lebih
sedikit. Kekurangan dari teknik ini adalah diperlukannya blok yang sangat tinggi ( T2
T4) dan luas, dengan konsekuensi terjadinya depresi miokardium, bradikardi, dan
penurunan aliran balik vena.
Lokal Anestesi
Teknik ini digunakan pada laparoskopi diagnostik, biopsi hepar atau staging
dari suatu metastasis. Kelebihan teknik ini sama dengan kelebihan pada regional
anestesi. Kekurangannya antara lain pasien jadi mudah cemas dan nyeri. Sedasi dapat
diberikan, namun agen ini dapat menimbulkan komplikasi berupa depresi napas.
Pemulihan Post-Operatif
Pemulihan setelah pembedahan laparaskopi pada umumnya berlangsung lebih
cepat dibandingkan operasi terbuka. Fungsi pulmonal lebih terjaga dengan baik,
dengan hanya sedikit penurunan forced vital capacity ( FVC ) dan forced expiratory
volume at one second ( FEV1), dengan atelektasis yang minimal, sehingga pertukaran
11
gas menjadi lebih baik. Nyeri juga lebih minimal karena luka yang dihasilkan lebih
kecil dan trauma otot juga lebih sedikit. Selain itu juga terdapat penurunan insidensi
ileus post-operatif dan mobilisasi yang lebih cepat. Keseluruhan faktor ini,
mengakibatkan rawat inap pasien yang lebih singkat dan segera kembali beraktifitas.
Pemantauan dilanjutkan hingga pemulihan karena efek pada kardiovaskuler
yang disebabkan oleh pneumoperitoneum dapat terus berlangsung. Pencegahan
komplikasi minor juga penting dilakukan.
12
Daftar Pustaka
1. Jean
L.
Joris,
Anesthesia
for
Laparascopic
Surgery. Adult
13